"Marisa! Kamu kemana saja, sih? Kamu gak lihat jam? Nyadar gak sih udah berapa jam kamu pergi, hah!" bentak Bu Santi. "Maaf, Bu." Marisa tertunduk di depan ibu mertuanya. Bukan karena dia merasa bersalah, tetapi karena dia tidak mau membuat mabuk. "Jangan cuma bisa minta maaf! Jelasin kamu kemana?" tanya Bu Santi dengan nada mendesak. “Sabar, Ma. Ingat kita ada di mana,” tegur Pak Hartawan. Namun, seperti nada biasa selama bicara Pak Hartawan bukan seperti orang marah, maka Bu Santi akan mengabaikannya. "Tadi itu selain Salat Magrib dan makan, Marisa bertemu Dokter Harun. Dokter Spesialis Jantungnya Mas Irawan, Ma. Jadi Marisa tanya-tanya soal kondisi Mas Irawan ke dokter itu. Marisa pikir mumpung dia lagi punya waktu. Takutnya besok dia gak visite karena harus ke Surabaya, karena tadi mobilnya di sebelah mobil Papa." Marisa mencoba menjelaskan agar ibu mertuanya tidak salah paham. "Terus jawaban dokter itu bagaimana?" Bu Santi mulai merasa penasaran dan lupa dengan amarahnya.
"Ada apa ini?" Marisa yang tersentak bangun menatap bingung ke arah serombongan dokter dan perawat yang berlari memasuki ruang ICU. "Ada kebakaran?" tanyanya ke arah Sandhy yang saat ini juga sudah duduk sambil mengucek matanya. Sandhy mengedikkan pundaknya. Dia juga baru pertama kali mendengar di rumah sakit ada bunyi seperti sirine pemadam kebakaran. Marisa menutupi tubuhnya yang terasa pegal karena tidur di kursi sambil duduk. Lalu dia bangkit dan melangkah menuju jendela Ruang ICU. Namun karena tidak sempat berkunjung maka jendela ditutup oleh tirai. Marisa mencoba mengintip dari celah tirai. Namun sayang celahnya terlalu kecil sehingga dia tidak bisa melihat sedikitpun aktivitas di dalam ruangan.Pintu kaca Ruang ICU terbuka, muncul dua orang perawat yang setengah berlari keluar. Salah satunya kembali tak lama kemudian. Marisa menahan lengannya dan bertanya, "Ada apa, Suster? Itu suara sirene apa, ya?""Code blue," jawab perawat itu singkat dan segera memasuki ruangan ICU. "
"Kondisi istri saya bagaimana, Dok?" tanya Sandhy dengan cemas. Meski Sandhy sempat emosi dengan ulah Monika, tetapi bagaimanapun juga Monika adalah istrinya. Jadi, rasa sayangnya masih tetap ada. Begitu pula "Istri bapak siapa, ya?" tanya sang dokter. "Saya suami pasien yang bernama Monika, Dok." "Bapak ini suami pasien yang baru saja dokter tangani," sahut salah satu perawat yang tadi sudah berbicara dengan Sandhy. Dokter itu mengangguk lalu menatap Sandhy. "Alhamdulillah istri bapak sudah stabil kembali. Terima kasih sudah mendoakan tim kami jadi istri bapak bisa selamat." "Syukurlah. Terima kasih dokter. Kira-kira kapan istri saya bisa sadar kembali?" Sandhy menatap wajah bulat sang dokter dengan penuh harap. "Kalau tentang hal itu tidak bisa saya pastikan. Bisa ditanyakan ke dokter yang menangani pasien. Begitu, ya, Pak." Dokter itu mengakhiri jawaban dengan mengangguk lalu berlalu dari hadapan Sandhy.Sandhy kembali duduk. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Sampai kapan a
"Astaghfirullah jam berapa ini. Aku kesiangan." Marisa tersentak bangun ketika mendengar suara ketokan pintu. Dia buru-buru duduk dan merapikan rambutnya. Tepat pada saat pintu di buka. "Waktunya kontrol, Bu," ucap salah satu dari empat orang perawat. "Iya, silakan." Marisa berdiri untuk menyambut rombongan dokter dan perawat yang mulai mendekati kasur suaminya. Pada saat itulah dia melihat sosok yang dikenalnya. "Loh … dokter kok ada di sini?" Dokter yang disapa Marisa juga tidak kalah terkejutnya. "Loh … jadi Pak Irawan dipindah ke sini ya, Bu?" "Iya, Dok. Saya tinggal di Surabaya dan rumah sakit ini lumayan dekat dengan rumah saya." Marisa menjelaskan alasan pemindahan suaminya. Namun, dia tidak menyebutkan bahwa pemilik rumah sakit ini adalah teman mertuanya. Dia tidak ingin dianggap memanfaatkan nama Dokter Burhan sebagai pemilik rumah sakit. "O begitu. Baik saya periksa Pak Irawan dulu, Bu," jawab Dokter Harun. Marisa mengangguk. Dia memperhatikan Dokter Harun dan peraw
"Mas Sandhy? Tidak biasanya dia menghubungiku. Ada apa ya?" Rasa penasaran membuat Marisa membatalkan rencananya menuju toilet. Dia memilih duduk di sofa dan mengangkat panggilan telepon dari Sandhy. "Halo Mas, tumben kamu telepon saya. Pagi-pagi pula. Maaf kemarin aku nggak sempat pamit kalau suamiku pindah rumah sakit." Marisa berkata tanpa henti sebelum Sandhy mengucapkan salam."Ri-sa …." Terdengar suara Sandhy … lirih dan gemetar.Suara Sandhy itu membuat Marisa terkesiap. Ada apa dengan kakak kelasnya itu? batin Marisa bertanya-tanya. "Iya, Mas. Ada apa? Kenapa suara Mas Sandhy seperti itu?" tanya Marisa dengan nada heran."Mo-mo-ni-ka …." "Kenapa dengan istrimu, Mas?" "Istriku kritis lagi, Ris," sahut Sandhy dengan suara lemah. Marisa menghembuskan napas dengan keras. Sebenarnya salah satu alasan dia ingin suaminya secepatnya pindah rumah sakit adalah dia ingin melupakan semuanya. Dia menghargai Sandhy sebagai kakak kelasnya dulu. Juga sebagai orang yang pernah mengisi h
"Ya Allah benarkah berita yang ada di televisi ini?" Marisa berseru ketika dia yang tengah asyik menonton sebuah film, tiba-tiba melihat tulisan berjalan di bagian bawah layar telivisi berukuran 32 inchi itu. Layar LED di depannya itu mendadak menampilkan sebuah tulisan breaking news. Mata Marisa membulat ketika membaca isi tulisan tersebut. Berawal dari Running Teks yang membuat Marisa membekap mulutnya dan menghela napas kasar. Layar berganti menampilkan gambar halaman dan pintu lobi sebuah rumah sakit yang dia kenal. Rumah sakit tempat suaminya pertama di rawat setelah mengalami kecelakaan.Mata Marisa tak berkedip menatap layar televisi yang saat ini menampilkan sebuah wawancara. "Jadi benar ya, Pak? Penyanyi bernama Monika itu baru saja meninggal dunia?" tanya salah satu wartawan, yang mengerubungi seorang satpam. "Maaf saya tidak berwenang untuk menjawab. Silakan bertanya langsung dengan pihak manajemen rumah sakit." "Tapi pihak manajemen rumah sakit tidak mau berbica
"Loh Risa ada apa? Kenapa kamu menangis?" Rian yang baru datang segera melangkah cepat menghampiri Marisa dan duduk di sebelahnya. Lalu, tangan Rian merangkul bahu Marisa dan membenamkan kepala sepupunya itu di dadanya yang bidang. "Kenapa, sih? Ayolah jangan menangis lagi. Ada masalah apa? Kamu bisa cerita ke aku," desak Rian sambil tangannya terus mengelus kepala Marisa dengan penuh kasih sayang. Marisa tidak menjawab pertanyaan Rian. Dia masih tersedu sedan hingga kemeja Rian menjadi basah. Dia juga membiarkan tangan kakak sepupunya itu terus mengelus rambutnya. Entah berapa menit berlalu akhirnya isak tangis Marisa perlahan mereda. Dia mengurai pelukan Rian dan mengambil tisu di meja. Sambil mengusap ingus Marisa mulai bercerita. "Wanita yang bersama dengan Mas Irawan saat kecelakaan, baru saja meninggal. Aku barusan nonton beritanya di televisi." "Penyanyi itu?" tanya Rian yang segera dibalas anggukan Marisa."Loh terus kenapa kamu tangisin wanita seperti itu?" protes Rian.
"Nah televisi-nya sudah saya nyalakan. Coba deh Ibu nonton dulu. Dari tadi semua stasiun televisi ramai memberitakan tentang meninggalnya wanita itu. Keluarga terhormat Ibu akan beruntung kalau berita perselingkuhan penyanyi tersebut dengan putra kesayangan Ibu tidak disorot kembali!" Rian menyindir. Bu Santi memucat. Perempuan yang tetap modis di usianya yang separuh baya tidak berani mendekati layar televisi yang sudah menyala. "Kenapa, Bu? Tidak berani melihat bukti-bukti perselingkuhan anak Ibu diumbar di televisi? Kalau tidak mau, tolong ibu jaga omongannya! Jangan asal tuduh orang selingkuh tanpa bukti! Sementara itu yang tidur di sana … benar-benar tukang selingkuh tetapi malah Ibu bela terus." Rian menuding kasur tempat Irawan terbaring dengan semua peralatan medis yang menempel di tubuhnya. Rian tidak peduli kata-katanya terlalu kasar dan akan menyakiti orang lain termasuk sepupunya. "Mas Rian!" tegur Marisa dengan suara keras. Dia tidak suka mendengar Rian berbicara sepe