"Kondisi istri saya bagaimana, Dok?" tanya Sandhy dengan cemas. Meski Sandhy sempat emosi dengan ulah Monika, tetapi bagaimanapun juga Monika adalah istrinya. Jadi, rasa sayangnya masih tetap ada. Begitu pula "Istri bapak siapa, ya?" tanya sang dokter. "Saya suami pasien yang bernama Monika, Dok." "Bapak ini suami pasien yang baru saja dokter tangani," sahut salah satu perawat yang tadi sudah berbicara dengan Sandhy. Dokter itu mengangguk lalu menatap Sandhy. "Alhamdulillah istri bapak sudah stabil kembali. Terima kasih sudah mendoakan tim kami jadi istri bapak bisa selamat." "Syukurlah. Terima kasih dokter. Kira-kira kapan istri saya bisa sadar kembali?" Sandhy menatap wajah bulat sang dokter dengan penuh harap. "Kalau tentang hal itu tidak bisa saya pastikan. Bisa ditanyakan ke dokter yang menangani pasien. Begitu, ya, Pak." Dokter itu mengakhiri jawaban dengan mengangguk lalu berlalu dari hadapan Sandhy.Sandhy kembali duduk. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Sampai kapan a
"Astaghfirullah jam berapa ini. Aku kesiangan." Marisa tersentak bangun ketika mendengar suara ketokan pintu. Dia buru-buru duduk dan merapikan rambutnya. Tepat pada saat pintu di buka. "Waktunya kontrol, Bu," ucap salah satu dari empat orang perawat. "Iya, silakan." Marisa berdiri untuk menyambut rombongan dokter dan perawat yang mulai mendekati kasur suaminya. Pada saat itulah dia melihat sosok yang dikenalnya. "Loh … dokter kok ada di sini?" Dokter yang disapa Marisa juga tidak kalah terkejutnya. "Loh … jadi Pak Irawan dipindah ke sini ya, Bu?" "Iya, Dok. Saya tinggal di Surabaya dan rumah sakit ini lumayan dekat dengan rumah saya." Marisa menjelaskan alasan pemindahan suaminya. Namun, dia tidak menyebutkan bahwa pemilik rumah sakit ini adalah teman mertuanya. Dia tidak ingin dianggap memanfaatkan nama Dokter Burhan sebagai pemilik rumah sakit. "O begitu. Baik saya periksa Pak Irawan dulu, Bu," jawab Dokter Harun. Marisa mengangguk. Dia memperhatikan Dokter Harun dan peraw
"Mas Sandhy? Tidak biasanya dia menghubungiku. Ada apa ya?" Rasa penasaran membuat Marisa membatalkan rencananya menuju toilet. Dia memilih duduk di sofa dan mengangkat panggilan telepon dari Sandhy. "Halo Mas, tumben kamu telepon saya. Pagi-pagi pula. Maaf kemarin aku nggak sempat pamit kalau suamiku pindah rumah sakit." Marisa berkata tanpa henti sebelum Sandhy mengucapkan salam."Ri-sa …." Terdengar suara Sandhy … lirih dan gemetar.Suara Sandhy itu membuat Marisa terkesiap. Ada apa dengan kakak kelasnya itu? batin Marisa bertanya-tanya. "Iya, Mas. Ada apa? Kenapa suara Mas Sandhy seperti itu?" tanya Marisa dengan nada heran."Mo-mo-ni-ka …." "Kenapa dengan istrimu, Mas?" "Istriku kritis lagi, Ris," sahut Sandhy dengan suara lemah. Marisa menghembuskan napas dengan keras. Sebenarnya salah satu alasan dia ingin suaminya secepatnya pindah rumah sakit adalah dia ingin melupakan semuanya. Dia menghargai Sandhy sebagai kakak kelasnya dulu. Juga sebagai orang yang pernah mengisi h
"Ya Allah benarkah berita yang ada di televisi ini?" Marisa berseru ketika dia yang tengah asyik menonton sebuah film, tiba-tiba melihat tulisan berjalan di bagian bawah layar telivisi berukuran 32 inchi itu. Layar LED di depannya itu mendadak menampilkan sebuah tulisan breaking news. Mata Marisa membulat ketika membaca isi tulisan tersebut. Berawal dari Running Teks yang membuat Marisa membekap mulutnya dan menghela napas kasar. Layar berganti menampilkan gambar halaman dan pintu lobi sebuah rumah sakit yang dia kenal. Rumah sakit tempat suaminya pertama di rawat setelah mengalami kecelakaan.Mata Marisa tak berkedip menatap layar televisi yang saat ini menampilkan sebuah wawancara. "Jadi benar ya, Pak? Penyanyi bernama Monika itu baru saja meninggal dunia?" tanya salah satu wartawan, yang mengerubungi seorang satpam. "Maaf saya tidak berwenang untuk menjawab. Silakan bertanya langsung dengan pihak manajemen rumah sakit." "Tapi pihak manajemen rumah sakit tidak mau berbica
"Loh Risa ada apa? Kenapa kamu menangis?" Rian yang baru datang segera melangkah cepat menghampiri Marisa dan duduk di sebelahnya. Lalu, tangan Rian merangkul bahu Marisa dan membenamkan kepala sepupunya itu di dadanya yang bidang. "Kenapa, sih? Ayolah jangan menangis lagi. Ada masalah apa? Kamu bisa cerita ke aku," desak Rian sambil tangannya terus mengelus kepala Marisa dengan penuh kasih sayang. Marisa tidak menjawab pertanyaan Rian. Dia masih tersedu sedan hingga kemeja Rian menjadi basah. Dia juga membiarkan tangan kakak sepupunya itu terus mengelus rambutnya. Entah berapa menit berlalu akhirnya isak tangis Marisa perlahan mereda. Dia mengurai pelukan Rian dan mengambil tisu di meja. Sambil mengusap ingus Marisa mulai bercerita. "Wanita yang bersama dengan Mas Irawan saat kecelakaan, baru saja meninggal. Aku barusan nonton beritanya di televisi." "Penyanyi itu?" tanya Rian yang segera dibalas anggukan Marisa."Loh terus kenapa kamu tangisin wanita seperti itu?" protes Rian.
"Nah televisi-nya sudah saya nyalakan. Coba deh Ibu nonton dulu. Dari tadi semua stasiun televisi ramai memberitakan tentang meninggalnya wanita itu. Keluarga terhormat Ibu akan beruntung kalau berita perselingkuhan penyanyi tersebut dengan putra kesayangan Ibu tidak disorot kembali!" Rian menyindir. Bu Santi memucat. Perempuan yang tetap modis di usianya yang separuh baya tidak berani mendekati layar televisi yang sudah menyala. "Kenapa, Bu? Tidak berani melihat bukti-bukti perselingkuhan anak Ibu diumbar di televisi? Kalau tidak mau, tolong ibu jaga omongannya! Jangan asal tuduh orang selingkuh tanpa bukti! Sementara itu yang tidur di sana … benar-benar tukang selingkuh tetapi malah Ibu bela terus." Rian menuding kasur tempat Irawan terbaring dengan semua peralatan medis yang menempel di tubuhnya. Rian tidak peduli kata-katanya terlalu kasar dan akan menyakiti orang lain termasuk sepupunya. "Mas Rian!" tegur Marisa dengan suara keras. Dia tidak suka mendengar Rian berbicara sepe
"Tolong katakan Ma, kapan Risa nggak nurut dengan Mama?" tanya Marisa dengan takut-takut. "Kamu ini gimana, sih! Lupa kalau Mama sering meminta kamu untuk segera hamil?" bentak Bu Santi. Marisa memucat mendengar bentakan ibu mertuanya. Namun, Bu Santi hanya mendengkus melihat wajah menantunya.Bu Santi lalu melanjutkan ucapannya, "Tapi kenyataannya apa? Kamu nggak segera hamil. Mungkin gara-gara itu Irawan jadi kesal dan berpaling ke wanita lain. Mungkin juga dia menyesal sudah memilih menikah denganmu. Mama yakin kalau dia tahu kamu mandul, dia nggak bakal menikahimu!""Ma!" bentak Pak Hartawan. "Kok Mama bilang seperti itu?" tanya Marisa lirih. Dada Marisa terasa sakit seperti dipukul palu godam. Dia terkejut ibu mertuanya menuduhnya mandul. Dia juga sakit hati Bu Santi punya pikiran seperti itu. "Loh kenapa? Kenyataan, kan? Sudah berapa tahun kalian menikah? Kok kamu belum hamil juga. Apa namanya kalau bukan mandul?" Bu Santi kembali menuduh. "Cukup, Ma! Kamu sekarang benar-
"Mama harus ikut campur, Pa! Mama nggak rela anak kita dituduh mandul. Irawan tidak mungkin mandul! "Tidak ada yang menuduh Irawan mandul, Ma. Prosedur program kesuburan memang seperti itu. Suami istri harus diperiksa semua. Dan ikut program semua. Tadi kan sudah dijelaskan oleh Marisa. Lagipula memangnya Mama nggak pernah dengar program itu seperti apa?" Pak Hartawan menjelaskan kepada Bu Santi dengan nada tinggi."Pokoknya Irawan nggak mungkin mandul! Titik." Bu Santi tetap bersikeras dengan pendapatnya. Belum sempat Marisa merespon ucapan ibu mertuanya itu, salah satu alat yang menempel di tubuh Irawan berbunyi."Ada apa ini? Kenapa alat itu berbunyi?" seru Bu Santi. Pak Hartawan dengan sigap memencet tombol alarm yang ada di atas sandaran kasur. Tombol itu terhubung dengan ruang perawat. Jadi, tidak heran kalau tak lama kemudian tiga orang perawat berlari memasuki ruangan VVIP. "Ada apa, Pak?" tanya salah satu perawat yang datang. "Alat itu berbunyi, Suster," jawab Pak Ha
"Mas Rian … jangan pergi! Jangan tinggalkan aku! Bangun, Mas! Aku membutuhkanmu!" ratap Marisa. Namun, lelaki yang dipeluk dan ditangisinya masih tetap mengatupkan matanya. Rapat. "Sudah, Mbak jangan nangis terus. Lebih baik kita doakan Mas Rian agar diberikan kesehatan." Marisa mengangguk mendengar saran Dokter Harun. Memang tangis tidak akan membuat Rian sembuh. "Alhamdulillah Allah masih melindunginya. Tusukan pisau itu tidak mengenai organ vital. Geser satu centi aja akan sangat berbahaya. Namun, mengingat dia ditusuk tiga kali dan mengeluarkan banyak darah, kondisinya belum terbilang stabil. Perlu banyak kantong darah untuk transfusi. Sementara stok golongan darah O di PMI menipis."Marisa mengusap wajah lega. "Ambil darah saya saja, Dok. Golongan darah saya O." "Jangan. Kamu butuh istirahat, Mbak. Darah saya saja, Dok. Saya juga bergolongan darah O," ucap Dokter Harun."Baiklah … nanti kita periksa dulu untuk melihat kecocokannya."Marisa menelepon ibunya untuk mengabarkan di
"Ada apa dengan Marisa?" sambar Rian.Dokter Harun menatap Bu Rahmi dengan prihatin. "Sabar, ya, Bu. Mbak Marisa mengalami penculikan di dekat sekolah. Kasusnya sedang dalam penyelidikan polisi." "Apa diculik?" teriak Rian."Tidak! Jangan polisi. Nanti Marisa tidak selamat!" seru Bu Rahmi yang kemudian menangis. "Kenapa tidak selamat? Ibu tahu kalau Mbak Marisa diculik?" desak Dokter Harun. "Iya." Bu Rahmi mengusap wajahnya dan terduduk lemas di sofa. "Itu sebabnya tadi Bulek telepon kamu." Tatapan Bu Rahmi terarah ke Rian."Sebenarnya Bulek berharap itu cuma bercanda, tapi kabar yang dibawa Dokter Harun membuat Bulek tahu kalau orang itu sungguh-sungguh menculik Marisa." Air mata Bu Rahmi pun menderas di kedua pipinya. "Orang itu? Siapa?" "Siapa orang itu, Bu?"Dokter Harun dan Rian bertanya bersamaan. "Tadi ada telepon. Ngaku temannya Marisa ke Bik Siti. Setelah ibu angkat dia bilang sudah menculik Marisa dan melarang untuk melapor ke polisi kalau mau anak ibu selamat. Tapi ta
"Apa-apaan ini? Siapa mereka?" tanya Marisa ketika melihat tiga orang lelaki turun dari mobil yang menghadangnya.Salah satu lelaki yang turun dari mobil penghadang itu kemudian menggedor jendela di samping Marisa. "Buka pintunya! Cepat!" Marisa terlonjak kaget dan mundur dari jendela. Untuk beberapa saat dia hanya diam dan memandang ketiga lelaki berwajah menyeramkan itu. Marisa tidak mau membuka pintunya. Berada di dalam mobil dengan pintu yang terkunci membuatnya sedikit merasa aman. Sayangnya rasa aman itu hanya bertahan sebentar, karena tak lama kemudian kaca jendela mobilnya pecah berhamburan. Salah satu lelaki menyeramkan itu memegang semacam palu yang besar dan berhasil memecah kaca. Belum hilang rasa kaget Marisa, lelaki yang sama berhasil membuka pintu mobilnya dari dalam dan menarik Marisa keluar. Kemudian dia diseret memasuki mobil milik ketiga lelaki itu. Meski Marisa meronta dan berteriak, tetapi itu tidak ada artinya. Karena tenaga Marisa jelas kalah dibanding ketig
"Iya betul, Bu. Dan kedatangan saya sekarang ini untuk meminta restu dari Ibu. Saya ingin melamar putri Ibu yang bernama Marisa." Bu Rahmi terpana melihat keterusterangan Dokter Harun. Dia tidak menyangka lelaki di hadapannya ini akan mengatakan hal tersebut di pertemuan pertama. "Alhamdulillah. Saya, sih, terserah kepada Marisa, saja, Nak Dokter. Tapi … kenapa terburu-buru? Apakah Nak Dokter nggak mau kenalan dulu dengan Marisa? Atau jangan-jangan kalian sudah kenal lama?" "Tidak, Bu. Saya baru bertemu dengan Mbak Marisa ketika saya merawat mantan suaminya. Saat itu tidak ada perasaan apa pun kecuali simpati seorang dokter kepada keluarga pasiennya." Bu Rahmi mendengarkan penjelasan Dokter Harun. "Lantas kapan mulai berubah?" Marisa mendelik mendengar pertanyaan ibunya. Dia menyenggol tubuh ibunya dengan siku untuk memintanya diam. Namun, Bu Rahmi tidak mempedulikannya. Sebenarnya Marisa juga penasaran seperti ibunya, tetapi dia terlalu malu untuk bertanya. Jadi, ketika Bu Rahm
Marisa berjalan mendekat. Mungkin karena mendengar suara langkah Marisa, lelaki itu mengangkat wajahnya dan Marisa pun berseru, "Kamu?"Lelaki itu kemudian bangkit dari kursinya dan berdiri dengan sikap sopan ala abdi kerajaan yang menunggu sang putri datang. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Mata hitam yang dinaungi sepasang alis yang melengkung sempurna itu menatap Marisa lekat. Namun, ketika tatapan dua insan berlawanan jenis itu bertemu, keduanya sama-sama segera mengalihkan tatapannya. "Maaf kalau saya datang tanpa kabar lebih dulu, Bu Marisa," ucap lelaki itu. "Iya. Tidak apa-apa. Silakan duduk, Dok." Marisa pun duduk di seberang sofa yang ditempati Dokter Harun. "Ada yang bisa saya bantu, Dok? Ada apa dengan Amanda?" "Kedatangan saya kemari nggak ada hubungannya dengan Amanda, Bu."Marisa mengangkat wajahnya dan menatap mata Dokter Harun. Ada tatapan bertanya di mata Marisa.Melihat pandangan bertanya di mata hazel Marisa, tiba-tiba saja Dokter Harun menjadi gugup. "B
Tiba-tiba Marisa berhenti melangkah. Raut wajahnya tampak seperti seseorang yang baru menyadari sesuatu. Dia kemudian berbisik, "Kenapa aku merasa senang mengetahui fakta terbaru tentang Suster Ratri? Apakah ini artinya aku mulai membuka hati untuk Dokter Harun?"Untuk beberapa saat Marisa berdiri termangu, lalu dia menghela napas dan kembali berbisik, "Aku nggak boleh linglung di sini. Lebih baik sekarang aku segera pulang. Tentang bagaimana perasaanku sebenarnya bisa aku pikirkan nanti saja kalau sudah di rumah."Lantas, Marisa pun memutar tubuh dan kembali ke halaman sekolah. Dia segera memasuki mobil kesayangannya dan memacunya menuju rumah. "Loh … katanya mau ke toko buku. Kok sudah pulang? Nggak jadi?" tegur Bu Rahmi ketika melihat Marisa turun dari mobil. "Enggak, Bu," jawab Marisa sambil melangkah menuju teras. Lalu dia duduk di salah satu kursi yang ada di teras. Marisa menyelonjorkan kaki dan memandang ibunya yang tengah merapikan rumpun mawar.Tidak adanya penjelasan atas
Mata Marisa terbelalak mendengar ucapan Dokter Harun. "Sudah sedekat itukah hubungan mereka hingga Suster Ratri membawakan bekal untuk makan siang Dokter Harun?" batinnya."Suster Ratri itu seperti seorang ibu sekaligus kakak buat saya. Cerewetnya sama," lanjut Dokter Harun sambil menatap Marisa."Seperti ibu? Cerewet?" Marisa mengulangi kata-kata Dokter Harun dengan nada kebingungan. "Iya. Kalau Suster Ratri lagi ngomelin saya bisa dua puluh ribu kata per jam dia lontarkan." Dokter Harun terkekeh sambil matanya menerawang. Dia mengenang saat-saat Suster Ratri mengomelinya. "Suster Ratri berani ngomelin Dokter?" Marisa bertanya dengan heran. Dia semakin kebingungan mendengar fakta terbaru tentang sosok suster luar biasa yang menjadi kesayangan keluarga Dokter Harun itu."Loh kenapa nggak berani? Kan dia juga sudah saya anggap seperti kakak tertua," jawab Dokter Harun. Marisa melongo mendengar jawaban Dokter Harun yang semakin membuatnya bingung. Benaknya sibuk merangkai semua fa
"Bu Marisa … apa kabar? Lama kita tidak ketemu. Kapan kita bisa mengobrol lagi seperti beberapa bulan lalu, ya, Bu? Saya kangen kepada Ibu."Marisa mengangkat kepalanya. Dia melihat seorang siswi mendekatinya yang tengah asyik membaca di perpustakaan sekolah. "Amanda? Alhamdulillah kabar ibu baik dan sehat. Semoga Amanda juga sehat. Iya, kita lama nggak ketemu, ya. Soalnya tahun ajaran baru ini ibu nggak mengajar di kelasmu lagi. Ayo sini duduk di sebelah Ibu, mumpung lagi jam istirahat." Amanda menurut dan menarik kursi kosong di sebelah Marisa. Setelah duduk, dia lalu berkata,"Alhamdulillah … syukurlah kalau ibu baik-baik saja. Manda juga Alhamdulillah baik, Bu. Cuma kangen aja karena jarang ngelihat Ibu." "Iya, loh. Ibu juga baru sadar kalau sudah lama nggak lihat kamu nunggu jemputan di bangku halaman sekolah." "Iya, Bu. Sekarang ini Manda nggak perlu nunggu jemputan lagi."Marisa terkesiap. Dalam hatinya dia bertanya-tanya, apakah ini ada hubungannya dengan kemarahan Dokter
"Iya, Mas. Aku baru saja memberi tahu dia kalau aku menolak lamarannya." "O pantas saja mukanya ditekuk seperti itu. Terus apa rencana kamu selanjutnya?""Rencana? Rencana apa maksudmu, Mas?" tanya Marisa dengan wajah kebingungan."Ya rencana masa depan kamu. Misalnya … apa kamu akan kembali menutup diri atau mau membuka hati lagi? Apa kamu mau terima perjodohan yang kemarin diatur ibuku? Atau bagaimana? Kamu pasti sudah memikirkannya, kan?" selidik Rian."Sepertinya aku ngalir aja, Mas. Aku ikut takdir Allah. Maksudku … aku nggak siapin waktu secara khusus untuk cari pasangan hidup, tapi kalau Allah takdirkan aku ketemu seseorang, ya, aku terima." "Meskipun itu aku?""Maksudnya gimana, Mas?""Kalau Allah takdirkan aku adalah jodohmu gimana?" Rian tidak menjawab pertanyaan Marisa, tetapi justru bertanya balik. Tatapan mata Rian menghujam tepat ke bola mata Marisa. Dia menatap penuh harap kepada perempuan yang sudah dikenalnya sejak kecil itu."Kalau memang Allah takdirkan, ya,