"Loh Risa ada apa? Kenapa kamu menangis?" Rian yang baru datang segera melangkah cepat menghampiri Marisa dan duduk di sebelahnya. Lalu, tangan Rian merangkul bahu Marisa dan membenamkan kepala sepupunya itu di dadanya yang bidang. "Kenapa, sih? Ayolah jangan menangis lagi. Ada masalah apa? Kamu bisa cerita ke aku," desak Rian sambil tangannya terus mengelus kepala Marisa dengan penuh kasih sayang. Marisa tidak menjawab pertanyaan Rian. Dia masih tersedu sedan hingga kemeja Rian menjadi basah. Dia juga membiarkan tangan kakak sepupunya itu terus mengelus rambutnya. Entah berapa menit berlalu akhirnya isak tangis Marisa perlahan mereda. Dia mengurai pelukan Rian dan mengambil tisu di meja. Sambil mengusap ingus Marisa mulai bercerita. "Wanita yang bersama dengan Mas Irawan saat kecelakaan, baru saja meninggal. Aku barusan nonton beritanya di televisi." "Penyanyi itu?" tanya Rian yang segera dibalas anggukan Marisa."Loh terus kenapa kamu tangisin wanita seperti itu?" protes Rian.
"Nah televisi-nya sudah saya nyalakan. Coba deh Ibu nonton dulu. Dari tadi semua stasiun televisi ramai memberitakan tentang meninggalnya wanita itu. Keluarga terhormat Ibu akan beruntung kalau berita perselingkuhan penyanyi tersebut dengan putra kesayangan Ibu tidak disorot kembali!" Rian menyindir. Bu Santi memucat. Perempuan yang tetap modis di usianya yang separuh baya tidak berani mendekati layar televisi yang sudah menyala. "Kenapa, Bu? Tidak berani melihat bukti-bukti perselingkuhan anak Ibu diumbar di televisi? Kalau tidak mau, tolong ibu jaga omongannya! Jangan asal tuduh orang selingkuh tanpa bukti! Sementara itu yang tidur di sana … benar-benar tukang selingkuh tetapi malah Ibu bela terus." Rian menuding kasur tempat Irawan terbaring dengan semua peralatan medis yang menempel di tubuhnya. Rian tidak peduli kata-katanya terlalu kasar dan akan menyakiti orang lain termasuk sepupunya. "Mas Rian!" tegur Marisa dengan suara keras. Dia tidak suka mendengar Rian berbicara sepe
"Tolong katakan Ma, kapan Risa nggak nurut dengan Mama?" tanya Marisa dengan takut-takut. "Kamu ini gimana, sih! Lupa kalau Mama sering meminta kamu untuk segera hamil?" bentak Bu Santi. Marisa memucat mendengar bentakan ibu mertuanya. Namun, Bu Santi hanya mendengkus melihat wajah menantunya.Bu Santi lalu melanjutkan ucapannya, "Tapi kenyataannya apa? Kamu nggak segera hamil. Mungkin gara-gara itu Irawan jadi kesal dan berpaling ke wanita lain. Mungkin juga dia menyesal sudah memilih menikah denganmu. Mama yakin kalau dia tahu kamu mandul, dia nggak bakal menikahimu!""Ma!" bentak Pak Hartawan. "Kok Mama bilang seperti itu?" tanya Marisa lirih. Dada Marisa terasa sakit seperti dipukul palu godam. Dia terkejut ibu mertuanya menuduhnya mandul. Dia juga sakit hati Bu Santi punya pikiran seperti itu. "Loh kenapa? Kenyataan, kan? Sudah berapa tahun kalian menikah? Kok kamu belum hamil juga. Apa namanya kalau bukan mandul?" Bu Santi kembali menuduh. "Cukup, Ma! Kamu sekarang benar-
"Mama harus ikut campur, Pa! Mama nggak rela anak kita dituduh mandul. Irawan tidak mungkin mandul! "Tidak ada yang menuduh Irawan mandul, Ma. Prosedur program kesuburan memang seperti itu. Suami istri harus diperiksa semua. Dan ikut program semua. Tadi kan sudah dijelaskan oleh Marisa. Lagipula memangnya Mama nggak pernah dengar program itu seperti apa?" Pak Hartawan menjelaskan kepada Bu Santi dengan nada tinggi."Pokoknya Irawan nggak mungkin mandul! Titik." Bu Santi tetap bersikeras dengan pendapatnya. Belum sempat Marisa merespon ucapan ibu mertuanya itu, salah satu alat yang menempel di tubuh Irawan berbunyi."Ada apa ini? Kenapa alat itu berbunyi?" seru Bu Santi. Pak Hartawan dengan sigap memencet tombol alarm yang ada di atas sandaran kasur. Tombol itu terhubung dengan ruang perawat. Jadi, tidak heran kalau tak lama kemudian tiga orang perawat berlari memasuki ruangan VVIP. "Ada apa, Pak?" tanya salah satu perawat yang datang. "Alat itu berbunyi, Suster," jawab Pak Ha
"Benarkah apa yang dikatakan Mama? Apa benar gara-gara aku belum bisa memberikannya keturunan, Mas Irawan berpaling kepada wanita lain?" Bukannya membaringkan tubuh dan beristirahat, Marisa justru hanya duduk di pinggir sofa bed. Pikirannya mengembara dan memikirkan perkataan ibu mertuanya tadi. Ucapan Bu Santi tadi memang membuatnya sakit hati hingga dadanya sesak. Namun, ternyata mengingatnya kembali bahkan lebih menyakitkan dibandingkan pertama kali mendengarnya. Dari sofa bed tempatnya duduk, mata Marisa menatap Irawan yang terbaring di kasur. Dia kembali mengingat kalimat yang terakhir diucapkan ibu mertuanya. Kalimat yang paling membuatnya bersedih hati. Tentang penyesalan Irawan."Apa benar Mas Irawan sudah menyesal memilih menikah denganku? Kalau memang begitu, kenapa sebelum berangkat sikapnya kepadaku berbeda? Pagi itu dia sangat romantis dan tampak enggan meninggalkan aku. Atau aku yang salah mengartikan sikapnya?" Marisa terus menatap suaminya yang terbaring den
"Apa saya bisa minta obat tidur? Dosis tinggi lebih baik." Marisa bertanya sambil balik menatap Dokter Harun.Kedua perawat yang berdiri di ujung kasur saling berpandangan. Sementara itu Dokter Harun yang berdiri di sisi kasur dekat monitor pasien menatap Marisa dengan tajam. "Boleh saya tahu kenapa Ibu meminta obat tidur dosis tinggi?" "Kalau tidak ada obat tidur dosis tinggi, obat penenang juga boleh, kok, Dok." Marisa menawar. "Ini bukan tentang ada atau tidak ada obat yang ibu minta itu. Tapi buat apa ibu meminta obat tersebut. Kami para dokter tidak boleh sembarangan meresepkan obat tanpa tahu kebutuhan pasien. Kalau memang pasien tidak butuh obat itu, jelas kami tidak akan memberikannya." Dokter Harun menjawab permintaan Marisa. Perempuan berkulit putih dengan rambut sebahu itu tertunduk mendengar jawaban Dokter Spesialis Jantung yang ada di hadapannya. "Sa-saya tidak bisa tidur semalam, Dok," kata Marisa dengan suara pelan.Dokter Harun memindai wajah Marisa. Perempuan ini t
"Kamu yakin mau menggantikan saya menjaga suami saya?" Marisa memperhatikan dengan teliti gadis yang berdiri di depannya itu. Matanya memindai setiap detail wajah juga penampilan gadis itu. Ayah mertuanya bilang anak asuhnya itu berusia di atas dua puluh tahun. Namun, Marisa pikir gadis itu bahkan masih layak disebut remaja. "Saya yakin sekali, Nyonya muda." Gadis itu mengangguk dengan bersemangat hingga ujung hijab yang menutupi kepalanya ikut bergerak-gerak. Marisa tersenyum melihat semangat gadis itu. Namun, Marisa masih sangsi karena melihat penampilan gadis itu yang seperti orang kurang sehat. "Jangan memanggil saya nyonya muda. Panggil saja mbak atau ibu," pinta Marisa"Baik, Bu," jawab gadis itu sambil tersenyum. "Jadi Laila … saya bisa memanggilmu Laila, kan?" tanya Marisa.Setelah melihat gadis itu mengangguk, Marisa melanjutkan ucapannya. "Jadi umurmu berapa? Saya nggak mau mempekerjakan anak di bawah umur. Dan menurut saya kamu seperti remaja berusia tujuh belas tahu
"Apa ini? Kenapa ada amplop berlogo rumah sakit dan ditujukan untuk Mas Irawan. Dan kenapa disimpan di sini?"Marisa menimang amplop berlogo rumah sakit itu. Dia membolak-balik amplop itu. Ragu antara perlu membukanya atau tidak. "Kenapa amplop ini harus dimasukkan lemari besi? Apalagi dimasukkan dulu ke amplop coklat. Apa yang disembunyikan Mas Irawan dariku?" Marisa mengelus amplop itu beberapa kali. "Ah … sudahlah aku buka saja. Toh amplop ini juga sudah dibuka. Barangkali ada sesuatu yang penting dan mungkin berhubungan dengan kondisi kesehatan Mas Irawan. Siapa tahu dengan membuka amplop ini aku bisa mendapatkan solusi agar Mas Irawan segera sadar," gumam Marisa. Marisa kemudian duduk di pinggir kasur dan membuka amplop putih berlogo rumah sakit itu. Ternyata memang benar amplop itu berisi hasil lab suami Marisa. Dia membaca isi bagian atas secara sekilas karena tidak memahami barisan angka yang tertera di sana. Wanita itu kemudian segera membaca kesimpulan tes yang ada di ba
"Mas Rian … jangan pergi! Jangan tinggalkan aku! Bangun, Mas! Aku membutuhkanmu!" ratap Marisa. Namun, lelaki yang dipeluk dan ditangisinya masih tetap mengatupkan matanya. Rapat. "Sudah, Mbak jangan nangis terus. Lebih baik kita doakan Mas Rian agar diberikan kesehatan." Marisa mengangguk mendengar saran Dokter Harun. Memang tangis tidak akan membuat Rian sembuh. "Alhamdulillah Allah masih melindunginya. Tusukan pisau itu tidak mengenai organ vital. Geser satu centi aja akan sangat berbahaya. Namun, mengingat dia ditusuk tiga kali dan mengeluarkan banyak darah, kondisinya belum terbilang stabil. Perlu banyak kantong darah untuk transfusi. Sementara stok golongan darah O di PMI menipis."Marisa mengusap wajah lega. "Ambil darah saya saja, Dok. Golongan darah saya O." "Jangan. Kamu butuh istirahat, Mbak. Darah saya saja, Dok. Saya juga bergolongan darah O," ucap Dokter Harun."Baiklah … nanti kita periksa dulu untuk melihat kecocokannya."Marisa menelepon ibunya untuk mengabarkan di
"Ada apa dengan Marisa?" sambar Rian.Dokter Harun menatap Bu Rahmi dengan prihatin. "Sabar, ya, Bu. Mbak Marisa mengalami penculikan di dekat sekolah. Kasusnya sedang dalam penyelidikan polisi." "Apa diculik?" teriak Rian."Tidak! Jangan polisi. Nanti Marisa tidak selamat!" seru Bu Rahmi yang kemudian menangis. "Kenapa tidak selamat? Ibu tahu kalau Mbak Marisa diculik?" desak Dokter Harun. "Iya." Bu Rahmi mengusap wajahnya dan terduduk lemas di sofa. "Itu sebabnya tadi Bulek telepon kamu." Tatapan Bu Rahmi terarah ke Rian."Sebenarnya Bulek berharap itu cuma bercanda, tapi kabar yang dibawa Dokter Harun membuat Bulek tahu kalau orang itu sungguh-sungguh menculik Marisa." Air mata Bu Rahmi pun menderas di kedua pipinya. "Orang itu? Siapa?" "Siapa orang itu, Bu?"Dokter Harun dan Rian bertanya bersamaan. "Tadi ada telepon. Ngaku temannya Marisa ke Bik Siti. Setelah ibu angkat dia bilang sudah menculik Marisa dan melarang untuk melapor ke polisi kalau mau anak ibu selamat. Tapi ta
"Apa-apaan ini? Siapa mereka?" tanya Marisa ketika melihat tiga orang lelaki turun dari mobil yang menghadangnya.Salah satu lelaki yang turun dari mobil penghadang itu kemudian menggedor jendela di samping Marisa. "Buka pintunya! Cepat!" Marisa terlonjak kaget dan mundur dari jendela. Untuk beberapa saat dia hanya diam dan memandang ketiga lelaki berwajah menyeramkan itu. Marisa tidak mau membuka pintunya. Berada di dalam mobil dengan pintu yang terkunci membuatnya sedikit merasa aman. Sayangnya rasa aman itu hanya bertahan sebentar, karena tak lama kemudian kaca jendela mobilnya pecah berhamburan. Salah satu lelaki menyeramkan itu memegang semacam palu yang besar dan berhasil memecah kaca. Belum hilang rasa kaget Marisa, lelaki yang sama berhasil membuka pintu mobilnya dari dalam dan menarik Marisa keluar. Kemudian dia diseret memasuki mobil milik ketiga lelaki itu. Meski Marisa meronta dan berteriak, tetapi itu tidak ada artinya. Karena tenaga Marisa jelas kalah dibanding ketig
"Iya betul, Bu. Dan kedatangan saya sekarang ini untuk meminta restu dari Ibu. Saya ingin melamar putri Ibu yang bernama Marisa." Bu Rahmi terpana melihat keterusterangan Dokter Harun. Dia tidak menyangka lelaki di hadapannya ini akan mengatakan hal tersebut di pertemuan pertama. "Alhamdulillah. Saya, sih, terserah kepada Marisa, saja, Nak Dokter. Tapi … kenapa terburu-buru? Apakah Nak Dokter nggak mau kenalan dulu dengan Marisa? Atau jangan-jangan kalian sudah kenal lama?" "Tidak, Bu. Saya baru bertemu dengan Mbak Marisa ketika saya merawat mantan suaminya. Saat itu tidak ada perasaan apa pun kecuali simpati seorang dokter kepada keluarga pasiennya." Bu Rahmi mendengarkan penjelasan Dokter Harun. "Lantas kapan mulai berubah?" Marisa mendelik mendengar pertanyaan ibunya. Dia menyenggol tubuh ibunya dengan siku untuk memintanya diam. Namun, Bu Rahmi tidak mempedulikannya. Sebenarnya Marisa juga penasaran seperti ibunya, tetapi dia terlalu malu untuk bertanya. Jadi, ketika Bu Rahm
Marisa berjalan mendekat. Mungkin karena mendengar suara langkah Marisa, lelaki itu mengangkat wajahnya dan Marisa pun berseru, "Kamu?"Lelaki itu kemudian bangkit dari kursinya dan berdiri dengan sikap sopan ala abdi kerajaan yang menunggu sang putri datang. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Mata hitam yang dinaungi sepasang alis yang melengkung sempurna itu menatap Marisa lekat. Namun, ketika tatapan dua insan berlawanan jenis itu bertemu, keduanya sama-sama segera mengalihkan tatapannya. "Maaf kalau saya datang tanpa kabar lebih dulu, Bu Marisa," ucap lelaki itu. "Iya. Tidak apa-apa. Silakan duduk, Dok." Marisa pun duduk di seberang sofa yang ditempati Dokter Harun. "Ada yang bisa saya bantu, Dok? Ada apa dengan Amanda?" "Kedatangan saya kemari nggak ada hubungannya dengan Amanda, Bu."Marisa mengangkat wajahnya dan menatap mata Dokter Harun. Ada tatapan bertanya di mata Marisa.Melihat pandangan bertanya di mata hazel Marisa, tiba-tiba saja Dokter Harun menjadi gugup. "B
Tiba-tiba Marisa berhenti melangkah. Raut wajahnya tampak seperti seseorang yang baru menyadari sesuatu. Dia kemudian berbisik, "Kenapa aku merasa senang mengetahui fakta terbaru tentang Suster Ratri? Apakah ini artinya aku mulai membuka hati untuk Dokter Harun?"Untuk beberapa saat Marisa berdiri termangu, lalu dia menghela napas dan kembali berbisik, "Aku nggak boleh linglung di sini. Lebih baik sekarang aku segera pulang. Tentang bagaimana perasaanku sebenarnya bisa aku pikirkan nanti saja kalau sudah di rumah."Lantas, Marisa pun memutar tubuh dan kembali ke halaman sekolah. Dia segera memasuki mobil kesayangannya dan memacunya menuju rumah. "Loh … katanya mau ke toko buku. Kok sudah pulang? Nggak jadi?" tegur Bu Rahmi ketika melihat Marisa turun dari mobil. "Enggak, Bu," jawab Marisa sambil melangkah menuju teras. Lalu dia duduk di salah satu kursi yang ada di teras. Marisa menyelonjorkan kaki dan memandang ibunya yang tengah merapikan rumpun mawar.Tidak adanya penjelasan atas
Mata Marisa terbelalak mendengar ucapan Dokter Harun. "Sudah sedekat itukah hubungan mereka hingga Suster Ratri membawakan bekal untuk makan siang Dokter Harun?" batinnya."Suster Ratri itu seperti seorang ibu sekaligus kakak buat saya. Cerewetnya sama," lanjut Dokter Harun sambil menatap Marisa."Seperti ibu? Cerewet?" Marisa mengulangi kata-kata Dokter Harun dengan nada kebingungan. "Iya. Kalau Suster Ratri lagi ngomelin saya bisa dua puluh ribu kata per jam dia lontarkan." Dokter Harun terkekeh sambil matanya menerawang. Dia mengenang saat-saat Suster Ratri mengomelinya. "Suster Ratri berani ngomelin Dokter?" Marisa bertanya dengan heran. Dia semakin kebingungan mendengar fakta terbaru tentang sosok suster luar biasa yang menjadi kesayangan keluarga Dokter Harun itu."Loh kenapa nggak berani? Kan dia juga sudah saya anggap seperti kakak tertua," jawab Dokter Harun. Marisa melongo mendengar jawaban Dokter Harun yang semakin membuatnya bingung. Benaknya sibuk merangkai semua fa
"Bu Marisa … apa kabar? Lama kita tidak ketemu. Kapan kita bisa mengobrol lagi seperti beberapa bulan lalu, ya, Bu? Saya kangen kepada Ibu."Marisa mengangkat kepalanya. Dia melihat seorang siswi mendekatinya yang tengah asyik membaca di perpustakaan sekolah. "Amanda? Alhamdulillah kabar ibu baik dan sehat. Semoga Amanda juga sehat. Iya, kita lama nggak ketemu, ya. Soalnya tahun ajaran baru ini ibu nggak mengajar di kelasmu lagi. Ayo sini duduk di sebelah Ibu, mumpung lagi jam istirahat." Amanda menurut dan menarik kursi kosong di sebelah Marisa. Setelah duduk, dia lalu berkata,"Alhamdulillah … syukurlah kalau ibu baik-baik saja. Manda juga Alhamdulillah baik, Bu. Cuma kangen aja karena jarang ngelihat Ibu." "Iya, loh. Ibu juga baru sadar kalau sudah lama nggak lihat kamu nunggu jemputan di bangku halaman sekolah." "Iya, Bu. Sekarang ini Manda nggak perlu nunggu jemputan lagi."Marisa terkesiap. Dalam hatinya dia bertanya-tanya, apakah ini ada hubungannya dengan kemarahan Dokter
"Iya, Mas. Aku baru saja memberi tahu dia kalau aku menolak lamarannya." "O pantas saja mukanya ditekuk seperti itu. Terus apa rencana kamu selanjutnya?""Rencana? Rencana apa maksudmu, Mas?" tanya Marisa dengan wajah kebingungan."Ya rencana masa depan kamu. Misalnya … apa kamu akan kembali menutup diri atau mau membuka hati lagi? Apa kamu mau terima perjodohan yang kemarin diatur ibuku? Atau bagaimana? Kamu pasti sudah memikirkannya, kan?" selidik Rian."Sepertinya aku ngalir aja, Mas. Aku ikut takdir Allah. Maksudku … aku nggak siapin waktu secara khusus untuk cari pasangan hidup, tapi kalau Allah takdirkan aku ketemu seseorang, ya, aku terima." "Meskipun itu aku?""Maksudnya gimana, Mas?""Kalau Allah takdirkan aku adalah jodohmu gimana?" Rian tidak menjawab pertanyaan Marisa, tetapi justru bertanya balik. Tatapan mata Rian menghujam tepat ke bola mata Marisa. Dia menatap penuh harap kepada perempuan yang sudah dikenalnya sejak kecil itu."Kalau memang Allah takdirkan, ya,