Bab 26 Sindiran Pedas Bu Rahmi"Tidak, Bu!" jerit Marisa."Jangan begitu, Bu Rahmi," ucap Pak Hartawan. "Kan saya bilang seandainya. Seandainya Nak Irawan bangun. Seandainya Marisa mengajukan surat cerai … saya akan mendukung. Kalau salah satu itu tidak terjadi ya sudah, tidak apa-apa," jawab Bu Rahmi dengan tenang. Pak Hartawan dan Bu Santi memucat. Mereka baru sadar kalau ada kemungkinan Irawan tidak bangun. "Tidak! Irawan pasti bangun. Dia lelaki kuat, pasti dia akan berjuang untuk sembuh," jerit Bu Santi. "Saya juga berharap demikian, karena banyak hal yang ingin saya lakukan di sini. Salah satunya alasan dia melakukan hal itu. Apa dia tidak ingat dengan janji pernikahan yang dikatakannya di depan almarhum suami suami saya? Apa dia lupa bersumpah dengan nama Allah ketika mengucapkan akad nikah ?" Pertanyaan yang diucapkan dengan tenangnya oleh Bu Rahmi membuat Pak Hartawan dan Bu Santi terdiam. "Cuma saya ini kan bukan Tuhan. Meski saya ingin Nak Irawan segera sadar, tapi s
"Ibu kok dari tadi ngomongin cerai? Siapa yang mau cerai, Bu?" "Lho, kan ibu cuma tanya rencanamu setelah Irawan sadar.Apa kamu punya keinginan untuk bercerai?" "Marisa gak tahu, Bu. Marisa bingung. Otak Risa masih penuh jadi sulit diajak mikir." Kepala Marisa kemudian tertunduk. Dia tampak stres memikirkan masalahnya.Bu Rahmi lalu menjahit bahu Marisa. Tangannya mengelus punggung putri pertamanya itu. Dia mengerti hati anaknya itu pasti tengah hancur. Jadi, sebagai ibunya Bu Rahmi mencoba menguatkan Marisa. Gerakan ritmis tangan sang Ibu di punggungnya, ternyata tidak membuat Marisa menjadi tenang. Sebaliknya, isak berbisik satu demi satu lolos dari bibir Marisa. Mendengar isak putrinya Bu Rahmi mendesah pilu. Dia mengerti sekarang, tapi dia perlu memastikannya. "Kamu masih mencintai Irawan?" Marisa hanya diam. Namun, diamnya itu semakin meyakinkan hati Bu Rahmi bahwa bayi itu memang masih mencintai suaminya. Sekali lagi Bu Rahmi mendesah. Perempuan paruh baya yang sudah menja
Bab 28 Irawan Operasi "Su-suami saya kenapa, Suster? Ada apa dengannya?" Marisa bertanya dengan suara gugup. Terlihat sekali kalau dia sangat mencemaskan suaminya itu. "Dokter yang lebih tahu kondisinya, Bu. Mari ikuti saya untuk bertemu dengan Dokter Tommy," pinta perawat tersebut. "Iya, Suster," jawab Marisa pelan. "Saya yang akan nemani menantu saya, Suster." Pak Hartawan mengajukan dirinya. "Boleh, Pak. Mari … sudah ditunggu dokternya.""Silakan duduk, Bapak dan Ibu. Saya Dokter Tommy. Dokter Spesialis Bedah Syaraf yang menangani pasien Irawan. Jadi, tadi pagi Dokter Harun menghubungi saya karena curiga dengan kondisi pasien. Itu sebabnya tadi pasien diminta untuk MRI ulang, betul?" "Iya betul. Saya yang nungguin, Dok," jawab Pak Hartawan. Mata Marisa membulat mendengar ucapan ayah mertuanya. Kenapa tadi beliau tidak cerita? "Hasilnya bagaimana, Dok?" tanya Pak Hartawan."Dari hasil MRI terlihat ada edema serebral atau pembengkakan di otak. Ini harus segera diatasi agar
"Dok, bagaimana operasi suami saya?" Marisa menatap cemas ke arah Dokter Tommy yang baru saja keluar dari ruang operasi. Dokter Tommy membuka maskernya lalu tersenyum, "Alhamdulillah operasi pasien Irawan berjalan lancar. Tinggal kita menunggu masa kritisnya berlalu." "Alhamdulillah," seru Marisa dan keluarganya. "Setelah ini apa suami saya bisa diprediksi kapan sadar dari koma, Dok?" tanya Marisa. "Sabar Bu. Untuk itu masih perlu waktu. Perlu diobservasi lagi. Saya tidak bisa menjawabnya sekarang," jawab Dokter Tommy. "Baik, Dok. Terima kasih banyak sudah melakukan yang terbaik untuk operasi anak saya," sahut Pak Hartawan. Dokter bedah saraf itu hanya mengangguk dan segera berlalu dari hadapan Pak Hartawan dan keluarganya. Mata Marisa mengiringi langkah Dokter Tommy yang meninggalkan ruang operasi. Tubuhnya tiba-tiba saja melemas hingga adiknya Ratih yang ada di belakangnya harus memeganginya agar tidak terjatuh. “Mbak… mbak kamu kenapa?” seru Bu Rahmi. Dia membantu Ratih
Bab 30. Siapa Perempuan itu?"Loh, kok belum pulang, Dok? Saya kira sudah pulang karena ruangannya kosong," sapa seseorang dengan suara lembut. Marisa menatap sosok yang menyapa Dokter Harun. Perempuan itu berwajah bulat telur dengan kulit wajah putih halus seperti porselen. Rasanya kalau ada lalat yang menempel di pipinya akan terpeleset. Penampilan perempuan itu juga sangat elegan. Tunik polos berwarna biru muda dengan rok A line biru tua dilengkapi dengan hijab motif bunga dengan dasar berwarna biru. Marisa terpesona melihat perempuan itu. Dia tersadar ketika mendengar suara Dokter Harun."Iya ini saya mau pulang." Dokter Harun menjawab singkat. "Sudah makan atau belum? Saya mau konsul, boleh? Sekalian makan malam atau ngopi gitu," ajak perempuan cantik itu. "Di kantin aja ya, Dok. Saya harus segera pulang soalnya besok pagi-pagi sudah ada jadwal visite di Griyu." Dokter Harun menjawab singkat lalu dia menoleh ke Marisa lalu berpamitan. Marisa menatap punggung kedua orang itu
"Marisa! Kamu kemana saja, sih? Kamu gak lihat jam? Nyadar gak sih udah berapa jam kamu pergi, hah!" bentak Bu Santi. "Maaf, Bu." Marisa tertunduk di depan ibu mertuanya. Bukan karena dia merasa bersalah, tetapi karena dia tidak mau membuat mabuk. "Jangan cuma bisa minta maaf! Jelasin kamu kemana?" tanya Bu Santi dengan nada mendesak. “Sabar, Ma. Ingat kita ada di mana,” tegur Pak Hartawan. Namun, seperti nada biasa selama bicara Pak Hartawan bukan seperti orang marah, maka Bu Santi akan mengabaikannya. "Tadi itu selain Salat Magrib dan makan, Marisa bertemu Dokter Harun. Dokter Spesialis Jantungnya Mas Irawan, Ma. Jadi Marisa tanya-tanya soal kondisi Mas Irawan ke dokter itu. Marisa pikir mumpung dia lagi punya waktu. Takutnya besok dia gak visite karena harus ke Surabaya, karena tadi mobilnya di sebelah mobil Papa." Marisa mencoba menjelaskan agar ibu mertuanya tidak salah paham. "Terus jawaban dokter itu bagaimana?" Bu Santi mulai merasa penasaran dan lupa dengan amarahnya.
"Ada apa ini?" Marisa yang tersentak bangun menatap bingung ke arah serombongan dokter dan perawat yang berlari memasuki ruang ICU. "Ada kebakaran?" tanyanya ke arah Sandhy yang saat ini juga sudah duduk sambil mengucek matanya. Sandhy mengedikkan pundaknya. Dia juga baru pertama kali mendengar di rumah sakit ada bunyi seperti sirine pemadam kebakaran. Marisa menutupi tubuhnya yang terasa pegal karena tidur di kursi sambil duduk. Lalu dia bangkit dan melangkah menuju jendela Ruang ICU. Namun karena tidak sempat berkunjung maka jendela ditutup oleh tirai. Marisa mencoba mengintip dari celah tirai. Namun sayang celahnya terlalu kecil sehingga dia tidak bisa melihat sedikitpun aktivitas di dalam ruangan.Pintu kaca Ruang ICU terbuka, muncul dua orang perawat yang setengah berlari keluar. Salah satunya kembali tak lama kemudian. Marisa menahan lengannya dan bertanya, "Ada apa, Suster? Itu suara sirene apa, ya?""Code blue," jawab perawat itu singkat dan segera memasuki ruangan ICU. "
"Kondisi istri saya bagaimana, Dok?" tanya Sandhy dengan cemas. Meski Sandhy sempat emosi dengan ulah Monika, tetapi bagaimanapun juga Monika adalah istrinya. Jadi, rasa sayangnya masih tetap ada. Begitu pula "Istri bapak siapa, ya?" tanya sang dokter. "Saya suami pasien yang bernama Monika, Dok." "Bapak ini suami pasien yang baru saja dokter tangani," sahut salah satu perawat yang tadi sudah berbicara dengan Sandhy. Dokter itu mengangguk lalu menatap Sandhy. "Alhamdulillah istri bapak sudah stabil kembali. Terima kasih sudah mendoakan tim kami jadi istri bapak bisa selamat." "Syukurlah. Terima kasih dokter. Kira-kira kapan istri saya bisa sadar kembali?" Sandhy menatap wajah bulat sang dokter dengan penuh harap. "Kalau tentang hal itu tidak bisa saya pastikan. Bisa ditanyakan ke dokter yang menangani pasien. Begitu, ya, Pak." Dokter itu mengakhiri jawaban dengan mengangguk lalu berlalu dari hadapan Sandhy.Sandhy kembali duduk. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Sampai kapan a
"Mas Rian … jangan pergi! Jangan tinggalkan aku! Bangun, Mas! Aku membutuhkanmu!" ratap Marisa. Namun, lelaki yang dipeluk dan ditangisinya masih tetap mengatupkan matanya. Rapat. "Sudah, Mbak jangan nangis terus. Lebih baik kita doakan Mas Rian agar diberikan kesehatan." Marisa mengangguk mendengar saran Dokter Harun. Memang tangis tidak akan membuat Rian sembuh. "Alhamdulillah Allah masih melindunginya. Tusukan pisau itu tidak mengenai organ vital. Geser satu centi aja akan sangat berbahaya. Namun, mengingat dia ditusuk tiga kali dan mengeluarkan banyak darah, kondisinya belum terbilang stabil. Perlu banyak kantong darah untuk transfusi. Sementara stok golongan darah O di PMI menipis."Marisa mengusap wajah lega. "Ambil darah saya saja, Dok. Golongan darah saya O." "Jangan. Kamu butuh istirahat, Mbak. Darah saya saja, Dok. Saya juga bergolongan darah O," ucap Dokter Harun."Baiklah … nanti kita periksa dulu untuk melihat kecocokannya."Marisa menelepon ibunya untuk mengabarkan di
"Ada apa dengan Marisa?" sambar Rian.Dokter Harun menatap Bu Rahmi dengan prihatin. "Sabar, ya, Bu. Mbak Marisa mengalami penculikan di dekat sekolah. Kasusnya sedang dalam penyelidikan polisi." "Apa diculik?" teriak Rian."Tidak! Jangan polisi. Nanti Marisa tidak selamat!" seru Bu Rahmi yang kemudian menangis. "Kenapa tidak selamat? Ibu tahu kalau Mbak Marisa diculik?" desak Dokter Harun. "Iya." Bu Rahmi mengusap wajahnya dan terduduk lemas di sofa. "Itu sebabnya tadi Bulek telepon kamu." Tatapan Bu Rahmi terarah ke Rian."Sebenarnya Bulek berharap itu cuma bercanda, tapi kabar yang dibawa Dokter Harun membuat Bulek tahu kalau orang itu sungguh-sungguh menculik Marisa." Air mata Bu Rahmi pun menderas di kedua pipinya. "Orang itu? Siapa?" "Siapa orang itu, Bu?"Dokter Harun dan Rian bertanya bersamaan. "Tadi ada telepon. Ngaku temannya Marisa ke Bik Siti. Setelah ibu angkat dia bilang sudah menculik Marisa dan melarang untuk melapor ke polisi kalau mau anak ibu selamat. Tapi ta
"Apa-apaan ini? Siapa mereka?" tanya Marisa ketika melihat tiga orang lelaki turun dari mobil yang menghadangnya.Salah satu lelaki yang turun dari mobil penghadang itu kemudian menggedor jendela di samping Marisa. "Buka pintunya! Cepat!" Marisa terlonjak kaget dan mundur dari jendela. Untuk beberapa saat dia hanya diam dan memandang ketiga lelaki berwajah menyeramkan itu. Marisa tidak mau membuka pintunya. Berada di dalam mobil dengan pintu yang terkunci membuatnya sedikit merasa aman. Sayangnya rasa aman itu hanya bertahan sebentar, karena tak lama kemudian kaca jendela mobilnya pecah berhamburan. Salah satu lelaki menyeramkan itu memegang semacam palu yang besar dan berhasil memecah kaca. Belum hilang rasa kaget Marisa, lelaki yang sama berhasil membuka pintu mobilnya dari dalam dan menarik Marisa keluar. Kemudian dia diseret memasuki mobil milik ketiga lelaki itu. Meski Marisa meronta dan berteriak, tetapi itu tidak ada artinya. Karena tenaga Marisa jelas kalah dibanding ketig
"Iya betul, Bu. Dan kedatangan saya sekarang ini untuk meminta restu dari Ibu. Saya ingin melamar putri Ibu yang bernama Marisa." Bu Rahmi terpana melihat keterusterangan Dokter Harun. Dia tidak menyangka lelaki di hadapannya ini akan mengatakan hal tersebut di pertemuan pertama. "Alhamdulillah. Saya, sih, terserah kepada Marisa, saja, Nak Dokter. Tapi … kenapa terburu-buru? Apakah Nak Dokter nggak mau kenalan dulu dengan Marisa? Atau jangan-jangan kalian sudah kenal lama?" "Tidak, Bu. Saya baru bertemu dengan Mbak Marisa ketika saya merawat mantan suaminya. Saat itu tidak ada perasaan apa pun kecuali simpati seorang dokter kepada keluarga pasiennya." Bu Rahmi mendengarkan penjelasan Dokter Harun. "Lantas kapan mulai berubah?" Marisa mendelik mendengar pertanyaan ibunya. Dia menyenggol tubuh ibunya dengan siku untuk memintanya diam. Namun, Bu Rahmi tidak mempedulikannya. Sebenarnya Marisa juga penasaran seperti ibunya, tetapi dia terlalu malu untuk bertanya. Jadi, ketika Bu Rahm
Marisa berjalan mendekat. Mungkin karena mendengar suara langkah Marisa, lelaki itu mengangkat wajahnya dan Marisa pun berseru, "Kamu?"Lelaki itu kemudian bangkit dari kursinya dan berdiri dengan sikap sopan ala abdi kerajaan yang menunggu sang putri datang. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Mata hitam yang dinaungi sepasang alis yang melengkung sempurna itu menatap Marisa lekat. Namun, ketika tatapan dua insan berlawanan jenis itu bertemu, keduanya sama-sama segera mengalihkan tatapannya. "Maaf kalau saya datang tanpa kabar lebih dulu, Bu Marisa," ucap lelaki itu. "Iya. Tidak apa-apa. Silakan duduk, Dok." Marisa pun duduk di seberang sofa yang ditempati Dokter Harun. "Ada yang bisa saya bantu, Dok? Ada apa dengan Amanda?" "Kedatangan saya kemari nggak ada hubungannya dengan Amanda, Bu."Marisa mengangkat wajahnya dan menatap mata Dokter Harun. Ada tatapan bertanya di mata Marisa.Melihat pandangan bertanya di mata hazel Marisa, tiba-tiba saja Dokter Harun menjadi gugup. "B
Tiba-tiba Marisa berhenti melangkah. Raut wajahnya tampak seperti seseorang yang baru menyadari sesuatu. Dia kemudian berbisik, "Kenapa aku merasa senang mengetahui fakta terbaru tentang Suster Ratri? Apakah ini artinya aku mulai membuka hati untuk Dokter Harun?"Untuk beberapa saat Marisa berdiri termangu, lalu dia menghela napas dan kembali berbisik, "Aku nggak boleh linglung di sini. Lebih baik sekarang aku segera pulang. Tentang bagaimana perasaanku sebenarnya bisa aku pikirkan nanti saja kalau sudah di rumah."Lantas, Marisa pun memutar tubuh dan kembali ke halaman sekolah. Dia segera memasuki mobil kesayangannya dan memacunya menuju rumah. "Loh … katanya mau ke toko buku. Kok sudah pulang? Nggak jadi?" tegur Bu Rahmi ketika melihat Marisa turun dari mobil. "Enggak, Bu," jawab Marisa sambil melangkah menuju teras. Lalu dia duduk di salah satu kursi yang ada di teras. Marisa menyelonjorkan kaki dan memandang ibunya yang tengah merapikan rumpun mawar.Tidak adanya penjelasan atas
Mata Marisa terbelalak mendengar ucapan Dokter Harun. "Sudah sedekat itukah hubungan mereka hingga Suster Ratri membawakan bekal untuk makan siang Dokter Harun?" batinnya."Suster Ratri itu seperti seorang ibu sekaligus kakak buat saya. Cerewetnya sama," lanjut Dokter Harun sambil menatap Marisa."Seperti ibu? Cerewet?" Marisa mengulangi kata-kata Dokter Harun dengan nada kebingungan. "Iya. Kalau Suster Ratri lagi ngomelin saya bisa dua puluh ribu kata per jam dia lontarkan." Dokter Harun terkekeh sambil matanya menerawang. Dia mengenang saat-saat Suster Ratri mengomelinya. "Suster Ratri berani ngomelin Dokter?" Marisa bertanya dengan heran. Dia semakin kebingungan mendengar fakta terbaru tentang sosok suster luar biasa yang menjadi kesayangan keluarga Dokter Harun itu."Loh kenapa nggak berani? Kan dia juga sudah saya anggap seperti kakak tertua," jawab Dokter Harun. Marisa melongo mendengar jawaban Dokter Harun yang semakin membuatnya bingung. Benaknya sibuk merangkai semua fa
"Bu Marisa … apa kabar? Lama kita tidak ketemu. Kapan kita bisa mengobrol lagi seperti beberapa bulan lalu, ya, Bu? Saya kangen kepada Ibu."Marisa mengangkat kepalanya. Dia melihat seorang siswi mendekatinya yang tengah asyik membaca di perpustakaan sekolah. "Amanda? Alhamdulillah kabar ibu baik dan sehat. Semoga Amanda juga sehat. Iya, kita lama nggak ketemu, ya. Soalnya tahun ajaran baru ini ibu nggak mengajar di kelasmu lagi. Ayo sini duduk di sebelah Ibu, mumpung lagi jam istirahat." Amanda menurut dan menarik kursi kosong di sebelah Marisa. Setelah duduk, dia lalu berkata,"Alhamdulillah … syukurlah kalau ibu baik-baik saja. Manda juga Alhamdulillah baik, Bu. Cuma kangen aja karena jarang ngelihat Ibu." "Iya, loh. Ibu juga baru sadar kalau sudah lama nggak lihat kamu nunggu jemputan di bangku halaman sekolah." "Iya, Bu. Sekarang ini Manda nggak perlu nunggu jemputan lagi."Marisa terkesiap. Dalam hatinya dia bertanya-tanya, apakah ini ada hubungannya dengan kemarahan Dokter
"Iya, Mas. Aku baru saja memberi tahu dia kalau aku menolak lamarannya." "O pantas saja mukanya ditekuk seperti itu. Terus apa rencana kamu selanjutnya?""Rencana? Rencana apa maksudmu, Mas?" tanya Marisa dengan wajah kebingungan."Ya rencana masa depan kamu. Misalnya … apa kamu akan kembali menutup diri atau mau membuka hati lagi? Apa kamu mau terima perjodohan yang kemarin diatur ibuku? Atau bagaimana? Kamu pasti sudah memikirkannya, kan?" selidik Rian."Sepertinya aku ngalir aja, Mas. Aku ikut takdir Allah. Maksudku … aku nggak siapin waktu secara khusus untuk cari pasangan hidup, tapi kalau Allah takdirkan aku ketemu seseorang, ya, aku terima." "Meskipun itu aku?""Maksudnya gimana, Mas?""Kalau Allah takdirkan aku adalah jodohmu gimana?" Rian tidak menjawab pertanyaan Marisa, tetapi justru bertanya balik. Tatapan mata Rian menghujam tepat ke bola mata Marisa. Dia menatap penuh harap kepada perempuan yang sudah dikenalnya sejak kecil itu."Kalau memang Allah takdirkan, ya,