"Ya, ampun, Dek. Demi Allah, Abang nggak ada hubungan apapun sama Turmi. Dulu memang abang suka sama dia. Itu pun jauh sebelum mengenal, Adek. Kira-kira 4 tahun yang lalu," ucap Bang Juna meyakinkanku.Nggak ada hubungan, tapi jalan berdua, mana pake acara boncengan mepet banget lagi. Padahal tempat duduk sepeda motor masih bersisa di belakang Si Turmi, bahkan masih bisa kalau untuk duduk satu orang lagi. Entah si perempuan yang kegatelan, atau Bang Juna yang keenakan, ditempel-tempel."Dulu, dan sampai sekarang masih suka kan?" tanyaku sinis. "Enggak lah, udah ada Dek Rani, untuk apa Abang masih suka sama dia!" jawabnya tersenyum. "Halah gombal! Dia sendiri yang bilang sama aku, kalau Abang sangat mencintai dia. Abang juga bersumpah, kalau suatu saat nanti dia kembali dan kalian belum menikah, maka Abang akan menikahinya," ucapku, mengatakan apa yang diucapkan oleh Turmi kemarin. Bang Juna melotot kaget. Seperti tak. percaya dengan ucapanku."Kapan dia ngomong gitu?" tanyanya. "
"Abang nggak gitu, Dek. Lebih suka lihat wanita yang tertutup saat berada di luar. Agar para lelaki bisa menjaga pandangannya, dan wanita itu sendiri terhindar dari bahaya," ujarnya kembali meyakinkanku. "Iya lah itu!""Kok iya-nya kayak terpaksa gitu, Dek.""Ya jelas lah. Gimana nggak terpaksa. Tadi aja kalian jalan berdua. Pake acara boncengan sambil mepet-mepet lagi! Kalau memang nggak suka sama wanita berpakaian sexy, seharusnya Abang nggak jalan sama dia dong!" ucapku kesal.Masih teringat jelas dalam ingatan, bagaimana mereka berdua berboncengan dengan begitu mesranya."Oh, jadi karena itu, Adek nggak mau berhenti saat Abang panggil tadi?" tanyanya sambil senyum-senyum.Pasti dia berpikir kalau aku sedang cemburu. Padahal memang iya, eh! "Entah! Pikir aja sendiri!" Aku membuang muka. Takut kalau dia tau wajahku sudah memerah karena ketahuan cemburu."Baiklah, Abang akan cerita awal mula kami sampai berboncengan berdua. Tadi pagi, Ibu minta belikan daging, sayur, dan bumbu dapu
"Udah selesai kan, masalahnya?" tanya Ibu yang baru saja pulang dari warung Bude Juni. Bang Juna juga sudah berpamitan pulang dari tadi, karena tak enak jika dilihat orang kami hanya berdua di rumah. Takutnya menjadi Fitnah.Setelah penjelasan panjangnya tadi, aku sudah sedikit legah. Ya, meskipun belum plong sepenuhnya. Masih ada yang mengganjal di hati, kalau belum tau maksud dan tujuan Turmi berkata begitu padaku."Kan, udah Rani bilang, nggak ada masalah, Bu," kilahku. "Halah, jangan bohongi Ibu. Tanpa kamu bilang, Ibu tau kalau kalian lagi ada masalah. Tapi kayaknya, sekarang udah selesai sih. Karena wajahmu, udah nggak tertekan kayak tadi pagi," ucap Ibu seraya tersenyum. Memang, yang namanya seorang Ibu, selalu saja tahu dengan yang sedang dialami oleh anaknya, tanpa diberi tahu. Mungkin begitulah ikatan batin antara Ibu dan anak."Kalau udah tau, ngapain tanya lagi, Bu." Aku menggaruk kepala yang tak gatal. "Untuk memastikan aja. Ya, udah Ibu mau mandi dulu. Kamu sapu ruma
"Iya, memang betul itu. Kemarin aku dengar, Si Turmi mulai mepet Si Juna. Padahal dulu nolak mentah-mentah," ucap salah seorang ibu menggebu. Mendengar nama Bang Juna dan Turmi disebut, aku langsung menajamkan mata dan indra pendengaran. Apa dari tadi yang mereka bicarakan adalah Turmi?Jadi, bukan rahasia umum lagi kalau Turmi mendekati calon suamiku? Ternyata ucapan Bang Juna kemarin, benar. "Bukan cuma Turmi aja yang mepet Juna, tapi Bapaknya juga sama. Sekarang, Si Sutris, jadi sering datang ke rumah Juna, kadang juga ke kebun." Ibu berpakaian Pink, bertubuh langsing itu berbicara dengan semangat. Orang tua Turmi juga mendekati Bang Juna? Ada apa sebenarnya ini. Kenapa di saat pernikahanku sudah semakin dekat, ada saja cobaannya. Orang di masa lalu Bang Juna kembali datang. "Ih, kok bisa gitu ya?" tanya Ibu berbaju putih. "Ya itu semua, karena Sutris sudah tau kalau Juna punya banyak kebun. Kan waktu ngelamar di kampung sebelah, banyak yang bilang kalau calon Si Juna dikasih
"Eh, tunggu dulu. Ada yang ketinggalan," ucap Sinta seraya berjalan kembali ke dalam rumah. "Cepat ya! Keburu kering, nih!" teriakku kesal. Entah apa lagi yang ketinggalan. Ada saja kelakuannya kalau mau pergi. Padahal dari tadi udah ditungguin. Tapi masih aja ada yang kurang. Sambil menunggu, aku sedikit mendorong sepeda motor ke jalan. Agar lebih mudah saat akan melajukannya nanti. "Besar juga nyalimu datang ke kampungku. Pasti ingin tahu siapa aku kan?" tanya Turmi sinis. Ia sudah berdiri di samping sepeda motor yang dikendarainya, dengan pakaian seperti yang Ibu-ibu tadi katakan, serba mini. Kenapa harus bertemu dia lagi, sih!Saat mendorong sepeda motor, memang aku melihat ada sepeda motor dari arah depan mendekat. Tapi tak kusangka jika itu adalah Turmi. Wanita jelmaan ulat bulu. Apa lagi yang akan diperbuat olehnya. "Nggak penting banget aku tahu siapa kamu. Aku ke sini juga bukan untuk mencari tahu tentangmu. Jadi jangan kepedean jadi orang!" jawabku ketus. Aku memang pe
'Byur!'Air di tangan Sinta sudah tak bersisa. Ia kembali menyiram wajah Turmi dengan seenaknya. "Kayaknya, set*n di tubuhmu, belum keluar semua. Semoga setelah siraman ini, set*nnya keluar ya!" Sinta cekikikan melihat Turmi basah karena ulahnya. "Aku udah coba sabar, ya! Memang kurang ajar kamu!" maki Turmi melemparkan sendalnya dan tepat mengenai tubuh Sinta. 'Plak!'"Kembalikan itu, sendalku!" bentak Turmi meminta kembali sendalnya yang sudah berada di tangan Sinta. "Mau ini, noh ambil!" Sinta melemparkan sendal tersebut dengan sekuat tenaga, hingga mendarat di atas pohon asam tetangga samping rumahnya. "Hey, kok kamu buang sandalku? Itu sandal. kesayanganku," teriak Turmi dengan mata berkaca-kaca. "Duh, kasihan ... Ambil sana, kalau memang sendal kesayangan," tunjuknya ke atas pohon. "Enak saja! Kamu yang membuatnya nyangkut di pohon, maka harus kamu juga yang ambil!" serunya marah. "Ogah, ambil aja sendiri. Aku sibuk, nggak sempat ambil tuh sendal. Yuk, Ran, kita pergi se
"Dia duluan, Bu Kar, yang memulainya!" ucap Sinta menunjuk Turmi. Dadanya masih kembang kempis akibat pertengkaran hebat mereka.Aku sudah berada di samping Sinta. Sedangkan Turmi berdiri sendiri di dekat sepeda motornya. Para tetangga yang menonton kami, semua bersorak kecewa karena pertarungan dihentikan. Satu persatu mereka membubarkan diri. "Enak saja! Kamu duluan yang ngatain dan menghina bapakku. Makanya punya mulut itu dijaga!" ucap Turmi nyolot."Hey, aku bukan menghina. Tapi berbicara kenyataan. Makanya jadi orang itu jangan gatal. Tunangan orang masih aja di pepet. Bilang juga sama bapakmu, biar nggak deketin Bang Juna lagi!" Sinta juga ikutan nyolot. Mereka berdua kembali adu mulut. Aku hanya bisa menjadi penonton budiman saja. Biarkan saja mereka berdua berdebat sampai mulutnya berbuih. "Itu bukan urusanmu! Urusin saja hidupmu yang belum tentu arahnya itu!" Turmi menarik lengan bajunya sampai ke pundak dan menampilkan bulu ketiaknya yang seperti hutan belantara.Ihh,
"Aku marahnya sama Si Turmi. Kenapa coba dia dekati lelaki yang udah dekat sama orang lain. Padahal, masih banyak lelaki lain. Apa karena merasa cantik jadi kelakuannya begitu? Yang paling bikin emosi tuh, kalau laki-laki itu udah kecantol sama dia, pasti langsung ditinggalkannya. Berarti dia kan cuma mau membuktikan kalau dia adalah cewek paling cantik di sekolah dan bisa mendapatkan lelaki mana aja." Sinta nyerocos tanpa jeda. "Ya biarkan saja. Lelaki nggak baik memang pantasnya digitukan. Kalau lelaki yang serius suka dan sayang sama kamu, mau bagaimanapun godaannya. Pasti dia akan tetap memilih kamu.""Ish, kamu itu nggak ngerti, karena bukan kamu yang ada di posisi aku," ucap Sinta kesal. "Hmm, kamu yang nggak ngerti maksud aku. Udah lah, itu kan hanya masa lalu. Ke depannya pasti ada lelaki yang sayangnya tulus sama kamu, dan apa pun godaannya dia akan tetap setia.""Amin. Ya, walau pun sampai sekarang belum terlihat bentuknya.""Sabar aja. Tuhan itu, menciptakan manusia berpa
Pov Putri. "Huhuhu." Aku turun dari sepeda motor tukang ojek online yang mengantarkanku pulang. Aku harus berakting dan berpura-pura sangat bersedih. Pokoknya Bang Jali dan seluruh keluarganya tidak boleh curiga. Abang tukang ojek itu agak kebingungan melihatku yang tiba-tiba saja menangis. Sejak naik sepeda motornya, aku hanya diam saja. Dan sekarang, dengan tiba-tiba aku menangis. Aku memintanya segera pergi setelah kuberikan ongkos yang sudah ditentukan di aplikasi. Abang ojek itu langsung menancap gas sepeda motornya. "Kamu kenapa?" tanya Ibu mertua yang sedang melihat-lihat tanaman bunganya. Dia hanya menoleh sekilas saja. Oke, Put, perdalam lagi aktingmu! "Duhh, gimana, ya, Bu, bilangnya." Aku kembali menangis dan berusaha mengeluarkan air mata agar lebih meyakinkan aktingku, aku juga meremas kedua tanganku. "Ada apa? Ngomong kamu! Jangan cuma nangis aja! Nggak jelas banget kamu ini!" gerutunya jengkel."Itu Bu. Sepeda motor Bang Jali, hilang, Bu," ucapku seraya menundukk
Tidak ada satupun dari mereka yang berniat melerai kami. Mereka hanya menonton pertarungan sengit antara aku dan ulat bulu. Tak habis akal, aku juga menen-dangnya dengan sekuat tenaga.Rasakan! Rani, kok mau dilawan. Belum tahu saja kamu, bagaimana sifat bar-bar Rani, jika sudah tersakiti. Tidak akan ada kata atau pun lagu kumenangis. Berkali-kali aku menghadiahinya dengan tendangan maut, seperti pemain sepak bola. 'BRAK!'"ADUHH, SAKIT DEK!" keluhnya, mengaduh. Eh, suaranya kok berubah jadi laki-laki sih? Apakah Turmi wanita jadi-jadian? Terus, tadi manggil aku, "Dek". Kok aneh. "Dek, sadarlah." Suara lelaki lagi. Padahal yang di hadapanku adalah Turmi yang sedang menepuk-nepuk wajahku pelan. Ah, berani sekali dia menepuk-nepuk wajahku. Ingin membalasku ya? Tak tinggal diam, aku kembali menjambaknya dengan bar-bar. "Astaghfirullah, Bu, Rani kerasukan!" teriak Turmi dengan suara laki-laki, mirip dengan suara Bang Juna. "Astaghfirullahalazim, eling, Nduk!" Suara ibu, entah dar
"Dingin banget tangan, kamu," ujar Sinta yang sedang berdiri di sampingku, Ia sengaja menyentuh tanganku. Aku hanya bisa tersenyum, sambil terus fokus karena sedang dirias, dan Sinta, dari sejak awal aku dirias dia terus saja menggodaku dengan semua ucapan gi-lanya. Dari mulai malam pertama, sampai ke anak cucu dia bahas. Dia sengaja datang ke rumah dari kemarin dan menginap di rumahku. Karena tidak mau melewatkan momen pernikahanku, katanya. "Baca do'a biar nggak gugup. Nih, minum!" Sinta kembali berucap serta menyodorkan air mineral padaku.Aku langsung meminumnya sedikit demi sedikit, hingga tandas. Hari ini, janji suci akan segera terlaksana. Beberapa jam lagi, status lajangku akan berubah menjadi istri orang. Istri Bang Juna lebih tepatnya. Gugup? Sudah pasti aku sangat gugup. Siapa pun akan gugup saat hari pernikahannya tiba.Akhirnya, perjuangan menuju hari pernikahan telah kulewati dengan penuh lika-liku. Semoga saja, setelah menikah, tidak ada lagi gangguan dari orang-o
Ah, aku tidak akan mau diperbudak lagi. Bagaimanapun caranya, besok aku tidak akan mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Pepatah mengatakan, banyak jalan menuju roma. "Ibu, mau mandi dulu. Bawa sendiri itu cangkir bekas tehmu ke belakang!" perintah Ibu lalu meninggalkanku bersama Bang Jali. Ibu menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil yang sedang merajuk. "Jangan berfikir masalah sudah selesai, Put. Besok aku akan bertanya pada semua teman kerjamu. Jika kamu ketahuan berbohong, maka bersiaplah menanggung akibatnya," ancam Bang Jali tanpa rasa malu. Sebagai lelaki, seharusnya dia bisa melindungiku sebagai istrinya. Bukan malah mengancam seperti aku ini adalah musuhnya. Hanya masalah uang gajiku, dia segitu marahnya. Apa tidak malu suami meminta uang gaji istri untuk keluarganya? Setelah bercerai nanti, jika suatu saat dia meminta kembali dengan dalih penyesalan. Sampai mati pun tak akan aku mau kembali padamu, Jali. Tunggu saja semuanya. Kupastikan kamu akan menyesal te
Pov PutriBagaimanapun caranya, setelah berpisah dengan Bang Jali. Aku tak mau rugi. Saat di pengadilan nanti, pasti dia tidak akan membagi sedikitpun hartanya padaku. Sedangkan uangku yang sudah ada padanya lumayan banyak.Aku sudah memiliki rencana yang sangat apik. Tidak masalah semua uangku tidak kembali. Setidaknya separuhnya saja sudah lebih dari cukup. ***Hari yang ditunggu oleh ibu mertuaku pun tiba. Hari di mana aku menerima gaji bulanan. Dia pasti sudah sangat menanti-nanti hari ini.Wajah semringah menyambutku yang baru saja pulang bekerja. Jika biasanya ibu mertuaku ini cemberut, kali ini senyumnya merekah, seperti bunga mawar yang baru mekar."Sudah pulang, Nak?" tanya Ibu mertua, sangat ramah dan lembut. Aku tau itu hanya basa-basinya karena ingin mendapatkan uangku yang sekian lama dinantinya."Iya, Bu. Capek sekali hari ini," jawabku, menghembuskan napas kasar lalu menjatuhkan diri di sofa."Mau Ibu buatkan Teh? Agar hilang sedikit lelahmu," tawarnya masih dengan se
Dia mengataiku pemalas? Padahal dia lebih pemalas dibanding aku. Dasar, bisa menghina tapi lupa berkaca! "Apa maksud kamu, Wat?" tanya Ibu lembut, pada anak perempuan kesayangannya."Tadi, aku meminta menantu Ibu untuk mengambikan minum. Tapi dengan angkuhnya dia menolak, dan memintaku untuk mengambilnya sendiri. Padahal aku sedang sibuk menonton infotainment, dan dia sudah berdiri di situ. Apa salahnya sih tinggal melangkah ke dapur, yang tinggal berapa jengkal lagi!" cerocosnya, seperti bebek yang tidak bisa diam. "Apa benar begitu, Put?" tanya Ibu mertua lembut, lalu mengalihkan pandang padaku. Jika bukan karena sebentar lagi gajian, pasti Ibu mertua sudah memarahiku karena tak mau menuruti perintah anak kesayangannya. Ia lembut seperti itu, karena ada maksud dan tujuannya, yaitu uangku."Iya, Bu. Aku ini buru-buru mau berangkat bekerja, yang tujuannya mendapatkan uang. Nah sementara dia, hanya menonton infotainment saja masa tidak bisa ditinggal barang sebentar," Ucapku membela
"Bang, antarkan aku kerja, yuk!" Aku mengguncang tubuh Bang Jali yang masih lelap tertidur. Sudah jam setengah tujuh pagi. Tapi dia belum juga bangun. Apakah hari ini dia tidak mengajar seperti biasanya?"Emmm ... " Bang Jali hanya bergumam tanpa mau membuka matanya."Bang, bangun, sudah siang. Tolong antarkan aku pergi bekerja dong!" pintaku lagi, sambil menepuk pipinya pelan. "Apaan sih! Bisa berangkat sendiri kan!" bentaknya lalu terduduk dan mengacak rambutnya kesal."Gimana mau berangkat sendiri? Sepeda motorku, kan sedang ditahan orang. Terus aku harus jalan kaki pergi bekerja gitu? Kapan sampainya? Bisa-bisa aku terlambat masuk," ucapku dengan nada merajuk.Muak sebenarnya terus berakting menjadi wanita lembut di hadapannya. Tapi mau bagaimana lagi, agar dia tidak curiga, aku harus tetap berpura-pura seperti ini sampai tujuanku tercapai."Arrgghhh." Bang Jali semakin kesal, dia mengangkat lalu membanting kakinya di kasur, seperti anak kecil yang sedang merajuk pada Ibunya. "
"Akh, benar-benar menyus-" Bang Jali menggantung kalimatnya saat mataku menatapnya serius. Yakin sekali aku, jika dia ingin mengataiku. Tapi urung dilakukan karena tujuan untuk mendapatkan harta warisan dari orang tuaku belum tercapai. Miris sekali pemikiran suamiku satu ini. Bisa-bisanya ingin mendapatkan harta secara instan. Sebelum kamu menggerogoti hartaku, maka aku lah yang akan terlebih dahulu melakukannya. Setelah ini, akan datang masalah lainnya yang sengaja aku buat, untuk keluarga parasit. Tunggu saja tanggal mainnya, suamiku tercinta. "Menyus apa Bang?" tanyaku pura-pura tidak tau. Aku memasang wajah bodoh agar dia berpikir jika aku memang wanita bodoh. "Akh, sudah lah. Tidak usah dibahas," tukasnya, lalu memejamkan mata. "Abang marah ya, sama aku?" tanyaku dengan manja.Aku sengaja bergelayut di lengannya. Meskipun dia tidak menyukaiku, tapi aku pura-pura saja tidak tahu."Enggak!" jawabnya singkat, masih dengan mata terpejam. "Terus, keputusannya gimana? Aku bawa
Mulai membodohi JaliPov Putri. "Kemana sepeda motor kamu. Kenapa pulang diantar orang?" tanya Bang Jali saat aku baru saja turun dari sepeda motor, diantar oleh tetangga samping rumah Ibu. Tidak menggunakan sepeda motorku, melainkan sepeda motor anak tetangga, karena agar Bang Jali dan keluarganya tidak curiga dengan rencana yang sudah kususun matang. Suamiku itu sedang duduk di teras. Seperti sedang menungguku pulang. Di hadapannya, juga terdapat secangkir kopi yang kuyakini sudah diminum. Aku sengaja minta diantar tetangga dan meninggalkan sepeda motorku di rumah, agar Ibu bisa mengantar pesanan kue. Meskipun Ibu tidak bisa mengendarai sepeda motor, tapi aku sudah berpesan pada David, anak tetangga samping rumah untuk mengantarkan Ibu atau pesanan kuenya kemana saja. Anak remaja itu setuju, asalkan diberikan upah tiap minggunya. "Ditahan sama orang Bang," jawabku berbohong. Hanya dengan cara ini, aku bisa membantu Ibu. Jika kukatakan padanya bila sepeda motor kutinggalkan d