"Eh, tunggu dulu. Ada yang ketinggalan," ucap Sinta seraya berjalan kembali ke dalam rumah. "Cepat ya! Keburu kering, nih!" teriakku kesal. Entah apa lagi yang ketinggalan. Ada saja kelakuannya kalau mau pergi. Padahal dari tadi udah ditungguin. Tapi masih aja ada yang kurang. Sambil menunggu, aku sedikit mendorong sepeda motor ke jalan. Agar lebih mudah saat akan melajukannya nanti. "Besar juga nyalimu datang ke kampungku. Pasti ingin tahu siapa aku kan?" tanya Turmi sinis. Ia sudah berdiri di samping sepeda motor yang dikendarainya, dengan pakaian seperti yang Ibu-ibu tadi katakan, serba mini. Kenapa harus bertemu dia lagi, sih!Saat mendorong sepeda motor, memang aku melihat ada sepeda motor dari arah depan mendekat. Tapi tak kusangka jika itu adalah Turmi. Wanita jelmaan ulat bulu. Apa lagi yang akan diperbuat olehnya. "Nggak penting banget aku tahu siapa kamu. Aku ke sini juga bukan untuk mencari tahu tentangmu. Jadi jangan kepedean jadi orang!" jawabku ketus. Aku memang pe
'Byur!'Air di tangan Sinta sudah tak bersisa. Ia kembali menyiram wajah Turmi dengan seenaknya. "Kayaknya, set*n di tubuhmu, belum keluar semua. Semoga setelah siraman ini, set*nnya keluar ya!" Sinta cekikikan melihat Turmi basah karena ulahnya. "Aku udah coba sabar, ya! Memang kurang ajar kamu!" maki Turmi melemparkan sendalnya dan tepat mengenai tubuh Sinta. 'Plak!'"Kembalikan itu, sendalku!" bentak Turmi meminta kembali sendalnya yang sudah berada di tangan Sinta. "Mau ini, noh ambil!" Sinta melemparkan sendal tersebut dengan sekuat tenaga, hingga mendarat di atas pohon asam tetangga samping rumahnya. "Hey, kok kamu buang sandalku? Itu sandal. kesayanganku," teriak Turmi dengan mata berkaca-kaca. "Duh, kasihan ... Ambil sana, kalau memang sendal kesayangan," tunjuknya ke atas pohon. "Enak saja! Kamu yang membuatnya nyangkut di pohon, maka harus kamu juga yang ambil!" serunya marah. "Ogah, ambil aja sendiri. Aku sibuk, nggak sempat ambil tuh sendal. Yuk, Ran, kita pergi se
"Dia duluan, Bu Kar, yang memulainya!" ucap Sinta menunjuk Turmi. Dadanya masih kembang kempis akibat pertengkaran hebat mereka.Aku sudah berada di samping Sinta. Sedangkan Turmi berdiri sendiri di dekat sepeda motornya. Para tetangga yang menonton kami, semua bersorak kecewa karena pertarungan dihentikan. Satu persatu mereka membubarkan diri. "Enak saja! Kamu duluan yang ngatain dan menghina bapakku. Makanya punya mulut itu dijaga!" ucap Turmi nyolot."Hey, aku bukan menghina. Tapi berbicara kenyataan. Makanya jadi orang itu jangan gatal. Tunangan orang masih aja di pepet. Bilang juga sama bapakmu, biar nggak deketin Bang Juna lagi!" Sinta juga ikutan nyolot. Mereka berdua kembali adu mulut. Aku hanya bisa menjadi penonton budiman saja. Biarkan saja mereka berdua berdebat sampai mulutnya berbuih. "Itu bukan urusanmu! Urusin saja hidupmu yang belum tentu arahnya itu!" Turmi menarik lengan bajunya sampai ke pundak dan menampilkan bulu ketiaknya yang seperti hutan belantara.Ihh,
"Aku marahnya sama Si Turmi. Kenapa coba dia dekati lelaki yang udah dekat sama orang lain. Padahal, masih banyak lelaki lain. Apa karena merasa cantik jadi kelakuannya begitu? Yang paling bikin emosi tuh, kalau laki-laki itu udah kecantol sama dia, pasti langsung ditinggalkannya. Berarti dia kan cuma mau membuktikan kalau dia adalah cewek paling cantik di sekolah dan bisa mendapatkan lelaki mana aja." Sinta nyerocos tanpa jeda. "Ya biarkan saja. Lelaki nggak baik memang pantasnya digitukan. Kalau lelaki yang serius suka dan sayang sama kamu, mau bagaimanapun godaannya. Pasti dia akan tetap memilih kamu.""Ish, kamu itu nggak ngerti, karena bukan kamu yang ada di posisi aku," ucap Sinta kesal. "Hmm, kamu yang nggak ngerti maksud aku. Udah lah, itu kan hanya masa lalu. Ke depannya pasti ada lelaki yang sayangnya tulus sama kamu, dan apa pun godaannya dia akan tetap setia.""Amin. Ya, walau pun sampai sekarang belum terlihat bentuknya.""Sabar aja. Tuhan itu, menciptakan manusia berpa
"Apa kamu bilang?" tanya Sinta pura-pura tak dengar. Aku yakin dia dengar, karena lelaki itu mengucapkannya dengan lantang. Pasti dia ingin memastikannya saja."Aku mau, kamu menjadi istriku!" ucapnya sekali lagi dengan lantang. "Wah, dilamar secara mendadak Sin. Kalau di buat judul FTV, Aku dilamar lelaki yang tertabrak sepeda motorku," ucapku, tertawa cekikikan.Mata lelaki itu langsung menatapku dan tersenyum samar. "Kayaknya, kamu harus cepat dibawa ke klinik. Mungkin karena habis jatuh terbentur, kamu jadi ngelantur." Sinta bersikap tak acuh. Dia berdiri sambil bersedekap.Tumben nih temanku satu ini bisa jual mahal. Biasanya kalau digodain laki-laki langsung seperti cacing kepanasan. Apalagi lelaki itu lumayan manis, kayak gulali. "Kalau hanya dibawa ke klinik, setelah selesai diobati, kamu akan lepas dari tanggung jawab. Jika sekalian menikah, maka kamu akan tanggung jawab selamanya. Jadi, aku nggak mau tau, pokoknya kita harus menikah. Kamu lihat lutut, siku, serta telapak
"Kamu nggak kerja?" tanyaku penasaran. Karena setau aku, biasanya jika bekerja di rumah sakit, liburnya itu jarang banget. Kalau pun dia cuti, aku yakin sekali tidak akan diizinkan oleh ibu mertua dan suaminya. "Enggak. Aku lagi cuti. Ini mau belanjakan bahan kue untuk Ibu," jawabnya santai."Mau ada acara apa?" tanyaku lagi. "Nggak ada. Ibuku mau berjualan. Jadi aku lah yang membelanjakannya," jelasnya.Oh, jadi sekarang ibunya sudah berjualan. Syukur lah, bisa membantu perekonomian keluarganya. "Apa Jali nggak marah, kalau kamu nggak kerja?" tanyaku, karena tahu sifat suaminya seperti apa. "Kalau tau, ya, marah. Aku kan diam-diam cutinya. Setau dia aku kerja, karena tadi pagi pamitnya pergi kerja. Padahal aku datang ke rumah Ibu," jelasnya. "Sekarang kamu pintar cari alasan, ya!" candaku. "Iya, harus dong. Kalau nggak pintar-pintar, yang ada aku lah yang dibodohi mereka.""Bagus itu. Oh, ya, terus Ibu kamu jual kuehnya di mana?""Ditaruh di warung, jualan online juga. Aku yan
"Kamu juga tega sama aku. Masa main dorong aja. Kalau sampai aku cidera gimana? Batal nikah nanti aku," gerutuku kesal. Pernikahan tinggal menghitung hari, ada saja masalahnya. Turmi datang dengan segala dramanya lah, menabrak orang lah, masalah dengan Jali lah. Lengkap sudah hidup ini dengan masalah. Setelah ini, kira-kira akan ada masalah apa lagi menjelang pernikahan?"Iya, maaf. Gitu aja baper." Wajah Sinta sudah sangat lelah. Tak ada lagi keceriaan di sana. Padahal tadi, saat kuajak menjahitkan baju, dia begitu kegirangan dan bersemangat. Semua ini, pasti dikarenakan lelaki itu. "Mbak, ini suaminya udah selesai diobati," ucap bidan yang baru saja keluar dari bilik, menatap Sinta lekat."Suami siapa? Dia itu bukan suami saya Mbak. Sepertinya, habis tertabrak tadi, ot-aknya bermasalah. Apa dia nggak gegar otak, Mbak?" tanya Sinta penuh harap. "Enggak, kok. Cuma luka sedikit aja. Tapi tadi dia pesan, Mbaknya disuruh masuk, untuk bantu berjalan keluar. Saya sudah menawarkan diri
"Lari kemana? Kamu sendiri yang bilang tahu rumahku. Jadi, tak mungkin aku bisa lari dari tanggung jawab!" gerutu Sinta kesal. Mereka berdua kembali adu mulut. "Ah, pokoknya. Aku mau, kamu yang mengantarku sampai ke rumah titik!" kekeuh lelaki itu. "Akkkhhh, oke lah! Aku turuti semua ke mauanmu!" Sinta menghentakkan kakinya. "Kamu bawa sepeda motor sendiri ya, Ran. aku dan dia naik becak. Tapi tetap ikuti aku dari belakang." Sinta menyerahkan kunci sepeda motor padaku. Ia berjalan menjauh mencari becak tanpa menoleh pada lelaki itu sedikitpun. "Sebenarnya, apa mau kamu sih?" tanyaku kesal, saat kulihat Sinta sudah tidak terlihat lagi, karena terhalang mobil-mobil yang terparkir.Gara-gara dia, rencana kami jadi tertunda. Mana ribet lagi urusan dengan dia."Nggak ada. Aku cuma suka aja gangguin Sinta," ucapnya sambil tersenyum penuh misteri. "Kamu ini, siapa sih? Kenapa tahu nama Sinta sedangkan dia, nggak kenal sama kamu!" sungutku. Hampir saja kesabaranku habis dibuatnya. "Sin