"Non Maura .... Tadi siang....""Ada apa, Bi? Maura di mana?" Gemintang semakin tak sabar karena jawaban pembantunya yang menggantung itu.Intuisi buruk bahkan mulai merayapi hati Gemintang.Sementara wanita bertubuh kurus yang ada di hadapannya, kini menundukkan kepala, terlihat meneguk ludahnya dengan kasar."Ta—tadi siang, Non Maura tiba-tiba banyak ruam di kulitnya sampai ... sampai sesak napas. Lalu, Tuan dan Nyonya langsung membawanya ke rumah sakit. Sampai malam ini mereka belum kembali lagi.”Gemintang mengerutkan kening. "Kenapa Maura bisa begitu? Apa yang sudah dia makan?""Saya tidak tahu persis, Bu. Yang saya tahu, Non Maura tiba-tiba merasa tidak enak badan setelah pulang dari sekolah." Pembantu itu ragu-ragu.Gemintang mengacak rambutnya frustasi. "Bagaimana bisa hal sepenting ini, Janu dan Rosaline tidak memberitahuku?" “Tadi, Tu—tuan sudah menghubungi Ibu tetapi nomor Ibu tidak aktif.” Sang pembantu menjawab lagi. Deg! Gemintang mencoba menarik napas dalam-dalam.
Di sisi lain, Gemintang dan Baskara tiba di depan sebuah ruangan—tempat Maura dirawat.Mengatur nafas yang terengah-engah akibat lari, Gemintang pun mengetuk pintu beberapa kali. Akan tetapi, tidak ada jawaban dari dalam.Gemintang bingung. Wanita itu lantas memberanikan diri untuk meraih handle pintu.Namun, belum sempat tangan Gemintang menyentuhnya, pintu berwarna cokelat itu terbuka dengan sendirinya.Janu berdiri di ambang pintu. Sorot matanya berubah gelap ketika menangkap pria lain berdiri di sisi Gemintang.“Mas, apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Maura?” tanya Gemintang mencoba masuk ke dalam ruangan. Ia ingin segera bertemu dengan Maura, tetapi Janu merentangkan tangan kanannya, menghalangi.“Setelah semua kelalaianmu, kau masih bisa bertanya apa yang terjadi dan bagaimana keadaannya?” Pertanyaan Janu sontak membuat Gemintang mengernyit dalam.Begitu pula dengan Baskara, tetapi ia belum berniat untuk ikut campur. Hanya diam dan mengamati sepasang suami istri itu.“Kelalaia
Rosaline tertawa puas membayangkan betapa luar biasanya rencana yang ia buat.Terlebih, kala mendengar berita dari 'orang suruhannya' kalau sampai petang pun, Janu masih belum mengizinkan Gemintang masuk ke dalam ruang perawatan sang putri.Wanita itu tetap setia menunggu di luar, sementara Janu sibuk dengan pekerjaannya.***“Hampir jam delapan malam. Kenapa kamu belum membiarkan Gemintang masuk?” Helaan napas terdengar dari Manggala, kepalanya menggeleng heran melihat sikap Janu yang keras kepala ini.Namun, Janu hanya melirik sekilas sepupunya itu, lalu meraih cangkir teh di hadapannya. “Dia harus menunggu,” jawabnya sambil menyeruput tehnya.“Ini sudah terlalu lama. Biarkan dia melihat Maura, dia pasti sangat khawatir sekarang,” sahut Manggala, bersandar di kursi dengan kedua tangan terlipat di depan dada, memandang tajam ke arah Janu.“Jangan terburu-buru menyalahkan Gemintang sebelum hasil laboratorium dan uji sampel makanan dari rumah sakit keluar,” tambahnya dengan nada tegas
“Kau ini, bisa tidak sih, jangan memperkeruh suasana? Jika kau hanya menyalahkan Gemintang terus, urusan ini tak akan selesai!” Manggala membuang napas kesal usai berhasil memisahkan sepasang suami istri yang berdebat tadi. Kini, dua pria itu sedang berada di sebuah coffee shop rumah sakit.“Aku hanya mengutarakan isi hatiku,” timpal Janu datar, lalu menarik gelas kopi di hadapannya.“Mengutarakan isi hati?” ulang Manggala seraya tertawa sumbang. “Sadarkah yang kau katakan tadi mengajaknya bertengkar? Kau sudah kelewatan!”“Aku tidak bermaksud mengajaknya bertengkar! Aku ... aku hanya tak suka dia bersama anak ibu asuhnya itu,” jawab Janu dengan nada pelan, dia kembali mengalihkan pandangan ke arah lain.“Lalu kau berusaha menyudutkannya dengan menuduh macam-macam seperti tadi?” Manggala menimpalinya, ia juga ingin meluapkan rasa gemasnya kepada sang sepupu itu, tetapi hanya berujung membuang napas kembali. “Sudahlah! Tak ada gunanya menceramahimu.”Janu sendiri tidak memasukkan kata-
“Janu-janu ... seacuh apa pun sikapmu padanya, tetap tidak bisa menutupi bahwa cinta juga bersemi dalam hatimu,” gumam Manggala memperhatikan kebodohan sepupunya itu.Bagaimana bisa Janu hebat dalam pekerjaan, tapi masalah hati sebebal ini? Dinasehati pun, tak mau mendengar. Rasanya, Manggala butuh teman curhat!Manggala menghela napas. Pikirannya jadi ke mana-mana.Lebih baik, Manggala pergi dan menyelesaikan tugas dari sepupunya itu sajalah! Apa yang sebenarnya membuat Maura, keponakan kecilnya, sampai alergi parah begini!Sementara itu.... Ketika Janu memasuki ruang rawat, dia membeku sejenak di ambang pintu. Tatapannya tertuju pada Gemintang yang duduk di kursi, matanya terpejam rapat. Tangan Gemintang menggenggam tangan Maura yang terbaring di brankar dengan penuh keteguhan, seolah tidak akan melepaskannya.Rambut Gemintang tergerai acak, beberapa helai menutupi wajahnya yang tampak pucat dan lelah. Wajahnya terlihat lebih letih dari biasanya. Janu merasakan sesak di dadanya,
Gemintang merenung beberapa saat. Kalimat Janu barusan membuatnya dilema.Sekarang dia harus memilih yang mana? Gemintang tak ingin semakin jauh dari putrinya. Namun, di sisi lain, tekadnya sudah mantap untuk bercerai dari Janu, ia juga terlanjur mengikuti seleksi dan berharap bisa lolos kualifikasi.Ia sudah memulai semua perjuangannya, mana mungkin menyerah secepat itu?“Aku tidak ingin berhenti bekerja,” jawab Gemintang setelah terdiam beberapa saat.Hal itu tentu membuat Janu menekuk dahinya. Entah mengapa istri keduanya yang penurut itu tiba-tiba menjadi keras kepala. Janu lalu menyorotnya dengan tatapan datar. “Kalau begitu jangan salahkan jika Maura terus berhubungan dengan Rosaline. Kau sendiri yang memilih jalan ini.” “Rosaline tidak perlu repot-repot mengurus Maura, aku bisa melakukannya,” balas Gemintang penuh percaya diri.“Kau sangat percaya diri bisa melakukan keduanya. Apa kau tidak belajar dari kesalahan?”“Tetapi aku juga butuh pekerjaan ini, Mas. Kau sendiri yang
Hingga Gemintang terlelap, pria itu tidak terlihat lagi.Entah ke mana perginya Janu semalam.Namun anehnya ketika terbangun keesokan harinya, Gemintang baru menyadari jika sebuah selimut sedang membelit tubuhnya.Segera ia menoleh ke sekeliling dan menemukan sang suami sedang terbaring di sofa di samping brankar. Ada beberapa berkas yang tertumpuk di meja, dan layar laptop yang masih menyala membuat Gemintang menekuk dahinya. Mungkinkah Janu begadang semalam suntuk dan baru tidur pagi ini?Di saat yang sama, ia merasakan pergerakan pada brankar. Ternyata, Maura juga bangun. Gemintang lantas mengembalikan perhatiannya pada gadis kecil itu.“Hei, anak ibu sudah bangun?” sapa Gemintang sambil melipat selimut yang ia gunakan.Namun, anak itu tidak menggubrisnya dan menyebutkan hal lain yang mampu membuat Gemintang perih. “Ayah! Maura mau dengan Ayah saja!”Gemintang tersenyum tipis. Rasa bersalah kembali bermukim dalam dadanya. “Ayah sedang tidur. Maura mau apa, hm? Ibu bisa ambilkan,”
Setelah berkata demikian, Janu terlelap di pundak Gemintang.Pria itu tidak memedulikan apa pun, bahkan tidak khawatir jika ada orang lain yang melihatnya dalam posisi seperti ini.Tanpa sadar, sebuah senyum tipis muncul di bibir Gemintang ketika mendengar napas teratur suaminya.“Aku tidak tahu apa maksud hatimu yang sesungguhnya,” ujarnya dalam hati.Terkadang, nada bicara Janu terdengar datar dan dingin, tempramennya buruk, tetapi di saat tertentu pria itu juga memperhatikannya dengan cara yang tidak terduga seperti menyuapinya semalam, dia juga masih sempat manja dengan Gemintang seperti ini.“Kau mengaku tidak memiliki perasaan denganku, tetapi mengapa kau masih peduli padaku?” Gemintang bertanya lagi dalam hati, tak berani mengungkapkannya.Namun, senyum itu perlahan memudar ketika Gemintang menyadari bahwa ada jarak yang jelas di antara mereka saat ini.“Aku selalu berusaha membencimu, tetapi setiap kita berdua seperti ini, hatiku selalu menghangat karena perlakuanmu.” Lagi-lag