Hanya saja, beberapa menit setelah obrolan tadi, Bu Ningrum sudah meminta Gemintang untuk pergi ke ruang stok bahan kue.Di sana, wanita satu anak itu lantas menghitung yang sudah berkurang dan mencatatnya.Klek!Bersamaan dengan selesainya pekerjaan, suara pintu terbuka. “Ibu?” Gemintang sontak mengalihkan perhatiannya pada Bu Ningrum berdiri di ambang pintu.“Apa sudah selesai, Nak?” tanya sang ibu dengan seulas senyum di bibirnya.Gemintang mengangguk. “Semua sudah masuk list, Bu. Gemintang hanya tinggal berangkat saja.”“Ibu tahu kau bisa diandalkan,” ujar Bu Ningrum, kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dan memberikannya kepada Gemintang. “Ini uangnya, sudah ibu lebihkan setengah harga. Semoga tidak banyak bahan yang harganya naik.”“Kalau begitu, aku harus pergi ke mana dulu? Apakah orang yang mengantarku sudah siap?”“Baskara ada kepentingan sebentar. Jadi, kamu ke grosir bahan kue dulu naik taksi, ibu berikan alamatnya. Nanti dia akan menjemputmu di sana
“Sepertinya kamu berpikir berlebihan. Suamiku memang orang yang cukup berada, tetapi dia memperlakukanku dengan baik.” Gemintang memaksa bibirnya tersenyum, berusaha terlihat baik-baik saja meski hatinya sangat ingin mengadu tentang prahara yang menimpa rumah tangganya. Namun, bila mengatakan semuanya, ia khawatir Baskara dan ibunya akan meminta pertanggungjawaban Janu. Lalu, masalah itu akan melebar kepada Maura, menjadi lebih rumit.Kini, giliran Baskara yang mendengkus kasar. “Benarkah? Lalu mengapa kau harus bersusah payah seperti ini kalau bukan karena suamimu tidak berlaku baik?”“Itu murni karena aku merasa bosan tidak punya kesibukan di rumah. Aku hanya ingin meringankan beban suamiku. Tetapi, karena aku tidak punya ijazah pendidikan tinggi untuk bekerja di kantor dan tidak bisa bekerja jauh, jadi aku berpikir untuk bekerja di tempat ibu saja.” Ketika Gemintang mengatakan itu, mereka sedang berhenti di lampu merah. Sehingga Baskara bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspre
“Tetap utuh?” Manggala tertawa, tak habis pikir dengan Janu.Sejak kecil, ia mengenal sepupunya itu. Tapi, kali ini Manggala tak bisa menebak jalan pikirannyaHubungan Janu mana yang utuh?Pernikahannya yang hambar dengan Rosaline? Atau rumah tangga dengan Gemintang yang renggang ini? Semuanya justru kacau! “Aku rasa melepaskan Gemintang adalah jalan satu-satunya,” imbuhnya.Srak!Kalimat Manggala agaknya menyulut kekesalan Janu, hingga lelaki itu menutup kembali map hitam di hadapannya dengan cukup kasar.“Apa sekarang kau beralih menjadi pendukung ibu dan Rosaline?” tanya Janu penuh penekanan. “Tidak. Tetapi, untuk hal ini, aku setuju dengan mereka!” Manggala menurunkan kedua tangannya lalu berbalik ke arah Janu. “Gemintang bukan wanita yang pantas kau sakiti.”“Aku tahu itu.” “Kalau begitu, apa yang kau tunggu? Lagipula, dia sudah menuntut cerai, kau hanya tinggal setuju saja.”Janu terdiam, memandang map hitam di hadapannya. Dia tahu bahwa mempertahankan Gemintang hanya akan
Gemintang harap-harap cemas. Untungnya, Janu kembali menerbitkan senyum kepada ibu asuh Gemintang itu.“Sebenarnya, kami hanya pindah di perumahan karyawan, memang jaraknya sedikit jauh dari panti. Tetapi ibu jangan khawatir, tidak akan mengurangi semangat Gemintang untuk bekerja,” jawab pria itu lalu melingkarkan tangan kirinya ke pinggang Gemintang. “Benar, kan, Sayang?”“Mas Janu benar, Bu. Hanya selisih lima menit saja, tidak masalah.” Dengan terpaksa Gemintang mengulas senyum. Tak lama, Bu Ningrum pun mengangguk sebagai jawaban. “Ibu turut senang mendengarnya. Gemintang juga bercerita kalau kalian akhirnya menggunakan pengasuh untuk menjaga Maura. Lalu hari ini, Nak Janu mengatakan jika sudah tinggal di perumahan karyawan. Ekonomi kalian pasti sudah sangat baik. Semoga saja kalian selalu sejahtera,” ujarnya berharap yang terbaik.“Terima kasih, Bu. Saya juga berharap toko ibu semakin laris. Kapan-kapan, saya carikan investor atau event untuk bekerjasama dengan toko ibu.” Janu m
Sementara di dalam kamar ....“Mas!” jerit Gemintang pada Janu.Tak lama, pria itu melepaskan cengkramannya. Masih dengan bola mata yang berkobar hebat, Janu menatap Gemintang.“Sebaiknya kamu cari tempat kerja baru!” katanya dengan nada tegas. Gemintang yang tidak setuju langsung mengernyit ke arah suaminya. Sungguh menyesakkan. Di hadapan orang-orang, mereka bersandiwara seolah rumah tangga mereka sangat baik. Padahal, yang terjadi sebenarnya, hancur berkeping-keping. Bahkan Gemintang sendiri tak tahu apakah hubungan ini masih bisa diselamatkan atau harus diikhlaskan.“Apa maksudmu? Aku baru kerja di sana satu hari, dan kamu sudah menyuruhku pindah tempat kerja?”“Aku akan carikan tempat lain untukmu. Atau usaha apa pun yang kau mau, asal tidak bekerja di sana!” Janu menambahkan, nada suaranya datar tetapi mengisyaratkan sebuah kekhawatiran.“Baru kerja sehari saja, kau sudah menceritakan banyak hal. Pengasuh Maura sampai pindah rumah. Besok kau mau cerita apa lagi?”“Jika hanya
Selama Rosaline menyusun "rencananya", hubungan Gemintang dan Janu memburuk selama tiga hari terakhir.Gemintang memilih untuk menghindar ... sebab erbuatan Janu benar-benar membuatnya terluka.Hati perempuan mana yang tak sakit jika diperlakukan dengan kasar semacam itu?“Kenapa ibu tidak sarapan bersama Ayah?” tanya Maura saat mereka sarapan bersama pagi ini. Gemintang tertegun. Beberapa hari ini, ia memang tidak makan bersama dengan mereka. Selalu menyendiri. Sementara hari ini, Janu sudah berangkat bekerja pukul enam pagi tadi.Rosaline dan Bu Dewi? Mereka pergi entah ke mana saat Gemintang hendak menuju ruang makan tadi. Biasanya kedua wanita itu akan memancing keributan. Meski bingung karena keduanya tidak mengkritik atau mencibir dirinya, Gemintang merasa bersyukur. "Ayah dan ibu sedang marahan ya?" Maura bertanya lagi. Ketika melihat Gemintang hanya diam dengan pandangan kosong. Sesaat tubuh Gemintang menegang mendengar pertanyaan itu, tetapi secepat mungkin ia men
"Mami, Ocha!" Suara lengkingan itu mengagetkan Rosaline yang baru saja kembali dari restoran. Ia lantas menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Maura tengah bermain di ruang tengah bersama pengasuhnya. Rosaline lantas tersenyum dan berjalan mendekat ke arahnya. "Hei! Kamu tidak sekolah hari ini, ya?" tanya Rosaline seraya berjongkok di hadapan Maura. Gadis kecil itu mengangguk. "Iya, Mami. Maura hanya sekolah empat hari." "Kalau begitu, bagaimana kalau hari ini kita jalan-jalan, hm? Mami akan belikan buku baru lagi, kita juga beli ice cream, kamu mau?" tawar Rosaline membuat Maura yang sedang berdiri di hadapannya terkejut, senang. "Mau! Maura mau, Mami!" Rosaline menarik kedua sudut bibirnya lalu mengusap pipi Maura. "Baiklah, Anak Manis! Kalau begitu, kamu ganti baju dulu sama suster, ya? Mami tunggu di sini." Dengan penuh semangat, Maura berlari menuju kamarnya bersama dengan sang pengasuh. "Sepertinya anak itu sudah semakin dekat denganmu," ujar Bu Dewi yang baru
Berbeda dengan Baskara, Gemintang justru merasa pesanan itu adalah anugerah. Namun, karena harus membantu sang ibu menyiapkan pesanan itu, Gemintang sedikit terlambat pulang hari ini. Langit bahkan sangat gelap saat ia tiba di rumah. Hanya berharap Maura tak marah padanya kali ini. Ia sudah berjanji kepada anak itu untuk menemaninya tidur. Sedangkan sekarang sudah pukul sembilan malam. "Maura?" panggil Gemintang ketika ia membuka kamar putrinya dan menemukan Maura bersama sang pengasuh sedang menonton televisi. "Ibu?" Maura menoleh ke arah pintu dan mendapati Gemintang di sana. Anak itu langsung menghambur peluk ke arahnya. "Yeay! Ibu pulang!" Sementara sang pengasuh langsung pamit undur diri, kembali ke kamarnya. "Hei, kamu belum tidur?" tanya Gemintang usai menutup pintu kamar. "Sudah malam, Sayang, matikan televisinya dan tidur, ya?" "Mau tidur dengan ibu dan ayah. Ayah belum pulang lagi ya, Bu?" tanya Maura polos membuat senyum Gemintang memudar perlahan. Dia bah