"Lalu sekarang, kau akan ke mana?" tanya Manggala sebelum Janu menaiki mobilnya. Bisa ia lihat Janu tampak segera ingin meninggalkan tempat ini, untuk menyelesaikan satu urusan—yang mungkin lebih penting.Sejenak pria itu menghela napas panjang, dua bahunya melemas bersamaan. Dia membuka pintu mobil lebar-lebar dan meletakkan jas juga tas kerjanya. "Aku ingin ke rumah Bu Ningrum. Aku akan mencobanya sekali lagi. Jika Gemintang tahu aku sudah menyerahkan semuanya, mungkin dia berubah pikiran," jawab Janu pelan.Manggala menganggukkan kepalanya. Dia juga berharap demikian. Semoga saja usaha sepupunya itu tidak akan sia-sia. "Aku juga berharap Gemintang bisa mengerti," Manggala menerbitkan senyum kecilnya. "Hati-hati kalau gitu, kalau butuh bantuan segera hubungi aku."Janu menjawabnya dengan anggukan. Dia lalu menaiki mobilnya dan segera membawa kendaraan itu menuju rumah Bu Ningrum. Meski ia sendiri ragu dengan reaksi yang akan diberikan Bu Ningrum–ketika melihatnya datang lagi. Tet
Setelah kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan Gemintang, Janu sempat terpuruk. Ia telah menggunakan segala cara untuk menemukan Gemintang, tetapi sayangnya, tak ada satupun petunjuk yang ia dapatkan. Bahkan ponsel yang selama ini terhubung dengan Gemintang tidak bisa membantunya. Lokasi terakhir yang ditunjukkan Gemintang berada di stasiun kota.Bersama Manggala, ia mencari tahu kepada petugas tiket di stasiun dan bertanya apakah ada penumpang bernama Gemintang Larasati yang telah melakukan check-in atau membeli tiket.“Kereta yang dinaiki Gemintang berhenti di Stasiun Putri. Tapi ketika anak buahku telepon ke sana, Gemintang tidak membeli tiket lagi. Ada dua kemungkinan: dia ada di kota sekitar stasiun itu, atau dia pergi ke suatu tempat dengan jalur lain,” kata Manggala yang baru saja kembali dari bagian tiket.“Mungkin dia sudah pergi jauh,” lirih Janu, suaranya penuh putus asa.“Jangan putus asa dulu, anak buahku sedang berusaha mencari banyak informasi,” Manggala berusaha men
Pagi harinya, Janu langsung berangkat ke kota S dengan jalur udara. Ia kemudian melanjutkan perjalanan dengan menyewa mobil dan driver.Setelah memastikan urusannya di hotel selesai, Janu melanjutkan perjalanan ke sebuah kelompok bermain bernama Kasih Ibu yang menjadi lokasi pertemuannya dengan klien. Ini adalah hari kedua dimana Janu dan timnya sudah mulai memasang beberapa interior yang telah mereka siapkan untuk daycare. Esok, Janu hanya tinggal memasang beberapa kursi custom dan meja belajar dan semua tugasnya berakhir.Hanya saja, melihat anak-anak kecil berlarian, membuatnya tersenyum, meskipun di sisi lain tawa ceria itu mengingatkannya pada Maura. Janu duduk di salah satu sudut ruang kelas yang masih kosong. Rencananya ruang kelas itu akan dijadikan kamar tidur anak untuk usia tiga sampai empat tahun, mengingat jumlah anak yang dititipkan ke daycare semakin banyak. Di tengah keramaian, tiba-tiba seorang gadis kecil mendekatinya. Tangan mungilnya menyentuh paha Janu beberap
"Kalau saya tidak salah namanya …"Tok tok tok.Tiba-tiba, suara ketukan pintu menginterupsi percakapan mereka. Miss Rani dan Janu menoleh ke arah sumber suara. Ternyata, manajer Janu sudah berdiri di pintu dengan sikap tenang."Maaf, Pak, Bu, bed yang dikirim sudah datang. Kami akan mulai installing bunk bed dahulu," kata manajer itu dengan sopan.Janu mengangguk. “Langsung bawa ke sini saja dan rakit yang ada dulu biar selesainya tidak terlalu siang,” katanya pada sang manajer,Pria muda itu pun mengiyakan perintah Janu dan mulai memanggil beberapa orang untuk segera masuk ke dalam ruangan itu. Janu lalu menoleh ke arah Miss Rani. “Untuk pemasangan akan menggunakan beberapa peralatan tukang, tolong Miss Rani kondisikan anak-anak dulu, takutnya anak-anak lepas pengawasan dan terluka.”Sebuah anggukan diberikan Miss Rani. "Baik, Pak, saat proses penginstalan kami akan berusaha mengalihkan perhatian anak-anak agar tidak ke ruangan ini.”Setelah itu, Janu menunduk ke arah Kinara yang m
Janu berdiri di koridor kelompok bermain Kasih Ibu, memandangi kelas tempat Kinara dan Keenan belajar.Seharusnya, hari ini adalah hari terakhir ia berada di kelompok bermain itu. Dia dan teamnya sudah selesai dengan urusan disini. Semua interior yang mereka pesan dari Infinite sudah terinstall dengan baik. Kepala sekolah pun puas dengan kinerja mereka. Sebenarnya dia bisa saja langsung pulang, tetapi dia ingin bertemu dengan kinara sekali lagi sebagai bentuk rasa terima kasih. Anak itu sudah membantu Janu mengobati rasa rindunya. Hari ini, dia hanya ingin memberikan hadiah dan bermain sebentar sebelum kembali ke hotel. Kini, dia menggenggam sebuah paper bag yang berisi dua buket makanan ringan dan beberapa hadiah kecil. Waktu istirahat telah tiba, dan anak-anak mulai keluar dari kelas menuju halaman. Namun, Kinara dan Keenan masih bermain di dalam."Papa!" seru Kinara begitu melihatnya di depan pintu kelas, senyum cerah menghiasi wajahnya. Dia hendak berlari mendekati Janu, nam
Gemintang berdiri kaku, bibirnya sedikit terbuka, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Rasa sakit tiba-tiba menghantam kembali saat melihat pria yang selama ini ia coba singkirkan dari hidupnya.Sementara itu, di sisi lain, Keenan dan Kinara masih tersenyum senang, tak menyadari ketegangan di wajah ibunya.Janu… mengapa dia ada di sini?"Gemintang?" Janu memanggil lagi, memecah keheningan. Suara beratnya terdengar lembut dan sarat kerinduan.Dia hendak mendekat, tetapi urung ketika tatapan Gemintang langsung berubah nyalang.“Kinara, Keenan! Ayo pulang sekarang!” kata Gemintang. Nadanya tegas, hampir tidak memperhatikan Janu yang berdiri di dekat mereka.Senyum Kinara memudar, wajahnya bingung menatap ekspresi sang ibu yang tiba-tiba berubah marah."Tapi Ibu, Nara mau main sama Papa..." Suara gadis itu terdengar bergetar. Tangan kecilnya berusaha menggapai Janu lagi.Jantung Gemintang semakin berdegup kencang.Dengan cepat, dia menghampiri Kinara dan menarik tangan anak itu. "Tidak
Untungnya, hanya butuh semalam bagi Janu untuk mengetahui tempat usaha Gemintang. Pagi-pagi sekali, dia berdiri di depan G'lars Bakery and Resto, toko roti sekaligus restoran milik Gemintang.Beruntungnya, Miss Rani sempat bercerita sedikit kemarin.Dia tidak menyangka, jika G'lars yang dulu pernah ia dengar dan menggemparkan banyak orang adalah istrinya sendiri.Dengan langkah mantap, Janu masuk ke dalam toko. Aroma roti yang baru dipanggang memenuhi ruangan, namun bukan itu yang ia cari. Dia hanya ingin satu hal—bicara dengan Gemintang dan menyelesaikan semua hal yang belum tuntas di antara mereka.Seorang pegawai peremuan mengenakan name tag Aruna menyambutnya dengan senyum ramah. "Selamat pagi, Pak, toko kami belum sepenuhnya buka, tetapi jika Bapak ingin beli kue bisa saya bantu mau pesan menu atau kue apa?"Sebuah senyuman singkat diberikan Janu. "Saya tidak pesan kue, tetapi saya ingin bertemu dengan Gemintang hari ini. Apakah kamu bisa bantu saya?""Maaf, Pak, tapi Ibu Gemint
Sementara itu.... Tanpa tahu apa yang terjadi, Janu tampak setia menunggu di toko itu. Ia memang masih berharap Gemintang akan luluh dan berubah pikiran, sehingga mereka bisa bicara empat mata. Niat Janu kali ini bukan soal kesalahpahaman yang ingin ia jelaskan, tetapi tentang anak-anak mereka. Hanya ingin meminta kejelasan dengan sebenar-benarnya.Namun, jam di dinding menunjukkan pukul setengah satu siang seolah menunjukkan usahanya yang tampak sia-sia.Entah sudah berapa jam dia menunggu, tetapi setiap kali ia bertanya pada pegawai yang bernama Aruna, dia hanya menjawab, Gemintang belum datang.Benarkah belum datang? Atau memang Gemintang sedang menghindar?Meski demikian, Janu akan bersabar selama apa pun itu. Hingga suara pintu kaca toko terbuka. Janu yang duduk di sudut ruangan menoleh ke arah suara pintu. Dia berharap itu Gemintang, tetapi justru seorang gadis kecil dengan rambut hitam panjang tergerai. Manik matanya yang hitam legam langsung tertuju pada Janu, dan dia s
Beberapa bulan setelah itu, Baskara sedang menyimak berita yang sedang trending di media. Soal Janu dan Gemintang yang sedang naik bisnisnya. Juga hubungan mereka yang diperdebatkan banyak orang. Entah bagaimana ia harus merasa. Dia tak rela, tetapi itulah menjadi pilihan Gemintang. Aruna yang tahu perasaan lelaki itu menyandarkan tubuhnya di kursi sebelah Baskara yang sedang menatap layar ponselnya, memperhatikan berita tentang Janu dan Gemintang. Semburat senyum tipis terlihat di wajahnya, tetapi matanya menunjukkan kesedihan yang tak tersembunyikan.“Kenapa Bapak masih melihat berita mereka?” Aruna bertanya lembut, mengambil alih perhatian Baskara yang sepertinya larut dalam pikirannya sendiri.Baskara menghela napas, mengunci layar ponselnya dan meletakkannya di meja. “Entahlah, mungkin aku hanya ingin memastikan bahwa dia bahagia di sana.”Aruna tersenyum lembut, mencoba mengusir suasana muram di wajah Baskara. “Gemintang memang sudah memilih jalannya sendiri, Pak. Terkadang, m
“Kalian memang manusia tidak tahu diuntung! Awas saja! Awas saja kalian!”Usai mengatakan demikian, Bu Dewi gegas pergi dari ruangan itu, meninggalkan Janu dan Rosaline yang kini berdiri pada posisinya masing-masing. “Bibirmu berdarah.” Janu menunjuk setitik darah yang tampak di sudut bibir Rosaline.Janu lalu menghubungi sekretaris untuk meminta kotak obat lewat sambungan pararel.“Duduklah, sekretaris akan datang bawakan obat.”Rosaline kemudian duduk di sofa, sementara Janu mengambilkan satu botol air mineral dan membukakan tutupnya untuk Rosaline, bersamaan dengan itu pula, sekretaris Rosaline mengantar obat. Saat sekretarisnya memberikan kotak obat, Rosaline menunduk sambil mengambilnya dari tangan sang sekretaris. "Terima kasih, tapi saya bisa obati sendiri," ucapnya pelan yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh sang sekretaris.Janu menyerahkan botol air mineral yang baru saja ia buka untuk Rosaline. “Ini, minumlah dulu,” ujarnya dengan nada lembut. Rosaline mengucapkan te
“Kau yakin aku ingin membahas hal itu?” Rosaline memelankan suaranya. Dia sedikit terkejut dengan permintaan Janu. “Lakukan saja, pancing hingga dia mengatakan semuanya.”Rosaline mengangguk.Janu lantas beringsut mundur, mencari tempat strategis, tak lupa membawa pena perekam yang diberikan oleh Rosaline dan memastikan dirinya tak meninggalkan jejak apapun. “Rosaline!”Seruan Bu Dewi semakin jelas dan keras, hampir memekakan telinganya. Rosaline lalu membawa dirinya duduk di kursi direktur, membuka laptopnya dan bersikap seolah ia sedang bekerja. Hingga akhirnya ….Brakk! Pitu ruangannya dibuka dengan kasar, Rosaline menghentikan gerakan jarinya di atas papan ketik. Dia mendongak menatap Bu Dewi yang memberikan ekpsresi marahnya. “Bisa-bisanya meminta sekretarismu untuk berbohong dan mengatakan kau sedang menemui tamu, padahal kau sedang tidak bertemu dengan siapa-siapa?” Wanita paruh baya itu berjalan mendekat ke arah Rosaline dengan wajah penuh amarah, kedua tangan juga mengep
Pagi-pagi sekali, Janu segera pergi ke kantor Ferinco.Empat tahun tidak pernah mengunjunginya, gedung pencakar langit itu masih sama, tidak banyak hal yang berubah, hanya mengalami renovasi di beberapa titik denah. Janu mengikuti arah langkah Manggala yang berjalan lebih dulu di depannya, mengantarnya menuju tempat tujuan. Setelah beberapa saat menyusuri lorong, dan menaiki lift, mereka bedua akhirnya tiba di depan ruang milik Rosaline.Sementara Manggala menghela napas panjang sebelum menepuk pundak Janu. Pria yang berusia lebih muda darinya itu merentangkan tangan. “Akhirnya, kau kembali. Welcome back to work!”“Thanks, Brother! Kau harus menemaniku memulai semuanya dari awal,” ucap Janu membalas pelukan Manggala. “Itu pasti! Oh iya, Kau langsung masuk saja, biasanya Rosaline akan datang sebentar lagi.” Manggala melepas peluknya, lalu melirik arloji perak pada tangan kirinya. Pria berjas itu lalu mengambil sebuah kartu dari dalam saku jasnya.“ID card milikmu, mulai hari ini kau
Selepas bertemu dengan Manggala di kafe, menjelang makan siang Janu kembali ke rumah. Kedatangan pria itu disambut oleh si kembar yang berlari ke arahnya seraya memanggil, “Ayah!”“Yeeeay! Ayah pulang!”Janu pun menggendong mereka berdua. “Kamu sudah selesai, Mas?” tanya Gemintang ketika melihat Janu menggendong putra dan putrinya. Dia melihat sekilas ke arah Janu, sebelum mengembalikan pandangan pada untaian daun bawang di hadapannya.“Sudah,” jawab Janu ketika menurunkan Keenan dan Kinara di ruang tengah. Kedua bocah itu segera menghampiri mainan mereka lagi. Sementara Janu mendekat ke arah Gemintang yang sedang sibuk di dapur. “Apa yang kalian bahas? Sepertinya kamu ceria sekali setelah bertemu dengan mantan istri?” mendengar itu Janu terkekeh. Selanjutnya melingkarkan lengannya di tubuh Gemintang. Dagunya bersandar di pundak kanan wanita itu. “Kamu cemburu, hm?”“Tidak. Hanya penasaran, apa yang dibahas suamiku ketika bertemu mantan sehingga ketika pulang wajahnya bisa sumring
Janu memandangi surat itu dalam diam. Hatinya berkecamuk antara kaget dan heran. Satu sisi, ia merasa diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun di sisi lain, ada keraguan yang masih muncul dalam hatinya. Apakah ini semua bisa dipercaya? Atau hanya akal-akalan Rosaline saja?"Aku mengerti keraguanmu. Awalnya, aku tidak ingin percaya dengan Rosaline, tetapi, jika dipikirkan ulang, untuk apa dia rela untuk melepas ini semua, kalau bukan karena dia memang ingin berubah?"Janu masih membisu, mencoba mempertimbangkan kata-kata sang sepupu. Hingga akhirnya, pria itu membuka suara. “Jika aku menerima kembali ini semua, lantas bagaimana dengan Rosaline?”“Dia sudah punya tujuannya sendiri. Kau tidak perlu cemaskan itu, yang penting sekarang dia sudah berada di pihakku, dia juga sudah bersedia bersaksi atas semua kesalahan Bu Dewi.”“Dia bersedia?” ulang Janu, tak percaya. “Iya, yang aku tahu hubungannya dengan Bu Dewi memburuk. Anak buahku melapor jika Rosaline tinggal di aparteme
“Aku tidak tahu, tetapi Manggala bilang Rosaline ingin bertemu denganku.”Janu memperhatikan wajah istrinya yang berubah. Begitu nama Rosaline disebut, senyum di wajah Gemintang pudar perlahan. Janu paham, hati wanita itu begitu sensitif, terlebih jika mendengar nama mantan atau orang yang pernah menjadi masa lalu pasangannya.Dia bahkan tahu, Rosaline adalah sumber masalah mereka selama ini. Seharusnya nama itu tak pernah ia sebutkan.“Rosaline?” ulang Gemintang, “Kamu… masih berhubungan dengan dia?”Janu cepat-cepat menggeleng. “Tidak. Jangan salah paham dulu. Aku sudah lama putus kontak dengannya. Kalau kamu tidak percaya, kamu boleh tanya ke Manggala. Aku juga tidak tahu apa yang akan Rosaline bicarakan; tiba-tiba saja dia meminta bertemu.”Gemintang tetap diam, membuat Janu khawatir dia akan marah.“Begini saja, kita pergi bersama, supaya kamu tahu apa yang akan Rosaline bicarakan,” tawar Janu, berharap bisa menenangkan hati istrinya.Namun, jawaban Gemintang tak sesuai harapannya
“Mengembalikan apa yang seharusnya menjadi milik Janu.”Manggala menatap map berwarna biru yang baru saja disodorkan Rosaline. Sepasang matanya menyipit kala melihat barisan tinta yang tertulis di atas kertas itu. Apakah semudah itu Rosaline menyerahkan kembali semua aset yang telah dia dapatkan ini?“Kalau kau berpikir aku punya rencana buruk, kau salah. Aku serius, Manggala. Aku ingin mengakhiri semua ini. Aku bersedia menjadi saksi. Bahkan jika aku dinyatakan bersalah, aku siap menerima konsekuensinya.” Rosaline mengatakan kalimat itu dengan suara yang agak parau. Sebenarnya Manggala iba dengan wanita itu, tetapi mengingat semua perbuatannya di masa lalu, ia tetap harus waspada, bukan? Bisa saja ini hanya permainan liciknya?“Apa yang membuatmu berubah pikiran seperti ini, Rosaline? Apa yang akan terjadi ketika kau mengembalikan semua ini pada Janu?” Manggala bertanya setelah menyeruput kopinya. Helaan napas panjang meluncur dari bibir Rosaline. “Sudah kukatakan sebelumnya karena
“Maksudmu… Janu?” Manggala mengulang, keningnya berkerut, mencoba mencerna maksud ucapan Rosaline. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba membicarakan pria itu.Mengingat sudah bertahun-tahun lamanya wanita itu tak mengungkit nama Janu. Hingga sekarang ketika Janu sudah bersama lagi dengan Gemintang, mengapa tiba-tiba dia membahas soal pria itu?Apa dia sudah tahu tentang mereka?[“Ya, aku tidak bisa menjelaskan di sini. Aku ingin bertemu denganmu sekarang. Akan aku jelaskan semuanya.”] Rosaline menjawab dari seberang sana. Suaranya terdengar parau. Entah apa yang terjadj dengan wanita itu tetapi Manggala hanya bisa menebak-nebak. Manggala menghela napas panjang, bergulat dengan keengganan, tetapi rasa penasaran yang begitu besar memaksanya setuju. “Oke, sebaiknya kita bertemu di luar kantor saja. Takutnya ada banyak orang yang mendengar,” usulnya yang kemudian disetujui oleh Rosaline. Setelah sepakat, mereka meluncur ke sebuah kafe di pusat kota. Meski ramai, mereka menemukan s