Janu berdiri di koridor kelompok bermain Kasih Ibu, memandangi kelas tempat Kinara dan Keenan belajar.Seharusnya, hari ini adalah hari terakhir ia berada di kelompok bermain itu. Dia dan teamnya sudah selesai dengan urusan disini. Semua interior yang mereka pesan dari Infinite sudah terinstall dengan baik. Kepala sekolah pun puas dengan kinerja mereka. Sebenarnya dia bisa saja langsung pulang, tetapi dia ingin bertemu dengan kinara sekali lagi sebagai bentuk rasa terima kasih. Anak itu sudah membantu Janu mengobati rasa rindunya. Hari ini, dia hanya ingin memberikan hadiah dan bermain sebentar sebelum kembali ke hotel. Kini, dia menggenggam sebuah paper bag yang berisi dua buket makanan ringan dan beberapa hadiah kecil. Waktu istirahat telah tiba, dan anak-anak mulai keluar dari kelas menuju halaman. Namun, Kinara dan Keenan masih bermain di dalam."Papa!" seru Kinara begitu melihatnya di depan pintu kelas, senyum cerah menghiasi wajahnya. Dia hendak berlari mendekati Janu, nam
Gemintang berdiri kaku, bibirnya sedikit terbuka, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Rasa sakit tiba-tiba menghantam kembali saat melihat pria yang selama ini ia coba singkirkan dari hidupnya.Sementara itu, di sisi lain, Keenan dan Kinara masih tersenyum senang, tak menyadari ketegangan di wajah ibunya.Janu… mengapa dia ada di sini?"Gemintang?" Janu memanggil lagi, memecah keheningan. Suara beratnya terdengar lembut dan sarat kerinduan.Dia hendak mendekat, tetapi urung ketika tatapan Gemintang langsung berubah nyalang.“Kinara, Keenan! Ayo pulang sekarang!” kata Gemintang. Nadanya tegas, hampir tidak memperhatikan Janu yang berdiri di dekat mereka.Senyum Kinara memudar, wajahnya bingung menatap ekspresi sang ibu yang tiba-tiba berubah marah."Tapi Ibu, Nara mau main sama Papa..." Suara gadis itu terdengar bergetar. Tangan kecilnya berusaha menggapai Janu lagi.Gemintang tidak menunggu lama. Dengan cepat, dia menghampiri Kinara dan menarik tangan anak itu. "Tidak ada 'Papa',
Hanya butuh semalam bagi Janu untuk mengetahui tempat usaha Gemintang. Pagi-pagi sekali, dia berdiri di depan G'lars Bakery and Resto, toko roti sekaligus restoran milik Gemintang.Beruntungnya, Miss Rani sempat bercerita sedikit kemarin.Dia tidak menyangka, jika G'lars yang dulu pernah ia dengar dan menggemparkan banyak orang adalah istrinya sendiri.Dengan langkah mantap, Janu masuk ke dalam toko. Aroma roti yang baru dipanggang memenuhi ruangan, namun bukan itu yang ia cari. Dia hanya ingin satu hal—bicara dengan Gemintang dan menyelesaikan semua hal yang belum tuntas di antara mereka.Seorang pegawai peremuan mengenakan name tag Aruna menyambutnya dengan senyum ramah. "Selamat pagi, Pak, toko kami belum sepenuhnya buka, tetapi jika Bapak ingin beli kue bisa saya bantu mau pesan menu atau kue apa?"Sebuah senyuman singkat diberikan Janu. "Saya tidak pesan kue, tetapi saya ingin bertemu dengan Gemintang hari ini. Apakah kamu bisa bantu saya?""Maaf, Pak, tapi Ibu Gemintang belum da
“A—apa maksudmu? Istri pertama Mas Janu?" Kafe yang sebelumnya terasa dingin, seketika menjadi panas saat Gemintang Larasati mendengar ucapan wanita asing di hadapannya. Karena membawa kata “utang”, Gemintang pikir sang suami melakukan kesalahan besar terhadap Rosaline yang tadi mencegatnya saat hendak menjemput sang putri dari sekolah. Akan tetapi, dugaan Gemintang salah besar!“Ya. Mungkin kamu tidak percaya, tetapi inilah yang terjadi. Aku dan Mas Janu adalah suami-istri,” balas Rosaline tenang sembari mengangkat tangan kirinya, menunjukkan sebuah cincin berlian melingkar di jari manisnya.Mata Gemintang membelalak. “Rosaline, mungkin kamu salah orang. Suamiku hanya seorang pekerja kantoran biasa. Kami hanya orang sederhana. Berbeda dengan kamu yang—”“Suami kita, bukan orang sembarangan. Dia adalah pemilik sekaligus CEO Ferinco Steel, perusahaan industri baja ringan yang cukup besar di Indonesia,” potong wanita asing di hadapan Gemintang.“Tidak mungkin!” ujar Gemintang dengan su
“Hai, Maura! Aku punya hadiah untukmu!” Alih-alih menjawab, Rosaline tiba-tiba memberi anak Gemintang dua buah coklat dalam bungkusan emas.“Thank you, Aunty.”“Ah, sama-sama, Sayang!” Rosaline mengusap pipi Maura. “Lucunya! Mata, hidung dan bibirnya sangat mirip dengan Mas Janu," puji wanita itu.Namun, Maura malah menjauh.Gemintang sadar anaknya tidak terlalu nyaman dengan orang asing. Jadi, dia menyuruh Maura untuk pergi sesaat ke playground yang tersedia di kafe."Mari kita lanjutkan pembicaraan tadi. Kenapa kamu membiarkan Mas Janu mendua?" ujar Gemintang kembali pada Rosaline.Jika tadi wanita itu menampilkan senyum yang ramah pada sang putri, kali ini Rosaline kembali menatap sinis Gemintang."Mas Janu tidak sebrengsek yang kamu kira, Gemintang," ucap Rosaline begitu tenang, "Dia pria yang baik. Dia menerima diriku ini apa adanya dan tidak pernah ingin menikahi wanita lain. Justru aku yang meminta dan memaksa Mas Janu menikahimu."Deg!Walau hatinya sedang kecewa, Gemintang s
“Kenapa kalian membuat permainan tanpa peduli dengan perasaan orang lain?” lirih Gemintang, pedih. “Kamu juga seorang wanita, Rosaline! Seharusnya–”“Tidak terbalik? Seharusnya aku yang berkata seperti itu,” potong Rosaline, “Tidak ada istri yang sanggup diduakan seumur hidup. Aku justru membiarkan kalian selama ini.”“Jika kau tidak ingin masalah ini berbuntut panjang, kau hanya perlu tinggalkan Janu dan serahkan Maura padaku,” ucapnya lagi.Mendengar itu, kepala Gemintang rasanya ingin meledak.Bahkan setelah pulang dari kafe wanita itu tak bisa berhenti memikirkan pertemuannya dengan Rosaline.Kalimat demi kalimatnya terus saja terngiang di kepala. Ia tak memiliki daya untuk melakukan apa pun. Bahkan saat Maura mengacak-acak mainannya, Gemintang hanya bisa memandangi tanpa mengeluarkan komentar satu pun.Bagaimana bisa ia menyerahkan putrinya begitu saja?Mungkin dia bisa terima jika Janu meninggalkannya, tetapi ia tak akan sanggup hidup tanpa Maura.Memikirkan itu membuat Geminta
Untuk sesaat Maura terdiam. Seolah sedang mengingat nama seseorang yang memberinya coklat itu tadi siang. “Maura tidak tahu namanya. Tapi tadi ibu ber—”“Itu coklat dari wali murid, Mas. Mungkin Maura mengira kami berteman.” Gemintang menyahut sebelum Maura melanjutkan jawabannya. “Katanya baru pulang liburan ke luar negeri. Kebetulan Maura dapat dua, yang satu sudah dimakan tadi.”Gemintang sudah mencari tahu merk coklat itu, sehingga bisa memberikan jawaban masuk akal kepada suaminya dan ia berharap alasan itu tak membuat Janu curiga. Untungnya, Maura tidak menginterupsi. Gadis kecil itu hanya meminta lagi agar Janu membelikan cokelat serupa.Janu lantas mengambil cokelat yang dipegang Maura dan mengamatinya sebentar. “Nanti kalau Ayah sudah gajian, pasti belikan. Tapi, cokelat ini tidak dijual di negara kita.”“Memangnya yang dijual di mana, Ayah?” Gadis itu tampak kecewa.“Di Singapura. Apa kamu tahu? Maura sering belajar nama negara bersama ibu, kan?”Maura mengangguk cepat. “Ya
Tiba-tiba saja Janu terkekeh pelan... “Jangan khawatir, Sayang. Sebelum membahasnya, aku ingin memberikan sesuatu kepadamu.”Lelaki itu melepaskan genggamannya, lalu mengambil paper bag hitam dan mendorongnya ke arah Gemintang. Dengan hati-hati, Gemintang membuka isinya. Sebuah kotak beludru hitam dengan logo bunga emas terpatri di atasnya.Tanpa perlu penjelasan pun, Gemintang tahu isi kotak itu. ”Mas, ini untukku?” tanyanya ragu.Janu mengangguk. “Bukalah, lihat apakah kamu suka atau tidak dengan model yang aku pilih?”Gemintang lalu membuka penutup kotak itu. Ia takjub kala melihat set perhiasan dengan permata merah yang berkilauan itu tertata rapi di dalamnya. Sungguh, itu barang mahal yang pernah ia lihat seumur hidupnya. Ini bahkan bukan hari yang spesial baginya.“Bagaimana? Apakah kamu menyukainya?” tanya Janu, mengamati reaksi istrinya.“Su-suka, Mas. Tapi ini terlalu berlebihan, bukan? Kamu—”“Jangan pikirkan berapa harganya. Aku tahu, kamu pasti merisaukan itu,” potong le