Di sisi lain, Janu tampak begitu gembira.Setelah mendapatkan izin dari Gemintang, pria itu bahkan mulai memberikan perhatian penuh pada ketiga anaknya.Pagi-pagi sekali, ia datang untuk mengantar mereka ke sekolah, dan siang harinya kembali menjemput mereka sekaligus mengajak makan siang. Ia ingin menebus waktu yang terlewati karena kebodohannya.Setelah selesai, barulah ia pulang ke hotel dengan alasan harus bekerja. Setidaknya, alasan itu membuat anak-anak tidak kebingungan mengapa ayah dan ibunya tidak tinggal bersama.Meski waktunya hanya sedikit, ia memanfaatkan setiap momen yang ada untuk semakin mengenal mereka. Untungnya, kedekatan mereka perlahan-lahan mulai tumbuh. Namun, seperti yang bisa diduga, Keenan belum sepenuhnya percaya padanya.Entah mengapa anak laki-lakinya itu, tak mau menerimanya?“Kakak, uncle yang itu sekarang jadi papanya Keen?” tanya Keenan suatu hari saat mereka sedang menunggu makan siang di restoran.Janu mendengar pertanyaan itu, dan ada perasaan g
“Kenapa Maura bilang seperti itu? Ayah dan Ibu memang jarang bersama karena banyak pekerjaan. Kerja Ayah sekarang malam hari, jadi, waktu untuk Maura dan adik-adik, hanya waktu siang. Sedangkan Ibu bekerja di pagi hari.”“Kalau cuma masalah pekerjaan, kenapa Ayah tidak pulang ke rumah?” Maura menyahut cepat, suaranya penuh tuntutan, seolah mencari jawaban yang lebih jelas.Janu menarik napas panjang, matanya menatap lembut ke arah Maura yang masih menunggu dengan gelisah.“Maura…,” Janu memulai dengan hati-hati, memilih kata-kata yang tepat agar tidak terlalu berat untuk putrinya. “Ayah tahu ini membingungkan buat kamu, tapi ada beberapa hal yang belum bisa kamu pahami sepenuhnya.”Maura menatap ayahnya dengan tatapan menelusur, seolah mencari jawaban yang lebih dalam. “Hal apa itu?”Janu mengusap lembut puncak kepala Maura. “Ayah dan Ibu sedang melalui masa sulit, Nak. Masa yang tidak mudah untuk kami berdua.”Maura menatap ayahnya lebih tajam, matanya mulai berkaca-kaca. “Masa sulit?
"Bicara apa?"Janu mengalihkan pandangannya sejenak ke arah anak-anak yang sibuk bermain di ruang tengah, sebelum merogoh sesuatu dari dalam saku jasnya.Sebuah kotak beludru berwarna merah. Janu lalu memberikan kotak itu kepada Gemintang. Apa ini?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada lebih pelan, matanya menyelidik.“Hanya hadiah kecil,” ujar Janu sambil menatapnya lembut. “Aku tidak sengaja melihatnya saat di mall tadi. Aku harap kamu suka.”Gemintang membuka kotak itu dengan perlahan, memperlihatkan sebuah gelang emas sederhana yang berkilau di dalamnya. Gelang itu tidak mewah, tidak besar, tetapi dibuat dengan desain yang halus dan minimalis.Gemintang menatap gelang itu dengan pandangan penuh keraguan. “Kamu tidak perlu memberiku hadiah. Cukup anak-anak saja,” katanya lalu mengembalikannya lagi pada Janu, tetapi pria itu menahannya.“Anggap saja, sebagai rasa terima kasih, karena sudah mengijinkan aku bertemu dengan anak-anak beberapa hari ini.”“Terima kasih,” jawab Gemintang
Janu terdiam sejenak, tertegun melihat Gemintang yang akhirnya mengangguk, meski ia bisa merasakan keraguan yang terlihat jelas dari sikap dinginnya. Maura, yang mendengar izin dari ibunya, langsung melompat kegirangan. “Yes! Nanti malam Maura tidur sama Ayah!” Dengan langkah cepat, ia berlari ke ruang tengah, meneriakkan kabar gembira itu kepada adik-adiknya, sementara Janu dan Gemintang tetap berdiri dalam kesunyian yang canggung. "Kamu berubah pikiran?" Janu akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Gemintang tidak segera menjawab. Ia menatapnya sejenak, ekspresinya tetap datar, dingin, penuh jarak. “Jangan salah paham,” ucapnya akhirnya, nadanya pelan tapi tegas. “Aku hanya tidak mau Maura kecewa.” Janu mengangguk pelan, menahan perasaan perih yang menjalar di dadanya. Ia sudah terbiasa dengan dinding tebal yang istrinya bangun sejak mereka berpisah. Tapi di balik semua itu, Janu tetap menghargai kesempatan ini. Kesempatan untuk bisa bersama anak-anaknya, meski hanya
Setelah mengatakan itu kepada Bu Ningrum, Janu perlahan melangkah masuk ke dalam rumah Gemintang. Begitu masuk, Maura langsung menyambutnya dengan wajah ceria, sementara Kinara dan Keenan berlarian di sekelilingnya dengan antusias. Mereka tak henti-hentinya mengajak Janu bermain.“Ayah! Main lagi dong!” teriak Kinara sambil melompat-lompat di sofa.Janu tersenyum, meski lelah mulai menjalari tubuhnya. Ia tidak ingin mengecewakan anak-anak. “Oke, tapi sebentar ya, habis itu kalian harus mandi,” katanya menanggapi Kinara sambil melirik ke arah Gemintang yang sedang mempersiapkan makan malam di dapur.Anak-anak terus bermain dengan penuh tawa dan kebahagiaan, menciptakan suasana hangat yang jarang dirasakan di rumah itu belakangan ini. Janu, meskipun kelelahan, ikut terlarut dalam keceriaan mereka. Setiap canda dan tawa yang keluar dari mulut si kembar dan Maura adalah pengingat betapa berharga momen-momen kecil ini.Hingga waktu berjalan begitu cepat. Gemintang melirik ke arah jam dindi
Setelah menghabiskan waktu bersama anak-anak seharian penuh, sore harinya Janu merasa saatnya tiba untuk berpamitan. Ada rasa tidak rela saat dia menarik koper dan tasnya ke ruang tengah. Terlebih ketika melihat anak-anaknya yang masih bermain dengan ceria. Maura duduk di meja kecilnya, asyik menggambar, sementara Kinara dan Keenan berlarian di sekelilingnya sambil tertawa riang.Janu berhenti sejenak, memperhatikan mereka. Kembali dia dilema. Ingin tetap tinggal bersama anak-anaknya, tetapi kenyataan memaksanya untuk pergi. Keharusan pekerjaan dan tanggung jawab lain menuntut kehadirannya di tempat lain. Dengan helaan napas yang berat, Janu meniup udara dari bibirnya dan melanjutkan langkahnya menuju ruang tengah.“Kamu sudah mau pergi?” tanya Gemintang yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Pandangannya sekilas menuju anak-anak yang masih belum menyadari kepergian ayah mereka.Janu mengangguk pelan. "Sebentar lagi, taksi online-ku datang."Gemintang mengerutkan kening, terlihat rag
Beberapa jam setelah kepergian Janu, suasana rumah kembali sepi. Anak-anak sudah tertidur, sementara Gemintang masih duduk di ruang tengah, cangkir kopi yang sudah dingin di tangannya. Matanya memandang kosong ke arah jendela, seolah mencari jawaban di luar sana.Bu Ningrum, yang sejak tadi mengamati putrinya dari sudut ruangan, perlahan mendekat. Ia tahu, sejak berpisah dengan Janu, meskipun Gemintang terlihat tegar di luar, ada pergulatan emosi yang tengah terjadi di dalam dirinya."Gemintang," panggil Bu Ningrum pelan. Wanita paruh baya itu duduk di sebelah putrinya, menyentuh bahunya dengan lembut. “Ini sudah larut, kenapa belum istirahat?”Gemintang mengangkat wajahnya ke arah ibunya, lalu menegakkan tubuhnya dan meletakkan cangkir di tangannya ke atas meja. "Aku... sedang tidak bisa tidur saja, Bu. Ibu sendiri, kenapa belum tidur?"“Ibu baru saja dari kamar mandi, baru mau tidur, tapi malah lihat kamu di sini. Ada apa, Gemintang? Ibu lihat kamu sedang memikirkan sesuatu,” tanya
Sekitar dua puluh menit kemudian, Janu terbangun. Matanya perlahan terbuka, mengerjap beberapa kali saat ia mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya lampu yang menerangi ruangan bernuansa biru itu. Kepalanya terasa berat, namun jauh lebih baik daripada sebelumnya.Sayup-sayup, telinganya menangkap beberapa suara dari luar ruangan—percakapan perawat dan dokter yang terdengar samar, roda troli berderak di sepanjang lorong, serta langkah kaki yang lalu-lalang. Begitu menyadari sebuah infus terpasang di tubuhnya, Janu mendesah pelan. Ia paling benci berada di tempat seperti ini.“Kau sudah bangun?” tanya Manggala, segera berdiri dan membantu Janu yang mencoba duduk. “Apa yang kau rasakan? Sudah lebih baik?”Janu mengangguk sedikit, meskipun wajahnya masih menunjukkan ketidaknyamanan. “Kenapa kau membawaku ke sini?” tanyanya lalu melirik selang infus di tangan kirinya.“Lalu kau mau aku membawamu langsung ke pemakaman?” sindir Manggala kemudian. Pria itu mendengkus kesal, meski setelahnya
Beberapa bulan setelah itu, Baskara sedang menyimak berita yang sedang trending di media. Soal Janu dan Gemintang yang sedang naik bisnisnya. Juga hubungan mereka yang diperdebatkan banyak orang. Entah bagaimana ia harus merasa. Dia tak rela, tetapi itulah menjadi pilihan Gemintang. Aruna yang tahu perasaan lelaki itu menyandarkan tubuhnya di kursi sebelah Baskara yang sedang menatap layar ponselnya, memperhatikan berita tentang Janu dan Gemintang. Semburat senyum tipis terlihat di wajahnya, tetapi matanya menunjukkan kesedihan yang tak tersembunyikan.“Kenapa Bapak masih melihat berita mereka?” Aruna bertanya lembut, mengambil alih perhatian Baskara yang sepertinya larut dalam pikirannya sendiri.Baskara menghela napas, mengunci layar ponselnya dan meletakkannya di meja. “Entahlah, mungkin aku hanya ingin memastikan bahwa dia bahagia di sana.”Aruna tersenyum lembut, mencoba mengusir suasana muram di wajah Baskara. “Gemintang memang sudah memilih jalannya sendiri, Pak. Terkadang, m
“Kalian memang manusia tidak tahu diuntung! Awas saja! Awas saja kalian!”Usai mengatakan demikian, Bu Dewi gegas pergi dari ruangan itu, meninggalkan Janu dan Rosaline yang kini berdiri pada posisinya masing-masing. “Bibirmu berdarah.” Janu menunjuk setitik darah yang tampak di sudut bibir Rosaline.Janu lalu menghubungi sekretaris untuk meminta kotak obat lewat sambungan pararel.“Duduklah, sekretaris akan datang bawakan obat.”Rosaline kemudian duduk di sofa, sementara Janu mengambilkan satu botol air mineral dan membukakan tutupnya untuk Rosaline, bersamaan dengan itu pula, sekretaris Rosaline mengantar obat. Saat sekretarisnya memberikan kotak obat, Rosaline menunduk sambil mengambilnya dari tangan sang sekretaris. "Terima kasih, tapi saya bisa obati sendiri," ucapnya pelan yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh sang sekretaris.Janu menyerahkan botol air mineral yang baru saja ia buka untuk Rosaline. “Ini, minumlah dulu,” ujarnya dengan nada lembut. Rosaline mengucapkan te
“Kau yakin aku ingin membahas hal itu?” Rosaline memelankan suaranya. Dia sedikit terkejut dengan permintaan Janu. “Lakukan saja, pancing hingga dia mengatakan semuanya.”Rosaline mengangguk.Janu lantas beringsut mundur, mencari tempat strategis, tak lupa membawa pena perekam yang diberikan oleh Rosaline dan memastikan dirinya tak meninggalkan jejak apapun. “Rosaline!”Seruan Bu Dewi semakin jelas dan keras, hampir memekakan telinganya. Rosaline lalu membawa dirinya duduk di kursi direktur, membuka laptopnya dan bersikap seolah ia sedang bekerja. Hingga akhirnya ….Brakk! Pitu ruangannya dibuka dengan kasar, Rosaline menghentikan gerakan jarinya di atas papan ketik. Dia mendongak menatap Bu Dewi yang memberikan ekpsresi marahnya. “Bisa-bisanya meminta sekretarismu untuk berbohong dan mengatakan kau sedang menemui tamu, padahal kau sedang tidak bertemu dengan siapa-siapa?” Wanita paruh baya itu berjalan mendekat ke arah Rosaline dengan wajah penuh amarah, kedua tangan juga mengep
Pagi-pagi sekali, Janu segera pergi ke kantor Ferinco.Empat tahun tidak pernah mengunjunginya, gedung pencakar langit itu masih sama, tidak banyak hal yang berubah, hanya mengalami renovasi di beberapa titik denah. Janu mengikuti arah langkah Manggala yang berjalan lebih dulu di depannya, mengantarnya menuju tempat tujuan. Setelah beberapa saat menyusuri lorong, dan menaiki lift, mereka bedua akhirnya tiba di depan ruang milik Rosaline.Sementara Manggala menghela napas panjang sebelum menepuk pundak Janu. Pria yang berusia lebih muda darinya itu merentangkan tangan. “Akhirnya, kau kembali. Welcome back to work!”“Thanks, Brother! Kau harus menemaniku memulai semuanya dari awal,” ucap Janu membalas pelukan Manggala. “Itu pasti! Oh iya, Kau langsung masuk saja, biasanya Rosaline akan datang sebentar lagi.” Manggala melepas peluknya, lalu melirik arloji perak pada tangan kirinya. Pria berjas itu lalu mengambil sebuah kartu dari dalam saku jasnya.“ID card milikmu, mulai hari ini kau
Selepas bertemu dengan Manggala di kafe, menjelang makan siang Janu kembali ke rumah. Kedatangan pria itu disambut oleh si kembar yang berlari ke arahnya seraya memanggil, “Ayah!”“Yeeeay! Ayah pulang!”Janu pun menggendong mereka berdua. “Kamu sudah selesai, Mas?” tanya Gemintang ketika melihat Janu menggendong putra dan putrinya. Dia melihat sekilas ke arah Janu, sebelum mengembalikan pandangan pada untaian daun bawang di hadapannya.“Sudah,” jawab Janu ketika menurunkan Keenan dan Kinara di ruang tengah. Kedua bocah itu segera menghampiri mainan mereka lagi. Sementara Janu mendekat ke arah Gemintang yang sedang sibuk di dapur. “Apa yang kalian bahas? Sepertinya kamu ceria sekali setelah bertemu dengan mantan istri?” mendengar itu Janu terkekeh. Selanjutnya melingkarkan lengannya di tubuh Gemintang. Dagunya bersandar di pundak kanan wanita itu. “Kamu cemburu, hm?”“Tidak. Hanya penasaran, apa yang dibahas suamiku ketika bertemu mantan sehingga ketika pulang wajahnya bisa sumring
Janu memandangi surat itu dalam diam. Hatinya berkecamuk antara kaget dan heran. Satu sisi, ia merasa diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun di sisi lain, ada keraguan yang masih muncul dalam hatinya. Apakah ini semua bisa dipercaya? Atau hanya akal-akalan Rosaline saja?"Aku mengerti keraguanmu. Awalnya, aku tidak ingin percaya dengan Rosaline, tetapi, jika dipikirkan ulang, untuk apa dia rela untuk melepas ini semua, kalau bukan karena dia memang ingin berubah?"Janu masih membisu, mencoba mempertimbangkan kata-kata sang sepupu. Hingga akhirnya, pria itu membuka suara. “Jika aku menerima kembali ini semua, lantas bagaimana dengan Rosaline?”“Dia sudah punya tujuannya sendiri. Kau tidak perlu cemaskan itu, yang penting sekarang dia sudah berada di pihakku, dia juga sudah bersedia bersaksi atas semua kesalahan Bu Dewi.”“Dia bersedia?” ulang Janu, tak percaya. “Iya, yang aku tahu hubungannya dengan Bu Dewi memburuk. Anak buahku melapor jika Rosaline tinggal di aparteme
“Aku tidak tahu, tetapi Manggala bilang Rosaline ingin bertemu denganku.”Janu memperhatikan wajah istrinya yang berubah. Begitu nama Rosaline disebut, senyum di wajah Gemintang pudar perlahan. Janu paham, hati wanita itu begitu sensitif, terlebih jika mendengar nama mantan atau orang yang pernah menjadi masa lalu pasangannya.Dia bahkan tahu, Rosaline adalah sumber masalah mereka selama ini. Seharusnya nama itu tak pernah ia sebutkan.“Rosaline?” ulang Gemintang, “Kamu… masih berhubungan dengan dia?”Janu cepat-cepat menggeleng. “Tidak. Jangan salah paham dulu. Aku sudah lama putus kontak dengannya. Kalau kamu tidak percaya, kamu boleh tanya ke Manggala. Aku juga tidak tahu apa yang akan Rosaline bicarakan; tiba-tiba saja dia meminta bertemu.”Gemintang tetap diam, membuat Janu khawatir dia akan marah.“Begini saja, kita pergi bersama, supaya kamu tahu apa yang akan Rosaline bicarakan,” tawar Janu, berharap bisa menenangkan hati istrinya.Namun, jawaban Gemintang tak sesuai harapannya
“Mengembalikan apa yang seharusnya menjadi milik Janu.”Manggala menatap map berwarna biru yang baru saja disodorkan Rosaline. Sepasang matanya menyipit kala melihat barisan tinta yang tertulis di atas kertas itu. Apakah semudah itu Rosaline menyerahkan kembali semua aset yang telah dia dapatkan ini?“Kalau kau berpikir aku punya rencana buruk, kau salah. Aku serius, Manggala. Aku ingin mengakhiri semua ini. Aku bersedia menjadi saksi. Bahkan jika aku dinyatakan bersalah, aku siap menerima konsekuensinya.” Rosaline mengatakan kalimat itu dengan suara yang agak parau. Sebenarnya Manggala iba dengan wanita itu, tetapi mengingat semua perbuatannya di masa lalu, ia tetap harus waspada, bukan? Bisa saja ini hanya permainan liciknya?“Apa yang membuatmu berubah pikiran seperti ini, Rosaline? Apa yang akan terjadi ketika kau mengembalikan semua ini pada Janu?” Manggala bertanya setelah menyeruput kopinya. Helaan napas panjang meluncur dari bibir Rosaline. “Sudah kukatakan sebelumnya karena
“Maksudmu… Janu?” Manggala mengulang, keningnya berkerut, mencoba mencerna maksud ucapan Rosaline. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba membicarakan pria itu.Mengingat sudah bertahun-tahun lamanya wanita itu tak mengungkit nama Janu. Hingga sekarang ketika Janu sudah bersama lagi dengan Gemintang, mengapa tiba-tiba dia membahas soal pria itu?Apa dia sudah tahu tentang mereka?[“Ya, aku tidak bisa menjelaskan di sini. Aku ingin bertemu denganmu sekarang. Akan aku jelaskan semuanya.”] Rosaline menjawab dari seberang sana. Suaranya terdengar parau. Entah apa yang terjadj dengan wanita itu tetapi Manggala hanya bisa menebak-nebak. Manggala menghela napas panjang, bergulat dengan keengganan, tetapi rasa penasaran yang begitu besar memaksanya setuju. “Oke, sebaiknya kita bertemu di luar kantor saja. Takutnya ada banyak orang yang mendengar,” usulnya yang kemudian disetujui oleh Rosaline. Setelah sepakat, mereka meluncur ke sebuah kafe di pusat kota. Meski ramai, mereka menemukan s