“Perlu aku temani ke sana?” tanya Manggala kemudian. Dia melihat situasi yang dihadapi Janu terlihat kurang baik. Jika dia ikut, mungkin bisa membantunya. “Maksudku, jika nanti kau butuh pihak ketiga untuk bicara baik-baik dengan Gemintang, aku bisa membantumu. Aku juga ada di ruangan mu pagi ini, dan aku juga tahu semua apa yang kau ucapkan. Aku bisa jadi saksi.”Manggala benar. Dia bisa jadi saksi, tetapi yang Janu khawatirkan jika Gemintang tidak percaya karena menganggap Manggala adalah orangnya. Janu lalu menggelengkan kepalanya. “Kau tunggu di sini. Biar aku sendiri saja. Lagipula, aku harus bertemu dengan ibu mertuaku, jika mengajakmu takutnya membuat mereka salah paham aku menginginkan pembelaan.”Manggala mengangguk setuju. “Kalau begitu maumu baiklah. Tapi, apa kau yakin Gemintang mau menemuimu? Bagaimana jika dia tidak mau, apa yang akan kau lakukan?”Kini, Janu kembali berpikir, telunjuk dan ibu jarinya tak henti memijat kepalanya sendiri. “Apa pun yang terjadi, setidaknya
Tiga hari berlalu.Pagi ini, Manggala berniat menjenguk Janu. Sudah tiga hari pria itu tidak masuk kerja, dan Manggala kewalahan menangani berbagai masalah seorang diri.Saat tiba di rumah kecil itu, Manggala dikejutkan oleh pemandangan yang sangat memprihatinkan. Tiga botol minuman beralkohol tinggi berserakan di ruang tengah. Dua di antaranya kosong, dan satu masih terisi setengah. Janu duduk di lantai dengan pandangan kosong. Satu tangan memegang gelas berisi anggur hitam, sementara tangan lainnya memijat kepalanya.Dia tampak kacau.Wajahnya kusut, rambutnya acak-acakan, dan matanya merah, jelas menunjukkan kelelahan dan mabuk berat.“Astaga!” Manggala segera meletakkan paper bag berisi makanan di meja. Dia cepat mendekat dan merebut gelas dari tangan Janu. “Apa yang kau lakukan? Kau sudah bosan hidup, huh?”Janu menoleh pelan, tetapi tidak menjawab. Matanya yang kosong menatap lurus ke depan, seolah tidak mendengarkan Manggala. Ia menjambak rambutnya sendiri, terperangkap dalam
Sementara itu, di sisi lain, Gemintang berada dalam keadaan yang tidak kalah kacau. Dia mengurung diri di kamar apartemen Baskara, tidak makan, tidak minum, dan hanya menangis sepanjang hari. Pikirannya dipenuhi rasa sakit dan kekecewaan yang mendalam. Hidupnya terasa hancur setelah mengetahui kenyataan pahit tentang pernikahannya.Baskara berusaha keras untuk menghiburnya. Namun, setiap kali dia masuk ke kamar, dia hanya menemukan Gemintang terbaring lemah di ranjang, wajahnya basah oleh air mata.“Gemintang, kau harus makan sesuatu. Kau tidak bisa terus seperti ini,” ujar Baskara sambil meletakkan nampan berisi makanan di meja samping.Namun, Gemintang tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala dan membuang pandangannya. Baskara merasa hatinya teriris melihat Gemintang dalam kondisi yang begitu hancur. Dia lalu duduk di sisi ranjang yang kosong di samping Gemintang."Aku tahu, meski aku bukan wanita, aku juga merasakan sakit ini. Tapi jangan abaikan kesehatanmu sendiri. Ingatlah,
Janu tiba di rumah utama.Dengan langkah tegas, dia memasuki bangunan megah miliknya. Rumah putih mewah yang sampai hari ini selalu ia pertanyakan. Mengapa tak pernah nyaman untuk ia tinggali?Sebuah map coklat tergenggam erat di tangannya, berisi dokumen-dokumen yang telah ia persiapkan dengan hati-hati selama beberapa bulan terakhir. Setiap harinya, ia berusaha menahan diri, mempertimbangkan setiap langkah dengan matang, namun hari ini, semuanya harus berakhir. Pertengkaran dengan Rosaline kemarin membuat tekadnya membulat. Ia siap mengakhiri penderitaan serta kebohongan yang telah menjerat hidupnya selama bertahun-tahun.Sudah saatnya Janu memperjuangkan kebahagiaannya sendiri!Tanpa memperdulikan sambutan para pelayan yang berdiri di depan pintu, Janu menerobos masuk. Sorot matanya tajam, kedua tangannya mengepal, dan urat-urat di tubuhnya menegang seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.“Di mana Rosaline?” tanya Janu dengan suara rendah dan dingin, penuh penekanan, mem
“Alasan menceraikanmu?” ulang Janu dengan nada dingin.“Ya! Kau tidak bisa menceraikan aku begitu saja! Kita baik-baik saja!”“Kau jangan pura-pura tidak melihat, Rosaline! Apa lagi yang mau dipertahankan di pernikahan kita? Hubungan suami-istri hanyalah formalitas! Selebihnya tidak ada yang berubah, bahkan sebelum aku bertemu dengan Gemintang, punya istri seperti kau atau tidak rasanya sama saja!”Rosaline mengerutkan dahinya dalam. “Formalitas? Kau sebut pernikahan kita ini formalitas? Kau jangan keterlaluan!”“Lantas apa jika bukan? Permintaan terakhir Opa bukan ingin aku menikahimu. Dia hanya ingin aku menjamin hidupmu, melindungimu, tetapi keluargamu salah mengartikannya dan memaksaku menikahimu!” balas Janu, tak kalah emosi.“Kau benar-benar tak tahu terima kasih, Janu. Kau seharusnya bersyukur! Tanpa jasa keluargaku, kau mungkin sudah menjadi gelandangan saat ini. Semua yang kau punya, semua yang kau capai, itu karena aku. Dan sekarang, kau mau mengakhiri semuanya hanya karena
Di sisi lain, Gemintang sudah bulat akan keputusannya untuk pergi keluar kota. Setelah meminta bantuan Baskara, keesokan harinya ia pun segera membeli tiket kereta menuju Kota S. Malam nanti, Gemintang akan berangkat bersama Lorena dan Maura. Bu Ningrum dan Baskara berjanji akan menyusul kemudian dengan mobil setelah urusan mereka di kota selesai.Meski sempat tidak mendapat restu dari Bu Ningrum yang khawatir, ibu asuhnya itu akhirnya merelakan kepergian Gemintang. Mungkin dengan pindah, Gemintang bisa hidup lebih tenang, jauh dari bayangan keluarga Janu dan Rosaline.“Yeay, Maura naik kereta api!” seru Maura riang setelah duduk di kursinya. Lorena, yang duduk di hadapan mereka, tersenyum melihat kegembiraan gadis kecil itu.“Maura senang?” tanya Gemintang lembut. Maura mengangguk penuh semangat, tetapi kemudian wajahnya berubah bingung. “Ayah mana, Bu? Kenapa Ayah tidak ikut?”Pertanyaan itu membuat Gemintang terdiam. Hatinya berdenyut keras, seolah tersayat oleh kenangan yang be
“Apa kau sudah berpikir matang-matang? Kau tidak bisa memutuskan ini dengan gegabah. Rosaline hanya menggertakmu.”Suara Manggala memecah keheningan di ruang kerja yang terasa semakin sesak. Janu menatap kosong berkas di depannya. Pria itu memejamkan mata, meredam perasaan yang bergemuruh dalam dadanya.Bagaimana tidak?Rosaline meminta cerai tetapi dengan syarat menyerahkan semua saham milik Janu dan jabatannya di Ferinco. Sementara dia tahu bahwa Ferinco adalah segalanya bagi Janu. Manggala bahkan sampai ikut membangunnya mulai dari perusahaan itu hampir colaps karena pailit hingga menjadi jaya seperti sekarang ini."Dia memberi syarat ini." Janu menjawab dengan pelan."Lantas apakah benar-benar tidak ada cara lain?" Manggala menggelengkan kepala, menahan darah yang mendidih di dalam dirinya. “Kau tidak bisa menyerahkan semuanya begitu saja! Ferinco itu milikmu, Janu. Kau yang membangunnya, dan Rosaline tidak berhak mengambilnya hanya karena perceraian.”Janu terdiam sejenak, merenu
"Lalu sekarang, kau akan ke mana?" tanya Manggala sebelum Janu menaiki mobilnya. Bisa ia lihat Janu tampak segera ingin meninggalkan tempat ini, untuk menyelesaikan satu urusan—yang mungkin lebih penting.Sejenak pria itu menghela napas panjang, dua bahunya melemas bersamaan. Dia membuka pintu mobil lebar-lebar dan meletakkan jas juga tas kerjanya. "Aku ingin ke rumah Bu Ningrum. Aku akan mencobanya sekali lagi. Jika Gemintang tahu aku sudah menyerahkan semuanya, mungkin dia berubah pikiran," jawab Janu pelan.Manggala menganggukkan kepalanya. Dia juga berharap demikian. Semoga saja usaha sepupunya itu tidak akan sia-sia. "Aku juga berharap Gemintang bisa mengerti," Manggala menerbitkan senyum kecilnya. "Hati-hati kalau gitu, kalau butuh bantuan segera hubungi aku."Janu menjawabnya dengan anggukan. Dia lalu menaiki mobilnya dan segera membawa kendaraan itu menuju rumah Bu Ningrum. Meski ia sendiri ragu dengan reaksi yang akan diberikan Bu Ningrum–ketika melihatnya datang lagi. Tet