Janu tiba di rumah utama.Dengan langkah tegas, dia memasuki bangunan megah miliknya. Rumah putih mewah yang sampai hari ini selalu ia pertanyakan. Mengapa tak pernah nyaman untuk ia tinggali?Sebuah map coklat tergenggam erat di tangannya, berisi dokumen-dokumen yang telah ia persiapkan dengan hati-hati selama beberapa bulan terakhir. Setiap harinya, ia berusaha menahan diri, mempertimbangkan setiap langkah dengan matang, namun hari ini, semuanya harus berakhir. Pertengkaran dengan Rosaline kemarin membuat tekadnya membulat. Ia siap mengakhiri penderitaan serta kebohongan yang telah menjerat hidupnya selama bertahun-tahun.Sudah saatnya Janu memperjuangkan kebahagiaannya sendiri!Tanpa memperdulikan sambutan para pelayan yang berdiri di depan pintu, Janu menerobos masuk. Sorot matanya tajam, kedua tangannya mengepal, dan urat-urat di tubuhnya menegang seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.“Di mana Rosaline?” tanya Janu dengan suara rendah dan dingin, penuh penekanan, mem
“Alasan menceraikanmu?” ulang Janu dengan nada dingin.“Ya! Kau tidak bisa menceraikan aku begitu saja! Kita baik-baik saja!”“Kau jangan pura-pura tidak melihat, Rosaline! Apa lagi yang mau dipertahankan di pernikahan kita? Hubungan suami-istri hanyalah formalitas! Selebihnya tidak ada yang berubah, bahkan sebelum aku bertemu dengan Gemintang, punya istri seperti kau atau tidak rasanya sama saja!”Rosaline mengerutkan dahinya dalam. “Formalitas? Kau sebut pernikahan kita ini formalitas? Kau jangan keterlaluan!”“Lantas apa jika bukan? Permintaan terakhir Opa bukan ingin aku menikahimu. Dia hanya ingin aku menjamin hidupmu, melindungimu, tetapi keluargamu salah mengartikannya dan memaksaku menikahimu!” balas Janu, tak kalah emosi.“Kau benar-benar tak tahu terima kasih, Janu. Kau seharusnya bersyukur! Tanpa jasa keluargaku, kau mungkin sudah menjadi gelandangan saat ini. Semua yang kau punya, semua yang kau capai, itu karena aku. Dan sekarang, kau mau mengakhiri semuanya hanya karena
Di sisi lain, Gemintang sudah bulat akan keputusannya untuk pergi keluar kota. Setelah meminta bantuan Baskara, keesokan harinya ia pun segera membeli tiket kereta menuju Kota S. Malam nanti, Gemintang akan berangkat bersama Lorena dan Maura. Bu Ningrum dan Baskara berjanji akan menyusul kemudian dengan mobil setelah urusan mereka di kota selesai.Meski sempat tidak mendapat restu dari Bu Ningrum yang khawatir, ibu asuhnya itu akhirnya merelakan kepergian Gemintang. Mungkin dengan pindah, Gemintang bisa hidup lebih tenang, jauh dari bayangan keluarga Janu dan Rosaline.“Yeay, Maura naik kereta api!” seru Maura riang setelah duduk di kursinya. Lorena, yang duduk di hadapan mereka, tersenyum melihat kegembiraan gadis kecil itu.“Maura senang?” tanya Gemintang lembut. Maura mengangguk penuh semangat, tetapi kemudian wajahnya berubah bingung. “Ayah mana, Bu? Kenapa Ayah tidak ikut?”Pertanyaan itu membuat Gemintang terdiam. Hatinya berdenyut keras, seolah tersayat oleh kenangan yang be
“Apa kau sudah berpikir matang-matang? Kau tidak bisa memutuskan ini dengan gegabah. Rosaline hanya menggertakmu.”Suara Manggala memecah keheningan di ruang kerja yang terasa semakin sesak. Janu menatap kosong berkas di depannya. Pria itu memejamkan mata, meredam perasaan yang bergemuruh dalam dadanya.Bagaimana tidak?Rosaline meminta cerai tetapi dengan syarat menyerahkan semua saham milik Janu dan jabatannya di Ferinco. Sementara dia tahu bahwa Ferinco adalah segalanya bagi Janu. Manggala bahkan sampai ikut membangunnya mulai dari perusahaan itu hampir colaps karena pailit hingga menjadi jaya seperti sekarang ini."Dia memberi syarat ini." Janu menjawab dengan pelan."Lantas apakah benar-benar tidak ada cara lain?" Manggala menggelengkan kepala, menahan darah yang mendidih di dalam dirinya. “Kau tidak bisa menyerahkan semuanya begitu saja! Ferinco itu milikmu, Janu. Kau yang membangunnya, dan Rosaline tidak berhak mengambilnya hanya karena perceraian.”Janu terdiam sejenak, merenu
"Lalu sekarang, kau akan ke mana?" tanya Manggala sebelum Janu menaiki mobilnya. Bisa ia lihat Janu tampak segera ingin meninggalkan tempat ini, untuk menyelesaikan satu urusan—yang mungkin lebih penting.Sejenak pria itu menghela napas panjang, dua bahunya melemas bersamaan. Dia membuka pintu mobil lebar-lebar dan meletakkan jas juga tas kerjanya. "Aku ingin ke rumah Bu Ningrum. Aku akan mencobanya sekali lagi. Jika Gemintang tahu aku sudah menyerahkan semuanya, mungkin dia berubah pikiran," jawab Janu pelan.Manggala menganggukkan kepalanya. Dia juga berharap demikian. Semoga saja usaha sepupunya itu tidak akan sia-sia. "Aku juga berharap Gemintang bisa mengerti," Manggala menerbitkan senyum kecilnya. "Hati-hati kalau gitu, kalau butuh bantuan segera hubungi aku."Janu menjawabnya dengan anggukan. Dia lalu menaiki mobilnya dan segera membawa kendaraan itu menuju rumah Bu Ningrum. Meski ia sendiri ragu dengan reaksi yang akan diberikan Bu Ningrum–ketika melihatnya datang lagi. Tet
Setelah kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan Gemintang, Janu sempat terpuruk. Ia telah menggunakan segala cara untuk menemukan Gemintang, tetapi sayangnya, tak ada satupun petunjuk yang ia dapatkan. Bahkan ponsel yang selama ini terhubung dengan Gemintang tidak bisa membantunya. Lokasi terakhir yang ditunjukkan Gemintang berada di stasiun kota.Bersama Manggala, ia mencari tahu kepada petugas tiket di stasiun dan bertanya apakah ada penumpang bernama Gemintang Larasati yang telah melakukan check-in atau membeli tiket.“Kereta yang dinaiki Gemintang berhenti di Stasiun Putri. Tapi ketika anak buahku telepon ke sana, Gemintang tidak membeli tiket lagi. Ada dua kemungkinan: dia ada di kota sekitar stasiun itu, atau dia pergi ke suatu tempat dengan jalur lain,” kata Manggala yang baru saja kembali dari bagian tiket.“Mungkin dia sudah pergi jauh,” lirih Janu, suaranya penuh putus asa.“Jangan putus asa dulu, anak buahku sedang berusaha mencari banyak informasi,” Manggala berusaha men
Pagi harinya, Janu langsung berangkat ke kota S dengan jalur udara. Ia kemudian melanjutkan perjalanan dengan menyewa mobil dan driver.Setelah memastikan urusannya di hotel selesai, Janu melanjutkan perjalanan ke sebuah kelompok bermain bernama Kasih Ibu yang menjadi lokasi pertemuannya dengan klien. Ini adalah hari kedua dimana Janu dan timnya sudah mulai memasang beberapa interior yang telah mereka siapkan untuk daycare. Esok, Janu hanya tinggal memasang beberapa kursi custom dan meja belajar dan semua tugasnya berakhir.Hanya saja, melihat anak-anak kecil berlarian, membuatnya tersenyum, meskipun di sisi lain tawa ceria itu mengingatkannya pada Maura. Janu duduk di salah satu sudut ruang kelas yang masih kosong. Rencananya ruang kelas itu akan dijadikan kamar tidur anak untuk usia tiga sampai empat tahun, mengingat jumlah anak yang dititipkan ke daycare semakin banyak. Di tengah keramaian, tiba-tiba seorang gadis kecil mendekatinya. Tangan mungilnya menyentuh paha Janu beberap
"Kalau saya tidak salah namanya …"Tok tok tok.Tiba-tiba, suara ketukan pintu menginterupsi percakapan mereka. Miss Rani dan Janu menoleh ke arah sumber suara. Ternyata, manajer Janu sudah berdiri di pintu dengan sikap tenang."Maaf, Pak, Bu, bed yang dikirim sudah datang. Kami akan mulai installing bunk bed dahulu," kata manajer itu dengan sopan.Janu mengangguk. “Langsung bawa ke sini saja dan rakit yang ada dulu biar selesainya tidak terlalu siang,” katanya pada sang manajer,Pria muda itu pun mengiyakan perintah Janu dan mulai memanggil beberapa orang untuk segera masuk ke dalam ruangan itu. Janu lalu menoleh ke arah Miss Rani. “Untuk pemasangan akan menggunakan beberapa peralatan tukang, tolong Miss Rani kondisikan anak-anak dulu, takutnya anak-anak lepas pengawasan dan terluka.”Sebuah anggukan diberikan Miss Rani. "Baik, Pak, saat proses penginstalan kami akan berusaha mengalihkan perhatian anak-anak agar tidak ke ruangan ini.”Setelah itu, Janu menunduk ke arah Kinara yang m