Sementara Gemintang dan Baskara sibuk mengemasi barang-barang, di sudut bangunan yang lain, Janu dilanda kebingungan. Setelah rapat internal selesai, sekretarisnya menyerahkan ponsel yang ia ingat tertinggal di rumah. Masalahnya, ponsel itu tertinggal di rumah kecilnya, sementara sekretaris dan satpam mengatakan bahwa seorang pembantu mengantarnya ke kantor pagi itu. Tentu saja, ini membuatnya bertanya-tanya.“Tadi pagi, satpam menelponku menggunakan intercom. Dia bilang ada asisten rumah tangga yang mengantar ponselmu. Aku pikir kau pulang ke rumah utama, jadi ku katakan saja taruh di meja sekretaris,” ujar Manggala, duduk di sofa tamu sambil membaca beberapa laporan audit.“Aku tidak pulang ke rumah utama. Aku di rumah Gemintang,” jawab Janu, membuat Manggala segera mendongakkan kepalanya.Dia bergegas menutup bendelan kertas itu dan menatap serius ke arah Janu. “Kau serius?”Janu menganggukkan kepalanya. “Aku serius. Jika tertinggal di rumah utama, pasti aku tidak akan santai saat
“Perlu aku temani ke sana?” tanya Manggala kemudian. Dia melihat situasi yang dihadapi Janu terlihat kurang baik. Jika dia ikut, mungkin bisa membantunya. “Maksudku, jika nanti kau butuh pihak ketiga untuk bicara baik-baik dengan Gemintang, aku bisa membantumu. Aku juga ada di ruangan mu pagi ini, dan aku juga tahu semua apa yang kau ucapkan. Aku bisa jadi saksi.”Manggala benar. Dia bisa jadi saksi, tetapi yang Janu khawatirkan jika Gemintang tidak percaya karena menganggap Manggala adalah orangnya. Janu lalu menggelengkan kepalanya. “Kau tunggu di sini. Biar aku sendiri saja. Lagipula, aku harus bertemu dengan ibu mertuaku, jika mengajakmu takutnya membuat mereka salah paham aku menginginkan pembelaan.”Manggala mengangguk setuju. “Kalau begitu maumu baiklah. Tapi, apa kau yakin Gemintang mau menemuimu? Bagaimana jika dia tidak mau, apa yang akan kau lakukan?”Kini, Janu kembali berpikir, telunjuk dan ibu jarinya tak henti memijat kepalanya sendiri. “Apa pun yang terjadi, setidaknya
Tiga hari berlalu.Pagi ini, Manggala berniat menjenguk Janu. Sudah tiga hari pria itu tidak masuk kerja, dan Manggala kewalahan menangani berbagai masalah seorang diri.Saat tiba di rumah kecil itu, Manggala dikejutkan oleh pemandangan yang sangat memprihatinkan. Tiga botol minuman beralkohol tinggi berserakan di ruang tengah. Dua di antaranya kosong, dan satu masih terisi setengah. Janu duduk di lantai dengan pandangan kosong. Satu tangan memegang gelas berisi anggur hitam, sementara tangan lainnya memijat kepalanya.Dia tampak kacau.Wajahnya kusut, rambutnya acak-acakan, dan matanya merah, jelas menunjukkan kelelahan dan mabuk berat.“Astaga!” Manggala segera meletakkan paper bag berisi makanan di meja. Dia cepat mendekat dan merebut gelas dari tangan Janu. “Apa yang kau lakukan? Kau sudah bosan hidup, huh?”Janu menoleh pelan, tetapi tidak menjawab. Matanya yang kosong menatap lurus ke depan, seolah tidak mendengarkan Manggala. Ia menjambak rambutnya sendiri, terperangkap dalam
Sementara itu, di sisi lain, Gemintang berada dalam keadaan yang tidak kalah kacau. Dia mengurung diri di kamar apartemen Baskara, tidak makan, tidak minum, dan hanya menangis sepanjang hari. Pikirannya dipenuhi rasa sakit dan kekecewaan yang mendalam. Hidupnya terasa hancur setelah mengetahui kenyataan pahit tentang pernikahannya.Baskara berusaha keras untuk menghiburnya. Namun, setiap kali dia masuk ke kamar, dia hanya menemukan Gemintang terbaring lemah di ranjang, wajahnya basah oleh air mata.“Gemintang, kau harus makan sesuatu. Kau tidak bisa terus seperti ini,” ujar Baskara sambil meletakkan nampan berisi makanan di meja samping.Namun, Gemintang tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala dan membuang pandangannya. Baskara merasa hatinya teriris melihat Gemintang dalam kondisi yang begitu hancur. Dia lalu duduk di sisi ranjang yang kosong di samping Gemintang."Aku tahu, meski aku bukan wanita, aku juga merasakan sakit ini. Tapi jangan abaikan kesehatanmu sendiri. Ingatlah,
Janu tiba di rumah utama.Dengan langkah tegas, dia memasuki bangunan megah miliknya. Rumah putih mewah yang sampai hari ini selalu ia pertanyakan. Mengapa tak pernah nyaman untuk ia tinggali?Sebuah map coklat tergenggam erat di tangannya, berisi dokumen-dokumen yang telah ia persiapkan dengan hati-hati selama beberapa bulan terakhir. Setiap harinya, ia berusaha menahan diri, mempertimbangkan setiap langkah dengan matang, namun hari ini, semuanya harus berakhir. Pertengkaran dengan Rosaline kemarin membuat tekadnya membulat. Ia siap mengakhiri penderitaan serta kebohongan yang telah menjerat hidupnya selama bertahun-tahun.Sudah saatnya Janu memperjuangkan kebahagiaannya sendiri!Tanpa memperdulikan sambutan para pelayan yang berdiri di depan pintu, Janu menerobos masuk. Sorot matanya tajam, kedua tangannya mengepal, dan urat-urat di tubuhnya menegang seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.“Di mana Rosaline?” tanya Janu dengan suara rendah dan dingin, penuh penekanan, mem
“Alasan menceraikanmu?” ulang Janu dengan nada dingin.“Ya! Kau tidak bisa menceraikan aku begitu saja! Kita baik-baik saja!”“Kau jangan pura-pura tidak melihat, Rosaline! Apa lagi yang mau dipertahankan di pernikahan kita? Hubungan suami-istri hanyalah formalitas! Selebihnya tidak ada yang berubah, bahkan sebelum aku bertemu dengan Gemintang, punya istri seperti kau atau tidak rasanya sama saja!”Rosaline mengerutkan dahinya dalam. “Formalitas? Kau sebut pernikahan kita ini formalitas? Kau jangan keterlaluan!”“Lantas apa jika bukan? Permintaan terakhir Opa bukan ingin aku menikahimu. Dia hanya ingin aku menjamin hidupmu, melindungimu, tetapi keluargamu salah mengartikannya dan memaksaku menikahimu!” balas Janu, tak kalah emosi.“Kau benar-benar tak tahu terima kasih, Janu. Kau seharusnya bersyukur! Tanpa jasa keluargaku, kau mungkin sudah menjadi gelandangan saat ini. Semua yang kau punya, semua yang kau capai, itu karena aku. Dan sekarang, kau mau mengakhiri semuanya hanya karena
Di sisi lain, Gemintang sudah bulat akan keputusannya untuk pergi keluar kota. Setelah meminta bantuan Baskara, keesokan harinya ia pun segera membeli tiket kereta menuju Kota S. Malam nanti, Gemintang akan berangkat bersama Lorena dan Maura. Bu Ningrum dan Baskara berjanji akan menyusul kemudian dengan mobil setelah urusan mereka di kota selesai.Meski sempat tidak mendapat restu dari Bu Ningrum yang khawatir, ibu asuhnya itu akhirnya merelakan kepergian Gemintang. Mungkin dengan pindah, Gemintang bisa hidup lebih tenang, jauh dari bayangan keluarga Janu dan Rosaline.“Yeay, Maura naik kereta api!” seru Maura riang setelah duduk di kursinya. Lorena, yang duduk di hadapan mereka, tersenyum melihat kegembiraan gadis kecil itu.“Maura senang?” tanya Gemintang lembut. Maura mengangguk penuh semangat, tetapi kemudian wajahnya berubah bingung. “Ayah mana, Bu? Kenapa Ayah tidak ikut?”Pertanyaan itu membuat Gemintang terdiam. Hatinya berdenyut keras, seolah tersayat oleh kenangan yang be
“Apa kau sudah berpikir matang-matang? Kau tidak bisa memutuskan ini dengan gegabah. Rosaline hanya menggertakmu.”Suara Manggala memecah keheningan di ruang kerja yang terasa semakin sesak. Janu menatap kosong berkas di depannya. Pria itu memejamkan mata, meredam perasaan yang bergemuruh dalam dadanya.Bagaimana tidak?Rosaline meminta cerai tetapi dengan syarat menyerahkan semua saham milik Janu dan jabatannya di Ferinco. Sementara dia tahu bahwa Ferinco adalah segalanya bagi Janu. Manggala bahkan sampai ikut membangunnya mulai dari perusahaan itu hampir colaps karena pailit hingga menjadi jaya seperti sekarang ini."Dia memberi syarat ini." Janu menjawab dengan pelan."Lantas apakah benar-benar tidak ada cara lain?" Manggala menggelengkan kepala, menahan darah yang mendidih di dalam dirinya. “Kau tidak bisa menyerahkan semuanya begitu saja! Ferinco itu milikmu, Janu. Kau yang membangunnya, dan Rosaline tidak berhak mengambilnya hanya karena perceraian.”Janu terdiam sejenak, merenu
Beberapa bulan setelah itu, Baskara sedang menyimak berita yang sedang trending di media. Soal Janu dan Gemintang yang sedang naik bisnisnya. Juga hubungan mereka yang diperdebatkan banyak orang. Entah bagaimana ia harus merasa. Dia tak rela, tetapi itulah menjadi pilihan Gemintang. Aruna yang tahu perasaan lelaki itu menyandarkan tubuhnya di kursi sebelah Baskara yang sedang menatap layar ponselnya, memperhatikan berita tentang Janu dan Gemintang. Semburat senyum tipis terlihat di wajahnya, tetapi matanya menunjukkan kesedihan yang tak tersembunyikan.“Kenapa Bapak masih melihat berita mereka?” Aruna bertanya lembut, mengambil alih perhatian Baskara yang sepertinya larut dalam pikirannya sendiri.Baskara menghela napas, mengunci layar ponselnya dan meletakkannya di meja. “Entahlah, mungkin aku hanya ingin memastikan bahwa dia bahagia di sana.”Aruna tersenyum lembut, mencoba mengusir suasana muram di wajah Baskara. “Gemintang memang sudah memilih jalannya sendiri, Pak. Terkadang, m
“Kalian memang manusia tidak tahu diuntung! Awas saja! Awas saja kalian!”Usai mengatakan demikian, Bu Dewi gegas pergi dari ruangan itu, meninggalkan Janu dan Rosaline yang kini berdiri pada posisinya masing-masing. “Bibirmu berdarah.” Janu menunjuk setitik darah yang tampak di sudut bibir Rosaline.Janu lalu menghubungi sekretaris untuk meminta kotak obat lewat sambungan pararel.“Duduklah, sekretaris akan datang bawakan obat.”Rosaline kemudian duduk di sofa, sementara Janu mengambilkan satu botol air mineral dan membukakan tutupnya untuk Rosaline, bersamaan dengan itu pula, sekretaris Rosaline mengantar obat. Saat sekretarisnya memberikan kotak obat, Rosaline menunduk sambil mengambilnya dari tangan sang sekretaris. "Terima kasih, tapi saya bisa obati sendiri," ucapnya pelan yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh sang sekretaris.Janu menyerahkan botol air mineral yang baru saja ia buka untuk Rosaline. “Ini, minumlah dulu,” ujarnya dengan nada lembut. Rosaline mengucapkan te
“Kau yakin aku ingin membahas hal itu?” Rosaline memelankan suaranya. Dia sedikit terkejut dengan permintaan Janu. “Lakukan saja, pancing hingga dia mengatakan semuanya.”Rosaline mengangguk.Janu lantas beringsut mundur, mencari tempat strategis, tak lupa membawa pena perekam yang diberikan oleh Rosaline dan memastikan dirinya tak meninggalkan jejak apapun. “Rosaline!”Seruan Bu Dewi semakin jelas dan keras, hampir memekakan telinganya. Rosaline lalu membawa dirinya duduk di kursi direktur, membuka laptopnya dan bersikap seolah ia sedang bekerja. Hingga akhirnya ….Brakk! Pitu ruangannya dibuka dengan kasar, Rosaline menghentikan gerakan jarinya di atas papan ketik. Dia mendongak menatap Bu Dewi yang memberikan ekpsresi marahnya. “Bisa-bisanya meminta sekretarismu untuk berbohong dan mengatakan kau sedang menemui tamu, padahal kau sedang tidak bertemu dengan siapa-siapa?” Wanita paruh baya itu berjalan mendekat ke arah Rosaline dengan wajah penuh amarah, kedua tangan juga mengep
Pagi-pagi sekali, Janu segera pergi ke kantor Ferinco.Empat tahun tidak pernah mengunjunginya, gedung pencakar langit itu masih sama, tidak banyak hal yang berubah, hanya mengalami renovasi di beberapa titik denah. Janu mengikuti arah langkah Manggala yang berjalan lebih dulu di depannya, mengantarnya menuju tempat tujuan. Setelah beberapa saat menyusuri lorong, dan menaiki lift, mereka bedua akhirnya tiba di depan ruang milik Rosaline.Sementara Manggala menghela napas panjang sebelum menepuk pundak Janu. Pria yang berusia lebih muda darinya itu merentangkan tangan. “Akhirnya, kau kembali. Welcome back to work!”“Thanks, Brother! Kau harus menemaniku memulai semuanya dari awal,” ucap Janu membalas pelukan Manggala. “Itu pasti! Oh iya, Kau langsung masuk saja, biasanya Rosaline akan datang sebentar lagi.” Manggala melepas peluknya, lalu melirik arloji perak pada tangan kirinya. Pria berjas itu lalu mengambil sebuah kartu dari dalam saku jasnya.“ID card milikmu, mulai hari ini kau
Selepas bertemu dengan Manggala di kafe, menjelang makan siang Janu kembali ke rumah. Kedatangan pria itu disambut oleh si kembar yang berlari ke arahnya seraya memanggil, “Ayah!”“Yeeeay! Ayah pulang!”Janu pun menggendong mereka berdua. “Kamu sudah selesai, Mas?” tanya Gemintang ketika melihat Janu menggendong putra dan putrinya. Dia melihat sekilas ke arah Janu, sebelum mengembalikan pandangan pada untaian daun bawang di hadapannya.“Sudah,” jawab Janu ketika menurunkan Keenan dan Kinara di ruang tengah. Kedua bocah itu segera menghampiri mainan mereka lagi. Sementara Janu mendekat ke arah Gemintang yang sedang sibuk di dapur. “Apa yang kalian bahas? Sepertinya kamu ceria sekali setelah bertemu dengan mantan istri?” mendengar itu Janu terkekeh. Selanjutnya melingkarkan lengannya di tubuh Gemintang. Dagunya bersandar di pundak kanan wanita itu. “Kamu cemburu, hm?”“Tidak. Hanya penasaran, apa yang dibahas suamiku ketika bertemu mantan sehingga ketika pulang wajahnya bisa sumring
Janu memandangi surat itu dalam diam. Hatinya berkecamuk antara kaget dan heran. Satu sisi, ia merasa diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun di sisi lain, ada keraguan yang masih muncul dalam hatinya. Apakah ini semua bisa dipercaya? Atau hanya akal-akalan Rosaline saja?"Aku mengerti keraguanmu. Awalnya, aku tidak ingin percaya dengan Rosaline, tetapi, jika dipikirkan ulang, untuk apa dia rela untuk melepas ini semua, kalau bukan karena dia memang ingin berubah?"Janu masih membisu, mencoba mempertimbangkan kata-kata sang sepupu. Hingga akhirnya, pria itu membuka suara. “Jika aku menerima kembali ini semua, lantas bagaimana dengan Rosaline?”“Dia sudah punya tujuannya sendiri. Kau tidak perlu cemaskan itu, yang penting sekarang dia sudah berada di pihakku, dia juga sudah bersedia bersaksi atas semua kesalahan Bu Dewi.”“Dia bersedia?” ulang Janu, tak percaya. “Iya, yang aku tahu hubungannya dengan Bu Dewi memburuk. Anak buahku melapor jika Rosaline tinggal di aparteme
“Aku tidak tahu, tetapi Manggala bilang Rosaline ingin bertemu denganku.”Janu memperhatikan wajah istrinya yang berubah. Begitu nama Rosaline disebut, senyum di wajah Gemintang pudar perlahan. Janu paham, hati wanita itu begitu sensitif, terlebih jika mendengar nama mantan atau orang yang pernah menjadi masa lalu pasangannya.Dia bahkan tahu, Rosaline adalah sumber masalah mereka selama ini. Seharusnya nama itu tak pernah ia sebutkan.“Rosaline?” ulang Gemintang, “Kamu… masih berhubungan dengan dia?”Janu cepat-cepat menggeleng. “Tidak. Jangan salah paham dulu. Aku sudah lama putus kontak dengannya. Kalau kamu tidak percaya, kamu boleh tanya ke Manggala. Aku juga tidak tahu apa yang akan Rosaline bicarakan; tiba-tiba saja dia meminta bertemu.”Gemintang tetap diam, membuat Janu khawatir dia akan marah.“Begini saja, kita pergi bersama, supaya kamu tahu apa yang akan Rosaline bicarakan,” tawar Janu, berharap bisa menenangkan hati istrinya.Namun, jawaban Gemintang tak sesuai harapannya
“Mengembalikan apa yang seharusnya menjadi milik Janu.”Manggala menatap map berwarna biru yang baru saja disodorkan Rosaline. Sepasang matanya menyipit kala melihat barisan tinta yang tertulis di atas kertas itu. Apakah semudah itu Rosaline menyerahkan kembali semua aset yang telah dia dapatkan ini?“Kalau kau berpikir aku punya rencana buruk, kau salah. Aku serius, Manggala. Aku ingin mengakhiri semua ini. Aku bersedia menjadi saksi. Bahkan jika aku dinyatakan bersalah, aku siap menerima konsekuensinya.” Rosaline mengatakan kalimat itu dengan suara yang agak parau. Sebenarnya Manggala iba dengan wanita itu, tetapi mengingat semua perbuatannya di masa lalu, ia tetap harus waspada, bukan? Bisa saja ini hanya permainan liciknya?“Apa yang membuatmu berubah pikiran seperti ini, Rosaline? Apa yang akan terjadi ketika kau mengembalikan semua ini pada Janu?” Manggala bertanya setelah menyeruput kopinya. Helaan napas panjang meluncur dari bibir Rosaline. “Sudah kukatakan sebelumnya karena
“Maksudmu… Janu?” Manggala mengulang, keningnya berkerut, mencoba mencerna maksud ucapan Rosaline. Tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba membicarakan pria itu.Mengingat sudah bertahun-tahun lamanya wanita itu tak mengungkit nama Janu. Hingga sekarang ketika Janu sudah bersama lagi dengan Gemintang, mengapa tiba-tiba dia membahas soal pria itu?Apa dia sudah tahu tentang mereka?[“Ya, aku tidak bisa menjelaskan di sini. Aku ingin bertemu denganmu sekarang. Akan aku jelaskan semuanya.”] Rosaline menjawab dari seberang sana. Suaranya terdengar parau. Entah apa yang terjadj dengan wanita itu tetapi Manggala hanya bisa menebak-nebak. Manggala menghela napas panjang, bergulat dengan keengganan, tetapi rasa penasaran yang begitu besar memaksanya setuju. “Oke, sebaiknya kita bertemu di luar kantor saja. Takutnya ada banyak orang yang mendengar,” usulnya yang kemudian disetujui oleh Rosaline. Setelah sepakat, mereka meluncur ke sebuah kafe di pusat kota. Meski ramai, mereka menemukan s