Di depan tempat ia bekerja aku duduk dan menunggu. Aku merasa jadi orang terbo doh saat itu, saat aku hanya duduk dan menunggu ia memasuki pintu gerbang tempat ia bekerja.Beberapa kali aku berada di sana, aku tak bisa menemukan sosoknya. Aku melupakan satu hal, bahwa ia kini telah menjadi istri dari seorang lelaki bernama Hanan Wijaya. Ia mungkin saja tak lagi mengijinkan Husna bekerja membanting tulang di pabrik yang sama tempat ia bekerja sebelum menikah.Hingga suatu siang, aku dibuat terbelalak lebar, melihat ia ke luar dari gerbang bersama seorang perempuan, menggunakan sebuah sepeda motor.Sebuah bulir bening, kubiarkan luruh begitu saja. Tak peduli jika aku disebut lelaki cengeng sekali pun. Aku begitu bahagia bisa melihat ia dalam kondisi baik, dan terlihat lebih ... cantik.Ya, ia terlihat lebih cantik, dan bahagia, dengan senyum dan tawa yang tak henti ia suguhkan bagi temannya bicara.Rasa ingin taulah, yang membawa aku mengik
POV HusnaAku mulai menghitung hari.Waktu yang diberikan Mama tinggal sebentar lagi. Meski sudah berusaha supaya tak terlalu memikirkan, tetap saja aku dihantui dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.Waktu berjalan begitu cepat tanpa bisa dicegah. Ini bulan ke sembilan sejak kedatangan Mama hari itu. Masih belum ada tanda akan hadirnya buah cinta, antara aku dan suamiku. Sementara Mama kian gencar memberi ultimatum.Oh, tidak! Tanda itu ada! Bagaimana bisa aku mengabaikannya? Ini hari kelima. Ya, lima hari sudah, aku berdebar. Hati dipenuhi harap, bahwa hari ini dan seterusnya selama beberapa bulan ke depan, tamu spesial itu tak akan datang. Semoga saja ini menjadi awal kabar baik yang akan kudapat setelah ini.Suara derap langkah kaki menuju dapur membuat aku menghentikan dari aktifitas pagi ini, menyiapkan sarapan dan bekal makan siang untuk suami tercinta. "Assalamu'alaikum, Sayang," sapanya, begitu ia telah sampai.Kusambut ia d
Damai sekali dekat dengan anak kecil seperti sekarang ini. Ia mulai menggapai-gapai wajah ini dengan tangan mungilnya, lantas perlahan menepuk-nepuk pipi sambil berceloteh menggunakan bahasanya."Iya, Sayang, ini Tante Husna," ujarku sok tau dengan bahasa bayi. "Dulu, lima tahun saya menunggu kehadirannya, hingga melakukan banyak hal setelah dituduh macam-macam. Sampai saya hampir pisah sama suami saya, karena keinginannya yang sangat besar untuk memiliki anak," ujar Bu Yuli tiba-tiba.Aku menghentikan gerakan dari mengelus pipi gembul Salwa. "Begitu melihat Mbak Husna menatap lekat anak saya beberapa saat tadi, saya mengerti, karena saya pernah merasakannya. Maaf kalau saya sok tau, ya, Mbak Husna," lanjutnya lagi."Eh, i-iya, Bu, tidak apa-apa," jawabku dengan senyum kaku. Lihat Husna, ada yang lebih lama dari kamu. Ibu Yuli menunggu lima tahun, sedangkan kamu belum genap dua tahun. Tambah lagi sabarmu, Husna. Aku meracau sendiri dalam hati, begitu
POV HananAku telah menunggu selama setengah jam.Ya, setengah jam sudah aku duduk dan menunggu Husna ke luar dari kamar mandi, di atas sajadah ini. Adzan subuh bahkan telah lewat sepuluh menit yang lalu.Merasa curiga, aku bergegas ke kamar mandi, di mana ia berada. Suara air terdengar mengalir dengan derasnya, tapi tak ada suara selainnya.Tok tok tok!Kutekuk pintu kamar mandi ini. Tak ada jawaban juga."Husna, Sayang, kamu masih di dalam?" tanyaku dari depan pintu yang tertutup rapat.Mungkin suaraku tenggelam oleh derasnya air yang mengalir di dalam sana, hingga ia tak merespon panggilanku."Husna!"Kali ini aku memanggil namanya dengan suara lebih keras lagi. Menunggu beberapa saat, masih tak ada sahutan dari dalam sana. Apa yang terjadi?Tak sabar lagi, aku berusaha mendorong pintu kamar mandi. Ternyata pintu dalam kondisi terkunci. Tak biasanya ia mengunci pintu seperti ini.Ak
"Tapi Mas, pernikahan itu bukan hanya menyatukan dua orang, dua hati, tapi dua keluarga. Kita nggak boleh egois mempertahankan keinginan kita, sementara orang tua mengharapkan lain.""Iya, Mas ngerti, Sayang. Nanti biar Mas bicara lagi sama Mama. Oke? Mas nggak mau lihat kamu kayak gini. Mas mau lihat Husna, istri Mas yang kemarin itu, yang bahagia dan berbinar-binar kedua matanya, bukan Husna yang meringkuk di bawah air keran sampai menggigil. Masalah selesai enggak, badan demam iya. Bener nggak?"Ia terdiam sejenak, lantas mengangguk."Aku siapin sarapan, ya, kan bentar lagi kamu kerja, Mas?" ujarnya sambil mendongakkan wajah. Sepertinya kesadarannya sebagai istri, dan kepercayaan dirinya mulai kembali."Emang Mas bilang mau kerja?"Bagaimana mungkin aku akan meninggalkan dia dalam kondisi seperti ini. Bukan tak mungkin ia akan mengulangi lagi."Terus?""Ya, jangan terus-terus, bisa nabrak entar."
"Tante Husna ... !"Kedua anak itu sudah menghambur begitu saja, membuat Husna sedikit terhuyung. Kedua matanya terlihat sedikit membesar karena kehadiran mereka yang tiba-tiba.Tak lama kemudian, ia telah menguasai diri, lantas melarikkan senyum menyambut kedatangan Arsy dan Arkan."Hallo, Sayang, gimana kabarnya? Wah, Tante dapat tamu istimewa, nih. Masuk, yuk?" ajaknya, kemudian berdiri dan menuntun dua bocah kecil itu ke dalam rumah. Ia tinggalkan bunga mawar di halaman samping yang sedari tadi ia pandangi tanpa bicara. Kondisinya telah membaik. Badannya tak lagi demam setelah kuberi ia satu butir Paracetamol. Ia tertidur setelahnya. Setengah jam yang lalu ia terbangun, lantas mengajakku duduk menikmati keindahan bunga kesayangannya yang tengah bermekaran."Tante, aku punya es krim, ayo kita makan sama-sama," ajak Arsy."Aku juga punya, Tante," timpal Arkan."Oh, ya? Ayo, Tante temani ya, nanti makan es krimnya sam
Kupelankan suaraku, hingga tanpa sadar terdengar serak di akhir kalimat.Mama terlihat memijit pelipisnya. Ia akan seperti ini jika tak mampu berpikir dengan kalimatku, yang sering membuat perdebatan kecil. Kuelus tangan Mama setelah beberapa saat ia tak bersuara, lantas melanjutkan kalimatku."Tolong, ya, Ma. Mama sayang sama anak Mama, kan? Mama ingin anak Mama ini hidup bahagia, kan, Ma? Hanan sayang sama Mama, ingin membahagiakan Mama dengan kehadiran seorang cucu. Tapi tidak dengan cara menikah lagi dengan perempuan lain, seperti yang Mama sampaikan, sebab kebahagiaan terbesar anak Mama ini, ada pada Husna, Ma. Jika Mama memaksa, akan ada banyak hati yang terluka. Hanan mohon, jangan menuntut sesuatu yang di luar kuasa kami. Akan lebih baik, jika Mama memperbanyak do'a, semoga Allah memberikan kepercayaan kepada kami untuk memiliki anak, dan cucu buat Mama. Tolong ya, Ma."Mama tak menjawab, justru membuang wajah. Kugenggam erat tangannya.
Kutinggalkan rumah Mama, dengan pikiran berkecamuk. Besar harapanku, Mama akan menepati apa yang telah ia sampaikan. Sementara ucapan Tante Wanda, sedikit banyak mengganggu pikiranku. Terlihat sekali ada ketidaksukaan yang ia sampaikan melalui ucapannyaHusna terlihat masih berbincang dengan beberapa temannya ketika aku datang. Ia bergegas menghampiri begitu aku membuka pintu mobil dan melambaikan tangan ke arahnya. Melihat ia menghampiri dengan senyuman, seketika hilang rasa gundah yang sejak tadi menyerang."Mas kangen," bisikku lirih, begitu ia selesai mencium punggung tangan ini. Kurapatkan badannya, hingga ia mendongakkan wajah, lantas tersenyum."Kita pulang, ya, jangan di sini, malu," ujarnya menanggapi. Kulihat pipinya bersemu merah. Semakin gemas aku melihat ia yang sedang tersipu-sipu seperti ini. Tak tahan lagi, kudaratkan bibirku di sana."Mas, malu dilihat orang. Nanti di rumah saja, ya?" ucapnya dengan berbisik. A