POV Hanan
Aku telah menunggu selama setengah jam.Ya, setengah jam sudah aku duduk dan menunggu Husna ke luar dari kamar mandi, di atas sajadah ini. Adzan subuh bahkan telah lewat sepuluh menit yang lalu.Merasa curiga, aku bergegas ke kamar mandi, di mana ia berada. Suara air terdengar mengalir dengan derasnya, tapi tak ada suara selainnya.Tok tok tok!Kutekuk pintu kamar mandi ini. Tak ada jawaban juga."Husna, Sayang, kamu masih di dalam?" tanyaku dari depan pintu yang tertutup rapat.Mungkin suaraku tenggelam oleh derasnya air yang mengalir di dalam sana, hingga ia tak merespon panggilanku."Husna!"Kali ini aku memanggil namanya dengan suara lebih keras lagi. Menunggu beberapa saat, masih tak ada sahutan dari dalam sana. Apa yang terjadi?Tak sabar lagi, aku berusaha mendorong pintu kamar mandi. Ternyata pintu dalam kondisi terkunci. Tak biasanya ia mengunci pintu seperti ini.Ak"Tapi Mas, pernikahan itu bukan hanya menyatukan dua orang, dua hati, tapi dua keluarga. Kita nggak boleh egois mempertahankan keinginan kita, sementara orang tua mengharapkan lain.""Iya, Mas ngerti, Sayang. Nanti biar Mas bicara lagi sama Mama. Oke? Mas nggak mau lihat kamu kayak gini. Mas mau lihat Husna, istri Mas yang kemarin itu, yang bahagia dan berbinar-binar kedua matanya, bukan Husna yang meringkuk di bawah air keran sampai menggigil. Masalah selesai enggak, badan demam iya. Bener nggak?"Ia terdiam sejenak, lantas mengangguk."Aku siapin sarapan, ya, kan bentar lagi kamu kerja, Mas?" ujarnya sambil mendongakkan wajah. Sepertinya kesadarannya sebagai istri, dan kepercayaan dirinya mulai kembali."Emang Mas bilang mau kerja?"Bagaimana mungkin aku akan meninggalkan dia dalam kondisi seperti ini. Bukan tak mungkin ia akan mengulangi lagi."Terus?""Ya, jangan terus-terus, bisa nabrak entar."
"Tante Husna ... !"Kedua anak itu sudah menghambur begitu saja, membuat Husna sedikit terhuyung. Kedua matanya terlihat sedikit membesar karena kehadiran mereka yang tiba-tiba.Tak lama kemudian, ia telah menguasai diri, lantas melarikkan senyum menyambut kedatangan Arsy dan Arkan."Hallo, Sayang, gimana kabarnya? Wah, Tante dapat tamu istimewa, nih. Masuk, yuk?" ajaknya, kemudian berdiri dan menuntun dua bocah kecil itu ke dalam rumah. Ia tinggalkan bunga mawar di halaman samping yang sedari tadi ia pandangi tanpa bicara. Kondisinya telah membaik. Badannya tak lagi demam setelah kuberi ia satu butir Paracetamol. Ia tertidur setelahnya. Setengah jam yang lalu ia terbangun, lantas mengajakku duduk menikmati keindahan bunga kesayangannya yang tengah bermekaran."Tante, aku punya es krim, ayo kita makan sama-sama," ajak Arsy."Aku juga punya, Tante," timpal Arkan."Oh, ya? Ayo, Tante temani ya, nanti makan es krimnya sam
Kupelankan suaraku, hingga tanpa sadar terdengar serak di akhir kalimat.Mama terlihat memijit pelipisnya. Ia akan seperti ini jika tak mampu berpikir dengan kalimatku, yang sering membuat perdebatan kecil. Kuelus tangan Mama setelah beberapa saat ia tak bersuara, lantas melanjutkan kalimatku."Tolong, ya, Ma. Mama sayang sama anak Mama, kan? Mama ingin anak Mama ini hidup bahagia, kan, Ma? Hanan sayang sama Mama, ingin membahagiakan Mama dengan kehadiran seorang cucu. Tapi tidak dengan cara menikah lagi dengan perempuan lain, seperti yang Mama sampaikan, sebab kebahagiaan terbesar anak Mama ini, ada pada Husna, Ma. Jika Mama memaksa, akan ada banyak hati yang terluka. Hanan mohon, jangan menuntut sesuatu yang di luar kuasa kami. Akan lebih baik, jika Mama memperbanyak do'a, semoga Allah memberikan kepercayaan kepada kami untuk memiliki anak, dan cucu buat Mama. Tolong ya, Ma."Mama tak menjawab, justru membuang wajah. Kugenggam erat tangannya.
Kutinggalkan rumah Mama, dengan pikiran berkecamuk. Besar harapanku, Mama akan menepati apa yang telah ia sampaikan. Sementara ucapan Tante Wanda, sedikit banyak mengganggu pikiranku. Terlihat sekali ada ketidaksukaan yang ia sampaikan melalui ucapannyaHusna terlihat masih berbincang dengan beberapa temannya ketika aku datang. Ia bergegas menghampiri begitu aku membuka pintu mobil dan melambaikan tangan ke arahnya. Melihat ia menghampiri dengan senyuman, seketika hilang rasa gundah yang sejak tadi menyerang."Mas kangen," bisikku lirih, begitu ia selesai mencium punggung tangan ini. Kurapatkan badannya, hingga ia mendongakkan wajah, lantas tersenyum."Kita pulang, ya, jangan di sini, malu," ujarnya menanggapi. Kulihat pipinya bersemu merah. Semakin gemas aku melihat ia yang sedang tersipu-sipu seperti ini. Tak tahan lagi, kudaratkan bibirku di sana."Mas, malu dilihat orang. Nanti di rumah saja, ya?" ucapnya dengan berbisik. A
Kondisi psikisnya telah lebih baik sejak hari itu. Kehadiran anak-anak, membawa dampak positif baginya. Kedekatannya dengan Bu Lisa yang seperti kakak dan adik, juga membawa pengaruh besar, bagi penerimaan akan kondisinya yang belum dipercaya untuk memiliki momongan.Ia bahkan mulai mengikuti Bu Lisa, mengatur pola makan. Hal ini membuat stok buah dan sayuran segar selalu ada di rumah. Ia juga tak terlalu sibuk menyiapkan sarapan, karena aku pun setuju hanya menyantap buah di pagi hari hingga siang. Semua menjadi lebih simpel.Cara pandangnya tentang kepemilikan, berubah begitu saja, entah berawal dari mana."Kamu memang suamiku, tapi kamu milikNya. Anak yang belum hadir di rahimku, itu juga hakNya. Jika di dunia aku tak bisa memiliki, semoga Allah bermurah hati memberikan kelak saat aku tak ada di dunia yang fana ini. Saat ini, aku sudah merasa cukup dengan adanya anak-anak yang hadir di sekitarku. Arsy, Arkan, dan juga Salwa, sudah cukup bagiku
POV HananPerasaan cemas tak dapat kuhindari selama perjalanan menuju rumah sakit. Hatiku terus bertanya-tanya, ada apa dengan Husna hingga ia masuk ke rumah sakit?Menempuh perjalanan selama satu jam, akhirnya aku sampai juga di rumah sakit Harapan Bunda. Berbekal informasi dari petugas jaga, aku menemukan kamar di mana ia dirawat. Kedatanganku disambut oleh seorang perempuan, yang kukenal sebagai teman sekelas Husna. Ia duduk di depan pintu kamar."Maaf, ini, Pak Hanan, kan?" tanyanya begitu aku telah sampai."Iya, benar, saya Hanan. Mbak ini ... ?""Saya Fera, teman sekelas Mbak Husna. Bapak masuk saja, Mbak Husna masih istirahat tadi, jadi saya tinggal ke luar, sekalian menunggu keluarganya.""Oke, terima kasih, ya, Mbak. Maaf, saya masuk dulu," pamitku. Tak sabar lagi hendak melihat kondisi istriku.Di ruangan itu, ada empat dipan untuk pasien. Tiga di antaranya telah terisi, Husna ada di ujung paling deka
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, beradaptasi dengan cahaya lampu kamar. Kusapu pandang ke sekeliling. Pandangan mataku terhenti, pada Fera yang duduk di samping dipan. Bibirnya melengkungkan senyum, seakan telah lama menunggu aku bangun. Kedua matanya juga terlihat merah, dan juga basah. Apakah ia sedang menangis?"Fera," panggilku lirih."Iya, Mbak Husna. Gimana keadaanmu sekarang? Apa ada yang terasa sakit?" tanyanya beruntun. Baru kusadari, kalau ada selang infus di tangan kananku. Aku kenapa? Bukankah tadi aku baru akan pulang bersama Fera dan teman yang lain?"Aku di mana sekarang?" tanyaku ingin tau."Kamu tenang, ya, Mbak. Kamu di rumah sakit sekarang.""Di rumah sakit? Kenapa aku bisa ada di sini, Fer?""Tidak apa-apa, Mbak, kamu hanya perlu istirahat. Tadi kamu habis jatuh kan, apa masih ingat?" tanyanya, tapi entah kenapa aku tak percaya begitu saja. Jika hanya jatuh, kenapa harus diinfus segala?
Memiliki suami pengertian, sungguh menjadi rejeki luar biasa bagiku. Ia mewujudkan banyak hal, yang awalnya kuanggap mustahil. Termasuk kali ini. Sempat berdebat kecil, karena ia berharap aku tak menyimpan sedih sendiri, sedangkan aku kekeh tak mau membuat keluarga tertular oleh sedihku."Baiklah, Sayang. Jika itu inginmu," jawabnya lirih, lantas direngkuhnya tubuh ini. Samar kudengar ia terisak. Beberapa waktu ke belakang, kulihat ia jauh lebih perasa dari sebelumnya. Tak jarang kulihat tatapan iba yang keluar dari sorot matanya. Tatapan itu, membuat aku berpikir, apa aku semenyedihkan itu di matanya?Kami memberikan nama Kusuma Wijaya pada janin itu. Wijaya diambil dari nama Ayahnya, sedangkan Kusuma, berarti hati. Ya, ia ada di hati kami, meski hadirnya tak kami sadari.Janin sepuluh Minggu itu, dikuburkan di halaman belakang rumah yang kutinggali bersama suami. Di atasnya, kuberi tanaman Wijaya Kusuma, seperti namanya."Min
Aku dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, serta memiliki peralatan yang lengkap. Di sana aku mendapat perawatan yang lebih baik."Aku akan cacat, Dam!" raungku, lalu suaraku menggema di ruang pemeriksaan."Kamu pergilah, aku sudah tak pantas lagi untukmu. Sudahlah nggak kunjung hamil, sekarang harapan mata kiriku … ."Ia telah melintangkan telunjuknya di bibirku."Sudah, jangan diteruskan. Aku tak akan ke mana-mana, Mei. Kamu istriku, apa pun kondisimu, aku akan tetap di sisimu. Tetap semangat, ya, nanti aku usahakan cari pengobatan yang terbaik. Kalau perlu kita cari donor mata buat kamu."Tergugu aku dalam dekapannya. Aku hampir putus asa, sebab harapan untuk pulih hanya sedikit. Hal ini tentu berpengaruh besar pada penampilanku nanti.Aku terus bertanya-tanya, kenapa harus menerima ini? Aku menolak takdir, bahwa mata kiriku tak bisa pulih seperti sedia kala.Sementara itu, Husna dan Hanan justru memberikan dukungan
Masih jam sepuluh pagi, saat kuselesaikan laporan penjualan bulan ini.Seorang office boy memasuki ruanganku dengan membawa kotak nasi. "Dari siapa," tanyaku saat kotak tersebut diletakkan di meja sesuai titahku."Dari Pak Hanan, Bu," jawabnya, lalu pamit ke luar.Dahiku mengernyit, lalu menghirup aroma ayam bakar yang menguar.Kedua mataku membola saat membaca nama yang tertera pada selembar kertas yang menyertai nasi kotak tersebut.Yang berbahagia, Rashida Husna dan Hanan Wijaya.Tanganku meremas kertas tersebut hingga tak berbentuk. Terbayang senyuman Husna atas kelahiran buah hati yang mereka nantikan. Sekali lagi aku kalah olehnya. .Hanan semakin mempesona di mataku, terlebih ia telah memiliki seorang bayi yang lucu. Meski cemburu pada Husna, aku tetap menyapa anak itu setiap kali bertemu.Bagaimana aku bisa melewatkannya, anak itu sungguh menggemaskan. Lehernya hampir tak te
Hanan kian sering memuji desainnya, serta hasil jadi berupa perhiasan siap pakai yang memang laku keras di pasaran.Kulihat matanya selalu berbinar setiap menyebut nama itu. Karir Husna pun kian bersinar. Hatiku dibakar cemburu. Hanan tak pernah seperti ini sebelumnya. Namun, jauh di lubuk hati, aku tak mengingkari peran Husna di sini. Siapa sangka, perempuan biasa itu memiliki kecerdasan luar biasa, hingga dapat membaca selera pasar dalam waktu singkat. Tak jarang kudapati ia mengenakan beberapa hasil desainnya meski hanya sebentar. Memang dasar mis kin. Kalau pengen kan tinggal beli, ngapain dipakai lalu dilepas lagi.Kesejahteraan karyawan kian ditambah. Setelah kenaikan gaji, kini ganti uang makan yang dinaikkan, bahkan nasi bungkus serta nasi kotak pun sering datang lebih awal, hingga para karyawan tak perlu jauh ke luar saat istirahat.Itu semua imbas dari omset penjualan yang melejit berkat desain Husna, sebab peranku d
POV MeisyaAku telah sangat percaya diri, bahwa mudah bagiku menaklukan seorang Hanan. Desakan sebab usia menjadi salah satu sebabnya.Akulah perempuan di ambang usia tiga puluh. Usia yang menjadi momok bagi perempuan untuk segera mengakhiri masa lajang.Demikian halnya dengan aku. Orang tuaku telah semakin gelisah memikirkan jodoh untukku. Sementara aku tak ambil pusing, kecuali saat satu kata dilontarkan, yakni perjodohan.Aku mulai mencari seseorang yang tepat, setidaknya, sebelum usiaku genap tiga puluh, aku telah memiliki calon ke jenjang pernikahan. Karirku bagus, penjualan tak pernah turun sejak kupegang. Wajahku pun terhitung menarik, tubuhku juga ramping. Tak ada yang kurang di hidupku, kecuali satu, pasangan hidup. Bukan karena aku tak laku, hanya saja aku pemilih. Beberapa kali aku menjalin hubungan, sebanyak itu pula harus kuakhiri sebab aku merasa lebih tinggi.Berbeda dengan Hanan. Ia tak seperti lelaki k
Ia menepati ucapannya untuk membawa kami jalan-jalan, tepat setelah bukan kembar pulang sekolah.Ia membayar waktunya dengan membawa aku ke salon untuk perawatan seluruh badan. Sementara itu, anak-anak ia bawa ke arena bermain, tak jauh dari salon ini berada. Aku segera menyusul begitu selesai dan kembali merasa rileks."Masya Allah, cantiknya istriku," sambutnya, begitu aku telah sampai. Aku tersipu, lantas mengucapkan terima kasih. Si bungsu segera kuambil alih, untuk kuberi ASI. Kedua kakaknya melanjutkan bermain.Setelah menghabiskan waktu seharian, kami dibawa ke rumah orang tuaku. Rumah ibu kian riuh dengan suara anak-anakku, juga anak-anak Mas Dika.Wahyu dan Fajar terlihat antusias saat Mas Dika mengajari gerakan membela diri. Ya, meski mereka telah dimasukkan ke kegiatan yang sama di dekat tempat kami tinggal, tetap saja mereka terkesan dengan gerakan baru dari Mas Dika."Na, mumpung kamu di sini, ibu mau kasih kabar," ujar Ibu, saat aku s
Tangan kecil itu membingkai wajahku, lalu menghujani wajah dengan kecupan tanpa henti."Aku sayang Ibu. I love you, Ibu," cetusnya lagi.Mata kukerjapkan beberapa kali, saat kurasai telapak tangan yang menempel di pundak."Mbak Husna, bangun, Mbak."Suara Bu Ratna mengiringi gerakan tangannya yang terhenti.Terlihat di depanku, Fajar yang sedang terlelap. Sebuah buku yang terbuka di atas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, menandakan aktifitas sebelum ia benar-benar memejamkan mata.Jika ia sedang terlelap sedamai ini, lalu ulah siapa beberapa saat tadi?"Mbak, pindah ke kamar, ya. Tidur sambil duduk begini, Mbak Husna bisa capek, nanti," ujar Bu Ratna lagi.Kuamati diri sendiri. Duduk bertumpu di lantai, dengan tangan bersandar pada sisi ranjang di samping Fajar. Kurasai kalau lututku mulai terasa sulit digerakkan.Di seberang tempatku duduk, Wahyu pun terlihat tak jauh berbeda dengan sang kakak.
"Ibu, gendong."Semakin dekat dengan hari persalinan, semakin bertambah juga kemanjaan kedua anakku.Bergantian mereka berdua mengulurkan kedua tangan meminta aku menggendongnya.Aku pun tak bisa menolak, selain menuruti keinginan mereka. Kapan lagi bisa kugendong, sedangkan mereka sudah tumbuh semakin besar."Gendong sama ayah, ya, Nak, kasihan dong, adik kegencet, kamu kan sudah besar sekarang," tawar sang ayah, jika kebetulan melihat dan mendengar permintaan sang anak."Nggak mau, mau sama ibu aja," jawabnya selalu. "Nggak papa, Yah," jawabku, mencoba menenangkan. Mereka baru mau lepas setelah lama dibujuk.Pagi selepas Subuh, persis seperti saat kelahiran Fajar, bayi itu lahir dengan persalinan normal.Ia bergegas mengadzankan anak itu, dengan suara parau. Lantas kecupan penuh cinta ia labuhkan di kening bayi suci tersebut, sebelum akhirnya diletakkan di dadaku, untuk menikmati ASI pertama."Alhamd
Berkunjung ke rumah Mama, artinya membuka kenangan lama. Tiba-tiba saja aku rindu, melihat kelebat kenangan yang hadir tanpa permisi.Foto pernikahanku terdahulu, bahkan masih terpajang di ruang keluarga rumah ini."Tante kecil," ujar Wahyu. Tangannya telah mulai beraksi, hendak menyentuh pipi dan hidung bayi mungil itu.Melihat bayi Mama yang tengah terlelap, justru menghadirkan kenangan saat Fajar baru hadir di kehidupan kami.Ia telah melakukan banyak sekali hal baik selama hidup bersamaku, tapi, kenapa kenangan buruk itu yang justru muncul di sini?Kutepis pikiran yang hadir, dengan ikut membaur pada kedua anakku yang sibuk dengan Tante barunya. "Iya, Sayang. Hati-hati pegangnya, ya. Coba tanya Oma, siapa nama Tante yang cantik ini?" "Oma, siapa nama Tante kecil ini?" tanyanya patuh."Tante Hapsari, Sayang," jawab Mama, lalu dielus-elusnya kepala Wahyu.Nama yang cantik, untuk bayi dengan wajah bu
"Heh? Serius ngidam pizzanya Bu Lisa?" tanyaku tak percaya.Bukannya apa, selama ini ia paling anti makanan dari olahan tepung. Banyak sekali alasannya, yang susah dicerna lah, yang bikin perut begah lah, dan masih banyak lagi.Sampai kucoret daftar rerotian dari daftar belanja kalau kami sedang ke luar. Semua itu menjadi pengecualian kalau si kembar minta, baru ada menu roti, itu pun tak boleh banyak."Iya, dua rius, Kak. Ada cabangnya yang deket sini apa nggak, ya?"Melihat raut serius di wajahnya, membuat aku mengambil ponsel, lantas menghubungi nomer Bu Lisa."Waduh, maaf belum sampai sana Mas Dirga," jawab Mbak Lisa dari seberang telepon. Kulihat wajah ratuku, ia terlihat tak sabar menunggu jawaban."Ya udah, makasih ya, Mbak. Nggak papa, ada yang ngidam ini."Dan akhirnya sambungan telepon itu pun terputus, sebab ada suara yang memanggil Mbak Lisa."Gimana, Kak?"Tuh, kan, nggak sabar dia. Ba