POV Husna
Aku mulai menghitung hari.Waktu yang diberikan Mama tinggal sebentar lagi. Meski sudah berusaha supaya tak terlalu memikirkan, tetap saja aku dihantui dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.Waktu berjalan begitu cepat tanpa bisa dicegah. Ini bulan ke sembilan sejak kedatangan Mama hari itu. Masih belum ada tanda akan hadirnya buah cinta, antara aku dan suamiku. Sementara Mama kian gencar memberi ultimatum.Oh, tidak! Tanda itu ada! Bagaimana bisa aku mengabaikannya?Ini hari kelima. Ya, lima hari sudah, aku berdebar. Hati dipenuhi harap, bahwa hari ini dan seterusnya selama beberapa bulan ke depan, tamu spesial itu tak akan datang. Semoga saja ini menjadi awal kabar baik yang akan kudapat setelah ini.Suara derap langkah kaki menuju dapur membuat aku menghentikan dari aktifitas pagi ini, menyiapkan sarapan dan bekal makan siang untuk suami tercinta."Assalamu'alaikum, Sayang," sapanya, begitu ia telah sampai.Kusambut ia dDamai sekali dekat dengan anak kecil seperti sekarang ini. Ia mulai menggapai-gapai wajah ini dengan tangan mungilnya, lantas perlahan menepuk-nepuk pipi sambil berceloteh menggunakan bahasanya."Iya, Sayang, ini Tante Husna," ujarku sok tau dengan bahasa bayi. "Dulu, lima tahun saya menunggu kehadirannya, hingga melakukan banyak hal setelah dituduh macam-macam. Sampai saya hampir pisah sama suami saya, karena keinginannya yang sangat besar untuk memiliki anak," ujar Bu Yuli tiba-tiba.Aku menghentikan gerakan dari mengelus pipi gembul Salwa. "Begitu melihat Mbak Husna menatap lekat anak saya beberapa saat tadi, saya mengerti, karena saya pernah merasakannya. Maaf kalau saya sok tau, ya, Mbak Husna," lanjutnya lagi."Eh, i-iya, Bu, tidak apa-apa," jawabku dengan senyum kaku. Lihat Husna, ada yang lebih lama dari kamu. Ibu Yuli menunggu lima tahun, sedangkan kamu belum genap dua tahun. Tambah lagi sabarmu, Husna. Aku meracau sendiri dalam hati, begitu
POV HananAku telah menunggu selama setengah jam.Ya, setengah jam sudah aku duduk dan menunggu Husna ke luar dari kamar mandi, di atas sajadah ini. Adzan subuh bahkan telah lewat sepuluh menit yang lalu.Merasa curiga, aku bergegas ke kamar mandi, di mana ia berada. Suara air terdengar mengalir dengan derasnya, tapi tak ada suara selainnya.Tok tok tok!Kutekuk pintu kamar mandi ini. Tak ada jawaban juga."Husna, Sayang, kamu masih di dalam?" tanyaku dari depan pintu yang tertutup rapat.Mungkin suaraku tenggelam oleh derasnya air yang mengalir di dalam sana, hingga ia tak merespon panggilanku."Husna!"Kali ini aku memanggil namanya dengan suara lebih keras lagi. Menunggu beberapa saat, masih tak ada sahutan dari dalam sana. Apa yang terjadi?Tak sabar lagi, aku berusaha mendorong pintu kamar mandi. Ternyata pintu dalam kondisi terkunci. Tak biasanya ia mengunci pintu seperti ini.Ak
"Tapi Mas, pernikahan itu bukan hanya menyatukan dua orang, dua hati, tapi dua keluarga. Kita nggak boleh egois mempertahankan keinginan kita, sementara orang tua mengharapkan lain.""Iya, Mas ngerti, Sayang. Nanti biar Mas bicara lagi sama Mama. Oke? Mas nggak mau lihat kamu kayak gini. Mas mau lihat Husna, istri Mas yang kemarin itu, yang bahagia dan berbinar-binar kedua matanya, bukan Husna yang meringkuk di bawah air keran sampai menggigil. Masalah selesai enggak, badan demam iya. Bener nggak?"Ia terdiam sejenak, lantas mengangguk."Aku siapin sarapan, ya, kan bentar lagi kamu kerja, Mas?" ujarnya sambil mendongakkan wajah. Sepertinya kesadarannya sebagai istri, dan kepercayaan dirinya mulai kembali."Emang Mas bilang mau kerja?"Bagaimana mungkin aku akan meninggalkan dia dalam kondisi seperti ini. Bukan tak mungkin ia akan mengulangi lagi."Terus?""Ya, jangan terus-terus, bisa nabrak entar."
"Tante Husna ... !"Kedua anak itu sudah menghambur begitu saja, membuat Husna sedikit terhuyung. Kedua matanya terlihat sedikit membesar karena kehadiran mereka yang tiba-tiba.Tak lama kemudian, ia telah menguasai diri, lantas melarikkan senyum menyambut kedatangan Arsy dan Arkan."Hallo, Sayang, gimana kabarnya? Wah, Tante dapat tamu istimewa, nih. Masuk, yuk?" ajaknya, kemudian berdiri dan menuntun dua bocah kecil itu ke dalam rumah. Ia tinggalkan bunga mawar di halaman samping yang sedari tadi ia pandangi tanpa bicara. Kondisinya telah membaik. Badannya tak lagi demam setelah kuberi ia satu butir Paracetamol. Ia tertidur setelahnya. Setengah jam yang lalu ia terbangun, lantas mengajakku duduk menikmati keindahan bunga kesayangannya yang tengah bermekaran."Tante, aku punya es krim, ayo kita makan sama-sama," ajak Arsy."Aku juga punya, Tante," timpal Arkan."Oh, ya? Ayo, Tante temani ya, nanti makan es krimnya sam
Kupelankan suaraku, hingga tanpa sadar terdengar serak di akhir kalimat.Mama terlihat memijit pelipisnya. Ia akan seperti ini jika tak mampu berpikir dengan kalimatku, yang sering membuat perdebatan kecil. Kuelus tangan Mama setelah beberapa saat ia tak bersuara, lantas melanjutkan kalimatku."Tolong, ya, Ma. Mama sayang sama anak Mama, kan? Mama ingin anak Mama ini hidup bahagia, kan, Ma? Hanan sayang sama Mama, ingin membahagiakan Mama dengan kehadiran seorang cucu. Tapi tidak dengan cara menikah lagi dengan perempuan lain, seperti yang Mama sampaikan, sebab kebahagiaan terbesar anak Mama ini, ada pada Husna, Ma. Jika Mama memaksa, akan ada banyak hati yang terluka. Hanan mohon, jangan menuntut sesuatu yang di luar kuasa kami. Akan lebih baik, jika Mama memperbanyak do'a, semoga Allah memberikan kepercayaan kepada kami untuk memiliki anak, dan cucu buat Mama. Tolong ya, Ma."Mama tak menjawab, justru membuang wajah. Kugenggam erat tangannya.
Kutinggalkan rumah Mama, dengan pikiran berkecamuk. Besar harapanku, Mama akan menepati apa yang telah ia sampaikan. Sementara ucapan Tante Wanda, sedikit banyak mengganggu pikiranku. Terlihat sekali ada ketidaksukaan yang ia sampaikan melalui ucapannyaHusna terlihat masih berbincang dengan beberapa temannya ketika aku datang. Ia bergegas menghampiri begitu aku membuka pintu mobil dan melambaikan tangan ke arahnya. Melihat ia menghampiri dengan senyuman, seketika hilang rasa gundah yang sejak tadi menyerang."Mas kangen," bisikku lirih, begitu ia selesai mencium punggung tangan ini. Kurapatkan badannya, hingga ia mendongakkan wajah, lantas tersenyum."Kita pulang, ya, jangan di sini, malu," ujarnya menanggapi. Kulihat pipinya bersemu merah. Semakin gemas aku melihat ia yang sedang tersipu-sipu seperti ini. Tak tahan lagi, kudaratkan bibirku di sana."Mas, malu dilihat orang. Nanti di rumah saja, ya?" ucapnya dengan berbisik. A
Kondisi psikisnya telah lebih baik sejak hari itu. Kehadiran anak-anak, membawa dampak positif baginya. Kedekatannya dengan Bu Lisa yang seperti kakak dan adik, juga membawa pengaruh besar, bagi penerimaan akan kondisinya yang belum dipercaya untuk memiliki momongan.Ia bahkan mulai mengikuti Bu Lisa, mengatur pola makan. Hal ini membuat stok buah dan sayuran segar selalu ada di rumah. Ia juga tak terlalu sibuk menyiapkan sarapan, karena aku pun setuju hanya menyantap buah di pagi hari hingga siang. Semua menjadi lebih simpel.Cara pandangnya tentang kepemilikan, berubah begitu saja, entah berawal dari mana."Kamu memang suamiku, tapi kamu milikNya. Anak yang belum hadir di rahimku, itu juga hakNya. Jika di dunia aku tak bisa memiliki, semoga Allah bermurah hati memberikan kelak saat aku tak ada di dunia yang fana ini. Saat ini, aku sudah merasa cukup dengan adanya anak-anak yang hadir di sekitarku. Arsy, Arkan, dan juga Salwa, sudah cukup bagiku
POV HananPerasaan cemas tak dapat kuhindari selama perjalanan menuju rumah sakit. Hatiku terus bertanya-tanya, ada apa dengan Husna hingga ia masuk ke rumah sakit?Menempuh perjalanan selama satu jam, akhirnya aku sampai juga di rumah sakit Harapan Bunda. Berbekal informasi dari petugas jaga, aku menemukan kamar di mana ia dirawat. Kedatanganku disambut oleh seorang perempuan, yang kukenal sebagai teman sekelas Husna. Ia duduk di depan pintu kamar."Maaf, ini, Pak Hanan, kan?" tanyanya begitu aku telah sampai."Iya, benar, saya Hanan. Mbak ini ... ?""Saya Fera, teman sekelas Mbak Husna. Bapak masuk saja, Mbak Husna masih istirahat tadi, jadi saya tinggal ke luar, sekalian menunggu keluarganya.""Oke, terima kasih, ya, Mbak. Maaf, saya masuk dulu," pamitku. Tak sabar lagi hendak melihat kondisi istriku.Di ruangan itu, ada empat dipan untuk pasien. Tiga di antaranya telah terisi, Husna ada di ujung paling deka