Kutinggalkan rumah Mama, dengan pikiran berkecamuk. Besar harapanku, Mama akan menepati apa yang telah ia sampaikan. Sementara ucapan Tante Wanda, sedikit banyak mengganggu pikiranku.
Terlihat sekali ada ketidaksukaan yang ia sampaikan melalui ucapannyaHusna terlihat masih berbincang dengan beberapa temannya ketika aku datang. Ia bergegas menghampiri begitu aku membuka pintu mobil dan melambaikan tangan ke arahnya.Melihat ia menghampiri dengan senyuman, seketika hilang rasa gundah yang sejak tadi menyerang."Mas kangen," bisikku lirih, begitu ia selesai mencium punggung tangan ini. Kurapatkan badannya, hingga ia mendongakkan wajah, lantas tersenyum."Kita pulang, ya, jangan di sini, malu," ujarnya menanggapi. Kulihat pipinya bersemu merah. Semakin gemas aku melihat ia yang sedang tersipu-sipu seperti ini. Tak tahan lagi, kudaratkan bibirku di sana."Mas, malu dilihat orang. Nanti di rumah saja, ya?" ucapnya dengan berbisik. AKondisi psikisnya telah lebih baik sejak hari itu. Kehadiran anak-anak, membawa dampak positif baginya. Kedekatannya dengan Bu Lisa yang seperti kakak dan adik, juga membawa pengaruh besar, bagi penerimaan akan kondisinya yang belum dipercaya untuk memiliki momongan.Ia bahkan mulai mengikuti Bu Lisa, mengatur pola makan. Hal ini membuat stok buah dan sayuran segar selalu ada di rumah. Ia juga tak terlalu sibuk menyiapkan sarapan, karena aku pun setuju hanya menyantap buah di pagi hari hingga siang. Semua menjadi lebih simpel.Cara pandangnya tentang kepemilikan, berubah begitu saja, entah berawal dari mana."Kamu memang suamiku, tapi kamu milikNya. Anak yang belum hadir di rahimku, itu juga hakNya. Jika di dunia aku tak bisa memiliki, semoga Allah bermurah hati memberikan kelak saat aku tak ada di dunia yang fana ini. Saat ini, aku sudah merasa cukup dengan adanya anak-anak yang hadir di sekitarku. Arsy, Arkan, dan juga Salwa, sudah cukup bagiku
POV HananPerasaan cemas tak dapat kuhindari selama perjalanan menuju rumah sakit. Hatiku terus bertanya-tanya, ada apa dengan Husna hingga ia masuk ke rumah sakit?Menempuh perjalanan selama satu jam, akhirnya aku sampai juga di rumah sakit Harapan Bunda. Berbekal informasi dari petugas jaga, aku menemukan kamar di mana ia dirawat. Kedatanganku disambut oleh seorang perempuan, yang kukenal sebagai teman sekelas Husna. Ia duduk di depan pintu kamar."Maaf, ini, Pak Hanan, kan?" tanyanya begitu aku telah sampai."Iya, benar, saya Hanan. Mbak ini ... ?""Saya Fera, teman sekelas Mbak Husna. Bapak masuk saja, Mbak Husna masih istirahat tadi, jadi saya tinggal ke luar, sekalian menunggu keluarganya.""Oke, terima kasih, ya, Mbak. Maaf, saya masuk dulu," pamitku. Tak sabar lagi hendak melihat kondisi istriku.Di ruangan itu, ada empat dipan untuk pasien. Tiga di antaranya telah terisi, Husna ada di ujung paling deka
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, beradaptasi dengan cahaya lampu kamar. Kusapu pandang ke sekeliling. Pandangan mataku terhenti, pada Fera yang duduk di samping dipan. Bibirnya melengkungkan senyum, seakan telah lama menunggu aku bangun. Kedua matanya juga terlihat merah, dan juga basah. Apakah ia sedang menangis?"Fera," panggilku lirih."Iya, Mbak Husna. Gimana keadaanmu sekarang? Apa ada yang terasa sakit?" tanyanya beruntun. Baru kusadari, kalau ada selang infus di tangan kananku. Aku kenapa? Bukankah tadi aku baru akan pulang bersama Fera dan teman yang lain?"Aku di mana sekarang?" tanyaku ingin tau."Kamu tenang, ya, Mbak. Kamu di rumah sakit sekarang.""Di rumah sakit? Kenapa aku bisa ada di sini, Fer?""Tidak apa-apa, Mbak, kamu hanya perlu istirahat. Tadi kamu habis jatuh kan, apa masih ingat?" tanyanya, tapi entah kenapa aku tak percaya begitu saja. Jika hanya jatuh, kenapa harus diinfus segala?
Memiliki suami pengertian, sungguh menjadi rejeki luar biasa bagiku. Ia mewujudkan banyak hal, yang awalnya kuanggap mustahil. Termasuk kali ini. Sempat berdebat kecil, karena ia berharap aku tak menyimpan sedih sendiri, sedangkan aku kekeh tak mau membuat keluarga tertular oleh sedihku."Baiklah, Sayang. Jika itu inginmu," jawabnya lirih, lantas direngkuhnya tubuh ini. Samar kudengar ia terisak. Beberapa waktu ke belakang, kulihat ia jauh lebih perasa dari sebelumnya. Tak jarang kulihat tatapan iba yang keluar dari sorot matanya. Tatapan itu, membuat aku berpikir, apa aku semenyedihkan itu di matanya?Kami memberikan nama Kusuma Wijaya pada janin itu. Wijaya diambil dari nama Ayahnya, sedangkan Kusuma, berarti hati. Ya, ia ada di hati kami, meski hadirnya tak kami sadari.Janin sepuluh Minggu itu, dikuburkan di halaman belakang rumah yang kutinggali bersama suami. Di atasnya, kuberi tanaman Wijaya Kusuma, seperti namanya."Min
Ia tak segera menjawab, malah memindai wajahku. Kulihat alisnya yang rapi itu hampir bertaut, dengan kening mengernyit."Kamu pengen banget, makan apel sekarang, ya?" tanyanya heran. Aku mengangguk cepat. Bukan hanya dia, aku pun heran dengan diriku sendiri.Tak bicara lagi, ia segera menghubungi nomer Mas Dika.."Ya Allah, Husna, malam-malam begini, kenapa kamu siksa suami kamu nyari buah apel?" tanya Ibu, begitu melihatku lahap menikmati apel malang di depan televisi.Semua penghuni rumah masih terjaga, sebab baru pulang dari pengajian di desa tetangga. Mas Dika hanya geleng-geleng kepala saat melihatku bersorak begitu disodorkan buah yang kucari."Lagi pengen, Bu," jawabku di sela mengunyah. Tak terasa sudah menghabiskan dua butir. Gigiku sudah mulai terasa ngilu."Tunggu sebentar. Hanan, istrimu ini, apa lagi ngidam?" tanya ibu hati-hati.Seketika aku terbatuk mendengar pertanyaan Ibu. Mas Dika membantu mengambi
"Husna, sudah belum?"Gegas kubersihkan diri. Tak mau membuat Ibu menunggu lebih lama. Aku masih tak berani melihat benda mungil ini."Gimana?" tanya ibu tak sabar, begitu pintu kubuka lebar."Ini, Ibu saja yang lihat, ya, Husna mau sholat dulu," ujarku sambil menyerahkan tespack pada Ibu."Lho, kamu, belum lihat hasilnya?"Ibu terlihat bingung melihatku kembali masuk ke kamar mandi dan mengambil wudhu."Belum, Bu, nggak berani. Udah, ya, aku sholat dulu, keburu siang nanti."Aku tak menunggu jawaban Ibu. Sudah hampir setengah enam, sudah kesiangan ini aku. Duh.Kukerjakan dua rakaat yang kesiangan ini dengan iringan suara ramai di luar kamar. Entah apa yang terjadi di sana. Gegas kukembalikan mukena dan sajadah ke tempat semula, lantas berniat ke luar, ingin tau ada apa.Aku baru akan melangkah ke dapur, saat Ibu menyambutku di depan pintu kamar dan memelukku. "Yang sabar ya, Nak ... ,"
Muncul lagi pertanyaan itu, benarkah kabar kehamilanku ini? Jika benar, tentu bertambahlah rasa syukurku. Jika pun tidak, ya aku bisa apa, ini semua di luar kuasaku bukan? Harapanku, semoga saja ini benar, supaya aku bisa terus melihat wajah bahagia yang terlihat di depan mata saat ini, dan seterusnya."Sudah-sudah, ayo sarapan, biar cucu Ibu nggak kelaparan di dalam sana. Nanti periksa biar tau sudah usia berapa, biar kita buat selamatan untuk mendo'akan calon cucu Ibu," ujar Ibu sambil meraih tanganku."Ayo, Nan, ajak istrimu sarapan," pungkas Ibu."Iya, Bu."Ia merangkul pundakku, mengajakku duduk."Bu Husna," bisiknya."Pak Hanan," balasku, lantas kami tertawa kecil bersamaan.Alhamdulillah, terima kasih ya, Allah, sudah menghadirkan kebahagiaan di rumah ini. Semoga saja, calon bayi ini sehat sampai lahir nanti. Aamiin ... .."Periksa ke bidan depan itu aja, Husna," pinta Ibu. Beliau mengambil tempat duduk di sampingku."Gi
Rezeki itu luas, seluas prasangka baikmu. Demikian yang selalu ia tanamkan dan sampaikan. Aku mengamini apa yang sering meluncur dari lisannya.Ia telah melewati banyak hal pahit dalam hidup. Mungkin itu pula yang membuat pemikirannya jauh melampaui usianya, termasuk melampaui aku.Beberapa waktu belakangan ini, prasangka baik itu mulai terwujud satu-persatu. Buah cinta kami, nampaknya memang dihadirkan sesuai dengan prasangka yang ia bangun sendiri. Meski ia masih terlihat tak percaya dengan kehamilannya, aku harap, ia tetap akan sehat dan menjalani kehamilannya dengan baik."Bu Husna," panggilku."Pak Hanan.""Ada susu buat ibu hamil, mau?"Kami sedang membeli kebutuhan dapur, kebetulan ada beberapa yang habis. Ia tak segera menjawab, malah menatapku, seakan sedang bingung dengan pertanyaanku."Aku, nggak suka susu, Mas," jawabnya, kemudian menundukkan kepala."Tapi suka es krim, ya? Bukann