Memiliki suami pengertian, sungguh menjadi rejeki luar biasa bagiku. Ia mewujudkan banyak hal, yang awalnya kuanggap mustahil. Termasuk kali ini. Sempat berdebat kecil, karena ia berharap aku tak menyimpan sedih sendiri, sedangkan aku kekeh tak mau membuat keluarga tertular oleh sedihku."Baiklah, Sayang. Jika itu inginmu," jawabnya lirih, lantas direngkuhnya tubuh ini. Samar kudengar ia terisak. Beberapa waktu ke belakang, kulihat ia jauh lebih perasa dari sebelumnya. Tak jarang kulihat tatapan iba yang keluar dari sorot matanya. Tatapan itu, membuat aku berpikir, apa aku semenyedihkan itu di matanya?Kami memberikan nama Kusuma Wijaya pada janin itu. Wijaya diambil dari nama Ayahnya, sedangkan Kusuma, berarti hati. Ya, ia ada di hati kami, meski hadirnya tak kami sadari.Janin sepuluh Minggu itu, dikuburkan di halaman belakang rumah yang kutinggali bersama suami. Di atasnya, kuberi tanaman Wijaya Kusuma, seperti namanya."Min
Ia tak segera menjawab, malah memindai wajahku. Kulihat alisnya yang rapi itu hampir bertaut, dengan kening mengernyit."Kamu pengen banget, makan apel sekarang, ya?" tanyanya heran. Aku mengangguk cepat. Bukan hanya dia, aku pun heran dengan diriku sendiri.Tak bicara lagi, ia segera menghubungi nomer Mas Dika.."Ya Allah, Husna, malam-malam begini, kenapa kamu siksa suami kamu nyari buah apel?" tanya Ibu, begitu melihatku lahap menikmati apel malang di depan televisi.Semua penghuni rumah masih terjaga, sebab baru pulang dari pengajian di desa tetangga. Mas Dika hanya geleng-geleng kepala saat melihatku bersorak begitu disodorkan buah yang kucari."Lagi pengen, Bu," jawabku di sela mengunyah. Tak terasa sudah menghabiskan dua butir. Gigiku sudah mulai terasa ngilu."Tunggu sebentar. Hanan, istrimu ini, apa lagi ngidam?" tanya ibu hati-hati.Seketika aku terbatuk mendengar pertanyaan Ibu. Mas Dika membantu mengambi
"Husna, sudah belum?"Gegas kubersihkan diri. Tak mau membuat Ibu menunggu lebih lama. Aku masih tak berani melihat benda mungil ini."Gimana?" tanya ibu tak sabar, begitu pintu kubuka lebar."Ini, Ibu saja yang lihat, ya, Husna mau sholat dulu," ujarku sambil menyerahkan tespack pada Ibu."Lho, kamu, belum lihat hasilnya?"Ibu terlihat bingung melihatku kembali masuk ke kamar mandi dan mengambil wudhu."Belum, Bu, nggak berani. Udah, ya, aku sholat dulu, keburu siang nanti."Aku tak menunggu jawaban Ibu. Sudah hampir setengah enam, sudah kesiangan ini aku. Duh.Kukerjakan dua rakaat yang kesiangan ini dengan iringan suara ramai di luar kamar. Entah apa yang terjadi di sana. Gegas kukembalikan mukena dan sajadah ke tempat semula, lantas berniat ke luar, ingin tau ada apa.Aku baru akan melangkah ke dapur, saat Ibu menyambutku di depan pintu kamar dan memelukku. "Yang sabar ya, Nak ... ,"
Muncul lagi pertanyaan itu, benarkah kabar kehamilanku ini? Jika benar, tentu bertambahlah rasa syukurku. Jika pun tidak, ya aku bisa apa, ini semua di luar kuasaku bukan? Harapanku, semoga saja ini benar, supaya aku bisa terus melihat wajah bahagia yang terlihat di depan mata saat ini, dan seterusnya."Sudah-sudah, ayo sarapan, biar cucu Ibu nggak kelaparan di dalam sana. Nanti periksa biar tau sudah usia berapa, biar kita buat selamatan untuk mendo'akan calon cucu Ibu," ujar Ibu sambil meraih tanganku."Ayo, Nan, ajak istrimu sarapan," pungkas Ibu."Iya, Bu."Ia merangkul pundakku, mengajakku duduk."Bu Husna," bisiknya."Pak Hanan," balasku, lantas kami tertawa kecil bersamaan.Alhamdulillah, terima kasih ya, Allah, sudah menghadirkan kebahagiaan di rumah ini. Semoga saja, calon bayi ini sehat sampai lahir nanti. Aamiin ... .."Periksa ke bidan depan itu aja, Husna," pinta Ibu. Beliau mengambil tempat duduk di sampingku."Gi
Rezeki itu luas, seluas prasangka baikmu. Demikian yang selalu ia tanamkan dan sampaikan. Aku mengamini apa yang sering meluncur dari lisannya.Ia telah melewati banyak hal pahit dalam hidup. Mungkin itu pula yang membuat pemikirannya jauh melampaui usianya, termasuk melampaui aku.Beberapa waktu belakangan ini, prasangka baik itu mulai terwujud satu-persatu. Buah cinta kami, nampaknya memang dihadirkan sesuai dengan prasangka yang ia bangun sendiri. Meski ia masih terlihat tak percaya dengan kehamilannya, aku harap, ia tetap akan sehat dan menjalani kehamilannya dengan baik."Bu Husna," panggilku."Pak Hanan.""Ada susu buat ibu hamil, mau?"Kami sedang membeli kebutuhan dapur, kebetulan ada beberapa yang habis. Ia tak segera menjawab, malah menatapku, seakan sedang bingung dengan pertanyaanku."Aku, nggak suka susu, Mas," jawabnya, kemudian menundukkan kepala."Tapi suka es krim, ya? Bukann
"Ayah, aku mau main perosotan, ya?" pamit Arsy begitu es krimnya telah habis tak bersisa."Iya, hati-hati, ya, Nak. Adik, nggak ikut?" tawarnya pada Arkan."Enggak, Yah, adik mau di sini saja, main sama adik ini."Pernyataan Arkan, membuat kami bertiga saling pandang. Tak ada anak kecil di sekitar kami, selain dirinya sendiri. Arkan pun sudah beranjak besar, sebab sudah kelas dua SD sekarang."Dia di samping Tante, itu lagi pegangan sama baju Tante," jawabnya lagi.Husna terlihat bingung kali ini. Ia menatapku seakan minta tolong."Adik, kita beli es krim lagi, yuk?" ajak Pak Mirza, seakan mengurai ketegangan yang ada. Syukurlah Arkan menurut."Sayang, kamu nggak papa, kan?" tanyaku setelah kuraih tubuhnya."Enggak, Mas, aku cuma bingung, kok bisa ada anak kecil yang ikut aku, sedangkan aku tak bisa melihatnya.""Sudah, nggak usah dipikirin, habis ini kita jenguk Bu Lisa, ya? Apa masih mau di sini?
POV Husna"Mau Mas bantu, nggak?"Aku masih asyik mengetik, mengerjakan revisian hari ini. Kualihkan pandang sejenak dari layar monitor, demi melihat pasangan hidup yang penuh cinta di depanku."Boleh, Mas. Duduk sini temani aku, ya, itu sudah cukup, Mas," jawabku sambil mengulas senyum."Hmm ... , iya, deh. Apa masih banyak? Sudah jam delapan ini, kamu apa nggak capek, habis sibuk seharian?"Wajah khawatirnya tak dapat ia sembunyikan. Selalu seperti ini, saat aku masih sibuk di jam segini."Tadi, sih, iya, capek sedikitt. Tapi, sekarang udah hilang begitu lihat kamu, Mas." Aku terkikik sendiri, saat sadar dengan apa yang baru saja meluncur dari lisan ini."Cie, Mas digombalin," ujarnya, lantas mendaratkan bibirnya di keningku. "Ini jus sayurnya, diminum dulu, ya?""Siap, Mas. Makasih, ya. Pasti enak, deh."Kunikmati perlahan jus sayur ini, sambil beberapa saat menahan di dalam mulut, supaya b
Mama terlihat mengernyitkan keningnya. Dilihatnya aku dan suami bergantian, seakan mencari jawab atas kebenaran yang kusampaikan."Iya, Ma. Dia ngambil semester pendek, jadi, sudah mau selesai," timpal suami."Tuh, Ma, hebat kan, menantu kamu, sampai ngebut selesaikan kuliah demi menuruti maumu," ujar Papa menimpali."Semester pendek?" Mama bertanya seakan tak percaya."Iya, Ma. Hampir nggak ada hari libur, kecuali Minggu. Jadi, maaf ya, kalau lama nggak ke rumah Mama," ujar calon ayah Wijaya kecil, dengan memegang tangan Mama. Nampaknya ada sesal di sana, sebab memang sudah lama sekali kami berdua tidak ke sana.Kulihat sosok mungil itu di sana, di dekat pagar pembatas ruangan ini. Ia sedang tersenyum, manis sekali. Wajahnya tak asing lagi."Kusuma … ," gumamku lirih, saat ia tak terlihat lagi."Sayang, kamu kenapa?" Calon ayah Wijaya kecil sudah memegang lenganku, lantas mengikuti arah pandanganku.