"Aku mencintai kamu, dengan atau tanpa adanya anak, Husna."
Ia berkata sungguh-sungguh, di tengah riuh suara anak dan lalu lalang kendaraan."Bagiku, memiliki kamu adalah anugerah terbesar dalam hidupku. Maafkan aku, maaf jika aku salah bicara. Aku tak akan mengulangi, jika kamu tak suka."Aku tak menanggapi. Hanya berharap ia memegang apa yang telah ia ucapkan.Terkadang, aku bosan mendengar kata-katanya yang manis seperti ini. Kami meninggalkan tempat ini, begitu adzan Maghrib berkumandang.Menghabiskan malam di sebuah pasar malam, menaiki komidi putar, dan beberapa permainan lain, kami lakukan kali ini.Di sebuah warung lesehan, kami berdua menikmati makan malam yang romantis, dalam kesederhanaan.Ia membuat aku tersenyum dan tertawa, mengalihkan semua kelelahan hati yang sungguh menguras pikiran hari ini..Hari berlalu dengan cepat. Ia tak lagi membahas soal anak, sejak hari itu. Kami biarkan pernikahAmpuni hamba ya Allah ... . Jika ini semua akibat dari ucapan hamba, hamba mohon ampunanMu, wahai Sang Pemberi Rizki.Hamba sadar, jika kepemilikan seorang anak dalam rumah tangga, mutlak hak prerogatifMu. Hamba berserah diri, menjalani takdirMu ya Rabb ... .Kudengar deru mesin mobil yang bergerak menjauhi halaman rumah ini. "Hati-hati di jalan, ya, Ma," gumamku lirih.Derap langkah kaki yang bergerak mendekat, mulai menapaki lantai rumah ini. Rumah yang kutempati berdua dengan suami, yang menjadi saksi bisu, bahwa ada dua hati yang menjadi satu, dan berseminya cinta yang kian besar dari waktu ke waktu."Husna."Suara ini, yang semakin akrab di telinga. Yang selalu berkata manis, demi harmonisnya hubungan kami. Kini kudengar ada luka dalam caranya memanggil. Ia telah menghambur pada tubuh ini, yang tak berpindah posisi sejak tadi. "Maafkan Mama, ya, Sayang," pintanya. Aku mengangguk.Kutatap lekat wajah suamiku, wajah yang begitu teduh dan selalu t
"Mas Dika!"Panggilanku, membuat ia menghentikan menata buah, lantas menoleh ke arahku. Kedua matanya terlihat sedikit membesar, lantas ia tersenyum begitu menyadari kehadiranku, bersama suami."Adeknya kangen ini, Mas," jawab Pak Hanan, begitu kami berdua telah berhadapan.Keduanya lantas berpelukan singkat setelah berjabat tangan. Ada rasa senang melihat keakraban mereka berdua. Tak ada sekat ipar dengan ipar, mereka layaknya dua saudara yang telah lama tak bersua. Terlebih lagi, suamiku yang menjadi anak tunggal, seperti mendapatkan seorang Kakak saat bersama Mas Dika.Ya, sejak semalam memang aku meminta supaya diijinkan ikut Mas Dika jualan. Aku hanya ingin melepas kangenku pada saudaraku. Dan ia pun tak keberatan mengantarkan aku ke sini, sebelum ia berangkat kerja."Apa pun, Sayang, yang membuat hatimu bahagia, akan Mas lakukan," ujarnya semalam, mengakhiri perijinan. Lantas kuberi ia hadiah spesial atas ijinnya. Hadiah yang m
"Mas, kita balik, ya?" pintaku pada Mas Dika, yang baru selesai menghabiskan air kelapa muda.Ia mengangguk, lantas kembali melajukan kendaraannya ke arah pulang. Di rumah, Pak Hanan telah menunggu, bersama Ayah, dan juga Ibu.Melepas rindu sejenak pada kedua orang tuaku, ia pun meminta ijin membawaku pergi dari sini. Menyisakan cemas, akan hasil yang mungkin tak sesuai dengan harapan.Permintaan Mama, membawa langkah kami berdua ke sebuah rumah sakit. Rasa cemas itu tetap saja hadir, meski aku yakin kalau aku sehat. Suamiku juga sehat. Semakin dekat dengan ruang pemeriksaan, semakin tak karuan juga detak jantung ini. Ada rasa takut kalau salah satu dari kami invertil, seperti yang ditakutkan oleh Mama."Habiskan semua yang Mama bawa ini, supaya subur rahim kamu, Husna!" titah Mama, kala itu.Haruskah memeriksakan kesehatan secepat ini? Apa salahnya bersabar sebentar lagi? Bukankah di luar sana, ada yang butu
POV Dirga"Kamu hanya batuk dan flu Dirga!"Untuk ke sekian kalinya, Ibu tak mau menerima kenyataan bahwa sakitku ini merupakan gejala yang nyata dari virus yang kian giat bekerja. Beberapa kali aku melihat merahnya darah, dalam dahak yang kukeluarkan, membuat aku meyakini kalau pertahanan diri kian lemah. Hati ini kian menyerah, menyadari bahwa tubuhku kian tak berdaya."Besok kita periksa ke dokter yang lain, siapa tau hasil pemeriksaan itu salah!" tukas Ibu, saat aku tak kunjung mau berobat atas penyakitku. Jujur saja, aku sudah tak berharap bisa hidup lebih lama, sejak membaca hasil pemeriksaan hari itu. Terlebih lagi, melihat Husna dan juga Hanan terlihat bahagia, membuat aku kehabisan kata.Yang kulakukan berikutnya hanya menunggu. Ya, menunggu malaikat menjemputku, karena gejala ini sungguh nyata. Aku tak mengindahkan permintaan ibu, untuk periksa ulang. Buat apa? Toh waktuku tak banyak, pikirku.Aku tak bisa berkutik lagi saat keesokan
Di depan tempat ia bekerja aku duduk dan menunggu. Aku merasa jadi orang terbo doh saat itu, saat aku hanya duduk dan menunggu ia memasuki pintu gerbang tempat ia bekerja.Beberapa kali aku berada di sana, aku tak bisa menemukan sosoknya. Aku melupakan satu hal, bahwa ia kini telah menjadi istri dari seorang lelaki bernama Hanan Wijaya. Ia mungkin saja tak lagi mengijinkan Husna bekerja membanting tulang di pabrik yang sama tempat ia bekerja sebelum menikah.Hingga suatu siang, aku dibuat terbelalak lebar, melihat ia ke luar dari gerbang bersama seorang perempuan, menggunakan sebuah sepeda motor.Sebuah bulir bening, kubiarkan luruh begitu saja. Tak peduli jika aku disebut lelaki cengeng sekali pun. Aku begitu bahagia bisa melihat ia dalam kondisi baik, dan terlihat lebih ... cantik.Ya, ia terlihat lebih cantik, dan bahagia, dengan senyum dan tawa yang tak henti ia suguhkan bagi temannya bicara.Rasa ingin taulah, yang membawa aku mengik
POV HusnaAku mulai menghitung hari.Waktu yang diberikan Mama tinggal sebentar lagi. Meski sudah berusaha supaya tak terlalu memikirkan, tetap saja aku dihantui dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.Waktu berjalan begitu cepat tanpa bisa dicegah. Ini bulan ke sembilan sejak kedatangan Mama hari itu. Masih belum ada tanda akan hadirnya buah cinta, antara aku dan suamiku. Sementara Mama kian gencar memberi ultimatum.Oh, tidak! Tanda itu ada! Bagaimana bisa aku mengabaikannya? Ini hari kelima. Ya, lima hari sudah, aku berdebar. Hati dipenuhi harap, bahwa hari ini dan seterusnya selama beberapa bulan ke depan, tamu spesial itu tak akan datang. Semoga saja ini menjadi awal kabar baik yang akan kudapat setelah ini.Suara derap langkah kaki menuju dapur membuat aku menghentikan dari aktifitas pagi ini, menyiapkan sarapan dan bekal makan siang untuk suami tercinta. "Assalamu'alaikum, Sayang," sapanya, begitu ia telah sampai.Kusambut ia d
Damai sekali dekat dengan anak kecil seperti sekarang ini. Ia mulai menggapai-gapai wajah ini dengan tangan mungilnya, lantas perlahan menepuk-nepuk pipi sambil berceloteh menggunakan bahasanya."Iya, Sayang, ini Tante Husna," ujarku sok tau dengan bahasa bayi. "Dulu, lima tahun saya menunggu kehadirannya, hingga melakukan banyak hal setelah dituduh macam-macam. Sampai saya hampir pisah sama suami saya, karena keinginannya yang sangat besar untuk memiliki anak," ujar Bu Yuli tiba-tiba.Aku menghentikan gerakan dari mengelus pipi gembul Salwa. "Begitu melihat Mbak Husna menatap lekat anak saya beberapa saat tadi, saya mengerti, karena saya pernah merasakannya. Maaf kalau saya sok tau, ya, Mbak Husna," lanjutnya lagi."Eh, i-iya, Bu, tidak apa-apa," jawabku dengan senyum kaku. Lihat Husna, ada yang lebih lama dari kamu. Ibu Yuli menunggu lima tahun, sedangkan kamu belum genap dua tahun. Tambah lagi sabarmu, Husna. Aku meracau sendiri dalam hati, begitu
POV HananAku telah menunggu selama setengah jam.Ya, setengah jam sudah aku duduk dan menunggu Husna ke luar dari kamar mandi, di atas sajadah ini. Adzan subuh bahkan telah lewat sepuluh menit yang lalu.Merasa curiga, aku bergegas ke kamar mandi, di mana ia berada. Suara air terdengar mengalir dengan derasnya, tapi tak ada suara selainnya.Tok tok tok!Kutekuk pintu kamar mandi ini. Tak ada jawaban juga."Husna, Sayang, kamu masih di dalam?" tanyaku dari depan pintu yang tertutup rapat.Mungkin suaraku tenggelam oleh derasnya air yang mengalir di dalam sana, hingga ia tak merespon panggilanku."Husna!"Kali ini aku memanggil namanya dengan suara lebih keras lagi. Menunggu beberapa saat, masih tak ada sahutan dari dalam sana. Apa yang terjadi?Tak sabar lagi, aku berusaha mendorong pintu kamar mandi. Ternyata pintu dalam kondisi terkunci. Tak biasanya ia mengunci pintu seperti ini.Ak
Aku dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, serta memiliki peralatan yang lengkap. Di sana aku mendapat perawatan yang lebih baik."Aku akan cacat, Dam!" raungku, lalu suaraku menggema di ruang pemeriksaan."Kamu pergilah, aku sudah tak pantas lagi untukmu. Sudahlah nggak kunjung hamil, sekarang harapan mata kiriku … ."Ia telah melintangkan telunjuknya di bibirku."Sudah, jangan diteruskan. Aku tak akan ke mana-mana, Mei. Kamu istriku, apa pun kondisimu, aku akan tetap di sisimu. Tetap semangat, ya, nanti aku usahakan cari pengobatan yang terbaik. Kalau perlu kita cari donor mata buat kamu."Tergugu aku dalam dekapannya. Aku hampir putus asa, sebab harapan untuk pulih hanya sedikit. Hal ini tentu berpengaruh besar pada penampilanku nanti.Aku terus bertanya-tanya, kenapa harus menerima ini? Aku menolak takdir, bahwa mata kiriku tak bisa pulih seperti sedia kala.Sementara itu, Husna dan Hanan justru memberikan dukungan
Masih jam sepuluh pagi, saat kuselesaikan laporan penjualan bulan ini.Seorang office boy memasuki ruanganku dengan membawa kotak nasi. "Dari siapa," tanyaku saat kotak tersebut diletakkan di meja sesuai titahku."Dari Pak Hanan, Bu," jawabnya, lalu pamit ke luar.Dahiku mengernyit, lalu menghirup aroma ayam bakar yang menguar.Kedua mataku membola saat membaca nama yang tertera pada selembar kertas yang menyertai nasi kotak tersebut.Yang berbahagia, Rashida Husna dan Hanan Wijaya.Tanganku meremas kertas tersebut hingga tak berbentuk. Terbayang senyuman Husna atas kelahiran buah hati yang mereka nantikan. Sekali lagi aku kalah olehnya. .Hanan semakin mempesona di mataku, terlebih ia telah memiliki seorang bayi yang lucu. Meski cemburu pada Husna, aku tetap menyapa anak itu setiap kali bertemu.Bagaimana aku bisa melewatkannya, anak itu sungguh menggemaskan. Lehernya hampir tak te
Hanan kian sering memuji desainnya, serta hasil jadi berupa perhiasan siap pakai yang memang laku keras di pasaran.Kulihat matanya selalu berbinar setiap menyebut nama itu. Karir Husna pun kian bersinar. Hatiku dibakar cemburu. Hanan tak pernah seperti ini sebelumnya. Namun, jauh di lubuk hati, aku tak mengingkari peran Husna di sini. Siapa sangka, perempuan biasa itu memiliki kecerdasan luar biasa, hingga dapat membaca selera pasar dalam waktu singkat. Tak jarang kudapati ia mengenakan beberapa hasil desainnya meski hanya sebentar. Memang dasar mis kin. Kalau pengen kan tinggal beli, ngapain dipakai lalu dilepas lagi.Kesejahteraan karyawan kian ditambah. Setelah kenaikan gaji, kini ganti uang makan yang dinaikkan, bahkan nasi bungkus serta nasi kotak pun sering datang lebih awal, hingga para karyawan tak perlu jauh ke luar saat istirahat.Itu semua imbas dari omset penjualan yang melejit berkat desain Husna, sebab peranku d
POV MeisyaAku telah sangat percaya diri, bahwa mudah bagiku menaklukan seorang Hanan. Desakan sebab usia menjadi salah satu sebabnya.Akulah perempuan di ambang usia tiga puluh. Usia yang menjadi momok bagi perempuan untuk segera mengakhiri masa lajang.Demikian halnya dengan aku. Orang tuaku telah semakin gelisah memikirkan jodoh untukku. Sementara aku tak ambil pusing, kecuali saat satu kata dilontarkan, yakni perjodohan.Aku mulai mencari seseorang yang tepat, setidaknya, sebelum usiaku genap tiga puluh, aku telah memiliki calon ke jenjang pernikahan. Karirku bagus, penjualan tak pernah turun sejak kupegang. Wajahku pun terhitung menarik, tubuhku juga ramping. Tak ada yang kurang di hidupku, kecuali satu, pasangan hidup. Bukan karena aku tak laku, hanya saja aku pemilih. Beberapa kali aku menjalin hubungan, sebanyak itu pula harus kuakhiri sebab aku merasa lebih tinggi.Berbeda dengan Hanan. Ia tak seperti lelaki k
Ia menepati ucapannya untuk membawa kami jalan-jalan, tepat setelah bukan kembar pulang sekolah.Ia membayar waktunya dengan membawa aku ke salon untuk perawatan seluruh badan. Sementara itu, anak-anak ia bawa ke arena bermain, tak jauh dari salon ini berada. Aku segera menyusul begitu selesai dan kembali merasa rileks."Masya Allah, cantiknya istriku," sambutnya, begitu aku telah sampai. Aku tersipu, lantas mengucapkan terima kasih. Si bungsu segera kuambil alih, untuk kuberi ASI. Kedua kakaknya melanjutkan bermain.Setelah menghabiskan waktu seharian, kami dibawa ke rumah orang tuaku. Rumah ibu kian riuh dengan suara anak-anakku, juga anak-anak Mas Dika.Wahyu dan Fajar terlihat antusias saat Mas Dika mengajari gerakan membela diri. Ya, meski mereka telah dimasukkan ke kegiatan yang sama di dekat tempat kami tinggal, tetap saja mereka terkesan dengan gerakan baru dari Mas Dika."Na, mumpung kamu di sini, ibu mau kasih kabar," ujar Ibu, saat aku s
Tangan kecil itu membingkai wajahku, lalu menghujani wajah dengan kecupan tanpa henti."Aku sayang Ibu. I love you, Ibu," cetusnya lagi.Mata kukerjapkan beberapa kali, saat kurasai telapak tangan yang menempel di pundak."Mbak Husna, bangun, Mbak."Suara Bu Ratna mengiringi gerakan tangannya yang terhenti.Terlihat di depanku, Fajar yang sedang terlelap. Sebuah buku yang terbuka di atas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, menandakan aktifitas sebelum ia benar-benar memejamkan mata.Jika ia sedang terlelap sedamai ini, lalu ulah siapa beberapa saat tadi?"Mbak, pindah ke kamar, ya. Tidur sambil duduk begini, Mbak Husna bisa capek, nanti," ujar Bu Ratna lagi.Kuamati diri sendiri. Duduk bertumpu di lantai, dengan tangan bersandar pada sisi ranjang di samping Fajar. Kurasai kalau lututku mulai terasa sulit digerakkan.Di seberang tempatku duduk, Wahyu pun terlihat tak jauh berbeda dengan sang kakak.
"Ibu, gendong."Semakin dekat dengan hari persalinan, semakin bertambah juga kemanjaan kedua anakku.Bergantian mereka berdua mengulurkan kedua tangan meminta aku menggendongnya.Aku pun tak bisa menolak, selain menuruti keinginan mereka. Kapan lagi bisa kugendong, sedangkan mereka sudah tumbuh semakin besar."Gendong sama ayah, ya, Nak, kasihan dong, adik kegencet, kamu kan sudah besar sekarang," tawar sang ayah, jika kebetulan melihat dan mendengar permintaan sang anak."Nggak mau, mau sama ibu aja," jawabnya selalu. "Nggak papa, Yah," jawabku, mencoba menenangkan. Mereka baru mau lepas setelah lama dibujuk.Pagi selepas Subuh, persis seperti saat kelahiran Fajar, bayi itu lahir dengan persalinan normal.Ia bergegas mengadzankan anak itu, dengan suara parau. Lantas kecupan penuh cinta ia labuhkan di kening bayi suci tersebut, sebelum akhirnya diletakkan di dadaku, untuk menikmati ASI pertama."Alhamd
Berkunjung ke rumah Mama, artinya membuka kenangan lama. Tiba-tiba saja aku rindu, melihat kelebat kenangan yang hadir tanpa permisi.Foto pernikahanku terdahulu, bahkan masih terpajang di ruang keluarga rumah ini."Tante kecil," ujar Wahyu. Tangannya telah mulai beraksi, hendak menyentuh pipi dan hidung bayi mungil itu.Melihat bayi Mama yang tengah terlelap, justru menghadirkan kenangan saat Fajar baru hadir di kehidupan kami.Ia telah melakukan banyak sekali hal baik selama hidup bersamaku, tapi, kenapa kenangan buruk itu yang justru muncul di sini?Kutepis pikiran yang hadir, dengan ikut membaur pada kedua anakku yang sibuk dengan Tante barunya. "Iya, Sayang. Hati-hati pegangnya, ya. Coba tanya Oma, siapa nama Tante yang cantik ini?" "Oma, siapa nama Tante kecil ini?" tanyanya patuh."Tante Hapsari, Sayang," jawab Mama, lalu dielus-elusnya kepala Wahyu.Nama yang cantik, untuk bayi dengan wajah bu
"Heh? Serius ngidam pizzanya Bu Lisa?" tanyaku tak percaya.Bukannya apa, selama ini ia paling anti makanan dari olahan tepung. Banyak sekali alasannya, yang susah dicerna lah, yang bikin perut begah lah, dan masih banyak lagi.Sampai kucoret daftar rerotian dari daftar belanja kalau kami sedang ke luar. Semua itu menjadi pengecualian kalau si kembar minta, baru ada menu roti, itu pun tak boleh banyak."Iya, dua rius, Kak. Ada cabangnya yang deket sini apa nggak, ya?"Melihat raut serius di wajahnya, membuat aku mengambil ponsel, lantas menghubungi nomer Bu Lisa."Waduh, maaf belum sampai sana Mas Dirga," jawab Mbak Lisa dari seberang telepon. Kulihat wajah ratuku, ia terlihat tak sabar menunggu jawaban."Ya udah, makasih ya, Mbak. Nggak papa, ada yang ngidam ini."Dan akhirnya sambungan telepon itu pun terputus, sebab ada suara yang memanggil Mbak Lisa."Gimana, Kak?"Tuh, kan, nggak sabar dia. Ba