Melihat bunga yang tumbuh subur, membuat hatiku ikut mekar juga saat berada di tempat ini. Mau berlama-lama juga aku bakalan betah kala kondisinya begini.
"Iya, Kak. Pasti tangan yang terampil dan telaten yang telah merawat mereka, hingga tumbuh subur dan berbunga sangat cantik.""Calon mertua kamu itu, ngeliatin," bisiknya, sambil memberi kode ke arah pintu masuk.Kedua mataku membesar, sebab tak menyadari keberadaan beliau. Detik berikutnya, aku segera beranjak untuk memangkas jarak dengan orang tua Kak Dirga. Beliau terlihat tersenyum senang, serta kedua matanya berbinar."Assalamu'alaikum Bu, maaf, tadi saya khilaf," ujarku. Duh, bicara apa aku ini?"Wa'alaikumsalam, alhamdulillah, syukurlah kalau kamu suka berada di sini. Tidak apa-apa, ibu malah senang kalau kamu menikmati apa yang ada di rumah ini. Mau masuk, apa di sini dulu, Nak?" ucapnya penuh dengan keramahan.Sekilas aku melirik Kak DirgaSetelah melewati proses panjang dan melelahkan, akhirnya hari itu tiba juga. Tenda pernikahan telah terpasang sejak kemarin sore. Demikian halnya dengan panggung pelaminan. Semua orang telah sibuk sejak beberapa hari yang lalu, menyiapkan segala tetek bengek yang dibutuhkan untuk hajatan pernikahan ini.Kerabat jauh berdatangan, untuk menyaksikan acara yang akan digelar. Tetangga kiri kanan tak ketinggalan ikut ambil bagian.Badanku telah diberi bermacam lulur sejak kemarin, berharap kulitku terlihat bersinar di hari besar ini. Hari yang menjadikan aku sebagai ratu sehari. Hari yang menggantikan statusku dari julukan perawan tua, menjadi seorang istri dari lelaki bernama Dirgantara.Ia, lelaki yang mencurahkan cinta padaku, juga keluargaku, selama beberapa waktu belakangan ini. Ia, yang memiliki banyak kesamaan dan kebetulan denganku dalam menjalani roda kehidupan. Ia, yang menjanjikan manisnya madu pernikahan. Ia, yang menjadi calon menantu kesa
"Kamu tau apa yang paling ingin kulihat sekarang, Na?" ucapannya kali ini, mau tak mau membuat aku mendongak untuk melihat dan mendengar apa yang akan ia sampaikan lagi."Apa itu, Kak?" tanyaku tak mengerti. Sungguh aku tak mengerti dengan pertanyaan yang ia lontarkan."Aku ingin melihat cinta di matamu, seperti dulu. Kemana ia sekarang, kenapa aku tak menemukannya? Lihat aku, Na. Katakan, apa kamu mencintai aku?" ujarnya dengan memegang kedua bahuku.Aku bergeming, untuk sesaat kedua mata kami bertemu, lantas aku membuang wajah, tak berani menatap ke dalam mata itu. Di mana hatiku, yang tega menyakiti orang-orang yang selama ini peduli padaku? Salahkah aku, jika hati ini tak ada di sini saat ini? "Pertanyaan apa ini? Bukankah, kita akan menikah beberapa saat lagi? Bukankah, kedua keluarga kita sudah seperti keluarga sendiri? Kenapa masih bertanya tentang cinta?"Aku meracau sendiri, tak mengerti apa yang terjadi. Benar memang, aku
Hiruk pikuk hajatan, masih terdengar dari luar kamar. Demikian halnya dengan diri ini. Hiruk pikuk praduga dan prasangka, muncul begitu saja tanpa bisa dicegah."Ini jadi nikah nggak, sih? Udah lewat jam sembilan, kok nggak mulai-mulai?" "Ya gimana mau mulai, pengantinnya saja pergi, kok?""Bener, deh ini, bener, nggak jadi nikah si Husna, ketutup dia sama bayang-bayang hitam.""Bayang hitam apa, to, Yu?""Owalah, sampeyan nggak tau apa, kalau si Husna ini pernah kena guna-guna, terus kalau malam teriak-teriak ganggu tetangga yang lagi tidur nyenyak. Lha sekarang, terbukti, udah hari H, ditinggal pergi sama calon suami. Apa itu namanya?"Suara-suara dari mereka yang membantu terlaksananya acara hajatan ini, ramai terdengar dari dalam kamar. Sedikit banyak mengganggu pikiran. Sedikit banyak membuat aku bertanya -tanya. Benarkah apa yang mereka katakan tadi, bahwa ini pengaruh guna-guna? Ah, tidak, ini tidak benar, ini murni diseb
"Dek Husna!"Panggilan khas Mas Dika, menyadarkan aku, bahwa aku masih ada di sini, masih ada Mas Dika. Aku tak sendiri. Aku harus bangkit lagi. Bangun Husna, tak ada gunanya meratapi nasib seperti ini.Mas Dika telah berada di depanku, lantas ikut meluruhkan badannya di lantai."Mas, Husna ... .""Ssttt ... . Sudah, jangan nangis lagi. Ayo, ikut Mas Dika," ajaknya, memegang kedua bahuku, meminta aku supaya berdiri, kemudian mendudukkan aku di tepi dipan. Aku menurut.Ia mengambil selembar tisu di atas meja, ia gunakan untuk menyusut bulir-bulir bening yang menganak sungai di kedua pipiku."Sudah, Dek. Berhenti nangisnya, ya. Sekarang, tarik napas ... buang."Kuikuti titahnya, hingga ia meminta aku mengulang beberapa kali."Oke, gimana, sudah lebih tenang?"Aku mengangguk."Terima kasih, Mas, sekarang jauh lebih baik," ujarku. "Bagus. Sekarang, ikut Mas ke depan, Pak penghulu sudah me
POV DirgaHatiku mencelos melihat hasil pemeriksaan medis yang baru saja keluar."Oke, sekarang tolong katakan, berapa lama waktu saya?" tanyaku putus asa."Paling lama satu tahun, Pak Dirga. Saya harap, Bapak tetap semangat, dan semoga saja ada keajaiban," jawaban dokter yang diucapkan disertai harapan, membuat aku kian resah.Satu tahun. Sesingkat itukah?"Baik, terima kasih, Pak. Saya permisi," pamitku, lantas bersalaman pada dokter tersebut.Kutinggalkan ruang periksa ini dengan langkah gontai. Bibirku terus mengulang, menyebut satu tahun.Bayang-bayang wajah Husna, wanita yang akan kunikahi beberapa hari lagi, melintas begitu saja. Apa aku akan tega, melihat ia berduka dengan kabar hasil pemeriksaan ini? Aku harus mencari cara, supaya ia tak perlu merasakan kesedihan lagi.Ia telah melakukan banyak hal, demi terlihat baiknya hubungan semua orang yang ia sayang. Wajahnya yang belakangan kulihat tak lagi ceri
"Ibu, maafkan Dirga, yang tak bisa memenuhi keinginan ibu untuk menikahi Husna," ujarku mengawali rencana.Aku berharap ibu mau mendukungku klainini. Meski kutau tak akan mudah."Apa maksudmu, Dirga? Besok pagi kalian menikah, kenapa kamu berkata tak bisa menikahi Husna?" cecar ibu."Bu, dengarkan aku dulu, sebentar saja, ya. Dirga sakit, Bu, waktuku hanya sebentar. Jika aku memaksa menikahi Husna, ia hanya akan ikut bersedih sepanjang menemani sisa hidupku, Bu. Ibu pasti tidak ingin melihat Husna, calon menantu kesayangan ibu itu bersedih, kan, Bu?Lagi pula, meski Husna tak jadi menantu, ibu masih tetap bisa menyayangi dia, sebagai anak ibu. Iya kan, Bu?"Aku berusaha meyakinkan ibu, sebab beliau yang paling menginginkan pernikahanku segera terlaksana."Maksud kamu apa, Dirga? Kamu sakit apa?" tanya ibu, dengan mata mulai dipenuhi kaca-kaca bening."Tolong rahasiakan ini, ya, Bu. Dirga sakit kanker paru, Bu. Harapan hi
Suasana sunyi sangat terasa. Hanya detak jarum jam yang terdengar memenuhi udara di dalam kamar. Perlahan, aku membuka mata. Dalam temaram cahaya lampu kamar, aku melihat seseorang tengah bersujud di samping meja.Siapa dia, yang berada di kamarku malam-malam begini?Tak ada yang berada di dalam sini sepanjang malam, selain aku dan ibu. Sesekali memang Mas Dika dan Ayah datang, tapi hanya sebentar. Tapi kini, kulihat sudah jam tiga pagi, dan ada seseorang yang asing, bahkan melaksanakan ibadah di sini. Hingga ia bangun dari sujud panjangnya, membuat aku mengernyitkan kening saat kukenali ia sebagai Pak Hanan. Hei, kenapa dia berani masuk ke kamarku pagi buta begini? Di saat aku sedang tidur pula. Menyapu pandang ke seluruh isi kamar, pandanganku terhenti pada beberapa bungkus kado di atas meja. Terdiam sejenak, lantas kedua mataku membesar, saat menyadari sesuatu. Astaghfirullah, baru tersadar, kalau aku kini sudah menjadi seorang istri.
"Nanti kita berkunjung ke sana, ya? Biar bagaimana pun, dia berperan banyak dalam pernikahan kita. Ya?" pintanya, yang segera kuiyakan.Kulihat ia membuang muka ke jendela yang tertutup tirai setelahnya. Mau tak mau membuat aku bertanya-tanya, ada apa sebenarnya?Wajah Kak Dirga melintas begitu saja. Ia bahkan baru pulang saat hari telah gelap. Ia menyaksikan semua acara hingga selesai. Sang ibu juga tak kulihat keberadaannya. Rasa bersalah menderaku tanpa bisa kucegah. "Pak, ada apa?" tanyaku ingin tau."Tidak, tidak ada apa-apa, apa kamu mau sesuatu, minum misalnya?" tawarnya, setelah terlihat menguasai diri."Boleh. Ya udah, aku ambil minum dulu, ya, Pak." Aku beringsut hendak turun, tapi tangannya mencegahku."Eh, kamu di sini aja, bentar, ya."Ia sudah beranjak meninggalkan kamar sebelum kuiyakan. Tak lama kemudian ia telah kembali dengan segelas air hangat yang segera kusambut."Terima kasih, Pak," u