"Dek Husna!"
Panggilan khas Mas Dika, menyadarkan aku, bahwa aku masih ada di sini, masih ada Mas Dika. Aku tak sendiri. Aku harus bangkit lagi. Bangun Husna, tak ada gunanya meratapi nasib seperti ini.Mas Dika telah berada di depanku, lantas ikut meluruhkan badannya di lantai."Mas, Husna ... .""Ssttt ... . Sudah, jangan nangis lagi. Ayo, ikut Mas Dika," ajaknya, memegang kedua bahuku, meminta aku supaya berdiri, kemudian mendudukkan aku di tepi dipan. Aku menurut.Ia mengambil selembar tisu di atas meja, ia gunakan untuk menyusut bulir-bulir bening yang menganak sungai di kedua pipiku."Sudah, Dek. Berhenti nangisnya, ya. Sekarang, tarik napas ... buang."Kuikuti titahnya, hingga ia meminta aku mengulang beberapa kali."Oke, gimana, sudah lebih tenang?"Aku mengangguk."Terima kasih, Mas, sekarang jauh lebih baik," ujarku."Bagus. Sekarang, ikut Mas ke depan, Pak penghulu sudah mePOV DirgaHatiku mencelos melihat hasil pemeriksaan medis yang baru saja keluar."Oke, sekarang tolong katakan, berapa lama waktu saya?" tanyaku putus asa."Paling lama satu tahun, Pak Dirga. Saya harap, Bapak tetap semangat, dan semoga saja ada keajaiban," jawaban dokter yang diucapkan disertai harapan, membuat aku kian resah.Satu tahun. Sesingkat itukah?"Baik, terima kasih, Pak. Saya permisi," pamitku, lantas bersalaman pada dokter tersebut.Kutinggalkan ruang periksa ini dengan langkah gontai. Bibirku terus mengulang, menyebut satu tahun.Bayang-bayang wajah Husna, wanita yang akan kunikahi beberapa hari lagi, melintas begitu saja. Apa aku akan tega, melihat ia berduka dengan kabar hasil pemeriksaan ini? Aku harus mencari cara, supaya ia tak perlu merasakan kesedihan lagi.Ia telah melakukan banyak hal, demi terlihat baiknya hubungan semua orang yang ia sayang. Wajahnya yang belakangan kulihat tak lagi ceri
"Ibu, maafkan Dirga, yang tak bisa memenuhi keinginan ibu untuk menikahi Husna," ujarku mengawali rencana.Aku berharap ibu mau mendukungku klainini. Meski kutau tak akan mudah."Apa maksudmu, Dirga? Besok pagi kalian menikah, kenapa kamu berkata tak bisa menikahi Husna?" cecar ibu."Bu, dengarkan aku dulu, sebentar saja, ya. Dirga sakit, Bu, waktuku hanya sebentar. Jika aku memaksa menikahi Husna, ia hanya akan ikut bersedih sepanjang menemani sisa hidupku, Bu. Ibu pasti tidak ingin melihat Husna, calon menantu kesayangan ibu itu bersedih, kan, Bu?Lagi pula, meski Husna tak jadi menantu, ibu masih tetap bisa menyayangi dia, sebagai anak ibu. Iya kan, Bu?"Aku berusaha meyakinkan ibu, sebab beliau yang paling menginginkan pernikahanku segera terlaksana."Maksud kamu apa, Dirga? Kamu sakit apa?" tanya ibu, dengan mata mulai dipenuhi kaca-kaca bening."Tolong rahasiakan ini, ya, Bu. Dirga sakit kanker paru, Bu. Harapan hi
Suasana sunyi sangat terasa. Hanya detak jarum jam yang terdengar memenuhi udara di dalam kamar. Perlahan, aku membuka mata. Dalam temaram cahaya lampu kamar, aku melihat seseorang tengah bersujud di samping meja.Siapa dia, yang berada di kamarku malam-malam begini?Tak ada yang berada di dalam sini sepanjang malam, selain aku dan ibu. Sesekali memang Mas Dika dan Ayah datang, tapi hanya sebentar. Tapi kini, kulihat sudah jam tiga pagi, dan ada seseorang yang asing, bahkan melaksanakan ibadah di sini. Hingga ia bangun dari sujud panjangnya, membuat aku mengernyitkan kening saat kukenali ia sebagai Pak Hanan. Hei, kenapa dia berani masuk ke kamarku pagi buta begini? Di saat aku sedang tidur pula. Menyapu pandang ke seluruh isi kamar, pandanganku terhenti pada beberapa bungkus kado di atas meja. Terdiam sejenak, lantas kedua mataku membesar, saat menyadari sesuatu. Astaghfirullah, baru tersadar, kalau aku kini sudah menjadi seorang istri.
"Nanti kita berkunjung ke sana, ya? Biar bagaimana pun, dia berperan banyak dalam pernikahan kita. Ya?" pintanya, yang segera kuiyakan.Kulihat ia membuang muka ke jendela yang tertutup tirai setelahnya. Mau tak mau membuat aku bertanya-tanya, ada apa sebenarnya?Wajah Kak Dirga melintas begitu saja. Ia bahkan baru pulang saat hari telah gelap. Ia menyaksikan semua acara hingga selesai. Sang ibu juga tak kulihat keberadaannya. Rasa bersalah menderaku tanpa bisa kucegah. "Pak, ada apa?" tanyaku ingin tau."Tidak, tidak ada apa-apa, apa kamu mau sesuatu, minum misalnya?" tawarnya, setelah terlihat menguasai diri."Boleh. Ya udah, aku ambil minum dulu, ya, Pak." Aku beringsut hendak turun, tapi tangannya mencegahku."Eh, kamu di sini aja, bentar, ya."Ia sudah beranjak meninggalkan kamar sebelum kuiyakan. Tak lama kemudian ia telah kembali dengan segelas air hangat yang segera kusambut."Terima kasih, Pak," u
Jarum jam menunjuk angka dua, saat Pak Hanan pulang ke rumah ini. Gegas kuambil air minum, untuk menyambut ia yang baru pulang kerja, seperti pesan ibu.Ia tak sendiri. Ada dua mobil lain berpenumpang penuh yang ikut serta, bersamaan dengan kedatangannya. Sekelompok orang dengan kostum yang membuat aku insecure seketika. Pak Hanan, ia justru memilih masuk ke kamar, dengan menarik tanganku, sementara yang lain mulai terdengar berbincang di ruang tamu."Ini kok malah ke sini, sih, Mas? Mereka, siapa, Mas? Keluarga kamu?" tanyaku beruntun, begitu ia menghabiskan segelas air yang kusuguhkan."Makasih, Sayang. Iya, mereka semua, keluarga suami kamu ini," jawabnya, lantas menyerahkan gelas tersebut."Lah, keluarganya ke sini kok malah ngumpet di kamar, sih, Mas, bukannya ditemui," protesku. Tadi pagi saja ia berpesan supaya aku bersiap menyambut kedatangan mereka, sekarang sudah sampai di sini, malah dibawanya aku masuk ke kamar. Maunya apa co
"Wah, hebat, ya. Nggak apa-apa, nanti habis ini bawa dia kuliah, Nan. Mau ya, Mbak Husna?" beliau bertanya dengan memegang lenganku. Aku masih terhenyak mendapatkan titah seperti ini, tak menyangka sama sekali sebelumnya. Kuminta persetujuan dari suamiku, ia menjawab dengan senyum dan anggukan. Melintas begitu saja, pertanyaan Pak Hanan saat kami berdua selesai menikmati es krim dulu, ia juga melontarkan pertanyaan yang sama."Ya udah, dipikir-pikir dulu, nggak mesti jawab sekarang. Nanti ke sana, ya, nginep di rumah Mama. Biar tau sana, belum pernah dibawa ke sana, kan, sama Hanan? Kamu gimana, sih, Nan?"Aku mengangguk, sementara Pak Hanan tak berkutik dicecar sang ibu. Sesekali kulihat ia menggaruk kepala yang tak gatal."Boleh kan, Bu?" Kini ia beralih minta ijin pada Ibu."Iya, tentu saja boleh. Pernikahan kan bukan hanya menyatukan dua hati, tapi juga dua keluarga. Iya kan, Bu?""Nah, itu, betul, Bu. Aduh, maafkan anak say
Sebuah genggaman lembut di kedua kaki, menimbulkan rasa dingin di sana, lantas membuat aku mengerjapkan mata. Sayup-sayup suara adzan menyapa indera pendengaran.Wajah yang tersenyum, menyambut terbukanya mata ini. Senyum yang semakin lama, membuat aku semakin jatuh hati pada lelaki ini. Juga perlakuan manisnya, yang membuat aku merasa dicintai setulus hati."Bangun, Sayang, sudah Maghrib ini," ujarnya perlahan. Ia mendaratkan bibirnya di puncak kepala, membuat aku memejamkan mata. Lagi."Yah, dia merem lagi. Ayo, bangun dong, nggak boleh tidur Maghrib istriku yang cantik," ujarnya, lantas dicubitnya hidung ini. "Ini Maghrib? Bukannya Subuh?" tanyaku, sambil melihat sekeliling.Seingatku, tadi aku berbaring, sambil menunggu ia selesai membersihkan diri dan melaksanakan sholatnya. Kulihat jam dinding, hampir jam enam. Semburat warna jingga juga masih terlihat dari jendela yang masih terbuka."Bukan, Sayang. Ayo, bangun dulu, dong
Sang ibu tak dapat menyembunyikan raut khawatir di wajahnya. Dengan sigap, ia mengambil air hangat untuk membasahi tenggorokan sang anak. Ia mengelus punggung sang putra hingga batuknya mulai reda."Kakak lagi sakit?" tanyaku. Tak bisa kututupi rasa khawatir ini. Aku merasa suara batuknya bukan batuk biasa. Seperti sulit untuk dikeluarkan, tapi ditahan juga tak bisa. Aku yang melihat saja merasa kalau itu sangat sakit."Ya, gini, lagi kena batuk sama flu aja. Nggak apa-apa ini, iya kan, Nan?"Kedua lelaki ini saling bersitatap sejenak, lantas Pak Hanan menganggukkan kepalanya. Secepat ini ia sakit. Bukankah kemarin ia masih baik-baik saja, dan, sehat?"Diminum dulu, Nak," ujar Bu Ndari menawarkan, membuat suasana canggung terhenti. Kuikuti titahnya, Demikian juga dengan Pak Hanan.Perbincangan dilanjutkan untuk beberapa waktu lamanya. Tak terasa sudah satu jam kami berbincang. Selama itu pula, aku mendengar suara batuk Kak Dirga terulang.