Jarum jam menunjuk angka dua, saat Pak Hanan pulang ke rumah ini. Gegas kuambil air minum, untuk menyambut ia yang baru pulang kerja, seperti pesan ibu.Ia tak sendiri. Ada dua mobil lain berpenumpang penuh yang ikut serta, bersamaan dengan kedatangannya. Sekelompok orang dengan kostum yang membuat aku insecure seketika. Pak Hanan, ia justru memilih masuk ke kamar, dengan menarik tanganku, sementara yang lain mulai terdengar berbincang di ruang tamu."Ini kok malah ke sini, sih, Mas? Mereka, siapa, Mas? Keluarga kamu?" tanyaku beruntun, begitu ia menghabiskan segelas air yang kusuguhkan."Makasih, Sayang. Iya, mereka semua, keluarga suami kamu ini," jawabnya, lantas menyerahkan gelas tersebut."Lah, keluarganya ke sini kok malah ngumpet di kamar, sih, Mas, bukannya ditemui," protesku. Tadi pagi saja ia berpesan supaya aku bersiap menyambut kedatangan mereka, sekarang sudah sampai di sini, malah dibawanya aku masuk ke kamar. Maunya apa co
"Wah, hebat, ya. Nggak apa-apa, nanti habis ini bawa dia kuliah, Nan. Mau ya, Mbak Husna?" beliau bertanya dengan memegang lenganku. Aku masih terhenyak mendapatkan titah seperti ini, tak menyangka sama sekali sebelumnya. Kuminta persetujuan dari suamiku, ia menjawab dengan senyum dan anggukan. Melintas begitu saja, pertanyaan Pak Hanan saat kami berdua selesai menikmati es krim dulu, ia juga melontarkan pertanyaan yang sama."Ya udah, dipikir-pikir dulu, nggak mesti jawab sekarang. Nanti ke sana, ya, nginep di rumah Mama. Biar tau sana, belum pernah dibawa ke sana, kan, sama Hanan? Kamu gimana, sih, Nan?"Aku mengangguk, sementara Pak Hanan tak berkutik dicecar sang ibu. Sesekali kulihat ia menggaruk kepala yang tak gatal."Boleh kan, Bu?" Kini ia beralih minta ijin pada Ibu."Iya, tentu saja boleh. Pernikahan kan bukan hanya menyatukan dua hati, tapi juga dua keluarga. Iya kan, Bu?""Nah, itu, betul, Bu. Aduh, maafkan anak say
Sebuah genggaman lembut di kedua kaki, menimbulkan rasa dingin di sana, lantas membuat aku mengerjapkan mata. Sayup-sayup suara adzan menyapa indera pendengaran.Wajah yang tersenyum, menyambut terbukanya mata ini. Senyum yang semakin lama, membuat aku semakin jatuh hati pada lelaki ini. Juga perlakuan manisnya, yang membuat aku merasa dicintai setulus hati."Bangun, Sayang, sudah Maghrib ini," ujarnya perlahan. Ia mendaratkan bibirnya di puncak kepala, membuat aku memejamkan mata. Lagi."Yah, dia merem lagi. Ayo, bangun dong, nggak boleh tidur Maghrib istriku yang cantik," ujarnya, lantas dicubitnya hidung ini. "Ini Maghrib? Bukannya Subuh?" tanyaku, sambil melihat sekeliling.Seingatku, tadi aku berbaring, sambil menunggu ia selesai membersihkan diri dan melaksanakan sholatnya. Kulihat jam dinding, hampir jam enam. Semburat warna jingga juga masih terlihat dari jendela yang masih terbuka."Bukan, Sayang. Ayo, bangun dulu, dong
Sang ibu tak dapat menyembunyikan raut khawatir di wajahnya. Dengan sigap, ia mengambil air hangat untuk membasahi tenggorokan sang anak. Ia mengelus punggung sang putra hingga batuknya mulai reda."Kakak lagi sakit?" tanyaku. Tak bisa kututupi rasa khawatir ini. Aku merasa suara batuknya bukan batuk biasa. Seperti sulit untuk dikeluarkan, tapi ditahan juga tak bisa. Aku yang melihat saja merasa kalau itu sangat sakit."Ya, gini, lagi kena batuk sama flu aja. Nggak apa-apa ini, iya kan, Nan?"Kedua lelaki ini saling bersitatap sejenak, lantas Pak Hanan menganggukkan kepalanya. Secepat ini ia sakit. Bukankah kemarin ia masih baik-baik saja, dan, sehat?"Diminum dulu, Nak," ujar Bu Ndari menawarkan, membuat suasana canggung terhenti. Kuikuti titahnya, Demikian juga dengan Pak Hanan.Perbincangan dilanjutkan untuk beberapa waktu lamanya. Tak terasa sudah satu jam kami berbincang. Selama itu pula, aku mendengar suara batuk Kak Dirga terulang.
Awalnya, kupikir yang ia sebut dengan kosan itu, kamar kos seperti yang biasa kulihat, yakni sebuah kamar dengan sebuah kasur dan lemari, lantas, kamar mandi satu buat rame-rame. Ternyata, yang ada di depanku sekarang, berupa kamar-kamar berjejer dengan penampilan yang hampir sama dari luar. Tapi ukurannya lebih besar dari yang biasa aku lihat.Kamar-kamar ini berupa bangunan bertingkat dua, membentuk huruf 'U'. Masing-masing ada tiga kamar di sebelah kanan dan kiri, satu kamar berada di tengah. Beberapa mobil dan sepeda motor tampak terparkir rapi di halaman."Tunggu sebentar, ya," pamitnya, setelah mobil benar-benar berhenti.Ia sudah melesat menuju pos penjaga, lantas berbicara sebentar di sana. Sejenak kemudian, pintu di sebelah kiriku ia buka. Aku bergegas turun setelahnya."Yuk, masuk," ajaknya, lantas kami pun mulai memasuki area kos-kosan ini.Di sebuah kamar kos paling tengah di lantai dua, ia membawa aku masuk. Sebuah
Aku terdiam sejenak mendapatkan pertanyaannya. Kupandangi wajah tampan suamiku, yang masih mengernyitkan keningnya."Maaf, tadi aku buka lemari kamu, Mas. Terus, lihat penampakan," jawabku mengulum senyum. Ia malah membesarkan bola mata. "Sejak kapan?" tanyaku, mulai menggodanya. Senang sekali kalau melihat ekspresinya seperti ini."Sejak aku jatuh hati, sama kamu, istriku. Ada lagi yang bikin kamu kelihatan seneng nggak?""Ada saatnya aku pengen seperti ini. Di tempat asing, seorang diri, ya, begini ini. Kayak tadi, pas nggak ada siapa-siapa. Makasih ya, Mas," ucapku tulus. Dan pandangan mataku buram seketika. Ia yang paham, segera merengkuh badan ini."Kembali kasih, Sayang. Ya udah, nanti kita nginep di sini kalau kamu suka. Biar Mas kasih kabar ke rumah. Biar Ibu sama Ayah nggak kuatir. Sekarang kita makan dulu, yuk. Masa kamu nggak laper?""Ya, laper dikit. Ya udah, kita makan dulu. Beneran ya, nginep sini?" tanyaku memasti
Jarum jam sudah menunjukkan pukul satu pagi. Pak Hanan sudah terlelap sejak tadi, begitu kami kembali setelah menikmati dua bungkus nasi kucing dan jahe susu di warung angkringan.Aku masih terjaga di sini, meski sudah mencoba memejamkan mata, tapi tak bisa juga. Ada banyak hal yang mengganggu pikiranku, termasuk adanya Flora di tempat ini."Boleh saja, selama tamunya di luar, nggak masuk kamar. Tapi kalau darurat, kayak kita ini, ya boleh-boleh saja," ujar Pak Hanan tadi, saat aku bertanya mengenai tamu wanita di kos ini.Kuhembuskan napas panjang. Lantas beranjak ke dapur. Mengambil minum untuk membasahi tenggorokan."Sedarurat apa, sampai berada di sini, dan bukan dengan suami?" batinku, saat bayangan Flora yang bergelayut manja melintas lagi. Aku masih berharap kalau aku salah lihat tadi.Kuputuskan mengambil buku kecil dan pensil di tasku, benda yang selalu ada, kemana pun aku pergi. Di karpet ruang tamu ini, aku membawa bantal yang
Aku semakin ingin tau apa yang terjadi di sana. Tapi bergerak mendekat juga aku tak berani. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka juga. Seorang pria dewasa keluar dari sana. Beberapa orang menerobos masuk ke dalamnya.Beberapa pintu kamar yang lain mulai terbuka, lantas penghuninya ke luar, menuju pagar pembatas, sama seperti yang kulakukan. Kami jadi seperti sedang menonton sebuah pertunjukan. Tapi hanya sebentar, sebab satu persatu mulai kembali ke kamar masing-masing dan kembali menutup pintu."Ada apa di sana, Mas, kok rame sekali?" tanyaku, setelah beberapa saat tak bersuara. Ia tak segera menjawab, malah menghela napas panjang."Ada yang buat masalah. Mas ke bawah dulu, ya. Kamu ke dalam aja, bahaya."Aku menurut saat ia membawaku masuk dan meminta aku istirahat di kamar."Tunggu di sini, ya. Jangan ke mana-mana. Mas, ke bawah sebentar. Oke?" ujarnya, lantas melesat tanpa menunggu jawabanku. Aku menghembuskan napa
Aku dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, serta memiliki peralatan yang lengkap. Di sana aku mendapat perawatan yang lebih baik."Aku akan cacat, Dam!" raungku, lalu suaraku menggema di ruang pemeriksaan."Kamu pergilah, aku sudah tak pantas lagi untukmu. Sudahlah nggak kunjung hamil, sekarang harapan mata kiriku … ."Ia telah melintangkan telunjuknya di bibirku."Sudah, jangan diteruskan. Aku tak akan ke mana-mana, Mei. Kamu istriku, apa pun kondisimu, aku akan tetap di sisimu. Tetap semangat, ya, nanti aku usahakan cari pengobatan yang terbaik. Kalau perlu kita cari donor mata buat kamu."Tergugu aku dalam dekapannya. Aku hampir putus asa, sebab harapan untuk pulih hanya sedikit. Hal ini tentu berpengaruh besar pada penampilanku nanti.Aku terus bertanya-tanya, kenapa harus menerima ini? Aku menolak takdir, bahwa mata kiriku tak bisa pulih seperti sedia kala.Sementara itu, Husna dan Hanan justru memberikan dukungan
Masih jam sepuluh pagi, saat kuselesaikan laporan penjualan bulan ini.Seorang office boy memasuki ruanganku dengan membawa kotak nasi. "Dari siapa," tanyaku saat kotak tersebut diletakkan di meja sesuai titahku."Dari Pak Hanan, Bu," jawabnya, lalu pamit ke luar.Dahiku mengernyit, lalu menghirup aroma ayam bakar yang menguar.Kedua mataku membola saat membaca nama yang tertera pada selembar kertas yang menyertai nasi kotak tersebut.Yang berbahagia, Rashida Husna dan Hanan Wijaya.Tanganku meremas kertas tersebut hingga tak berbentuk. Terbayang senyuman Husna atas kelahiran buah hati yang mereka nantikan. Sekali lagi aku kalah olehnya. .Hanan semakin mempesona di mataku, terlebih ia telah memiliki seorang bayi yang lucu. Meski cemburu pada Husna, aku tetap menyapa anak itu setiap kali bertemu.Bagaimana aku bisa melewatkannya, anak itu sungguh menggemaskan. Lehernya hampir tak te
Hanan kian sering memuji desainnya, serta hasil jadi berupa perhiasan siap pakai yang memang laku keras di pasaran.Kulihat matanya selalu berbinar setiap menyebut nama itu. Karir Husna pun kian bersinar. Hatiku dibakar cemburu. Hanan tak pernah seperti ini sebelumnya. Namun, jauh di lubuk hati, aku tak mengingkari peran Husna di sini. Siapa sangka, perempuan biasa itu memiliki kecerdasan luar biasa, hingga dapat membaca selera pasar dalam waktu singkat. Tak jarang kudapati ia mengenakan beberapa hasil desainnya meski hanya sebentar. Memang dasar mis kin. Kalau pengen kan tinggal beli, ngapain dipakai lalu dilepas lagi.Kesejahteraan karyawan kian ditambah. Setelah kenaikan gaji, kini ganti uang makan yang dinaikkan, bahkan nasi bungkus serta nasi kotak pun sering datang lebih awal, hingga para karyawan tak perlu jauh ke luar saat istirahat.Itu semua imbas dari omset penjualan yang melejit berkat desain Husna, sebab peranku d
POV MeisyaAku telah sangat percaya diri, bahwa mudah bagiku menaklukan seorang Hanan. Desakan sebab usia menjadi salah satu sebabnya.Akulah perempuan di ambang usia tiga puluh. Usia yang menjadi momok bagi perempuan untuk segera mengakhiri masa lajang.Demikian halnya dengan aku. Orang tuaku telah semakin gelisah memikirkan jodoh untukku. Sementara aku tak ambil pusing, kecuali saat satu kata dilontarkan, yakni perjodohan.Aku mulai mencari seseorang yang tepat, setidaknya, sebelum usiaku genap tiga puluh, aku telah memiliki calon ke jenjang pernikahan. Karirku bagus, penjualan tak pernah turun sejak kupegang. Wajahku pun terhitung menarik, tubuhku juga ramping. Tak ada yang kurang di hidupku, kecuali satu, pasangan hidup. Bukan karena aku tak laku, hanya saja aku pemilih. Beberapa kali aku menjalin hubungan, sebanyak itu pula harus kuakhiri sebab aku merasa lebih tinggi.Berbeda dengan Hanan. Ia tak seperti lelaki k
Ia menepati ucapannya untuk membawa kami jalan-jalan, tepat setelah bukan kembar pulang sekolah.Ia membayar waktunya dengan membawa aku ke salon untuk perawatan seluruh badan. Sementara itu, anak-anak ia bawa ke arena bermain, tak jauh dari salon ini berada. Aku segera menyusul begitu selesai dan kembali merasa rileks."Masya Allah, cantiknya istriku," sambutnya, begitu aku telah sampai. Aku tersipu, lantas mengucapkan terima kasih. Si bungsu segera kuambil alih, untuk kuberi ASI. Kedua kakaknya melanjutkan bermain.Setelah menghabiskan waktu seharian, kami dibawa ke rumah orang tuaku. Rumah ibu kian riuh dengan suara anak-anakku, juga anak-anak Mas Dika.Wahyu dan Fajar terlihat antusias saat Mas Dika mengajari gerakan membela diri. Ya, meski mereka telah dimasukkan ke kegiatan yang sama di dekat tempat kami tinggal, tetap saja mereka terkesan dengan gerakan baru dari Mas Dika."Na, mumpung kamu di sini, ibu mau kasih kabar," ujar Ibu, saat aku s
Tangan kecil itu membingkai wajahku, lalu menghujani wajah dengan kecupan tanpa henti."Aku sayang Ibu. I love you, Ibu," cetusnya lagi.Mata kukerjapkan beberapa kali, saat kurasai telapak tangan yang menempel di pundak."Mbak Husna, bangun, Mbak."Suara Bu Ratna mengiringi gerakan tangannya yang terhenti.Terlihat di depanku, Fajar yang sedang terlelap. Sebuah buku yang terbuka di atas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, menandakan aktifitas sebelum ia benar-benar memejamkan mata.Jika ia sedang terlelap sedamai ini, lalu ulah siapa beberapa saat tadi?"Mbak, pindah ke kamar, ya. Tidur sambil duduk begini, Mbak Husna bisa capek, nanti," ujar Bu Ratna lagi.Kuamati diri sendiri. Duduk bertumpu di lantai, dengan tangan bersandar pada sisi ranjang di samping Fajar. Kurasai kalau lututku mulai terasa sulit digerakkan.Di seberang tempatku duduk, Wahyu pun terlihat tak jauh berbeda dengan sang kakak.
"Ibu, gendong."Semakin dekat dengan hari persalinan, semakin bertambah juga kemanjaan kedua anakku.Bergantian mereka berdua mengulurkan kedua tangan meminta aku menggendongnya.Aku pun tak bisa menolak, selain menuruti keinginan mereka. Kapan lagi bisa kugendong, sedangkan mereka sudah tumbuh semakin besar."Gendong sama ayah, ya, Nak, kasihan dong, adik kegencet, kamu kan sudah besar sekarang," tawar sang ayah, jika kebetulan melihat dan mendengar permintaan sang anak."Nggak mau, mau sama ibu aja," jawabnya selalu. "Nggak papa, Yah," jawabku, mencoba menenangkan. Mereka baru mau lepas setelah lama dibujuk.Pagi selepas Subuh, persis seperti saat kelahiran Fajar, bayi itu lahir dengan persalinan normal.Ia bergegas mengadzankan anak itu, dengan suara parau. Lantas kecupan penuh cinta ia labuhkan di kening bayi suci tersebut, sebelum akhirnya diletakkan di dadaku, untuk menikmati ASI pertama."Alhamd
Berkunjung ke rumah Mama, artinya membuka kenangan lama. Tiba-tiba saja aku rindu, melihat kelebat kenangan yang hadir tanpa permisi.Foto pernikahanku terdahulu, bahkan masih terpajang di ruang keluarga rumah ini."Tante kecil," ujar Wahyu. Tangannya telah mulai beraksi, hendak menyentuh pipi dan hidung bayi mungil itu.Melihat bayi Mama yang tengah terlelap, justru menghadirkan kenangan saat Fajar baru hadir di kehidupan kami.Ia telah melakukan banyak sekali hal baik selama hidup bersamaku, tapi, kenapa kenangan buruk itu yang justru muncul di sini?Kutepis pikiran yang hadir, dengan ikut membaur pada kedua anakku yang sibuk dengan Tante barunya. "Iya, Sayang. Hati-hati pegangnya, ya. Coba tanya Oma, siapa nama Tante yang cantik ini?" "Oma, siapa nama Tante kecil ini?" tanyanya patuh."Tante Hapsari, Sayang," jawab Mama, lalu dielus-elusnya kepala Wahyu.Nama yang cantik, untuk bayi dengan wajah bu
"Heh? Serius ngidam pizzanya Bu Lisa?" tanyaku tak percaya.Bukannya apa, selama ini ia paling anti makanan dari olahan tepung. Banyak sekali alasannya, yang susah dicerna lah, yang bikin perut begah lah, dan masih banyak lagi.Sampai kucoret daftar rerotian dari daftar belanja kalau kami sedang ke luar. Semua itu menjadi pengecualian kalau si kembar minta, baru ada menu roti, itu pun tak boleh banyak."Iya, dua rius, Kak. Ada cabangnya yang deket sini apa nggak, ya?"Melihat raut serius di wajahnya, membuat aku mengambil ponsel, lantas menghubungi nomer Bu Lisa."Waduh, maaf belum sampai sana Mas Dirga," jawab Mbak Lisa dari seberang telepon. Kulihat wajah ratuku, ia terlihat tak sabar menunggu jawaban."Ya udah, makasih ya, Mbak. Nggak papa, ada yang ngidam ini."Dan akhirnya sambungan telepon itu pun terputus, sebab ada suara yang memanggil Mbak Lisa."Gimana, Kak?"Tuh, kan, nggak sabar dia. Ba