"Coba tanya hati kamu, ia pasti tau, pada siapa dan di mana ia akan berlabuh."Seketika aku menegakkan kepala, kemudian bertanya pada hati, 'hei, hati, kamu maunya ke mana, sama siapa?'Sayangnya, hati tak juga mau menjawab pertanyaan tersebut. Kuambil sebungkus keripik pisang, kemudian membukanya dengan gunting. "Udah ya, Mas? Saya ambil, ya, berapa?" suara seseorang menyapa Mas Dika, seketika menghentikan tanya yang beredar di kepala."Iya silahkan, Mbak. Semua seratus lapan puluh juta, Mbak.""Oke. Nah, ini dia. Makasih, ya, Mas.""Sama-sama. Besok beli buah lagi, ya, biar sehat."Bisa aja Mas Dika promosi. Pinter kamu, Mas. Pembeli tadi malah tersenyum senang."Iya, besok kalau sudah habis saya pasti beli ke sini lagi," ucapnya, membuat aku tergelitik untuk mengarahkan netra ini pada pemilik suara. Baru beberapa detik, belum lagi puas mata ini memindai, ia segera berlalu dan menghilang di balik pintu mobil.
"Jadi, bisa kita diskusi mengenai desain-desain ini, Mbak Husna?""Bisa, Bu."Aku mulai membahas satu per satu desain yang telah kubuat. Bu Lutfi terlihat antusias, terbukti dengan beberapa usulan jenis bahan yang akan digunakan. Tak terasa tiga jam telah kuhabiskan di rumah ini. "Beri saya nomer rekening kamu, ya."Permintaan Bu Lutfi, kusambut dengan hati bahagia. Bagaimana tidak, desainku disukai olehnya, dan ia berencana untuk segera mewujudkan menjadi sesuatu yang nyata."Baik, Bu." Aku menjawab singkat, setelah menetralkan degup jantung yang berloncatan. Ponsel kunyalakan, mencari nomer rekening yang kusimpan di colornote. Detik berikutnya, kukirim ke nomer ponsel Bu Lutfi."Sudah saya kirim, Bu.""Bagus, sebentar saya transfer dulu. Dan ini, alamat yang bisa kamu datangi untuk berikutnya. Oke?"Sebuah kartu nama ia berikan padaku yang segera kusambut. "Oke siap, Bu Lutfi."Drrt … sebuah notifikasi masuk ke ponselku. Tertera
Tanpa aba-aba, Kak Dirga telah menggenggam erat tangan kananku. Selama beberapa saat kami tak bersuara. Hanya debur ombak dan desau angin yang menyapa indera pendengaran."Ayo pulang, sebentar lagi Maghrib. Tak baik anak gadis di sini, sendirian di saat menjelang malam seperti ini," ujarnya, ketika jarak kami hanya tersisa satu langkah kaki."Kuantar pulang, ya, sekalian bertemu orang tua kamu?"Sampai di sini, aku masih membeku di tempatku. "Na, kamu baik-baik saja, kan?"Kualihkan pandang pada matahari yang menyisakan cahaya jingga di sebelah barat. Terbersit tanya di hati, inikah hati yang kupilih? Sudah siapkah aku membuka pintu hati? Atau hanya kebetulankah pertemuan ini?Kutatap wajah berhidung mancung serta beralis tebal di depanku. Ia masih tetap sama seperti dulu, sebelum kutinggalkan. Ia yang beberapa kali hadir secara tiba-tiba di depan mata. Membangunkan memori yang berusaha kupendam dalam diam."Ayo pulang,
Malam kian beranjak tinggi. Kak Dirga telah pamit sejak tadi. Ibu dan Ayah juga telah pamit untuk istirahat di kamar. Mas Dika masih asyik main game di ponselnya, menemani aku menonton televisi.Meski duduk bersisian, tapi tak ada suara kami yang keluar sejak tadi. Hanya suara dari ponsel Mas Dika, serta suara dari dalam televisi yang memenuhi udara di ruang ini."Dek," tiba-tiba terdengar suara Mas Dika, setelah tak terdengar lagi suara game di ponselnya."Iya, gimana, Mas?"Volume televisi kuperkecil lagi, demi mendengar apa yang kira-kira akan disampaikan oleh Mas Dika. "Tadi, habis ke mana? Kenapa nggak minta antar Mas Dika?""Oh, itu, ada urusan kerjaan sedikit. Maaf ya, Mas, tadi pagi aku juga lupa, pas udah pergi semua baru ingat, itu aja diingatkan sama alarm," jawabku apa adanya."Oh, ya udah. Kirain ke mana, Mas kuatir waktu tau kamu pergi sendiri, mana jauh lagi.""Nggak apa-apa, kok, Mas. Makasih, y
"Eh, ini ada undangan, siapa yang mau mantu? Oh, Fikri. Cepet juga anakmu ketemu jodoh."Tanpa basa-basi, undangan itu dibuka, kemudian dibaca isinya. Sungguh ajaib kamu, Lek. Wajah Lek Lastri makin terlihat kalau sedang serba salah. Ia hanya menanggapi dengan senyum kecut, seraya mengangguk. Mungkin Lek Lastri sudah paham dengan Lek Darmi, jadi tak mau menanggapi. Ibu sudah mendelik ke arah Lek Darmi, tapi yang dipendeliki malah cuek bebek."Oiya, Lastri, apa kamu dengar kabar, kalau ponakanmu ini, suka teriak kalau malam?" ujar Lek Darmi sambil mengarahkan gerak wajahnya ke arahku. Berani sekali ngrasani aku di depanku, Lek!Kamu ngapain to, Lek ... Lek, pakai nanya kayak gitu sama Lek Lastri? Lek Lastri justru mengernyitkan kening, kemudian melihat aku dan ibu bergantian. Mungkin dalam hatinya bertanya, ada apa? Sementara ibu sudah ancang-ancang mau berdiri, tapi kutahan dengan tetap memegang lengannya."Maksudnya teriak gimana, Yu?" tanya Lek Lastri kem
Aku tak mengindahkan, meski tau kalimat ini ditujukan padaku. Aku tak habis pikir, kenapa ada orang yang begitu sukarela mengurusi kehidupan orang lain, lantas membuat kesimpulan sendiri."Cing ... Kucing, makanya to, jangan sok-sokan nolak laki-laki, jadi nggak laku-laku kan, kamu? Masa depan nggak jelas, diduluin mantan pula. Mantannya udah mau nikah, eh, kamu masih saja nggak punya pasangan. Nggak punya kerjaan, nambah-nambah pengangguran. Jadi sampah masyarakat!"Terdengar dengan sangat jelas, tertangkap oleh indera pendengaranku apa yang diucapkan oleh Lek Darmi. Meski ia menyebut kucing, tapi aku tau kalau kalimat tersebut ditujukan padaku.Ibu yang sudah masuk, mulai beranjak hendak ke pintu. Melihat gelagat akan terjadi perang antar tetangga, gegas kuajak ibu masuk setelah kututup rapat pintu depan."Ibuku sayang, anterin Husna ke pasar, ya, nanti kita beli gelang yang cantik buat ibu. Mau, ya?" ucapku mencoba merayu ibu. Siapa t
"Aku nggak apa-apa, Mas, Bu, Yah. Anggap saja Mas Fikri saudara jauh yang akan menikah. Ia akan menjemput bahagia bersama pasangan hidupnya kelak. Kita sudah diundang, maka kita wajib datang.Mendo'akan mereka yang akan menempuh hidup baru tak ada salahnya bukan? Bukankah do'a baik akan kembali pada diri kita sendiri? Insya Allah aku kuat, ikhlas. Jadi tak usah khawatirkan aku."Kini mereka bertiga melihatku setelah saling pandang beberapa saat. Kulanjutkan lagi bicaraku, nampaknya mereka masih menunggu jawabanku."Sudah ya, jangan berdebat lagi. Kita jalani saja yang ada di depan kita. Yang sudah terjadi ya sudah, jadikan pelajaran, jangan diungkit-ungkit lagi. Bikin capek hati dan pikiran. Oke?"Dan mereka semua setuju. Ibu bahkan memelukku lama sekali.Aku pamit ke kamar setelah merasa tak ada yang perlu dibahas lagi. Lagipula, entah kenapa terasa capek, padahal di rumah saja seharian. Eh, enggak ding, sempat ke pasar juga sama ibu, se
"Bukan kangen aku kali, tapi kamu. Kan kamu yang ada di sana, otomatis dia ngeliatin kamu yang lagi kerja. Iya, nggak?""Enggak! Lihat, ini buktinya," kembali ia menunjuk kotak tersebut."Ya udah, kita buka aja kalau gitu, biar sama-sama tau apa isinya." Kedua tanganku baru akan mengeluarkan kotak tersebut dari plastik, saat terdengar suara salam dari depan rumah. Seketika gerakanku terhenti untuk melihat siapa yang datang. Rupanya Mas Dika sudah pulang. Saking asyiknya ngobrol sama Sinta, sampai nggak dengar suara mobilnya datang."Eh, lagi ada tamu ternyata, ya?" tanya Mas Dika begitu melihat keberadaan Sinta di depan televisi. Ia tersenyum ramah sembari mengangguk seperti biasa. "Ya udah, lanjutkan ngobrolnya, Dek, Mas mau langsung mandi," tambahnya lagi.Mas Dika sudah berlalu ke belakang. Kini aku beralih melihat Sinta. Yah, dia malah bengong lihat mas Dika yang menghilang di balik gorden."Woi, awas lalat masuk k
Aku dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, serta memiliki peralatan yang lengkap. Di sana aku mendapat perawatan yang lebih baik."Aku akan cacat, Dam!" raungku, lalu suaraku menggema di ruang pemeriksaan."Kamu pergilah, aku sudah tak pantas lagi untukmu. Sudahlah nggak kunjung hamil, sekarang harapan mata kiriku … ."Ia telah melintangkan telunjuknya di bibirku."Sudah, jangan diteruskan. Aku tak akan ke mana-mana, Mei. Kamu istriku, apa pun kondisimu, aku akan tetap di sisimu. Tetap semangat, ya, nanti aku usahakan cari pengobatan yang terbaik. Kalau perlu kita cari donor mata buat kamu."Tergugu aku dalam dekapannya. Aku hampir putus asa, sebab harapan untuk pulih hanya sedikit. Hal ini tentu berpengaruh besar pada penampilanku nanti.Aku terus bertanya-tanya, kenapa harus menerima ini? Aku menolak takdir, bahwa mata kiriku tak bisa pulih seperti sedia kala.Sementara itu, Husna dan Hanan justru memberikan dukungan
Masih jam sepuluh pagi, saat kuselesaikan laporan penjualan bulan ini.Seorang office boy memasuki ruanganku dengan membawa kotak nasi. "Dari siapa," tanyaku saat kotak tersebut diletakkan di meja sesuai titahku."Dari Pak Hanan, Bu," jawabnya, lalu pamit ke luar.Dahiku mengernyit, lalu menghirup aroma ayam bakar yang menguar.Kedua mataku membola saat membaca nama yang tertera pada selembar kertas yang menyertai nasi kotak tersebut.Yang berbahagia, Rashida Husna dan Hanan Wijaya.Tanganku meremas kertas tersebut hingga tak berbentuk. Terbayang senyuman Husna atas kelahiran buah hati yang mereka nantikan. Sekali lagi aku kalah olehnya. .Hanan semakin mempesona di mataku, terlebih ia telah memiliki seorang bayi yang lucu. Meski cemburu pada Husna, aku tetap menyapa anak itu setiap kali bertemu.Bagaimana aku bisa melewatkannya, anak itu sungguh menggemaskan. Lehernya hampir tak te
Hanan kian sering memuji desainnya, serta hasil jadi berupa perhiasan siap pakai yang memang laku keras di pasaran.Kulihat matanya selalu berbinar setiap menyebut nama itu. Karir Husna pun kian bersinar. Hatiku dibakar cemburu. Hanan tak pernah seperti ini sebelumnya. Namun, jauh di lubuk hati, aku tak mengingkari peran Husna di sini. Siapa sangka, perempuan biasa itu memiliki kecerdasan luar biasa, hingga dapat membaca selera pasar dalam waktu singkat. Tak jarang kudapati ia mengenakan beberapa hasil desainnya meski hanya sebentar. Memang dasar mis kin. Kalau pengen kan tinggal beli, ngapain dipakai lalu dilepas lagi.Kesejahteraan karyawan kian ditambah. Setelah kenaikan gaji, kini ganti uang makan yang dinaikkan, bahkan nasi bungkus serta nasi kotak pun sering datang lebih awal, hingga para karyawan tak perlu jauh ke luar saat istirahat.Itu semua imbas dari omset penjualan yang melejit berkat desain Husna, sebab peranku d
POV MeisyaAku telah sangat percaya diri, bahwa mudah bagiku menaklukan seorang Hanan. Desakan sebab usia menjadi salah satu sebabnya.Akulah perempuan di ambang usia tiga puluh. Usia yang menjadi momok bagi perempuan untuk segera mengakhiri masa lajang.Demikian halnya dengan aku. Orang tuaku telah semakin gelisah memikirkan jodoh untukku. Sementara aku tak ambil pusing, kecuali saat satu kata dilontarkan, yakni perjodohan.Aku mulai mencari seseorang yang tepat, setidaknya, sebelum usiaku genap tiga puluh, aku telah memiliki calon ke jenjang pernikahan. Karirku bagus, penjualan tak pernah turun sejak kupegang. Wajahku pun terhitung menarik, tubuhku juga ramping. Tak ada yang kurang di hidupku, kecuali satu, pasangan hidup. Bukan karena aku tak laku, hanya saja aku pemilih. Beberapa kali aku menjalin hubungan, sebanyak itu pula harus kuakhiri sebab aku merasa lebih tinggi.Berbeda dengan Hanan. Ia tak seperti lelaki k
Ia menepati ucapannya untuk membawa kami jalan-jalan, tepat setelah bukan kembar pulang sekolah.Ia membayar waktunya dengan membawa aku ke salon untuk perawatan seluruh badan. Sementara itu, anak-anak ia bawa ke arena bermain, tak jauh dari salon ini berada. Aku segera menyusul begitu selesai dan kembali merasa rileks."Masya Allah, cantiknya istriku," sambutnya, begitu aku telah sampai. Aku tersipu, lantas mengucapkan terima kasih. Si bungsu segera kuambil alih, untuk kuberi ASI. Kedua kakaknya melanjutkan bermain.Setelah menghabiskan waktu seharian, kami dibawa ke rumah orang tuaku. Rumah ibu kian riuh dengan suara anak-anakku, juga anak-anak Mas Dika.Wahyu dan Fajar terlihat antusias saat Mas Dika mengajari gerakan membela diri. Ya, meski mereka telah dimasukkan ke kegiatan yang sama di dekat tempat kami tinggal, tetap saja mereka terkesan dengan gerakan baru dari Mas Dika."Na, mumpung kamu di sini, ibu mau kasih kabar," ujar Ibu, saat aku s
Tangan kecil itu membingkai wajahku, lalu menghujani wajah dengan kecupan tanpa henti."Aku sayang Ibu. I love you, Ibu," cetusnya lagi.Mata kukerjapkan beberapa kali, saat kurasai telapak tangan yang menempel di pundak."Mbak Husna, bangun, Mbak."Suara Bu Ratna mengiringi gerakan tangannya yang terhenti.Terlihat di depanku, Fajar yang sedang terlelap. Sebuah buku yang terbuka di atas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, menandakan aktifitas sebelum ia benar-benar memejamkan mata.Jika ia sedang terlelap sedamai ini, lalu ulah siapa beberapa saat tadi?"Mbak, pindah ke kamar, ya. Tidur sambil duduk begini, Mbak Husna bisa capek, nanti," ujar Bu Ratna lagi.Kuamati diri sendiri. Duduk bertumpu di lantai, dengan tangan bersandar pada sisi ranjang di samping Fajar. Kurasai kalau lututku mulai terasa sulit digerakkan.Di seberang tempatku duduk, Wahyu pun terlihat tak jauh berbeda dengan sang kakak.
"Ibu, gendong."Semakin dekat dengan hari persalinan, semakin bertambah juga kemanjaan kedua anakku.Bergantian mereka berdua mengulurkan kedua tangan meminta aku menggendongnya.Aku pun tak bisa menolak, selain menuruti keinginan mereka. Kapan lagi bisa kugendong, sedangkan mereka sudah tumbuh semakin besar."Gendong sama ayah, ya, Nak, kasihan dong, adik kegencet, kamu kan sudah besar sekarang," tawar sang ayah, jika kebetulan melihat dan mendengar permintaan sang anak."Nggak mau, mau sama ibu aja," jawabnya selalu. "Nggak papa, Yah," jawabku, mencoba menenangkan. Mereka baru mau lepas setelah lama dibujuk.Pagi selepas Subuh, persis seperti saat kelahiran Fajar, bayi itu lahir dengan persalinan normal.Ia bergegas mengadzankan anak itu, dengan suara parau. Lantas kecupan penuh cinta ia labuhkan di kening bayi suci tersebut, sebelum akhirnya diletakkan di dadaku, untuk menikmati ASI pertama."Alhamd
Berkunjung ke rumah Mama, artinya membuka kenangan lama. Tiba-tiba saja aku rindu, melihat kelebat kenangan yang hadir tanpa permisi.Foto pernikahanku terdahulu, bahkan masih terpajang di ruang keluarga rumah ini."Tante kecil," ujar Wahyu. Tangannya telah mulai beraksi, hendak menyentuh pipi dan hidung bayi mungil itu.Melihat bayi Mama yang tengah terlelap, justru menghadirkan kenangan saat Fajar baru hadir di kehidupan kami.Ia telah melakukan banyak sekali hal baik selama hidup bersamaku, tapi, kenapa kenangan buruk itu yang justru muncul di sini?Kutepis pikiran yang hadir, dengan ikut membaur pada kedua anakku yang sibuk dengan Tante barunya. "Iya, Sayang. Hati-hati pegangnya, ya. Coba tanya Oma, siapa nama Tante yang cantik ini?" "Oma, siapa nama Tante kecil ini?" tanyanya patuh."Tante Hapsari, Sayang," jawab Mama, lalu dielus-elusnya kepala Wahyu.Nama yang cantik, untuk bayi dengan wajah bu
"Heh? Serius ngidam pizzanya Bu Lisa?" tanyaku tak percaya.Bukannya apa, selama ini ia paling anti makanan dari olahan tepung. Banyak sekali alasannya, yang susah dicerna lah, yang bikin perut begah lah, dan masih banyak lagi.Sampai kucoret daftar rerotian dari daftar belanja kalau kami sedang ke luar. Semua itu menjadi pengecualian kalau si kembar minta, baru ada menu roti, itu pun tak boleh banyak."Iya, dua rius, Kak. Ada cabangnya yang deket sini apa nggak, ya?"Melihat raut serius di wajahnya, membuat aku mengambil ponsel, lantas menghubungi nomer Bu Lisa."Waduh, maaf belum sampai sana Mas Dirga," jawab Mbak Lisa dari seberang telepon. Kulihat wajah ratuku, ia terlihat tak sabar menunggu jawaban."Ya udah, makasih ya, Mbak. Nggak papa, ada yang ngidam ini."Dan akhirnya sambungan telepon itu pun terputus, sebab ada suara yang memanggil Mbak Lisa."Gimana, Kak?"Tuh, kan, nggak sabar dia. Ba