"Mas, apa benar keponakanmu, Habil mau sunatan?"Aku langsung menatap gugup ke arah Eva. Berusaha setenang mungkin. Jangan sampai dia tahu apa yang sedang aku sembunyikan darinya."Lah, kata siapa, Dek?""Kata Lala, sahabatku yang rumahnya deket perumahan Mbak Neli.""Terus kamu percaya?" Eva hanya menggeleng. Tangannya fokus menata baju-bajuku ke dalam koper."Gak usah dipercaya si Lala. Dia 'kan suka nyebar gosip gak bener. Kalau ada acara di rumah Kakakku, pasti kamu di suruh datang.""Iya juga yah, Mas.""Ya iya toh, Dek. Jangan berpikir macam-macam. Doakan bisnis kopi Mas lancar, yah. Biar bisa cepat pulang ke rumah."Maafkan aku, Eva. Suamimu ini telah berbohong. Aku bukan pergi bisnis kopi ke Lampung. Sebenernya, aku akan menghadiri acara sunatan Habil di jakarta. Aku tidak mungkin mengajak istri yang kampungan seperti Eva. Mbak Neli bisa marah-marah. Maklum saja, dia sudah lama hidup di kota. Gaya dan pergaulannya juga cukup moderen. Berbeda dengan Eva. Aku dan Eva memang tin
"Eva?"Kornea mataku membulat lebar. Memandang tajam ke arah perempuan berkaca mata hitam yang berdiri di luar rumah. Perempuan itu, ada di dekat mobil. Keberadaannya mulai terhalangi rombongan keluarga dan suadaraku yang baru datang dari klinik."Siapa Mas?""Ti-tidak, Nay. Ayok, kita sambut Habil."Jangan sampai Nayla tahu kecemasanku saat ini. Walaupun, Nayla memang sudah mengetahui statusku sebagai pria beristri, tapi bahaya jika mereka saling bertemu di acara sunatan. Bisa malu Mbak Neli kalau terjadi keributan."Mas mau ke mana?""Aku ke sana dulu, sebentar."Aku sengaja melangkah menuju rombongan. Ingin memastikan perempuan berkacamata yang terlihat misterius. Nayla, sengaja aku suruh tunggu di tenda acara."Kenapa, Di?" tanya Mbak Neli.Wajah Mbak Neli nampak bingung melihat gelagat aneh yang aku tunjukan. Sedangkan mataku terus melirik ke segala penjuru. Namun, nihil. Perempuan itu sudah menghilang. Padahal, aku yakin sekali dia sedang memandang ke arahku. Kapan dia pergi? ap
"Halah, jangan banyak omong. Pergi!"Mbak Neli meraung sambil menangis. Dia berada dalam pelukan ibu. Aku tahu perasaannya. Pasti kacau karena kejadian ini."Bangunkan mereka," perintah Bapak tua.Salah seorang anak buahnya mencipratkan air. Orang-orang yang tadi kesurupan dan pingsan, mulai sadarkan diri. Mereka bergegas keluar dari tenda hajatan."Dasar gila!"Mbak Ratna melempar Aqua gelas yang berserakan di tanah. Meluapkan emosi yang membuncah. Dia memang paling bar bar. Tak akan terima jika adiknya disakiti."Mending kita bubar aja, guys. Serem di sini. Pasti mereka banyak duitnya gak wajar. Mangkanya diganggu makhluk halus."Celetuk seorang perempuan tukang gosip. Dia menggiring opini buruk kepada para tamu yang hadir. Satu persatu, para tamu membubarkan diri."Maria, apa benar si Adi punya istri lain? atau salah satu anakmu nyewa jasa pesugihan?" tanya salah satu saudara kepada ibuku."Heh, Uwa Erna jangan bicara yang sembarangan. Istri Adi hanya satu, Nayla. Terus yah, kelu
[Mas aku di rumah Mbak Ratna. Nanti sore mau nginep di rumah ibumu. Kamu pulang ke sini aja. Biar kita bisa nginep dulu beberapa hari.]Mataku melotot menatap pesan dari Eva. Kekacauan apalagi yang akan terjadi? bagaimana jadinya jika aku, Eva dan Nayla berada dalam satu atap?"Hallo, Dek?"Ribuan pertanyaan berkecamuk di hati. Segera aku hubungi Eva melalui telpon. Ada apa dengannya, sampai dia mendadak ada di rumah ibu?"Iya, Mas kenapa?""Kenapa kamu baru bilang kalau mau berkunjung ke rumah ibu?""Emang kenapa, gak boleh aku main ke rumah mertua sendiri?""Bu-bukan gitu. Maksud Mas, kenapa gak bilang sebelum Mas pergi ke Lampung. Kita 'kan bisa bareng.""Gak papa Mas. Sendiri juga aku bisa.""Ya sudah, nanti Mas nyusul ke situ yah.""Iya."Eva langsung memutuskan panggilan dariku. Dia tidak seperti biasanya. Sikapnya jadi cuek. Aku harus bagaimana kalau sudah begini?Kepalaku rasanya mau meledak bagai gas Elpiji. Takut terjadi perang dunia ketiga, jika Eva dipertemukan dengan Nayl
"Masa sih? aku gak percaya. Pembantu ko sikapnya kaya majikan.""Saya bukan pem-"Mbak Ratna langsung membekap mulut Nayla. "Ratna, bawa Nayla ke kamar.""Oke, Bu.""Ayok, Nay.""Tapi, Mbak, Bu ...." "Masuk!" bentak Ibu geram.Tak ada yang bisa membantah ucapan Ibu. Nayla yang awalnya nampak ingin membongkar pernikahan kami, tiba-tiba tak bisa berkutik. Mbak Ratna, dengan sigap menariknya masuk ke kamar. Sedangkan aku, hanya bisa mematung bagai seorang sapi yang dicucuk hidungnya. "Ibu pasti kesal juga yah, sama kelakuan pembantunya? sabar yah, Bu. Pembantu kadang suka gitu," ucap Eva dengan enteng.Dia malah duduk sambil meminum air putih. Sikapnya berubah. Dia tidak seperti Eva yang biasa aku kenal. Ada apa sebenarnya?"Istirahatlah, Eva. Kamu pasti capek. Soal Nayla, biar ibu yang urus."Aku yakin Ibu sebenarnya marah pada Eva. Namun tak ada yang berani melawan. Ibu maupun Mbak Ratna, selalu bersikap manis pada Eva. Meskipun, kenyataannya Eva hanya dimanfaatkan saja. Demi harta
POV Eva Bagaimana rasanya jika sebagai istri, tapi tak pernah diakui. Keberdaanku bagai bangkai yang harus ditutupi. Padahal, jika di depanku, mereka memperlakukanku bak putri raja. Aku, Eva Puspita Ningsih, pernah beranggapan bahwa diriku mempunyai suami yang hampir sempurna. Hidup kami sangat bahagia meskipun belum dikarunia seorang anak. Aku juga mempunyai mertua, kakak ipar dan adik ipar yang sangat menyayangiku. Meskipun, secara perekonomian hampir 80% kebutuhan ibu mertua aku yang menanggung. Bahkan, kakak iparku sering sekali meminjam uang tanpa ingat mengembalikanny. Sengaja tak pernah aku tagih. Anggap saja, sebagai rasa hormat kepada saudara. Menurutku, uang bisa dicari. Sedangkan saudara serta cinta adalah hal yang susah dicari dan tak bisa dibeli. Namun, ternyata aku salah menilai mereka. Tak ada kasih sayang untukku. Mereka munafik. Hanya baik di depan, tapi busuk dibelakang. Aku hanya menantu sekaligus adik ipar yang ditemui saat mereka butuh. Sedangkan, jika tak b
POV Eva (cepat Bu, katakanlah!) "Gila. Mereka benar-benar gila." Gibran menggeleng tak percaya. Sama halnya denganku. "Lilik tidak sengaja mendengar percakapan mereka tentang sertifikat itu. Awalnya, Lilik tak berani memberitahu kamu, Ndok. Mbak Maria selalu mengancamku. Dia itu bagai ular berbisa. Kamu harus hati-hati dengan mertuamu itu." "Terus aku harus apa Lik? tanah perkebunan kopi itu sangat luas. Hampir 250 hektar. Apa kita lapor polisi?" "Jangan. Kita tidak punya bukti kuat. Lebih baik, kita selidiki dulu. Tapi kamu tidak pernah tanda tangan apapun 'kan?" "Ti-tidak. Tepatnya aku tidak tahu. Bahkan, surat itu sudah berpindah tangan pun, aku baru tahu sekarang." "Parah. Kamu terlalu percaya sama suamimu yang gila itu." Gibran memandang sinis. Pasti dia mengangapku bodoh. Aku mengakui itu. Cinta palsu mereka, telah menipuku. Namun, tidak lagi. Sampai kapanpun, akan aku perjuangkan hakku. Kebun kopi dan pabrik peninggalan Bapak. Bukan sekedar nominalnya, tapi keberadaan p
"Kapan ibu mengambil surat itu? di mana ibu menyembunyikannya?" "Surat itu ...." Mas Adi, Ibu, Mbak Ratna dan Nayla sedang berkumpul di kamar. Mereka sedang membahasa perihal serrifikat tanah milikku. Suasana malam yang sunyi, membuatku bisa mendengar jelas percakapan mereka. Semoga saja, ibu memberitahu keberadaan surat berharga itu. Cepat Bu, katakanlah! "Surat itu, ibu simpan di ...." "Dor, lagi ngapain Kakak ipar." "Arrgh! demit!" "Hahaha, sembarangan aku dibilang setan." "Ya Allah Wi, ngagetin aja." Jantungku hampir copot karena lelucon Tiwi. Dia datang bagai jalangkung. Tiba-tiba muncul di detik-detik penting. Hampir aku mendapatkan titik terang. Tiwi malah menggagalkannya. "Eva?" tanya Ibu mertua. Mereka keluar kamar. Menatap heran ke arahku. Lebih tepatnya, menampilkan raut tegang. Pasti mereka takut aku mendengar percakapan mereka. "Dek, sejak kapan kamu di sini?" "Baru lewat." "Bohong. Orang Mbak Eva ngintip ke kamar dari tadi, hahaha." "Apa benar, Eva?" "Tidak
"Ya Allah.""Tenang, Sayang. Kita cek saja ke kantor polisi."Kami mengangguk setuju atas usulan Gilang. Lalu, masuk ke mobil masing-masing. Awalnya Mas Gibran melarang. Takut aku mual dan merasakan gejala kehamilan lainnya. Namun, aku yakinkan dia, bahwa kondisi tubuh ini baik-baik saja. Apalagi jarak ke kantor polisi hanya satu jam. "Sayang, kamu gak ada yang dirasa?" tanya Mas Gibran di tengah perjalanan."Aku baik-baik saja, Sayang. Mas fokus nyetir, yah.""Siap, sayang. Kalau pusing, atau mual, atau lapar, bilang aja yah.""Siap suamiku."Mas Gibran mencium tangan. Sementara matanya fokus menyetir mobil. Sepanjang jalan, suamiku sangat memperhatikanku. Dia memang sedikit berlebihan. Maklum, sudah lama kami menunggu kehadiran sang buah hati. Wajar, kalau suamiku begitu menjaganya. Ditambah lagi, dia sangat mencintaiku. "Mas, kasihan sekali Salwa.""Iya, Sayang. Ko, bisa dia malah masuk rumah sakit jiwa.""Mungkin, obsesi dia terlalu tinggi. Sampai meracuni pikiran. Ya, jadi gitu
"Garis dua. Ini benar-benar garis dua. Tapi garisnya tidak terlalu keliatan."Mataku melebar. Deru jantung tak karuan. Angin segar seakan berhembus kencang. Antara percaya dan tidak. Aku ngin ambruk. Badanku terduduk di kasur. Air mata berjatuhan. Bibir tersenyum. "Assalamualaikum.""Eva!"Teriakseseorang dari pintu depan, membuatku sadar. Aku hapus air mataku. Bergegas menuju pintu depan."Rani, kamu ada di sini?""Iya, Eva. Maaf aku gak ngabarin. Sekalian ada urusan bisnisnya Mas Gilang di daerah sini. Jadi, aku sengaja mampir ke sini.""Gilangnya mana?""Aduh, maaf, Va, kerjaan dia numpuk banget. Katanya nanti nyusul. Aku saja sampe dicuekin. Jadi, sengaja ke sini deh, biar gak gabut di hotel.""Owalah, ya sudah, ayok masuk."Rani aku suruh duduk di sofa. Sementara aku membawakan satu cangkir teh hangat. Udara di sini terasa dingin, meski sudah mau beranjak siang hari. Badanku sedikit lemas. Masih terbayang-bayang dua garis merah tadi. Namun, aku harus bersikap biasa di depan Ra
"Tidak, Di. Kamu beruntung sekali sudah punya bayi kecil yang lucu," jawab Mas Gibran dengan senyum sendu. Sambil menepuk pundak Mas Adi. "Sabar, Ran. Kamu orang baik. Pasti, banyak jalan biar kalian bisa dihadirkan apa yang kalian inginkan.""Aamiin."Aku menggandeng Mas Gibran dengan erat. Kami saling bertatapan. Kata-kata Mas Adi memberi semangat tersendiri untuk kami.Percaya, bahwa banyak jalan menemukan kebahagiaan. Masih banyak pejuang garis dua yang sudah berjuang hampir puluhan tahun. Maka, bagi kami yang belum lama berjuang, tak ada alasan untuk mencoba, apalagi menyerah.Semuanya butuh proses. Asal terus berusaha dan berdoa. Insyallah, hasil tidak akan menghianati. Pasrahkan diri, dan terus memohon. Semesta pasti memberi jalan."Kalian hebat, bisa bangkit lagi secepat ini."“Alhamdulilah, Mas. Semoga bisnis ini bisa terus berjalan lancar. Biar bisa terus membuka peluang usaha untuk orang lain.”"Aamiin. Tentu, dong. Termasuk membuka peluang usaha buatku. Aku yakin, dalam b
"Panggil Dokter, cepat!" perintah Pak Hakim.Gilang bergegas keluar ruangan. Sementara Mas Gibran malah memeluk pinggangku. Kami bagaikan penonton yang sedang menyaksikan adegan penuh haru. Saksi cinta seorang ayah kepada anaknya yang mampu memberi kekuatan tersendiri. Sehingga, Rani bisa berjuang keras melawan kondisinya yang sedang tidak baik-baik saja. "Sayang, bertahanlah. Ayah mohon."Suasana makin tidak karuan. Harapan dan kecemasan jadi satu. Apalagi saat melihat dokter tampak tegang memeriksa Rani, karena mendadak dia kejang. "Rani, bangunlah. Ayah menunggumu, Nak.""Dokter bagaimana kondisi istri saya?""Iya, Dok. Bagaimana kondisi anak saya. Kenapa dia tidak bangun, padahal tadi tangannya bergerak.""Maaf, Pak. Saya belum bisa memastikan secara pasti kapan Ibu Rani akan siuman. Namun, gerakannya tadi bisa menjadi pertanda baik. Dia merespon perkataan kalian. Maka, kita harus terus berdoa. Semoga secepatnya Ibu Rani bisa siuman.""Ya Allah, Rani. Bangun, Nak.""Sabar, Pak.
"Aku izin menghubungi Mas Adi dulu, Mas.""Iya sayang. Semoga Pak Hakim bisa ke sini.""Aamiin. Semoga kehadiran Pak Hakim bisa membuat Rani cepat sembuh."Aku bergegas menelepon Mas Adi. Sengaja menggunakan fitur pengeras suara, agar Mas Gibran ikut mendengar percakapan di antara kami. "Halo, Mas.""Iya, Eva. Bagaimana kondisi di sana.""Tidak baik-baik saja, Mas." Aku ceritakan kondisi yang terjadi di sini. Mas Adi ikut perihatin. Dia juga merasa was-was dengan keadaan kami di sini."Mas, tolong bilang pada Dokter Pak Hakim, beliau diajak ke sini. Agar bisa bertemu dengan anaknya.""Baiklah, Eva. Aku akan menanyakannya dulu. Kamu dan Gibran tenanglah di sana. Mas akan berusaha membantu kalian semaksimal mungkin.""Terima kasih, Di.""Sama-sama, Gibran. Kalian harus waspada. Takutnya perempuan gila itu melarikan diri.""Iya, Mas. Semoga saja tidak.""Ya sudah, aku langsung ke rumah sakit lagi. Semoga diizinkan. Aku yakin bisa, karena kondisi Pak Hakim tampak lebih baik.""Aamiin.
“Mbak Rani, Mas Gilang?” Salwa kaget dengan kehadiran kakaknya. Tentu semua ini di luar perkiraannya. Aku sudah memasang kamera tersembunyi di kamarnya. Agar bisa mengambil langkah lebih dulu dibandingkan Salwa.Mas Adi juga sudah berhasil mengamankan keberadaan Pak Hakim. Pria paruh baya itu sedang dirawat di rumah sakit dekat rumah Mas Adi. Sementara Rani dan gilang, aku perintahkan hadir ke sini, untum menjadi saksi di kantor polisi. Sekaligus membongkar kejahatan-kejahatan adiknya."Ke-kenapa ada Mbak Rani dan Mas Gilang. Aku sudah bilang, jangan mengundang mereka," ucap Salwa naik pitam.Wajahnya berubah seram. dia mulai menyadari kejahatannya akan terbongkar. Aku sudah siap siaga. Sebenarnya tamu yang hadir merupakan para polisi yang sedang menyamar. Area rumah ini juga sudah dijaga beberapa karyawan pria Mas Gibran. Agar bisa mengantisipasi kalau Salwa berani kabur."Ini hadiah dariku Salwa. Aku ingin dihari bahagi ini, disaksikan kakamu tercinta.""Tidak. Kamu sudah melanggar
"Apa?""Maaf, Bos. Tiba-tiba semua orang di rumah ini pingsan, lalu saat kami memeriksa kamar bapak, kamarnya kosong.""Bodoh. Kenapa kalian sangat ceroboh!" sentakku emosi. Sialan. Siapa yang sudah menculik ayah. Berani-beraninya bermain-main denganku. Aku bingung harus bagaimana. Tak mungkin pulang. Besok acara akad nikah. Namun, jika tidak bisa ditemukan, Mas Gibran bisa curiga. "Tangkap Rani, dan Gilang. Kalau ini semua ulah mereka, sakiti saja mereka. Kalau tidak, cepat cari di mana pun keberadaan ayah. Kalau tidak, kamu tahu akibat.""Ba-baiklah, Bos."Sambungan telepon aku matikan dengan emosi membuncah. Aku banting ponsel ke kasur. Tidak jadi istirahat. Aku harus memikirkan cara untuk mengatasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi. Sampai jam menunjukan waktu dini hari, aku belum bisa tidur. Masih menunggu kabar tentang ayah. Para anak buah tak bisa diandalkan. Hanya menangkap Rani dan Mas Gilang saja butuh waktu berjam-jam. Tak mau terus dihantui rasa kesal, dan
POV Salwa"Mas, aku mau gaun pernikahan yang cantik, dan bunga melati asli," ujarku sangat bahagia saat ada di dalam mobil. Semakin hari, sikap Mas Gibran semakin manis saja. Dia mengajakku mencari keperluan untuk pernikahan. Sering-sering saja Mas Gibran dan Mbak Eva ribut. Agar aku punya kesempatan mendapatkan hati Mas Gibran sepenuhnya. "Iya, kamu pilih saja yang kamu mau.""Aku juga pengen kita tetap mengundang warga sekitar. Biar aku tetap diakui sebagai istrimu.""Soal itu tentu, Sal. Aku pasti mengundang warga sekitar sebagai saksi.""Bagus, Mas."Bibirku merekah bagai bunga mawar. Tak menyangka bisa ada di posisi ini. Aku pikir, dekat lagi dengan Mas Gibran hanya mimpi. Nyatanya, dia akan menjadi suamiku. Kami akan hidup bahagia. Memiliki anak-anak yang lucu. Lalu, Mbak Eva tinggal didepak sesuka hati.“Mas, aku mau makan di restoran terenak di daerah sini.”“Baiklah.”Setelah berkeliling mencari kebaya dan MUA yang bagus, aku ajak Mas Gibra. Ternyata cukup melelahkan juga m
POV Eva "Aduh, kenapa perempuan itu sadar keberadaan cctv yang baru aku pasang kemarin?" tanya pada diri sendiri. Tadi, sekilas aku mendengar pembicaraan Mas Gibran dengan Salwa. Semua yang terjadi, merupakan hasil rekayasa antara aku dan Mas Gibran. Aku sengaja menyuruhnya pergi ke kota. Agar aku bisa memasang cctv dengan leluasa di rumah ini. Terutama di kamar Salwa, dan depan pintu kamarku. Video-video itu akan menjadi bukti akal bulus perempuan kegatelan itu. Semalam, aku pura-pura ribut dengan Mas Gibran. Sengaja, agar mempermudah mencari alasan untuk mempercepat acara pernikahan pura-pura antara Mas Gibran dan Salwa. "Aku mengajak Salwa keluar dulu, Sayang. Agar dia tidak curiga soal cctv di rumah ini.""Iya, Mas. Hati-hati. Buat dia terlena dengan rayanmu. Agar aku bisa dengan bebas menemukan banyak bukti untuk membongkar kejahatannya.""Siap, Sayang.""Oh, iya, barang bukti yang kamu temukan di pabrik, apa sudah diperiksa polisi?""Dalam proses penyelidikan Mas. Jepitan d