POV Eva
Bagaimana rasanya jika sebagai istri, tapi tak pernah diakui. Keberdaanku bagai bangkai yang harus ditutupi. Padahal, jika di depanku, mereka memperlakukanku bak putri raja.
Aku, Eva Puspita Ningsih, pernah beranggapan bahwa diriku mempunyai suami yang hampir sempurna. Hidup kami sangat bahagia meskipun belum dikarunia seorang anak. Aku juga mempunyai mertua, kakak ipar dan adik ipar yang sangat menyayangiku.
Meskipun, secara perekonomian hampir 80% kebutuhan ibu mertua aku yang menanggung. Bahkan, kakak iparku sering sekali meminjam uang tanpa ingat mengembalikanny. Sengaja tak pernah aku tagih. Anggap saja, sebagai rasa hormat kepada saudara. Menurutku, uang bisa dicari. Sedangkan saudara serta cinta adalah hal yang susah dicari dan tak bisa dibeli.
Namun, ternyata aku salah menilai mereka. Tak ada kasih sayang untukku. Mereka munafik. Hanya baik di depan, tapi busuk dibelakang. Aku hanya menantu sekaligus adik ipar yang ditemui saat mereka butuh. Sedangkan, jika tak butuh mereka melupakanku. Bahkan tak menganggapku.
Fakta itu, aku dapatkan dari kejadian tiga bulan lalu. Saat ulang tahun ibu mertuaku.
"Dek, Mas izin ke Jakarta dulu yah. Ada urusan bisnis."
Aku selalu percaya dengan alasan Mas Adi setiap pergi ke luar kota. Namun, saat itu ada fakta mengejutkan. Satu hari setelah kepergian Mas Adi, aku melihat postingan Mbak Ratna di fecebook.
"Eva, ini suamimu sama keluarganya 'kan?" tanya Lala, sahabatku.
Sore itu, Lala yang sedang pulang kampung menemuiku di perkebunan kopi. Dia menunjukan sebuah postingan yang sangat menohok hati.
"Iya ini Mas Adi dan keluarganya. Tapi, siapa perempuan itu?"
Aku menunjuk seorang perempuan berkulit putih, dengan baju selutut. Dia ada di samping Mas Adi. Perempuan itu menggandengnya. Memancarkan senyum bahagia berada di tengah-tengah keluarga suamiku.
"Mana aku tahu. Baca deh captionnya."
[Selamat ulang tahun Ibuku tercinta. Sehat selalu dan panjang umur. Akhirnya, formasi keluarga lengkap di hari ultah ibu.]
"Masa kamu gak diajak sih?"
"En-engak, La."
"Gila tuh si Adi. Kamu harus selidikin ini, Va. Pasti ada alasan kenapa kamu gak dikasih tahu acara keluarga mereka.Kaya gak dianggap, loh. Terus, perempuan itu, siapa coba?"
"Aku tidak tahu, La. Mungkin Mas Adi lupa ngasih tahu tentang acara ultah ibunya. Soal perempuan itu, mungkin saudara jauh Ibu."
Aku berusaha menutupi rasa cemas di depan Lala. Bagaimanapun Mas Adi adalah suamiku. Sudah sepatutnya aib dan masalah rumah tangga aku simpan rapat.
"Eva, jangan bodoh dong jadi cewek. Kamu harus selidiki tentang keluarga suamimu dan juga cewek itu. Pasti ada yang gak beres."
Aku hanya terdiam. Jujur, rasa penasaran dan insting sebagai seorang istri sangat kuat. Hati kecilku mengatakan, bahwa suamiku dan keluarganya menyimpan rahasia besar di belakangku.
"Kamu tenang ajah, La. Aku akan cari tahu. Kamu tentu tahu karakterku."
"Aku percaya sama kamu, Eva. Meskipun keliatan lugu, tapi kamu perempuan berani dan tegas mengambil keputusan."
Setelah pembicaraan kami, aku putuskan untuk segera pulang dari perkebunan kopi. Mulai memikirkan langkah apa yang harus dilakukan.
Selama ini, sikapku memang tak pernah membantah ataupun curiga yang berlebihan pada suami. Namun, jika sudah ada hal yang janggal, maka aku tidak akan diam saja.
Sebagai perempuan kita memang ditakdirkan menjadi makhluk yang lebih sering menggunakan perasaan. Berhati lembut. Namun, percayalah perempuan bukan makhluk yang rapuh. Dia bisa berbuat apapun ketika cinta tulusnya sudah tidak dihargai.
"Mau pergi ke mana, Ndok?"
"Eva mau ke rumah saudaranya Mas Adi, Lik."
"Apa kamu yakin, saudaranya Adi bisa menjawab kecurigaanmu, Ndok?"
"Insyalloh, Lik. Gusti Allah maha adil. Pasti menunjukan kebenaran."
"Bismillah, Ndok. Hati-hati, yah."
Aku hanya mengangguk. Lalu, memeluk Lik Janah. Dia sudah aku anggap seperti orang tua sendiri. Lik Janah sangat memahami posisiku saat ini. Kondisi penuh dengan banyak pertanyaan. Tidak ingin gegabah memilih Langkah. Kecuali sudah mendapatkan bukti kuat tentang kemungkinan buruk yang aku khawatirkan.
Tujuan utamaku adalah rumah Lik Sumi. Adik Perempuan dari Bapak Mertuaku. Aku yakin, dia bisa membantu. Meskipun, Lik Sumi masih termasuk salah satu keluarga Mas Adi, tapi aku yakin, dia tidak sama seperti mereka. Selama ini, Lik Sumi yang selalu memberi nasihat tentang rumah tanggaku. Dia juga yang paling peduli. Semoga saja, ekspektasiku tentangnya tidak meleset.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Eva. Ayok, masuk Ndo."
"Eva, Lilik kaget saat kamu bilang mau mampir ke rumah Lilik."
"Maaf Lik, kasih taunya mendadak."
"Ndak papa. Lilik buatin minum dulu, yah."Aku hanya mengangguk. Meremas baju karena gugup. Semoga saja, Lik sumi bisa memberitahu informasi penting untukku. Semoga dia ada dipihakku. Tak ada lagi yang bisa aku mintai pertolongan. Mas Adi tak pernah mengenalkanku kepada saudaranya yang lain, kecuali Lik Sumi. Tak mungkin mencari info dari Kakak atau Adiknya Mas Adi.
"Lik, Sebenernya, Eva mau menanyakan sesuatu."
Lik Sumi meletakan gelas berisi teh manis di atas meja. Wajahnya semringah. Seperti orang yang baru berjumpa dengan kerabat dekat. Apakah dia tulus? atau hanya pura-pura?
"Tentang apa, Ndo?"
"Apa Mas Adi ada di rumah Ibunya?"
"Adi? maksudnya gimana, Ndo?"
"Apa Lilik tahu kalau Mas Adi datang ke acara ulangtahun Ibunya tanpa memberitahuku?"
"Soal itu ...."
Lik Sumi nampak Iba menatapku. Wajahnya berubah murung. Aku yakin, dia tahu sesuatu. Rasa tak enak hati, terpancar jelas pada irasnya.
"Eva yakin Lik Sumi orang yang baik dan jujur. Sama seperti almarhum bapak mertua."
Lik Sumi hanya diam. Lalu, menuduk. Entah apa yang ada sedang dia pikirkan.
"Assalamualaikum."
Seorang pria berperawakan atletis tiba-tiba masuk ke rumah. Nampaknya, dia anak Lik Sumi yang pernah diceritakannya. Wajahnya hampir mirip. Berkulit sawo matang. Berhidung mancung bak artis India.
"Gibran."
"Dia anak Lik Sumi?"
"Iya, Ndo. Gibran kenalkan dia Eva."
"Gibran."
"Aku Eva. Istrinya Mas Adi."
"Istrinya Adi?"
Pria itu sangat sok. Kami memang baru pertama kali bertemu. Saat pernikahanku, memang tak dihadiri banyak saudara dari pihak Mas Adi. Hanya ramai dari pihakku saja.
"Iya. Aku istrinya Mas Adi. Apa Lik Sumi gak pernah cerita?"
Gibran menggeleng. Kami saling menatap heran. Kemudian,memandang Lik Sumi meminta jawaban.
"Apa benar Bu?"
"Iya, Nang. Dia istri pertamanya Adi."
"Apa Maksud Lilik?"
"Pangampurane Eva. Lilik, akeh dosa Karo koe."
(Maaf Eva. Bibi, banyak dosa sama kamu)
Lik Sumi menangis di sampingku. Dia memelukku sambil terus meminta maaf. Kemudian, dia ceritakan semuanya tentang kebusukan Mas Adi dan keluarganya.
Membuka tabir kebenaran tentang pengkhianatan yang dilakukan suamiku. Yang paling menyakitkan, aku yang selalu diandalkan masalah keuangan, tapi Nayla, Gundik suamiku yang lebih dibanggakan. Bahkan, diakui sebagai istri pertama dan satu-satunya.
Hari itu, nyawa seakan lepas dari raga. Tubuhku membeku. Lidah Kelu tak bisa mengucap apa-apa. Semua penjelasan Lik Sumi, bagai letusan gunung Merapi yang menghanguskan jiwa dan ragaku. Lahar panas, seakan mengguyur tubuh ini."Edan! kita harus beri pelajaran si Adi dan keluarganya itu."
"Aku harus pergi."
"Jangan Ndo, jangan."
Lik Sumi menahanku untuk pergi. Padahal, aku ingin sekali mengamuk di rumah ibunya Mas Adi. Mengeluarkan sakit hati yang kurasa. Teganya mereka hanya memanfaatkanku sebagai mesin pencetak uang.
"Biarkan dia pergi, Bu. Kalau perlu kita juga ikut. Si Adi itu sudah keterlaluan."
"Kita tidak bisa melakukan seperti itu, Gibran."
"Kenapa Lik? Kenapa?" Aku mengguncang tubuh Lik Sumi. Mengeluarkan semua air mata kepedihan.
"Sertifikat perkebunan kopi dan pabrik milikmu ada di tangan mereka. Kita tidak bisa gegabah. Aku sangat kenal Mbak Maria. Dia itu berbahaya dan berbahaya."
Aku hanya bisa terduduk lemas. Tak menyangka mereka begitu keji. Bagaimana sertifikat tanah perkebunan dan pabrik ada di tangan mereka? Beraninya mengambil milikku dengan cara yang licin. Aku tak akan tinggal diam!
POV Eva (cepat Bu, katakanlah!) "Gila. Mereka benar-benar gila." Gibran menggeleng tak percaya. Sama halnya denganku. "Lilik tidak sengaja mendengar percakapan mereka tentang sertifikat itu. Awalnya, Lilik tak berani memberitahu kamu, Ndok. Mbak Maria selalu mengancamku. Dia itu bagai ular berbisa. Kamu harus hati-hati dengan mertuamu itu." "Terus aku harus apa Lik? tanah perkebunan kopi itu sangat luas. Hampir 250 hektar. Apa kita lapor polisi?" "Jangan. Kita tidak punya bukti kuat. Lebih baik, kita selidiki dulu. Tapi kamu tidak pernah tanda tangan apapun 'kan?" "Ti-tidak. Tepatnya aku tidak tahu. Bahkan, surat itu sudah berpindah tangan pun, aku baru tahu sekarang." "Parah. Kamu terlalu percaya sama suamimu yang gila itu." Gibran memandang sinis. Pasti dia mengangapku bodoh. Aku mengakui itu. Cinta palsu mereka, telah menipuku. Namun, tidak lagi. Sampai kapanpun, akan aku perjuangkan hakku. Kebun kopi dan pabrik peninggalan Bapak. Bukan sekedar nominalnya, tapi keberadaan p
"Kapan ibu mengambil surat itu? di mana ibu menyembunyikannya?" "Surat itu ...." Mas Adi, Ibu, Mbak Ratna dan Nayla sedang berkumpul di kamar. Mereka sedang membahasa perihal serrifikat tanah milikku. Suasana malam yang sunyi, membuatku bisa mendengar jelas percakapan mereka. Semoga saja, ibu memberitahu keberadaan surat berharga itu. Cepat Bu, katakanlah! "Surat itu, ibu simpan di ...." "Dor, lagi ngapain Kakak ipar." "Arrgh! demit!" "Hahaha, sembarangan aku dibilang setan." "Ya Allah Wi, ngagetin aja." Jantungku hampir copot karena lelucon Tiwi. Dia datang bagai jalangkung. Tiba-tiba muncul di detik-detik penting. Hampir aku mendapatkan titik terang. Tiwi malah menggagalkannya. "Eva?" tanya Ibu mertua. Mereka keluar kamar. Menatap heran ke arahku. Lebih tepatnya, menampilkan raut tegang. Pasti mereka takut aku mendengar percakapan mereka. "Dek, sejak kapan kamu di sini?" "Baru lewat." "Bohong. Orang Mbak Eva ngintip ke kamar dari tadi, hahaha." "Apa benar, Eva?" "Tidak
"Si*l, dimana ibu menyimpan sertifikat milikku." Aku berkacak pinggang sambil memutar otak. Kira-kira tempat mana lagi yang belum aku geledah? Suara ngorok membuat mataku tertuju ke arah Ibu mertua. Menatap ke arah kasur. "Aha, kolong kasur." Aku tengkurap. Mata menyoroti bawah kasur. Menyalakan senter handphone agar terlihat jelas. Tak ada apa-apa di sana. Hanya debu yang yang tak terjamah sapu. Tak kehabisan akal, aku angkat spring bed. Meraba-rabanya, meski agak kesulitan karena tubuh ibu cukup berat. Nampaknya tak ada juga. Aku beralih ke bantal yang ibu tiduri. Menarik bantal dari kepalanya. Mengecek di bawah bantal, maupun sarung bantal. Tetap tidak ada. Aku menyerah. Sepertinya, lebih baik coba cara yang diusulkan Gibran. "Hallo, Gibran?" Aku hubungi Gibran diam-diam di kamar mandi. "Iya, Eva. Bagaimana, apa kamu sudah menemukannya?" "Belum, Ran. Aku tidak menemukan apapun di sini." "Aneh, padahal aku curiga surat itu ada di kamar Uwa Maria. Soalnya, setiap dia pergi
Senyum merekah di wajah mereka. Seakan lega atas keputusanku. Mereka tidak tahu, semua ini bagian dari rencanaku. Rumah ini harus kosong, agar Gibran leluasa menjalankan rencana kami. Biarkan Nayla ikut. Di mana pun tempatnya, dia akan tetap aku perlakukan sebagai pembantu. "Wih, Asik banget kita bakal jalan-jalan sekeluarga. Bisa makan di restoran mewah. Pulangnya mampir ke mal. Iya Gak Va? nanti kamu Mbak ajak ke tempat barang-barang brended, biar makin modis." "Boleh, Mbak." "Makasih ya, Dek." Mas Adi mulai melembut kembali. Dia tersenyum bahagia. Sambil mengusap lembut tanganku. Tentunya dia gembira, karena aku mengajak semua keluarga bahkan gundiknya untuk jalan-jalan. Pasti mereka berpikir, aku rela menghamburkan uang untuk membiayai gengsi mereka. Dulu mungkin demikian. Sekarang, tentu tidak. Aku akan memberikan pelajaran berharga untuk semua keluarga Mas Adi. Agar mereka sadar, bahwa selama ini, hartaku ikut andil memberikan kebahagian kepada mereka. Jam menunjukan puk
"Eva ...." Aku cari Eva ke segala Penjuru. Waktu menunjukan pukul 06.00 WIB, tapi dia sudah tidak ada di rumah. Akhir-akhir ini sikapnya berubah. Aku bahkan merasa asing kepada istriku sendiri. Baru pertama kali juga, dia berani melawanku dan memutuskan pisah ranjang. Ada apa sebenarnya? apa Eva sudah mengetahui perselingkuhanku? tapi tidak mungkin. "Nyari siapa Mas?" "Eva, Nay. Kemana dia?" "Gak tahu," jawab Nayla cuek. Raut wajahnya berubah karena ucapanku. "Nay, maafkan sikap Eva, yah. Mas janji, akan segera mengajak dia pulang ke Jawa. Biar kamu gak diperlakukan semena-mena lagi, sama Eva." "Gak usah. Mas emang gak pernah adil sama aku." "Bukan gitu, Nay. Kamu 'kan tahu posisiku. Bahaya kalau Eva tahu hubungan kita, sebelum hartanya dikuasai." "Mangkanya cepat kuasai harta Eva, Mas. Toh, sertifikat sudah ada di tangan kita. Tinggal alihkan atas nama kamu." "Gimana cara minta tanda tangannya Nay? kalau Eva menyadari perbuatan kita, bisa masuk penjara." "Pake cara halus."
Ibu membelalak kaget. Dia langsung memegang dada bagian kiri. Meremas baju, dan meringis menahan sakit. "Bu, kenapa Bu?" Mbak Ratna yang ada di samping Ibu langsung menyanggah tubuhnya yang hampir roboh. Beruntung Mbak Ratna sigap memegangi. Jika tidak, kepala Ibu sudah menyenggol tembok. "Dada, Ibu sakit." "Kita ke rumah sakit aja, Bu. Pasti jantung ibu kumat lagi." "Ti-tidak. Antar ibu ke kamar, dan Suruh Nayla ambilkan obat Ibu." Aku memapah ibu masuk ke kamar. Kami sangat panik dengan kondisi Ibu. Namun, tidak dengan Eva. Ekspresinya sangat santai. Bahkan, dia belum menyusul kami ke kamar. "Mas, Ibu kenapa bisa gini?" Nayla datang karena di panggil Mbak Ratna. Wajahnya panik. Kami semua tak tega melihat kondisi ibu yang mulai memucat. Giginya merapat menahan sakit. "Gak tau, Nay. Buruan kasih Ibu obat." Tanpa banyak tanya lagi, Nayla membuka salah satu laci dan mengeluarkan obat. "Biar Mbak ambilin air minumnya." Dengan sigap Mbak Ratna keluar kamar mengambil minum. H
Semilir angin pagi, berhembus sejuk. Terasa dari lapisan kulit terluar, lalu menusuk ke rongga-rongga hati. Memberi hawa dingin yang menyegarkan. Namun, tidak dengan hatiku dan keluarga. Sejak semalam aku tidak bisa tidur, begitu pula dengan Ibu dan Mbak Ratna. Pagi ini rasanya sangat menegangkan. Keringat dingin mengucur. Menantikan momen-momen yang paling tidak diharapkan. "Bu, bagaimana ini?" tanya Mbak Ratna saat aku menemuinya di kamar Ibu. "Ibu tidak tahu harus apa." "Tenang, Bu, Mbak. Adi yakin, keluarga besar kita tidak akan ada yang datang. Bukankah Mbak Ratna sudah membuang surat undangnya?" "Iya sih, Udah. Tapi kenapa perasaan Mbak gak enak, yah? sikap si Eva bener-bener mencurigakan. Pertama, dia memperlakukan Nayla kaya pembantu. Padahal, setau Mbak, Si Eva bukan orang yang julid kaya gitu. Kedua, dia sering pergi sendiri. Ketiga, semalam, Si Eva seakan udah tahu rencana kita. Dia kaya sengaja bawa Lik Sumi dan yang lainnya untuk ke sini, biar rencana kita gagal. Mb
Setelah sertifikat ada di tanganku, segera aku hubungi Gibran untuk membuat sertifikat palsu. Lalu, membuat surat pengalihan sertifikat rumah ibu, atas namaku. Gibran merupakan pria yang sangat cerdas. Dia bisa mengurus permasalahanku secara cepat dan cantik. Tanpa menimbulkan kecurigaan. Semalam baru aku menelponnya, saat pagi hari, dia sudah bisa memasukan sertifikat palsu ke dalam kotak itu. Kami yakin, Nayla akan curiga dan segera mengambilnya. Betul saja, prediksi kami tidak salah. Saat aku pergi, dia mengambilnya. Aku melihat semua aktifitas dan pembicaraan mereka lewat cctv yang sudah dipasang disegala penjuru rumah. Ketika Mas Adi memasukan obat tidur ke dalam minumanku, Gibran langsung mengirim pesan. Maka aku bisa mengantisipasi kelakuan jahat suamiku. Sehingga, mencari alasan agar Mas Adi meminumnya. Akhirnya, dia sendiri yang terlelap karena obat tidur. Pagi hari, aku pergi ke rumah Lik Sumi. Mulai menyusun rencana puncak. Gibran sampai mengorbankan waktu kerjanya, untu
"Ya Allah.""Tenang, Sayang. Kita cek saja ke kantor polisi."Kami mengangguk setuju atas usulan Gilang. Lalu, masuk ke mobil masing-masing. Awalnya Mas Gibran melarang. Takut aku mual dan merasakan gejala kehamilan lainnya. Namun, aku yakinkan dia, bahwa kondisi tubuh ini baik-baik saja. Apalagi jarak ke kantor polisi hanya satu jam. "Sayang, kamu gak ada yang dirasa?" tanya Mas Gibran di tengah perjalanan."Aku baik-baik saja, Sayang. Mas fokus nyetir, yah.""Siap, sayang. Kalau pusing, atau mual, atau lapar, bilang aja yah.""Siap suamiku."Mas Gibran mencium tangan. Sementara matanya fokus menyetir mobil. Sepanjang jalan, suamiku sangat memperhatikanku. Dia memang sedikit berlebihan. Maklum, sudah lama kami menunggu kehadiran sang buah hati. Wajar, kalau suamiku begitu menjaganya. Ditambah lagi, dia sangat mencintaiku. "Mas, kasihan sekali Salwa.""Iya, Sayang. Ko, bisa dia malah masuk rumah sakit jiwa.""Mungkin, obsesi dia terlalu tinggi. Sampai meracuni pikiran. Ya, jadi gitu
"Garis dua. Ini benar-benar garis dua. Tapi garisnya tidak terlalu keliatan."Mataku melebar. Deru jantung tak karuan. Angin segar seakan berhembus kencang. Antara percaya dan tidak. Aku ngin ambruk. Badanku terduduk di kasur. Air mata berjatuhan. Bibir tersenyum. "Assalamualaikum.""Eva!"Teriakseseorang dari pintu depan, membuatku sadar. Aku hapus air mataku. Bergegas menuju pintu depan."Rani, kamu ada di sini?""Iya, Eva. Maaf aku gak ngabarin. Sekalian ada urusan bisnisnya Mas Gilang di daerah sini. Jadi, aku sengaja mampir ke sini.""Gilangnya mana?""Aduh, maaf, Va, kerjaan dia numpuk banget. Katanya nanti nyusul. Aku saja sampe dicuekin. Jadi, sengaja ke sini deh, biar gak gabut di hotel.""Owalah, ya sudah, ayok masuk."Rani aku suruh duduk di sofa. Sementara aku membawakan satu cangkir teh hangat. Udara di sini terasa dingin, meski sudah mau beranjak siang hari. Badanku sedikit lemas. Masih terbayang-bayang dua garis merah tadi. Namun, aku harus bersikap biasa di depan Ra
"Tidak, Di. Kamu beruntung sekali sudah punya bayi kecil yang lucu," jawab Mas Gibran dengan senyum sendu. Sambil menepuk pundak Mas Adi. "Sabar, Ran. Kamu orang baik. Pasti, banyak jalan biar kalian bisa dihadirkan apa yang kalian inginkan.""Aamiin."Aku menggandeng Mas Gibran dengan erat. Kami saling bertatapan. Kata-kata Mas Adi memberi semangat tersendiri untuk kami.Percaya, bahwa banyak jalan menemukan kebahagiaan. Masih banyak pejuang garis dua yang sudah berjuang hampir puluhan tahun. Maka, bagi kami yang belum lama berjuang, tak ada alasan untuk mencoba, apalagi menyerah.Semuanya butuh proses. Asal terus berusaha dan berdoa. Insyallah, hasil tidak akan menghianati. Pasrahkan diri, dan terus memohon. Semesta pasti memberi jalan."Kalian hebat, bisa bangkit lagi secepat ini."“Alhamdulilah, Mas. Semoga bisnis ini bisa terus berjalan lancar. Biar bisa terus membuka peluang usaha untuk orang lain.”"Aamiin. Tentu, dong. Termasuk membuka peluang usaha buatku. Aku yakin, dalam b
"Panggil Dokter, cepat!" perintah Pak Hakim.Gilang bergegas keluar ruangan. Sementara Mas Gibran malah memeluk pinggangku. Kami bagaikan penonton yang sedang menyaksikan adegan penuh haru. Saksi cinta seorang ayah kepada anaknya yang mampu memberi kekuatan tersendiri. Sehingga, Rani bisa berjuang keras melawan kondisinya yang sedang tidak baik-baik saja. "Sayang, bertahanlah. Ayah mohon."Suasana makin tidak karuan. Harapan dan kecemasan jadi satu. Apalagi saat melihat dokter tampak tegang memeriksa Rani, karena mendadak dia kejang. "Rani, bangunlah. Ayah menunggumu, Nak.""Dokter bagaimana kondisi istri saya?""Iya, Dok. Bagaimana kondisi anak saya. Kenapa dia tidak bangun, padahal tadi tangannya bergerak.""Maaf, Pak. Saya belum bisa memastikan secara pasti kapan Ibu Rani akan siuman. Namun, gerakannya tadi bisa menjadi pertanda baik. Dia merespon perkataan kalian. Maka, kita harus terus berdoa. Semoga secepatnya Ibu Rani bisa siuman.""Ya Allah, Rani. Bangun, Nak.""Sabar, Pak.
"Aku izin menghubungi Mas Adi dulu, Mas.""Iya sayang. Semoga Pak Hakim bisa ke sini.""Aamiin. Semoga kehadiran Pak Hakim bisa membuat Rani cepat sembuh."Aku bergegas menelepon Mas Adi. Sengaja menggunakan fitur pengeras suara, agar Mas Gibran ikut mendengar percakapan di antara kami. "Halo, Mas.""Iya, Eva. Bagaimana kondisi di sana.""Tidak baik-baik saja, Mas." Aku ceritakan kondisi yang terjadi di sini. Mas Adi ikut perihatin. Dia juga merasa was-was dengan keadaan kami di sini."Mas, tolong bilang pada Dokter Pak Hakim, beliau diajak ke sini. Agar bisa bertemu dengan anaknya.""Baiklah, Eva. Aku akan menanyakannya dulu. Kamu dan Gibran tenanglah di sana. Mas akan berusaha membantu kalian semaksimal mungkin.""Terima kasih, Di.""Sama-sama, Gibran. Kalian harus waspada. Takutnya perempuan gila itu melarikan diri.""Iya, Mas. Semoga saja tidak.""Ya sudah, aku langsung ke rumah sakit lagi. Semoga diizinkan. Aku yakin bisa, karena kondisi Pak Hakim tampak lebih baik.""Aamiin.
“Mbak Rani, Mas Gilang?” Salwa kaget dengan kehadiran kakaknya. Tentu semua ini di luar perkiraannya. Aku sudah memasang kamera tersembunyi di kamarnya. Agar bisa mengambil langkah lebih dulu dibandingkan Salwa.Mas Adi juga sudah berhasil mengamankan keberadaan Pak Hakim. Pria paruh baya itu sedang dirawat di rumah sakit dekat rumah Mas Adi. Sementara Rani dan gilang, aku perintahkan hadir ke sini, untum menjadi saksi di kantor polisi. Sekaligus membongkar kejahatan-kejahatan adiknya."Ke-kenapa ada Mbak Rani dan Mas Gilang. Aku sudah bilang, jangan mengundang mereka," ucap Salwa naik pitam.Wajahnya berubah seram. dia mulai menyadari kejahatannya akan terbongkar. Aku sudah siap siaga. Sebenarnya tamu yang hadir merupakan para polisi yang sedang menyamar. Area rumah ini juga sudah dijaga beberapa karyawan pria Mas Gibran. Agar bisa mengantisipasi kalau Salwa berani kabur."Ini hadiah dariku Salwa. Aku ingin dihari bahagi ini, disaksikan kakamu tercinta.""Tidak. Kamu sudah melanggar
"Apa?""Maaf, Bos. Tiba-tiba semua orang di rumah ini pingsan, lalu saat kami memeriksa kamar bapak, kamarnya kosong.""Bodoh. Kenapa kalian sangat ceroboh!" sentakku emosi. Sialan. Siapa yang sudah menculik ayah. Berani-beraninya bermain-main denganku. Aku bingung harus bagaimana. Tak mungkin pulang. Besok acara akad nikah. Namun, jika tidak bisa ditemukan, Mas Gibran bisa curiga. "Tangkap Rani, dan Gilang. Kalau ini semua ulah mereka, sakiti saja mereka. Kalau tidak, cepat cari di mana pun keberadaan ayah. Kalau tidak, kamu tahu akibat.""Ba-baiklah, Bos."Sambungan telepon aku matikan dengan emosi membuncah. Aku banting ponsel ke kasur. Tidak jadi istirahat. Aku harus memikirkan cara untuk mengatasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi. Sampai jam menunjukan waktu dini hari, aku belum bisa tidur. Masih menunggu kabar tentang ayah. Para anak buah tak bisa diandalkan. Hanya menangkap Rani dan Mas Gilang saja butuh waktu berjam-jam. Tak mau terus dihantui rasa kesal, dan
POV Salwa"Mas, aku mau gaun pernikahan yang cantik, dan bunga melati asli," ujarku sangat bahagia saat ada di dalam mobil. Semakin hari, sikap Mas Gibran semakin manis saja. Dia mengajakku mencari keperluan untuk pernikahan. Sering-sering saja Mas Gibran dan Mbak Eva ribut. Agar aku punya kesempatan mendapatkan hati Mas Gibran sepenuhnya. "Iya, kamu pilih saja yang kamu mau.""Aku juga pengen kita tetap mengundang warga sekitar. Biar aku tetap diakui sebagai istrimu.""Soal itu tentu, Sal. Aku pasti mengundang warga sekitar sebagai saksi.""Bagus, Mas."Bibirku merekah bagai bunga mawar. Tak menyangka bisa ada di posisi ini. Aku pikir, dekat lagi dengan Mas Gibran hanya mimpi. Nyatanya, dia akan menjadi suamiku. Kami akan hidup bahagia. Memiliki anak-anak yang lucu. Lalu, Mbak Eva tinggal didepak sesuka hati.“Mas, aku mau makan di restoran terenak di daerah sini.”“Baiklah.”Setelah berkeliling mencari kebaya dan MUA yang bagus, aku ajak Mas Gibra. Ternyata cukup melelahkan juga m
POV Eva "Aduh, kenapa perempuan itu sadar keberadaan cctv yang baru aku pasang kemarin?" tanya pada diri sendiri. Tadi, sekilas aku mendengar pembicaraan Mas Gibran dengan Salwa. Semua yang terjadi, merupakan hasil rekayasa antara aku dan Mas Gibran. Aku sengaja menyuruhnya pergi ke kota. Agar aku bisa memasang cctv dengan leluasa di rumah ini. Terutama di kamar Salwa, dan depan pintu kamarku. Video-video itu akan menjadi bukti akal bulus perempuan kegatelan itu. Semalam, aku pura-pura ribut dengan Mas Gibran. Sengaja, agar mempermudah mencari alasan untuk mempercepat acara pernikahan pura-pura antara Mas Gibran dan Salwa. "Aku mengajak Salwa keluar dulu, Sayang. Agar dia tidak curiga soal cctv di rumah ini.""Iya, Mas. Hati-hati. Buat dia terlena dengan rayanmu. Agar aku bisa dengan bebas menemukan banyak bukti untuk membongkar kejahatannya.""Siap, Sayang.""Oh, iya, barang bukti yang kamu temukan di pabrik, apa sudah diperiksa polisi?""Dalam proses penyelidikan Mas. Jepitan d