Share

Cepat Katakan

Author: Sriayu23
last update Last Updated: 2022-08-26 13:36:46

POV Eva (cepat Bu, katakanlah!)

"Gila. Mereka benar-benar gila."

Gibran menggeleng tak percaya. Sama halnya denganku.

"Lilik tidak sengaja mendengar percakapan mereka tentang sertifikat itu. Awalnya, Lilik tak berani memberitahu kamu, Ndok. Mbak Maria selalu mengancamku. Dia itu bagai ular berbisa. Kamu harus hati-hati dengan mertuamu itu."

"Terus aku harus apa Lik? tanah perkebunan kopi itu sangat luas. Hampir 250 hektar.  Apa kita lapor polisi?"

"Jangan. Kita tidak punya bukti kuat. Lebih baik, kita selidiki dulu. Tapi kamu tidak pernah tanda tangan apapun 'kan?"

"Ti-tidak. Tepatnya aku tidak tahu. Bahkan, surat itu sudah berpindah tangan pun, aku baru tahu sekarang."

"Parah. Kamu terlalu percaya sama suamimu yang gila itu."

Gibran memandang sinis. Pasti dia mengangapku bodoh. Aku mengakui itu. Cinta palsu mereka, telah menipuku. Namun, tidak lagi. Sampai kapanpun, akan aku perjuangkan hakku. Kebun kopi dan pabrik peninggalan Bapak. Bukan sekedar nominalnya, tapi keberadaan pabrik dan kebun kopi itu sangat penting bagi masyarakat sekitarku. Tak akan aku biarkan, mereka merebutnya secara paksa.

"Setahu Lilik, surat itu masih atas namamu Eva. Mereka baru mengambilnya satu bulan lalu. kamu ingat bukan, saat mertuamu datang meminta mobil baru?"

"Iya Eva ingat."

"Mobil itu untuk menantu barunya, Nayla. Dia juga sengaja, mengambil sertifikat itu, agar suatu saat Adi bisa lepas darimu dan bahagia dengan menantu pilihannya."

"Keterlaluan uwa Maria. Kita harus ambil tindakan."

"Aku tak menyangka Ibu sejahat itu padaku."

Air mata tak tertahan lagi. Keluar begitu saja dari kelopak mata. Menggambarkan hatiku yang hancur. Sakitnya tak bisa dilukiskan kata-kata.

"Jangan menangis. Kamu harus sadar, Adi bukan suami yang baik untukmu. Pantas saja, Nayla mau menikah dengan Adi. Ternyata hartanya banyak, karena jadi benalu dalam hidupmu. Mangkanya, kamu jadi perempuan jangan lemah. Ko, bisa-bisanya surat berharga kaya gitu, ada ditangan mertuamu. Jangan percaya sepenuhnya pada orang lain. Kita harus tetap berwaspada. Kalau udah kaya gini jadi runyam urusannya," cecar Gibran.

"Sudahlah, Nang. Jangan memperkeruh suasana."

"Tapi perempuan ini, terlalu bodoh, Bu. Ko bisa-bisanya kecolongan kaya gini."

Aku tak bisa membantah kata-kata Gibran. Namun, masa lalu tak bisa terulang. Semua yang sudah terjadi tak bisa dikembalikan seperti semula. Saat ini, yang bisa aku lakukan adalah mencari jalan keluar. Berpikir jernih. Mencari solusi terbaik dari masalahku. Tentunya, dengan cara halus. Orang licik, harus dilawan dengan siasat yang sama.

Mulai saat itulah, aku membuka mata lebar-lebar. Menguatkan diri dengan kenyataan pahit yang terjadi. Aku harus bangkit mengambil kembali hakku. 

Aku bersyukur, Lik Sumi dan Gibran mau membantu. Mereka bersedia mencari tahu keberadaan surat-surat berhargaku. Namun, Selama tiga bulan berlalu, Gibran dan Lik Sumi belum bisa mendapatkannya. Terpaksa, aku harus turun tangan sendiri. Untuk tinggal di rumah Ibunya Mas Adi. Agar mempermudah pencarian sertifikat tanah milikku.

Acara sunatan Habil, menjadi awal pembalasanku pada keluarga Mas Adi.

"Bagaimana, Gibran? apakah kuda lumpingnya aman?" tanyaku melalui panggilan W******p.

"Aman. Kamu lebih baik segera meninggalkan rumah Ibuku. Takutnya Adi ke situ. Karena kami sempat beradu tinju tadi. Dia pasti mencurigaiku."

"Siap. Aku memang akan pergi dari sini. Lalu, ke rumah Mbak Neli. Agar bisa menyaksikan secara langsung kekacauan di acara keluarga suamiku."

"Oke. Biar nanti ibu yang mengantarmu ke rumah Uwa Maria."

"Siap."

Aku bergegas menuju rumah Mbak Nelu. Menggunakan baju gamis berwarna navy dengan kerudung senada. Untuk penyamaran, aku pakai jaket hitam dengan selendang, dan kaca mata hitam. 

Acara sunatan ini sangat mewah. Pasti, Mas Adi diam-diam mengambil uang hasil penjualan kopi. Sebenernya, aku sudah tak rela, kalau uangku digunakan mereka. Namun, jika rekening Mas Adi aku blokir, dia bisa curiga. Lebih baik, aku kehilangan beberapa puluh juta terlebih dahulu. Dibandingkan mengorbankan sertifikat tanah.

"Kalian sangat serasi, Mas."

Nayla sedang menggandeng Mas Adi. Mereka nampak bahagia. Tiba-tiba, Mas Adi melihat ke arahku. Sepertinya dia curiga. Aku segera menyelip di antara para rombongan yang baru datang dari klinik. Bersembunyi diantara mobil-mobil para tamu.

Beruntunglah, Mas Adi tidak menghampiriku. Dari balik mobil para tamu, aku dapat menyaksikan adegan kerusuhan. Wajah Mbak Neli nampak panik. Dia pasti malu sekali. Kakak iparku yang satu ini, selalu mengendepankan gengsinya. Padahal, belum mapan secara finansial. 

Mbak Ratna ikut marah-marah. Ibu mertuaku, masih menunjukan sikapnya yang kalem. Dia memang tidak terlalu cerewet seperti anak-anaknya. Sedangkan Mas Adi, meringis kesakitan saat cambuk tepat mengenai tubuhnya. Aku hanya tersenyum penuh kemenangan menyaksikan ini.

Acara kekacauan pertama sudah selesai. Aku segera menuju mobilku. Pak supir dan Lik Sumi sudah menunggu. Sedangkan Gibran bertugas menemui para pemain kuda lumping untuk membayar jasa mereka.

"Bagaimana Ndok, aman?"

"Aman Lik. Kita jalankan rencana kedua."

"Syukurlah. Semoga mereka sedikit sadar atas kejadian hari ini."

"Mereka tak akan sadar, Lik."

"Iya juga, Ndok. Apa yang mereka lakukan, buka semata-mata hilaf. Tapi sengaja. Sabar, Ndok. Kamu pasti bisa merebut hak milikmu."

"Iya Lik. Kejahatan tidak akan pernah menang."

Lik Sumi merangkul pundakku. Memberikan kekuatan, agar aku tegar. Hanya seulas senyum yang bisa aku balas. Sebagai respon, bahwa aku berusaha kuat menghadapi semua ini.

Mbak Ratna datang menemuiku. Memberi alasan bahwa Ibu sedang ada acara di luar. Dia membujukku untuk mampir ke rumahnya. Pasti, mereka sengaja mengulur waktu untuk menyembunyikan bukti-bukti pernikahan kedua Mas Adi yang ada di dalam rumah itu. Baiklah, aku ikuti permainan mereka.

Lembayung senja menghiasai langit. Pertanda, bahwa aku harus segera ke rumah ibu mertua. Agar bisa secepatnya  memberi kejutan tak terduga kepada keluarga suamiku. Sedikit pembalasan dariku. Agar mereka cukup memahami arti disakiti.

Aku mengajak Mbak Ratna kembali ke rumah Ibu. Sedangkan Lik Sumi, memilih pulang ke rumahnya. Lik Sumi dan Gibran, akan mempersiapkan rencana selanjutnya. 

"Ibu, ya ampun Eva kangen banget."

Aku tunjukan akting ala-ala menantu baik hati dan lugu. Begitu sebaliknya. Ibu sangat ramah. Memperlakukanku, bagai anaknya sendiri.

"Eva, kenalkan ini Nayla se-"

"Oh Nayla, pembantunha Ibu yah? Lik Sumi udah cerita, ko. Baguslah kalau ibu nyewa pembantu, jadi ada yang nemenin."

"Tapi Eva, Nayla ini bu-"

"Benar Nak. Dia pembantu Ibu. Ayok, kita masuk."

Nayla menunjukan raut tak suka. Hatiku bersorak riang menyaksikan ekspresi kekesalannya. 

Misiku memperlakukan Nayla sebagai pembantu berhasil. Tak ada yang melawan. Demi harta, mereka mampu menyembunyikan rasa kesal karena perbuatanku.

Begitupula dengan Mas Adi. Dia masih saja bersikap pura-pura romantis. Sampai berusaha menggodaku untuk melayaninya. Untung, akting mengigau cukup membuatnya ketakutan, sehingga tak bisa menyentuhku.

"Kapan ibu mengambil surat itu? di mana ibu menyembunyikannya?"

"Surat itu ...."

Mas Adi, Ibu, Mbak Ratna dan Nayla sedang berkumpul di kamar. Mereka sedang membahasa perihal serrifikat tanah milikku. Suasana malam yang sunyi, membuatku bisa mendengar jelas percakapan mereka. Semoga saja, ibu memberitahu keberadaan surat berharga itu. Cepat Bu, katakanlah!

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Siti Aminah
alhamdulillah ada jga orang baik yg mau bantu eva jgn klah eva lwan trus tuh kluarga benalu
goodnovel comment avatar
Isabella
semoga ya eva
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Pelajaran Untuk Nayla

    "Kapan ibu mengambil surat itu? di mana ibu menyembunyikannya?" "Surat itu ...." Mas Adi, Ibu, Mbak Ratna dan Nayla sedang berkumpul di kamar. Mereka sedang membahasa perihal serrifikat tanah milikku. Suasana malam yang sunyi, membuatku bisa mendengar jelas percakapan mereka. Semoga saja, ibu memberitahu keberadaan surat berharga itu. Cepat Bu, katakanlah! "Surat itu, ibu simpan di ...." "Dor, lagi ngapain Kakak ipar." "Arrgh! demit!" "Hahaha, sembarangan aku dibilang setan." "Ya Allah Wi, ngagetin aja." Jantungku hampir copot karena lelucon Tiwi. Dia datang bagai jalangkung. Tiba-tiba muncul di detik-detik penting. Hampir aku mendapatkan titik terang. Tiwi malah menggagalkannya. "Eva?" tanya Ibu mertua. Mereka keluar kamar. Menatap heran ke arahku. Lebih tepatnya, menampilkan raut tegang. Pasti mereka takut aku mendengar percakapan mereka. "Dek, sejak kapan kamu di sini?" "Baru lewat." "Bohong. Orang Mbak Eva ngintip ke kamar dari tadi, hahaha." "Apa benar, Eva?" "Tidak

    Last Updated : 2022-08-26
  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Berlian Palsu

    "Si*l, dimana ibu menyimpan sertifikat milikku." Aku berkacak pinggang sambil memutar otak. Kira-kira tempat mana lagi yang belum aku geledah? Suara ngorok membuat mataku tertuju ke arah Ibu mertua. Menatap ke arah kasur. "Aha, kolong kasur." Aku tengkurap. Mata menyoroti bawah kasur. Menyalakan senter handphone agar terlihat jelas. Tak ada apa-apa di sana. Hanya debu yang yang tak terjamah sapu. Tak kehabisan akal, aku angkat spring bed. Meraba-rabanya, meski agak kesulitan karena tubuh ibu cukup berat. Nampaknya tak ada juga. Aku beralih ke bantal yang ibu tiduri. Menarik bantal dari kepalanya. Mengecek di bawah bantal, maupun sarung bantal. Tetap tidak ada. Aku menyerah. Sepertinya, lebih baik coba cara yang diusulkan Gibran. "Hallo, Gibran?" Aku hubungi Gibran diam-diam di kamar mandi. "Iya, Eva. Bagaimana, apa kamu sudah menemukannya?" "Belum, Ran. Aku tidak menemukan apapun di sini." "Aneh, padahal aku curiga surat itu ada di kamar Uwa Maria. Soalnya, setiap dia pergi

    Last Updated : 2022-08-26
  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Sertifikat

    Senyum merekah di wajah mereka. Seakan lega atas keputusanku. Mereka tidak tahu, semua ini bagian dari rencanaku. Rumah ini harus kosong, agar Gibran leluasa menjalankan rencana kami. Biarkan Nayla ikut. Di mana pun tempatnya, dia akan tetap aku perlakukan sebagai pembantu. "Wih, Asik banget kita bakal jalan-jalan sekeluarga. Bisa makan di restoran mewah. Pulangnya mampir ke mal. Iya Gak Va? nanti kamu Mbak ajak ke tempat barang-barang brended, biar makin modis." "Boleh, Mbak." "Makasih ya, Dek." Mas Adi mulai melembut kembali. Dia tersenyum bahagia. Sambil mengusap lembut tanganku. Tentunya dia gembira, karena aku mengajak semua keluarga bahkan gundiknya untuk jalan-jalan. Pasti mereka berpikir, aku rela menghamburkan uang untuk membiayai gengsi mereka. Dulu mungkin demikian. Sekarang, tentu tidak. Aku akan memberikan pelajaran berharga untuk semua keluarga Mas Adi. Agar mereka sadar, bahwa selama ini, hartaku ikut andil memberikan kebahagian kepada mereka. Jam menunjukan puk

    Last Updated : 2022-08-26
  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Ide Gila

    "Eva ...." Aku cari Eva ke segala Penjuru. Waktu menunjukan pukul 06.00 WIB, tapi dia sudah tidak ada di rumah. Akhir-akhir ini sikapnya berubah. Aku bahkan merasa asing kepada istriku sendiri. Baru pertama kali juga, dia berani melawanku dan memutuskan pisah ranjang. Ada apa sebenarnya? apa Eva sudah mengetahui perselingkuhanku? tapi tidak mungkin. "Nyari siapa Mas?" "Eva, Nay. Kemana dia?" "Gak tahu," jawab Nayla cuek. Raut wajahnya berubah karena ucapanku. "Nay, maafkan sikap Eva, yah. Mas janji, akan segera mengajak dia pulang ke Jawa. Biar kamu gak diperlakukan semena-mena lagi, sama Eva." "Gak usah. Mas emang gak pernah adil sama aku." "Bukan gitu, Nay. Kamu 'kan tahu posisiku. Bahaya kalau Eva tahu hubungan kita, sebelum hartanya dikuasai." "Mangkanya cepat kuasai harta Eva, Mas. Toh, sertifikat sudah ada di tangan kita. Tinggal alihkan atas nama kamu." "Gimana cara minta tanda tangannya Nay? kalau Eva menyadari perbuatan kita, bisa masuk penjara." "Pake cara halus."

    Last Updated : 2022-08-26
  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Serangan Jantung

    Ibu membelalak kaget. Dia langsung memegang dada bagian kiri. Meremas baju, dan meringis menahan sakit. "Bu, kenapa Bu?" Mbak Ratna yang ada di samping Ibu langsung menyanggah tubuhnya yang hampir roboh. Beruntung Mbak Ratna sigap memegangi. Jika tidak, kepala Ibu sudah menyenggol tembok. "Dada, Ibu sakit." "Kita ke rumah sakit aja, Bu. Pasti jantung ibu kumat lagi." "Ti-tidak. Antar ibu ke kamar, dan Suruh Nayla ambilkan obat Ibu." Aku memapah ibu masuk ke kamar. Kami sangat panik dengan kondisi Ibu. Namun, tidak dengan Eva. Ekspresinya sangat santai. Bahkan, dia belum menyusul kami ke kamar. "Mas, Ibu kenapa bisa gini?" Nayla datang karena di panggil Mbak Ratna. Wajahnya panik. Kami semua tak tega melihat kondisi ibu yang mulai memucat. Giginya merapat menahan sakit. "Gak tau, Nay. Buruan kasih Ibu obat." Tanpa banyak tanya lagi, Nayla membuka salah satu laci dan mengeluarkan obat. "Biar Mbak ambilin air minumnya." Dengan sigap Mbak Ratna keluar kamar mengambil minum. H

    Last Updated : 2022-08-26
  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Acara Kejutan

    Semilir angin pagi, berhembus sejuk. Terasa dari lapisan kulit terluar, lalu menusuk ke rongga-rongga hati. Memberi hawa dingin yang menyegarkan. Namun, tidak dengan hatiku dan keluarga. Sejak semalam aku tidak bisa tidur, begitu pula dengan Ibu dan Mbak Ratna. Pagi ini rasanya sangat menegangkan. Keringat dingin mengucur. Menantikan momen-momen yang paling tidak diharapkan. "Bu, bagaimana ini?" tanya Mbak Ratna saat aku menemuinya di kamar Ibu. "Ibu tidak tahu harus apa." "Tenang, Bu, Mbak. Adi yakin, keluarga besar kita tidak akan ada yang datang. Bukankah Mbak Ratna sudah membuang surat undangnya?" "Iya sih, Udah. Tapi kenapa perasaan Mbak gak enak, yah? sikap si Eva bener-bener mencurigakan. Pertama, dia memperlakukan Nayla kaya pembantu. Padahal, setau Mbak, Si Eva bukan orang yang julid kaya gitu. Kedua, dia sering pergi sendiri. Ketiga, semalam, Si Eva seakan udah tahu rencana kita. Dia kaya sengaja bawa Lik Sumi dan yang lainnya untuk ke sini, biar rencana kita gagal. Mb

    Last Updated : 2022-08-26
  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Puncak Acara

    Setelah sertifikat ada di tanganku, segera aku hubungi Gibran untuk membuat sertifikat palsu. Lalu, membuat surat pengalihan sertifikat rumah ibu, atas namaku. Gibran merupakan pria yang sangat cerdas. Dia bisa mengurus permasalahanku secara cepat dan cantik. Tanpa menimbulkan kecurigaan. Semalam baru aku menelponnya, saat pagi hari, dia sudah bisa memasukan sertifikat palsu ke dalam kotak itu. Kami yakin, Nayla akan curiga dan segera mengambilnya. Betul saja, prediksi kami tidak salah. Saat aku pergi, dia mengambilnya. Aku melihat semua aktifitas dan pembicaraan mereka lewat cctv yang sudah dipasang disegala penjuru rumah. Ketika Mas Adi memasukan obat tidur ke dalam minumanku, Gibran langsung mengirim pesan. Maka aku bisa mengantisipasi kelakuan jahat suamiku. Sehingga, mencari alasan agar Mas Adi meminumnya. Akhirnya, dia sendiri yang terlelap karena obat tidur. Pagi hari, aku pergi ke rumah Lik Sumi. Mulai menyusun rencana puncak. Gibran sampai mengorbankan waktu kerjanya, untu

    Last Updated : 2022-08-26
  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Jangan Minta Bantuan

    Ibu!" Teriakan Mbak Ratna membuatku kaget. Aku langsung berlari ke arah halaman depan. Disusul Lik Sumi dan Gibran. "Innalilah." Ibu sudah tergeletak di tanah. Dia pingsan tidak sadarkan diri. Semua anaknya menampakan raut panik. "Bu, bangun, Bu ...." "Adi, cepat bawa mobil. Ayok kita bawa Ibu ke rumah sakit," perintah Mbak Neli. Mas Adi langsung bergegas masuk kembali ke rumah. Namun, Gibran menghalanginya. "Mobil itu punya Eva. Kamu tidak berhak lagi membawanya." "Jangan halangi aku, Gibran. Apa kamu tidak lihat, ibuku pingsan!" bentak Mas Adi. "Pakai saja mobil milikku, yang telah kamu berikan untuk gundikmu itu." "Ta-tapi, Dek, itu mobilku. Ungnya kita dapatkan bersama, dari hasil penjualan kopi." "Jangan banyak berdebat. Suruh gundikan memberikan kunci mobil itu. Kunci mobilmu yang sudah ada di tanganku, tidak akan kembali." "Dasar perempuan Ibl*s. Ibuku sedang sekarat, tapi kamu masih membicarakan hak kepemilikan. Di mana hati nuranimu, Eva. Menyesal aku pernah punya

    Last Updated : 2022-08-26

Latest chapter

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   TAMAT

    "Ya Allah.""Tenang, Sayang. Kita cek saja ke kantor polisi."Kami mengangguk setuju atas usulan Gilang. Lalu, masuk ke mobil masing-masing. Awalnya Mas Gibran melarang. Takut aku mual dan merasakan gejala kehamilan lainnya. Namun, aku yakinkan dia, bahwa kondisi tubuh ini baik-baik saja. Apalagi jarak ke kantor polisi hanya satu jam. "Sayang, kamu gak ada yang dirasa?" tanya Mas Gibran di tengah perjalanan."Aku baik-baik saja, Sayang. Mas fokus nyetir, yah.""Siap, sayang. Kalau pusing, atau mual, atau lapar, bilang aja yah.""Siap suamiku."Mas Gibran mencium tangan. Sementara matanya fokus menyetir mobil. Sepanjang jalan, suamiku sangat memperhatikanku. Dia memang sedikit berlebihan. Maklum, sudah lama kami menunggu kehadiran sang buah hati. Wajar, kalau suamiku begitu menjaganya. Ditambah lagi, dia sangat mencintaiku. "Mas, kasihan sekali Salwa.""Iya, Sayang. Ko, bisa dia malah masuk rumah sakit jiwa.""Mungkin, obsesi dia terlalu tinggi. Sampai meracuni pikiran. Ya, jadi gitu

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Hamil

    "Garis dua. Ini benar-benar garis dua. Tapi garisnya tidak terlalu keliatan."Mataku melebar. Deru jantung tak karuan. Angin segar seakan berhembus kencang. Antara percaya dan tidak. Aku ngin ambruk. Badanku terduduk di kasur. Air mata berjatuhan. Bibir tersenyum. "Assalamualaikum.""Eva!"Teriakseseorang dari pintu depan, membuatku sadar. Aku hapus air mataku. Bergegas menuju pintu depan."Rani, kamu ada di sini?""Iya, Eva. Maaf aku gak ngabarin. Sekalian ada urusan bisnisnya Mas Gilang di daerah sini. Jadi, aku sengaja mampir ke sini.""Gilangnya mana?""Aduh, maaf, Va, kerjaan dia numpuk banget. Katanya nanti nyusul. Aku saja sampe dicuekin. Jadi, sengaja ke sini deh, biar gak gabut di hotel.""Owalah, ya sudah, ayok masuk."Rani aku suruh duduk di sofa. Sementara aku membawakan satu cangkir teh hangat. Udara di sini terasa dingin, meski sudah mau beranjak siang hari. Badanku sedikit lemas. Masih terbayang-bayang dua garis merah tadi. Namun, aku harus bersikap biasa di depan Ra

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Rani Siuman

    "Tidak, Di. Kamu beruntung sekali sudah punya bayi kecil yang lucu," jawab Mas Gibran dengan senyum sendu. Sambil menepuk pundak Mas Adi. "Sabar, Ran. Kamu orang baik. Pasti, banyak jalan biar kalian bisa dihadirkan apa yang kalian inginkan.""Aamiin."Aku menggandeng Mas Gibran dengan erat. Kami saling bertatapan. Kata-kata Mas Adi memberi semangat tersendiri untuk kami.Percaya, bahwa banyak jalan menemukan kebahagiaan. Masih banyak pejuang garis dua yang sudah berjuang hampir puluhan tahun. Maka, bagi kami yang belum lama berjuang, tak ada alasan untuk mencoba, apalagi menyerah.Semuanya butuh proses. Asal terus berusaha dan berdoa. Insyallah, hasil tidak akan menghianati. Pasrahkan diri, dan terus memohon. Semesta pasti memberi jalan."Kalian hebat, bisa bangkit lagi secepat ini."“Alhamdulilah, Mas. Semoga bisnis ini bisa terus berjalan lancar. Biar bisa terus membuka peluang usaha untuk orang lain.”"Aamiin. Tentu, dong. Termasuk membuka peluang usaha buatku. Aku yakin, dalam b

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Cinta Penuh Haru

    "Panggil Dokter, cepat!" perintah Pak Hakim.Gilang bergegas keluar ruangan. Sementara Mas Gibran malah memeluk pinggangku. Kami bagaikan penonton yang sedang menyaksikan adegan penuh haru. Saksi cinta seorang ayah kepada anaknya yang mampu memberi kekuatan tersendiri. Sehingga, Rani bisa berjuang keras melawan kondisinya yang sedang tidak baik-baik saja. "Sayang, bertahanlah. Ayah mohon."Suasana makin tidak karuan. Harapan dan kecemasan jadi satu. Apalagi saat melihat dokter tampak tegang memeriksa Rani, karena mendadak dia kejang. "Rani, bangunlah. Ayah menunggumu, Nak.""Dokter bagaimana kondisi istri saya?""Iya, Dok. Bagaimana kondisi anak saya. Kenapa dia tidak bangun, padahal tadi tangannya bergerak.""Maaf, Pak. Saya belum bisa memastikan secara pasti kapan Ibu Rani akan siuman. Namun, gerakannya tadi bisa menjadi pertanda baik. Dia merespon perkataan kalian. Maka, kita harus terus berdoa. Semoga secepatnya Ibu Rani bisa siuman.""Ya Allah, Rani. Bangun, Nak.""Sabar, Pak.

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Bertemu Ayah

    "Aku izin menghubungi Mas Adi dulu, Mas.""Iya sayang. Semoga Pak Hakim bisa ke sini.""Aamiin. Semoga kehadiran Pak Hakim bisa membuat Rani cepat sembuh."Aku bergegas menelepon Mas Adi. Sengaja menggunakan fitur pengeras suara, agar Mas Gibran ikut mendengar percakapan di antara kami. "Halo, Mas.""Iya, Eva. Bagaimana kondisi di sana.""Tidak baik-baik saja, Mas." Aku ceritakan kondisi yang terjadi di sini. Mas Adi ikut perihatin. Dia juga merasa was-was dengan keadaan kami di sini."Mas, tolong bilang pada Dokter Pak Hakim, beliau diajak ke sini. Agar bisa bertemu dengan anaknya.""Baiklah, Eva. Aku akan menanyakannya dulu. Kamu dan Gibran tenanglah di sana. Mas akan berusaha membantu kalian semaksimal mungkin.""Terima kasih, Di.""Sama-sama, Gibran. Kalian harus waspada. Takutnya perempuan gila itu melarikan diri.""Iya, Mas. Semoga saja tidak.""Ya sudah, aku langsung ke rumah sakit lagi. Semoga diizinkan. Aku yakin bisa, karena kondisi Pak Hakim tampak lebih baik.""Aamiin.

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Akad Nikah Gagal

    “Mbak Rani, Mas Gilang?” Salwa kaget dengan kehadiran kakaknya. Tentu semua ini di luar perkiraannya. Aku sudah memasang kamera tersembunyi di kamarnya. Agar bisa mengambil langkah lebih dulu dibandingkan Salwa.Mas Adi juga sudah berhasil mengamankan keberadaan Pak Hakim. Pria paruh baya itu sedang dirawat di rumah sakit dekat rumah Mas Adi. Sementara Rani dan gilang, aku perintahkan hadir ke sini, untum menjadi saksi di kantor polisi. Sekaligus membongkar kejahatan-kejahatan adiknya."Ke-kenapa ada Mbak Rani dan Mas Gilang. Aku sudah bilang, jangan mengundang mereka," ucap Salwa naik pitam.Wajahnya berubah seram. dia mulai menyadari kejahatannya akan terbongkar. Aku sudah siap siaga. Sebenarnya tamu yang hadir merupakan para polisi yang sedang menyamar. Area rumah ini juga sudah dijaga beberapa karyawan pria Mas Gibran. Agar bisa mengantisipasi kalau Salwa berani kabur."Ini hadiah dariku Salwa. Aku ingin dihari bahagi ini, disaksikan kakamu tercinta.""Tidak. Kamu sudah melanggar

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Kekacauan Di Acara Pernikahan

    "Apa?""Maaf, Bos. Tiba-tiba semua orang di rumah ini pingsan, lalu saat kami memeriksa kamar bapak, kamarnya kosong.""Bodoh. Kenapa kalian sangat ceroboh!" sentakku emosi. Sialan. Siapa yang sudah menculik ayah. Berani-beraninya bermain-main denganku. Aku bingung harus bagaimana. Tak mungkin pulang. Besok acara akad nikah. Namun, jika tidak bisa ditemukan, Mas Gibran bisa curiga. "Tangkap Rani, dan Gilang. Kalau ini semua ulah mereka, sakiti saja mereka. Kalau tidak, cepat cari di mana pun keberadaan ayah. Kalau tidak, kamu tahu akibat.""Ba-baiklah, Bos."Sambungan telepon aku matikan dengan emosi membuncah. Aku banting ponsel ke kasur. Tidak jadi istirahat. Aku harus memikirkan cara untuk mengatasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi. Sampai jam menunjukan waktu dini hari, aku belum bisa tidur. Masih menunggu kabar tentang ayah. Para anak buah tak bisa diandalkan. Hanya menangkap Rani dan Mas Gilang saja butuh waktu berjam-jam. Tak mau terus dihantui rasa kesal, dan

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Persiapan Pernikahan

    POV Salwa"Mas, aku mau gaun pernikahan yang cantik, dan bunga melati asli," ujarku sangat bahagia saat ada di dalam mobil. Semakin hari, sikap Mas Gibran semakin manis saja. Dia mengajakku mencari keperluan untuk pernikahan. Sering-sering saja Mas Gibran dan Mbak Eva ribut. Agar aku punya kesempatan mendapatkan hati Mas Gibran sepenuhnya. "Iya, kamu pilih saja yang kamu mau.""Aku juga pengen kita tetap mengundang warga sekitar. Biar aku tetap diakui sebagai istrimu.""Soal itu tentu, Sal. Aku pasti mengundang warga sekitar sebagai saksi.""Bagus, Mas."Bibirku merekah bagai bunga mawar. Tak menyangka bisa ada di posisi ini. Aku pikir, dekat lagi dengan Mas Gibran hanya mimpi. Nyatanya, dia akan menjadi suamiku. Kami akan hidup bahagia. Memiliki anak-anak yang lucu. Lalu, Mbak Eva tinggal didepak sesuka hati.“Mas, aku mau makan di restoran terenak di daerah sini.”“Baiklah.”Setelah berkeliling mencari kebaya dan MUA yang bagus, aku ajak Mas Gibra. Ternyata cukup melelahkan juga m

  • Kukacaukan Acara Keluarga Suamiku   Eva Beraksi

    POV Eva "Aduh, kenapa perempuan itu sadar keberadaan cctv yang baru aku pasang kemarin?" tanya pada diri sendiri. Tadi, sekilas aku mendengar pembicaraan Mas Gibran dengan Salwa. Semua yang terjadi, merupakan hasil rekayasa antara aku dan Mas Gibran. Aku sengaja menyuruhnya pergi ke kota. Agar aku bisa memasang cctv dengan leluasa di rumah ini. Terutama di kamar Salwa, dan depan pintu kamarku. Video-video itu akan menjadi bukti akal bulus perempuan kegatelan itu. Semalam, aku pura-pura ribut dengan Mas Gibran. Sengaja, agar mempermudah mencari alasan untuk mempercepat acara pernikahan pura-pura antara Mas Gibran dan Salwa. "Aku mengajak Salwa keluar dulu, Sayang. Agar dia tidak curiga soal cctv di rumah ini.""Iya, Mas. Hati-hati. Buat dia terlena dengan rayanmu. Agar aku bisa dengan bebas menemukan banyak bukti untuk membongkar kejahatannya.""Siap, Sayang.""Oh, iya, barang bukti yang kamu temukan di pabrik, apa sudah diperiksa polisi?""Dalam proses penyelidikan Mas. Jepitan d

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status