"Tenanglah, Mir.""Tolong telepon kakak dan orang tuaku, Mas," perintahku dengan kondisi lemas. Aku butuh kehadiran mereka di tengah keterpurukan ini. Hatiku hancur lebur. Berterbangan bagai debu-debu di jalan. Namun, semua ini sudah garis takdir yang tertuliskan. Sekeras apapun pecutannya, aku harus kuat. Semesta tak akan mencoba hambanya melebihi batas kemampuan.Apa yang terjadi, pasti memang itu yang terbaik. Bukan berarti Gusti Allah membenciku, karena tidak mau mengamanahkan anak ini lebih lama denganku. Namun, pasti ada hikmah yang terselip di dalamnya. Allah tergantung pada prasangka hambanya. Aku tak mau berburuk sangka. Malah menambah pikiran semakin tak karuan. Bagaimanapun, sejujurnya aku ingin menyalahkan takdir. Akan tetapi, hati dan mulut terus mengucap istigfar. Supaya setan tidak bisa membisikan kemungkaran, yang nantinya malah jadi kerusakan pada hidupku. "Tenang, yah, Mir, kamu masih bisa punya anak lagi," ujar ibu mertuaku, mengelus kepala. Tidak aku tanggapi. T
"Mir, lu tenang dulu. Sekarang, pikirin kesehatan lu dulu. Baru deh, kasih pelajaran sama suami lu.""Aku udah sehat, Ra. Semua ini harus dibongkar secepatnya.""Kamu yakin, Mir?" tanya Mbak Rina."Iya, Mbak. Mamah dan Bapak harus tahu juga, gimana kelakuan menantunya. Setelah itu, baru Mira urus semuanya di pengadilan.""Apa kamu tidak akan menyesal dengan keputusanmu, Mir?""Apa yang harus disesali, Mbak. Seharusnya, kemarin Mas Adam menggunakan kehamilanku sebagai kesempatan untuk memperbaiki diri. Mungkin, aku akan benar-benar memaafkannya. Nyatanya, dia masih berulah.""Baiklah kalau kamu sudah mantap.""Terus, lu mau gimana, Mir?""Aku mau Mas Adam mempertanggung jawabkan kebohongannya.""Mir, jangan kenceng-keceng ngomongnya. Nanti suami lu nguping. Dia tuh, udah curiga banget sama gua. Sampe pernah ngancem gua. Untung ada Bumi, jadi gua gak takut diancem-ancem suami lu.""Tenang saja, Mbak udah nyuruh Mas Hafidz jagain Si Adam. Gak bakal ada kesempatan buat dia nguping pembica
"Arrgh, jangan pukuli anakku!" teriak ibu mertua. Menarik Mas Adam menjauh dari Bapak. "Pak, sudah, Pak," ucapku mengelus dada Bapak. Mas Hafidz dan ibu mertua berhasil melepaskan Mas Adam dari cengkraman Bapakku. Nafas bapak naik turun tak menentu. Wajahnya memerah bagai minyak panas yang menggolak-golak. "Pergi kau!" sentak bapak mengusir Mas Adam. Bapakku tipe pria pendiam. Tak suka mengumpat, tapi beginilah jika marah. Bukan kata yang dikeluar, langsung memberi pelajaran orang yang menyakiti putrinya.Air mataku menetes. Terharu dengan sikap bapak. Ada sedikit rasa tak enak. Sedih, membuat bapak harus emosi seperti ini. "Pak, tenang. Kita bicarakan dulu semuanya.""Pak, maafkan Adam, Pak. Adam terpaksa tidak menceraikan Diana, karena dia tengah hamil."Mas Adam memegangi kaki bapak. Dia menunjukan wajah penuh penderitaan. Memohon dan mengemis maaf di kaki bapakku."Astagfirulloh, jadi kamu sudah menikah dengan perempuan itu?" tanya Mamah makin syok."Maaf, Mah. Setelah anak i
POV Adam "Aarrgh, Sialan!" Aku mengacak rambut frustasi. Sialan. Mira malah menghinaku dengan uang seratus ribu. Kalau tidak ingat butuh uang untuk beli kopi dan rokok, sudah aku buang uangnya. "Silakan duduk, kita akan mulai sesi mediasi."Hari ini, agendanya mediasi antara aku dan Mira. Semoga saja, aku bisa meluluhkan hatinya. Lagi-lagi aku kecolongan. Pasti semua ini karena Si Tiara. Mungkin, sahabat Mira juga dibantu si Bumi. Mereka memang selalu menggagalkan rencanaku saja. Padahal, aku sudah bermain rapi. Diana malah kecolongan. Perempuan itu memang keras kepala. Aku suruh dia hati-hati, atau pindah jauh dariku. Dia malah menolak, dan akhirnya kebohongan kami terbongkar. Kalau sudah begini, bingung harus bagaimana lagi? kehabisan akal untuk meluluhkan Mira. Dia perempuan sangat cerdik. Diamnya begitu menghanyutkan. Bagai bom yang ampun membom bardir pertahananku."Apa lagi yang harus diomongkan, Pak. Sudah jelas suami saya selingkuh. Buktinya banyak. Apalagi saya bisa bawa
"Sa-saya dipecat, Pak?" Pak Hendri hanya mengaguk. "Pak, kenapa saya dipecat?""Kamu sudah sering tidak masuk kerja. Kamu pikir, ini perusahaan nenek moyangmu.""Tapi gak bisa langsung pecat gitu ajah dong, Pak. Saya minta kesempatan sekali lagi.""Maaf, Dam, tidak bisa. Saya hanya menjalankan keputusan atasan.""Pak, tolong berikan saya kesempatan sekali saja. Saya sangat butuh pekerjaan ini. Saya harus menanggung kebutuhan istri, calon anak, ibu dan adik saya.""Aduh, kamu ini bikin pusing saja. Malah curhat segala. Sesuai perintah atasan, kalau mau protes kamu suruh menghadap Pak Bumi.""Bumi?""Iya, dia itu anak pemilik perusahan ini. Kamu 'kan sahabatnya. Tahu saja bisa minta nego.""A-apa, anak pemilik perusahaan. Gak mungkin, Pak. Bumi itu cuman manajer. Tidak lebih.""Gimana sih, masa kamu tidak tahu kalau dia anak pemilik perusahaan. Bukannya dia yang masukin kamu ke sini? kalau tidak punya kekuasaan, mana mungkin dengan mudah kamu masuk sini. Sudah jangan banyak protes. Kal
"Bu, jangan begitu. Aku ini istri anakmu. Jadi, kamu harus menerima aku juga," ujar Diana membela diri."Siapa yang mengakui kamu sebagai menantu hah? tidak sudi. Gara-gara kamu, masa depan cerah anakku jadi hilang. Bisa-bisanya malah memeprtahanakan perempuan miskin kaya kamu.""Dijaga mulutnya, Bu. Anak ibu yang kegatelan sama aku. Enak saja aku yang disalahkan.""Terserah kamu mau ngomong apa. Cepat pergi dari rumahku!""Tidak!""Pergi!""Stop. Jangan bertengkar!""Mas, ngomong dong sama ibumu. Tega banget aku gak boleh tinggal di sini. Ya sudah, kalau aku gak boleh di sini, kamu pindah saja ke kontrakan sama aku.""Enak saja. Tidak boleh. Adam harus tetap di sini. Bisa-bisa kamu menguasai anakku. Pasti kamu sengaja ke sini karena mau kebagian duit jual mobil juga 'kan? dasar mata duitan.""Dijaga mulut julidnya, Bu. Aku memang berhak atas uang Mas Adam. Aku istrinya!"Dua perempuan di hadapanku terus adu mulut. Tidak ada yang mau mengalah. Dua-duanya sama-sama keras kepala. Bisany
Persidangan dimulai. Awalnya, semua berjalan sesuai kemauanku. Namun, saat pihak Mira menanyakan mobil, mereka marah dan tidak setuju atas tindakanku. Tanpa sepengetahuan Mira aku menjualnya. Maka dari itu, pihak Mira menolak membagi kekayaan lain atas nama kami berdua. Hanya rumah dan mobil yang termasuk harta Gono gini. Ternyata, perusahaan, dan mobil Mira yang satunya bukan termasuk harta gono gini. Ternyata, Mira memiliki harta tersebut sebelum menikah dariku.Sialan. Kenapa sejak dulu aku tidak paham soal perusahaan itu? Mira terlalu pintar menyembunyikan asetnya. "Mir, pokoknya rumah kita harus dijual, dan uangnya bagi dua," ujarku saat selesai persidangan."Bukannya kamu sudah mendapatkan uang dari penjualan mobil? Masih beruntung aku tidak menggugat soal itu. Tidak sopan, main jual aset sesuka hati.""Sudahlah, Mir, kamu ini banyak duitnya tapi pelit naudzubillah. Aku sudah dipecat dari perusahaan tempatku kerja. Harusnya kamu memberikan hakku, malah menahannya."“Hak apa ma
"Dam, apa kata dokter?" tanya ibu saat aku sudah kembali di sampingnya. "Ela harus menjalani operasi, Bu.""Emang aku sakit apa, Mas? kenapa kaki kananku gak bisa digerakkan. Sakit banget.""Tenang, La. Kaki kamu patah tulang. Masih bisa disembuhkan. Hanya saja, harus dioperasi.""Bu, pokoknya Ela harus sembuh, Bu. Ela malu, Bu," rengek Ela penuh air mata. "Iya, Sayang. Tenang, yah. Ibu pasti akan mengusahakan kesembuhan kamu.""Tapi, Bu, biayanya gede banget. Operasinya saja dua puluh juta. Belum lagi biaya rawat inapnya.""Dam, jangan bilang kaya gitu. Pokoknya kita harus mengusahakan kesehatan Ela. Kasihan adikmu. Kalau dia tidak bisa jalan lagi, pasti hidup Ela bakal menderita banget. Adikmu itu perempuan. Jadi, fisik sangat penting, Dam.""Iya, Mas. Pokoknya aku harus sembuh, Mas," rengek Ela. "Iya, iya. Kamu harus berjuang buat sembuh. Mas akan berusaha buat bayarin semuanya. Untuk beberapa bulan ini, mau tidak mau, untuk biaya makan, kita harus mengandalkan uang dari warung