Persidangan dimulai. Awalnya, semua berjalan sesuai kemauanku. Namun, saat pihak Mira menanyakan mobil, mereka marah dan tidak setuju atas tindakanku. Tanpa sepengetahuan Mira aku menjualnya. Maka dari itu, pihak Mira menolak membagi kekayaan lain atas nama kami berdua. Hanya rumah dan mobil yang termasuk harta Gono gini. Ternyata, perusahaan, dan mobil Mira yang satunya bukan termasuk harta gono gini. Ternyata, Mira memiliki harta tersebut sebelum menikah dariku.Sialan. Kenapa sejak dulu aku tidak paham soal perusahaan itu? Mira terlalu pintar menyembunyikan asetnya. "Mir, pokoknya rumah kita harus dijual, dan uangnya bagi dua," ujarku saat selesai persidangan."Bukannya kamu sudah mendapatkan uang dari penjualan mobil? Masih beruntung aku tidak menggugat soal itu. Tidak sopan, main jual aset sesuka hati.""Sudahlah, Mir, kamu ini banyak duitnya tapi pelit naudzubillah. Aku sudah dipecat dari perusahaan tempatku kerja. Harusnya kamu memberikan hakku, malah menahannya."“Hak apa ma
"Dam, apa kata dokter?" tanya ibu saat aku sudah kembali di sampingnya. "Ela harus menjalani operasi, Bu.""Emang aku sakit apa, Mas? kenapa kaki kananku gak bisa digerakkan. Sakit banget.""Tenang, La. Kaki kamu patah tulang. Masih bisa disembuhkan. Hanya saja, harus dioperasi.""Bu, pokoknya Ela harus sembuh, Bu. Ela malu, Bu," rengek Ela penuh air mata. "Iya, Sayang. Tenang, yah. Ibu pasti akan mengusahakan kesembuhan kamu.""Tapi, Bu, biayanya gede banget. Operasinya saja dua puluh juta. Belum lagi biaya rawat inapnya.""Dam, jangan bilang kaya gitu. Pokoknya kita harus mengusahakan kesehatan Ela. Kasihan adikmu. Kalau dia tidak bisa jalan lagi, pasti hidup Ela bakal menderita banget. Adikmu itu perempuan. Jadi, fisik sangat penting, Dam.""Iya, Mas. Pokoknya aku harus sembuh, Mas," rengek Ela. "Iya, iya. Kamu harus berjuang buat sembuh. Mas akan berusaha buat bayarin semuanya. Untuk beberapa bulan ini, mau tidak mau, untuk biaya makan, kita harus mengandalkan uang dari warung
POV Mira "Mir, itu siapa dah, ko, rumah lu kebuka?" tanya Tiara sesampainya kami di rumah."Jangan-jangan ada maling, Mir.""Ah, masa sih.""Ya iyalah, Mir. Mangkanya Lu jangan simpen kunci sembarangan.""Ya gimana, aku lupa, Mir. Biasanya emang suka disimpen di situ. Dulu kalau aku pulang kerja lama, takut Mas Adam pulang duluan, jadi kunci suka ditinggal.""Ya ampun, Mir. Lu belom bisa move on?""Ya bukan gitu. Soal perasaan sudah tidak ada. Tapi, soal kebiasaan ya, masih belum bisa lupa.""Ya udah, ayok turun. Bahaya tuh, takutnya ada maling."Aku dan Tiara turun dari mobil. Awalnya kami pulang ke sini hanya untuk mengambil beberapa berkas yang ketinggalan. Kebetulan, aku lupa membawa file penting. Jadi, mau tak mau harus pulang lagi ke rumah. "Mir, kita jangan gegabah. Kita harus hati-hati. Nih, lu pegang sapu. Biar gua pegang nih, pot bunga. Kalau di dalem ada penjahat, langsung gua timpuk pake nih, pot.""Jangan asal timpuk, Ra. Kita amati dulu, tahu ajah bukan maling.""Halah
"Mira!"Teriakan itu semakin kencang saja. Orang dibalik pintu terus berusaha membuka pintu. Aku berusaha mengumpulkan nyawa setelah bangun tidur. Perlahan beringsut dari tempat tidur. Ada sapu di dekat pintu. Aku ambil saja sebagai alat untuk mempertahankan keselamatan diri, jika orang dibalik pintu benar-benar orang jahat.Kunci pintu kamar aku buka. Aku persiapkan diri dan posisi untuk memukul maling."Arrgh!" teriakku berusaha memukul. Namun, orang itu malah bergerak cepat memelukku."Mir, syukurlah kamu tidak kenapa-kenapa."Suara itu aku sangat kenal. Bau parfum dan postur tubuh orang yang memeluku bisa aku kenali. Walaupun belum melihat wajahnya, aku tahu pria ini adalah Bumi."Mir, aku akan selalu ada di sampingmu. Jangan putus asa, apalagi sampai mau mengakhiri hidup.""Hah? mengakhiri hidup? maksudnya gimana?" tanyaku sambil melepaskan pelukan Bumi."Iya, Mir. Tiara bilang kamu dalam kondisi kacau karena dihina mantan suamimu. Lalu, kamu mengurung diri di rumah. Tiara takut
"Maaf, Mir. Aku hanya tidak mau kamu dihina kaya tadi," ujar Bumi tersenyum sambil melepaskan genggaman tangannya. "Makasih, Bumi," bisikku tepat di kuping Bumi. Dari belakang, Mas Adam terlihat kesal dengan kedekatanku dengan Bumi.Aku duduk di kursi panas dengan senyum mengembang. Menunggu hakim membacakan keputusan sidang. "Dengar, Mir, rumah tetap harus dijual," bisik Mas Adam ketika hakim membacakan putusan tentang harta gono gini. Hakim menerima permintaan Mas adam untuk membagi rata uang penjualan mobil dan rumah. Walaupun mobil sudah dijual, Mas Adam berjanji akan membayarnya. Akhirnya, hakim memutuskan rumah juga harus dibagi dua. Tidak bisa hanya untukku, karena harga mobil tidak sebanding dengan harga rumah. "Terima kasih, sidang kami tutup," ujar Hakim setelah hampir satu jam melakukan sidang. Menyimpulkam hasil persidangan kalau aku dan Mas Adam resmi berpisah. "Mira, jangan lupa secepatnya rumah itu akan dijual. Mangkanya jangan serakah, akhirnya kembali ke tangan p
"Dasar mata duitan," lirihku sedikit kesal."Kamu bilang apa, hah?""Enggak, Bu. Silakan duduk. Kita bicarakan di dalam.""Gitu, dong."Aku persilahkan mereka duduk di ruang tamu. Beruntung Diana tidak ada. Jika dia juga ikut, makin panas saja suasana pagiku. Dengan langkah sedikit malas, aku ambil catatan mutasi rekening yang sudah diberikan karyawanku. Membawanya di depan ibu dan Mas Adam. Berserta jumlah total, dan cek untuk pembayaran."Nih, Bu, silakan dibaca hasil rekapan pinjam ibu, Ela sama Mas Adam."Aku serahkan catatan dan dokumen bukti kepada ibu. Wajah ibu mendadak merengut. Gelombang kekesalan mulai terbentuk. Sepertinya, pagiku kali ini, akan berjalan menyebalkan karena ulahnya. "Ini gak salah? lima puluh juta. Banyak banget," ucapnya sambil geleng-geleng kepala. "Sesuai data mutasi dan rekening koran yang aku print, ibu bisa menjumlahkan sendiri kalau mau. Kalau enggak, coba ingat-ingat saja seberapa sering ibu minta uang sama aku.""Lah, gak mungkin sebanyak ini. I
POV Adam "Asyik, uang kita banyak, Dam," ujar ibu setelah kami mencairkan sekitar 50 juta di bank. Walaupun aku sedang memegang uang banyak, rasanya hatiku tidak bahagia. Apalagi, melihat Mira sangat dekat dengan Bumi. Sialan Si Penghianat. Bisa-bisanya dia bergerak cepat mencari perhatian Mira. "Wah, wah, dapat uang nih. Mana bagianku, Mas?" tanya Diana mendekat. Ibu langsung memeluk uang-uang di tangannya. Dia menatap tajam ke arah Diana. "Biasa ajah dong, Bu. Gak inget Mas Adam bisa dapet duit karena ide aku juga.""Halah, ide yang mana? ide kamu itu gagal. Bikin kacau saja.""Pinter banget yah, ngomongnya. Kalau udah dapet uangnya saja. Pura-pura lupa sama bantuanku.""Dam, kirim sisa uangnya sama ibu. Kalau ditangan kamu, nanti habis sama perempuan ini.""Jangan serakah dong, Bu. Aku sebagai istri Mas Adam juga berhak dapet uangnya. Buat keperluan lahiran, dan kebutuhan lainnya.""Biar ibu yang ngatur soal keperluan lahiran. Bisa minta bekas baju anak saudara. Gak usah beli.
"Gimana, Dam? ada gak ATM-nya?""Gak ada, Bu. Aduh, ke mana ATM aku, Bu."Diriku mulai panik. Aku banting dompet yang hanya berisi lima lembar warna merah. Frustasi, dan kesal. Siapa yang berani mengambil ATM milikku? tidak mungkin jatuh. Aku simpan di bagian dompet yang ada resletingnya. Tidak mungkin jatuh begitu saja. Pasti ada yang mengambil. "Aduh, ada-ada aja. Ibu mana tahu ATM kamu. Walaupun ibu butuh duit, tapi ibu gak berani buka-buka dompet kamu, Dam.""Ya, terus siapa, Bu. Mana uang Adam dipakai banyak banget. Hampir lima belas juta. Jangan-jangan selama ini uang Adam emang ada yang ambil diam-diam. Pantesan cepat habis," gerutuku kesal."Ibu mana tahu, Dam. Coba cari dikasur, atau di bengkel. Tahu aja jatuh atau keselip.""Gak mungkin, Bu. Adam simpennya di bagian paling rapih di dalam dompet. Arrgh, terus gimana ini, Bu."Ibu hanya terdiam sambil berusaha menenangkanku. Aku tarik rambut frustasi. Kemana duitku? sialan, aku terlalu lengah. Tidak teliti mengecek saldo. Mun
"Mas, ko, datang ke sini?" tanya Alina merangkul pria itu.Kami semua langsung bengong. Kecuali ibu mertua, sepertinya dia sudah tahu. Siapa pria itu? kelihatan sangat dekat dengan Alina."Kalian kenapa pada bengong?""Hehehe, enggak, Tante. Dia siapa Tante, kayanya Kahfi pernah ketemu.""Itu Wendi, Kahfi.""Om Wendi siapa, Mbah?""Kenalkan saya calon suaminya Alina." Pria itu menyalami kami semua. Aku cukup kaget saat dia mengenalkan diri sebagai calon suami Alina. Tapi, kabar ini cukup baik."Biasa aja dong, Mbak Mira. Jangan bengong. Katanya aku gak boleh jadi perebut suami orang terus. Ya udah, nih, aku buktiin cari pria lajang. Ya, walaupun duda anak satu. Setidaknya aku gak merebut punya orang.""Bagus dong. Mas mendukung kamu, Alina. Segeralah menikah, tak usah acara yang mewah, asal segera sah.""Iya Mas Hafidz tenang saja.""Mira, maafkan ibu kalau selana ini sering menyakiti hati kamu. Ternyata kamu ini memang perempuan yang sangat dicintai Hafidz. Ibu gak bakal tega memisa
"Ma-maksudnya Diana sudah meninggal?""Sesuai yang kalian lihat. Dia meninggal karena terkena penyakit paru-paru. Perempuan itu emang aneh, dia sendiri yang menyerahkan Salma pada kalian, tapi dia yang terus menerus meratapi anaknya.""Semua ini terjadi karena kesalahanmu juga, Max. Diana pernah datang padaku dengan kondisi banyak luka. Jangan-jangan dia meninggal karena kamu juga bersikap kasar sama dia.""Hahahaha, iya betul. Aku memang tidak suka dengan perempuan itu. Sudah aku bilang jangan mengurus bayi sialan. Dia malah berani membawanya. Bayi itu sama mengesalkan dengan Diana, berkali-kali aku coba membunuhnya tetap saja tidak berhasil. Ini semua karena kalian, orang asing yang malah ikut campur.""Ja-jadi semua ini ulah Om Max? kemarin Om bilang ibu meninggal hanya karena sakit. Ternyata ... Om jahat. Om mau membunuhku, dan juga sudah berhasil membunuh ibuku.""Kamu salah, anak cantik. Bukan hanya ibumu yang aku bunuh, bapakmu juga. Dia aku beri racun saat di penjara.""Astaga
"Kamu anak laki-laki yang bisa ayah andalkan, jaga Mamah di sini, biar Ayah yang datangi diskotik itu.""Ya elah, Yah, emang kenapa kalau Kahfi ikut. Kalau ada Kahfi bisa makin kuat ngelawan musuhnya, Kahfi ini pinter bela diri, ayah 'kan tahu Kahfi juga pernah juara di bidang pencak silat.""Bukan waktunya berdebat, Kahfi."Mas Hafidz masuk ke kamar Heri. Mereka berdua mengobrol di sana untuk membahas rencana penggerebekan. Zea harus secepatnya diselamatkan. Aku temui Kahfi di kamar tamu. Dia tampak jengkel, mukanya ditekuk, sambil murung."Ikuti kata Ayah, Kahfi Sayang. Bukan waktunya buat ngambek. Kita ada dikondisi genting.""Iya, Mah," jawab Kahfi malas. Aku tinggalkan saja dia di kamar agar bisa istirahat. ***Keesokan malamnya, Mas Hafidz dan Heri sudah mendapat informasi terkait Max. Meliputi latar belakangnya, sekilas tentang bisnis ilegalnya, dan tempat persembunyian. Menyewa detektif memang lebih cepat mendapat banyak informasi.Kami juga bersekongkol dengan pihak polisi.
Pov Mira"Mas, mana Zea katanya di hotel ini?" tanyaku mengedarkan pandangan ke seluruh area hotel. Mas Hafidz mengajakku bertanya pada resepsionis. "Maaf Mbak, lihat anak perempuan sekitar kelas dua SMA, pakai hijab, kulit sawo matang, namanya Zea.""Oh, Adek bernama Zea. Tadi ada di sini, Pak, katanya dia menunggu keluarganya datang. Tapi, terkahir saya lihat dia keluar dan gak balik lagi. Saya pikir sudah dijemput orang tuanya.""Astagfirulloh, jangan-jangan ada yang berbuat jahat sama Zea, Mas.""Tenang, Sayang. Kita telpon Kahfi lagi.""Hallo, Kahfi?""Iya, Yah, udah ketemu Kak Zea?""Dia gak ada di sini. Apa kamu tahu ke mana kira-kira dia pergi?""Gak ada di situ? Kahfi udah nyuruh Kakak nunggu di situ aja. Pasti ada yang culik Kakak Zea. Soalnya pas telpon dia bilang udah berhasil ngelawan orang jahat. Pasti ada yang yang gak beres, Yah.""Astagfirulloh."Persendianku semakin lemas. Baru dapat kabar bahagia, sudah dihujam kenyataan pahit. Mungkin bahaya sedang mengincar anakk
"Ini uang buat bekal kamu di Jakarta. Kamu pergi ke alamat yang sudah Tante tulis, yah.""Beneran gak Tante ini alamat ibu kandung aku?""Iya, cari aja pria bernama Max, itu suami Ibu kamu saat ini."Sebenarnya aku ragu dengan informasi yang diberikan Tante Alina. Secara selama ini perempuan itu judes dan malah suka menjelek-jelekkanku di depan Mbah. Namun, aku juga penasaran. Mamah juga pernah bilang kalau dia dulunya tinggal di Jakarta. Jadi, bisa saja ucapan Tante Alina benar. "Ya udah, Zea pamit dulu, Tante. Nanti bilang aja sama Mamah kalah Zea ke alamat ini.""Iya, gampang. Kamu matiin aja hapenya, jangan dulu di aktifin."Aku mengangguk. Kebetulan ponselku memang sedang lowbet. Aku nekat ke Jakarta naik bis tanpa sepengetahuan Mamah dan Ayah. Kalau mereka tahu, tentu tak akan setuju. Aku memang bahagia diasuh mereka. Sama sekali tidak kekurangan kasih sayang. Tetapi, aku juga ingin bertemu orang tua kandungku. ***"Ini alamatnya?" tanyaku heran. "Ponsel? arrgh, ke mana ponse
"Zea buka pintunya, Sayang.""Kak Zea buka pintunya. Kita semua sayang sama Kak Zea. Jangan dengerin nenek."Berkali-kali mengetuk pintu tak ada jawaban. Aku paham, perasaan Zea pasti sangat hancur. Meski aku bukan ibu kandungnya, tetapi perasaanku juga ikut terluka. Zea sudah seperti anakku sendiri. Kenapa semuanya terbongkar dengan cara seperti ini?"Zea ... maafin Mamah, yah, Sayang," ujarku menangis. "Mah, kita biarkan Kak Zea menenangkan diri dulu, Mah. Dia pasti butuh waktu menerima semua ini."Aku hanya mengangguk lemas. Biar zea tenang dulu. Aku melangkah menjauh dari kamarnya. Ibu mertua ternyata masih menunggu untuk berdebat lagi denganku."Duduk, aku mau bicara.""Bu, pergi saja dari sini.""Kamu ngusir mertuamu sendiri?""Mira, kamu ini emang sudah gila. Terlalu membela anak pungut dibandingkan mertuamu sendiri. Akui saja kesalahanmu, dan kembalikan anak itu ke asalnya. Jangan mempersulit hidup."Aku melangkah mendekati Alina. Menjambak rambutnya. Mata melotot menatap per
"Mah, Ayah apa benar?""Enggak, Sayang. Mbah lagi sakit, jadi kaya gitu.""Jangan bohong. Selama ini Zea merasa diperlakukan berbeda. Mbah selalu pilih kasih. Mbah hanya baik sama Ka Nayla, dan Kahfi. Apa mungkin Zea emang anak pungut?" Ibu mertuaku hanya diam. Wajahnya ketus tak acuh. Ini yang selalu aku takutkan. Kalau aku dan Mas Hafidz tidak ada di sini, mungkin ibu sudah membongkar semuanya. Selama ini, ibu sering keceplosan."Hust, Zea jangan berpikir yang enggak-enggak. Kita keluar aja. Kesian nenek lagi sakit.""Anak itu emang gak tahu diuntung. Aku sedang sakit, malah dia emosi. Heran. Bawa saja anak itu keluar.""Bu, jangan bicara begitu. Ibu memang sedang sakit, tapi tetap jaga perasaan cucu ibu. Jangan bicara seenaknya.""Kalian keluar saja. Biar Kahfi yang di sini. Ibu pusing liat kalian.""Kahfi, jaga nenek kamu. Mamah, Ayah, sama Kak Zea nunggu di luar."Kahfi mengangguk. Meski anak itu suka ribut dengan kakaknya, tetap saja dia sangat menyayangi Zea. Kahfi tidak ikut
"Kahfi ... Ya Allah!" teriakku emosi dengan kelakuan anak bungsu. Kahfi dan Zea mirip ton dan jerry. Setiap hari selalu bercanda keterlaluan. Kejar-kejaran ke sana ke sini. Seperti hari ini, Kahfi menendang ember yang berisi pakaian yang akan di jemur. Lalu lari terbirit-birit karena di kejar kakaknya."Zea, cukup, Sayang. Kalian ini kenapa, sih. Sehari saja jangan ribut.""Hahaha, sini maju kalau berani. Ah, kakak payah.""Dasar adik durhaka. Kamu yang salah, malah berani-beraninya nantangin.""Emangnya ada apa sih?""Itu, Mah, Adek liat video mesum.""Bohong, Mah. Wah, Kakak suka membalikan fakta. Yang ada, kakak tuh, ketahuan mojok di sekolah sama cowok berandalan.""Namanya Rey, enak aja kamu sebut cowok berandalan.""Emang dia cowok berandalan. Kakak aja yang mau dibego-begoin.""Wah, mulutnya minta digeplak sendal swallow, sini kamu."Dua anak itu tidak kapok mendengar teriakanku. Terus berlarian ke sana ke mari. Aku kejar mereka, lalu menjewer kuping keduanya."Kalian ini.""A
"Mas, ibu gak dikejar?""Gak usah, besok Mas bicara lagi sama ibu. Gak biasanya ibu kaya gitu. Semoga perlahan ibu bisa menerima.""Aamiin. Maaf yah, Mas.""Kenapa minta maaf, Sayang?" "Ya, kamu sama ibu jadi ribut gara-gara aku.""Bukan gara-gara kamu, Sayang. Kita hadapi bersama yah. Apapun sekuensi mengadopsi Zea. Toh, niat kita baik. Allah maha tahu."Aku peluk suamiku. Mencium pipinya tanda cinta. Bahagianya punya suami sangat bijaksana. Karunia terindah yang pernah aku miliki. Setiap rumah tangga pasti ada badainya. Tidak ada yang baik-baik saja. Jika ada keluarga yang terlihat sangat harmonis, itu tandanya komunikasi antar anggota keluarga berjalan baik. Adanya komunikasi, bisa membuat kita saling memahami, dan menghargai. *****"Sayang, bentar liatin adek Kahfi dulu yah.""Siap, Mah."Aku kebelet ke toilet. Nikmat sekali punya anak bayi dan balita. Padahal, Salwa sudah diurusi pembantu rumah ini. Tetap saja aku kewalahan. Makan tidak tenang, mau mandi saja kerepotan. Masih