Pak Bara terdiam sejenak. Melihat bagaimana ekspresi Bu Sinta saat ini, sang paruh baya itu yakin kalau Bu Sinta itu sebenarnya tahu perihal gugatan perceraian yang akan diajukan oleh Lusi kepada Raka, mengingat Bu Sinta sendiri yang meminta Lusi untuk tidak menceraikan Raka saat hendak membawa Alia pergi.Namun, pria paruh baya itu tidak mau berdebat. Bakalan panjang urusannya jika harus ada mulut dengan wanita seperti Bu Sinta. Jadi, pria itu pun memilih untuk menjelaskan inti permasalahan agar tujuannya kali ini cepat selesai. Dia benar-benar tidak betah jika harus berdekatan dengan Bu Sinta. Entah bagaimana nasib Raka bisa memiliki Ibu seperti Bu Sinta. "Begini, Bu. Saya yakin Ibu pasti mendengar dari Raka atau mungkin dari Lusi sendiri, kalau Lusi itu memang akan mengajukan gugatan cerai untuk Raka." Mendengar itu Bu Sinta langsung mendengkus kesal. Bahkan wanita paruh baya itu melipat tangan di depan dada, tampak sekali kalau dia arogan dan tidak mau menyetujui semua perkataan
"Baiklah kalau begitu. Nanti saya akan sampaikan kepada Lusi. Mungkin hanya itu saja yang ingin saya sampaikan, lalu satu lagi, Bu. Lusi menitipkan amanat untuk berbicara serius dengan Ibu masalah Alia," ucap Pak Bara, kali ini wajah pria itu benar-benar serius, tidak lagi tampak santai seperti sebelumnya. "Memangnya apa? Kenapa dengan Alia?" tanya Bu Sinta sembari mendelik. Dia benar-benar kesal dengan ekspresi Pak Bara saat ini, seolah kalau dia ini adalah musuh yang harus dijauhi. "Lusi berkata, kalau misalkan Bu Sinta kembali berencana untuk menculik Alia, maka dipastikan Bu Sinta akan mendekam di penjara sekaligus menagih hutang-hutang yang Lusi berikan kepada Ibu selama ini."Tubuh wanita paruh baya itu langsung menegang di tempat. Dia langsung merasa terpojokkan dan terancam. Baru kali ini melihat kalau Lusi begitu jahat kepadanya. Padahal sebelumnya Lusi sangat perhatian. Tidak sedikit pun Lusi membantah perintah dari Bu Sinta. Inilah mungkin yang disebut membangunkan sisi
"Bagaimana, Pak? Bagaimana tanggapan Ibu, Pak?" tanya Lusi saat Pak Bara sudah sampai rumahnya. Dia benar-benar penasaran dan ingin tahu sekali bagaimana reaksi dari Bu Sinta. Sebenarnya Lusi ingin sekali bertemu langsung dengan Bu Sinta dan membicarakan masalah harta gono-gini beserta perceraian dengan Raka. Tetapi masalahnya Lusi pasti akan emosi mengingat bagaimana perlakuan Ibu mertuanya kepada Alia. Apalagi sekarang Alia masih trauma dan kepikiran tentang perlakuan neneknya yang menarik tangan Alia dengan paksa, sampai anak itu meringis kesakitan. Jadi dia memilih untuk mengutus Pak Bara menemui Bu Sinta. Ini bentuk dari sopan santunnya kepada Bu Sinta agar tidak terjadi pertengkaran hebat di antara dirinya dan sang mertua. Pak Bara terlihat menghela napas panjang. Dia menatap Lusi dengan iba. Kasihan sekali anak sahabatnya ini, harus mendapat nasib yang buruk. Suami selingkuh, hartanya hampir saja dirampas oleh Raka. Lalu mendapat mertua yang seperti itu, benar-benar membuat L
"Itu, sebenarnya aku--" "Tadi Kak Maura bilang kalau Tante Mila itu sebenarnya tidak berniat jahat sama Ibu," ucap Alia tiba-tiba saja memotong pembicaraan Maura. Gadis itu langsung menoleh kepada Alia sembari membulatkan mata. Dia tidak menyangka kalau gadis ini bisa mengadu dengan cepat seperti ini. Harusnya Maura tahu kalau Alia itu sudah kelas 5 SD, jadi tentu saja hal mudah bagi Alia untuk mengadukan segala sesuatu yang dilihat dan yang didengarkannya. "Apa?!" "Bukan maksud Kakak seperti itu, Alia. Kakak itu ...." "Sudah cukup, Maura! Kamu bener-bener keterlaluan, ya. Aku membawamu ke sini dengan niat baik, menyekolahkanmu sampai selesai. Tapi kenapa kamu malah seperti ini? Apa kebaikanku kurang, Maura?" "Bukan seperti itu, Mbak. Sebenarnya, aku ...." "Apa? Kamu mau menjelaskan apa lagi? Kamu itu memang benar-benar sangat keterlaluan, ya? Sudah jelas Mila itu salah, harusnya kamu itu tidak membelanya. Memang seperti kedua orang tuamu yang malah membela Mila habis-habisan.
"Tentu, Pak. Aku siap bertemu dengan Ibu. Bagaimanapun juga masalah saat ini harus selesai." "Tapi, bagaimana kalau misalkan Ibu mertuamu itu menyerang?" "Itu risikonya, Pak. Mau bagaimanapun pasti Ibu akan melakukan sesuatu, kalau tidak kepadaku, ya pasti kepada Alia. Jadi, daripada Alia yang tersakiti, sebaiknya aku saja yang langsung berhadapan langsung dengannya." "Bagaimana kalau kamu pasang CCTV?" "Maksudnya?" "Kamu bisa memakai kamera kecil di bajumu, agar semua aktivitas kamu dan mertuamu bisa terekam. Jika Bu Sinta melakukan sesuatu, akan ada bukti untuk menuntutnya. Bagaimana?" Lusi terdiam sejenak. Tampaknya karena sudah berpengalaman Pak Bara itu tahu apa yang harus dilakukan agar bisa memenangkan kasus dalam pengadilan, termasuk tentang masalah ini."Bapak benar juga. Sebaiknya aku memasang CCTV kecil di bagian bajuku." "Baguslah kalau begitu." "Aku setuju, tapi Bapak tolong sediakan kameranya, ya dan hubungi juga Ibu kalau besok aku akan bertemu dengannya." "Loh
Setelah pembicaraan itu Maura hanya bisa dia memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Dia masih tidak menyangka dengan semua yang dilakukan oleh Mila kepada Lusi. Pantas saja Lusi benar-benar marah, bahkan tidak mau membahas tentang kakaknya. Ternyata Mila sudah keterlaluan. Bahkan orang tuanya sendiri tidak dianggap. Gadis itu meneteskan air mata, rasanya sesak sekali mendapati hal seperti ini. Padahal dia sudah berjuang dan mati-matian datang ke sini untuk membebaskan Mila, memohon kepada Lusi untuk kebahagiaan kakaknya. Tetapi ternyata yang dibelanya malah berbuat hal yang begitu memalukan. Maura sampai merasa bersalah kepada Lusi, karena sudah melakukan hal yang tidak baik. Hampir saja meracuni pikiran Alia agar tidak membenci Mila. Memang kebencian itu salah, tetapi jika memang orang yang dibenci itu berbuat tidak baik, bahkan keterlaluan, maka wajar saja Alia membenci Mila. Namun, Maura berjanji. Dia tidak akan mengulangi hal serupa. Gadis itu memilih untuk fokus pada
Bu Sinta merutuk dalam hati. Ternyata menantunya sekarang ini terlalu pintar. Padahal dia pikir Lusi itu terlalu polos sampai bisa ditipu dengan banyak cara. Selama ini juga Bu Sinta selalu berpura-pura bersedih jika meminta sesuatu. Dia akan lakukan segala cara demi mendapatkan uang dari Lusi waktu itu. Sekarang juga sang wanita paruh baya mempunyai sebuah rencana gila. Dia berharap Lusi mau mengabulkan semua keinginannya, bukan harta saja tetapi kebebasan Raka dan juga tetap bersama dengan anaknya. Namun belum juga dimulai dramanya, Lusi sudah memberi skak kepada Bu Sinta, membuat wanita paruh baya itu jadi serba salah. Hanya saja dia juga tidak mungkin langsung menyerah, mengakui semua dugaan yang diberikan oleh Lusi. Apa pun yang terjadi dia harus tetap berusaha untuk meyakinkan Lusi kalau dia benar-benar bersungguh-sungguh meminta kebebasan Raka. "Kenapa kamu ngomong gitu sama ibu, sih? Ibu tuh serius datang bertemu kamu, tidak untuk bermusuhan atau mengambil Alia. Ibu kan sud
Tubuh Bu Sinta mulai berkeringat dingin, tangannya juga terasa dingin. Dia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Beberapa mata memandangnya. Mungkin menanti apa yang akan dilakukan oleh wanita paruh baya itu. Dia juga melirik Lusi yang telah menatapnya dengan tantangan. Penampilan Lusi itu benar-benar sudah berbeda. Dia tidak bisa main-main dengan Lusi lagi. Sang menantu benar-benar tegas. "Kenapa Ibu diam saja? Ayo! Katanya mau bunuh diri? Mumpung lagi banyak orang di sini. Jadi, mereka bisa menyaksikan kesungguhan Ibu," ucap Lusi menantang, karena dia tahu bagaimana tabiat Ibu mertuanya yang sebenarnya. Mertuanya itu tidak akan mau terluka sedikitpun, walaupun itu hanya untuk menyelamatkan Alia. Selama ini juga Lusi memaklumi semua perbuatan Ibu mertuanya, karena dia mengingat kalau itu adalah ibunya suaminya sendiri. Tetapi ternyata saat dikasih hati, Bu Sinta ini tidak tahu diri dan Lusi baru menyadarinya sekarang, kalau semua yang dia lakukan itu adalah kesia-siaan. Hart