"Jadi, kamu pikir kalau kamu tidak menghamili Mila, kamu bisa kembali kepadaku?" tanya Lusi yang membuat Raka terdiam. Pria itu bahkan kehilangan kata-kata mendengar apa yang dikatakan oleh istrinya barusan. Padahal sebelumnya dia yakin Lusi akan memaafkannya jika Mila tidak hamil. Karena keretakan rumah tangga ini disebabkan Mila hamil dan Lusi tidak mau sampai Raka meninggalkan Mila yang menyebabkan anak wanita itu tidak punya seorang ayah. "Kenapa kamu tidak bisa memaafkanku?" "Tidak, aku tidak akan pernah memaafkanmu. Walaupun Mila tidak hamil, perselingkuhan tetaplah perselingkuhan. Mau itu ada anak atau tidak, mau hamil atau tidak, aku tetap akan berpisah denganmu, Mas." "Kenapa kamu jadi seperti ini?" "Kenapa? Coba pakai otakmu, Mas! Aku seperti ini karena kamu sendiri, kan? Kamu yang memulainya. Kamu yang menyulut api kebencian di hatiku, lalu kamu bertanya kenapa aku seperti ini? Coba pikirlah pakai pikiran yang jernih, Mas! Aku tidak akan pernah mengulangi kesalahan ya
Setelah berhasil menjatuhkan talak, Lusi langsung pulang ke rumah, keluar dari kantor polisi dengan senyuman bahagia. Ini sangat melegakan untuknya. Bisa terbebas dari benalu dan hubungan toxic yang membuatnya menderita selama ini. Dia berusaha untuk berbakti dan menjadi istri yang baik bagi Raka, melakukan apa pun dan menurut serta patuh kepada pria itu. Namun yang dia dapat hanyalah kesakitan dan pengkhianatan. Ini adalah awal yang tepat. Jika orang lain mengatakan dan bertanya apakah tidak kasihan kepada anaknya karena harus jadi korban broken home? Hanya saja Lusi memilih untuk bercerai. Dia akan memulai semuanya dengan baru, berharap kalau kehidupannya kali ini akan berbahagia tanpa harus merasa terbebani atau menjalankan kewajiban yang membuatnya mau tidak mau tunduk. Sementara itu Raka hanya berdiam di pojokan sel. Dia terus melamun, sesekali air matanya jatuh mengingat kalau sekarang dia sudah kehilangan Lusi, berstatus janda. Tetapi dia tidak jadi duda, karena Raka masih pu
"Utang? Utang apa maksud Ibu? Memang Ibu punya utang?" tanya Raka sembari menautkan kedua alis. Dia kebingungan dengan pengakuan ibunya sendiri. Sementara itu Bu Sinta langsung menutup mulutnya. Dia malah keceplosan mengatakan itu semua. Padahal memang selama ini Bu Sinta tidak pernah memberitahukan kalau dia meminjam uang kepada rentenir dengan jumlah yang banyak, karena dia pikir jika suatu hari nanti kalau rentenir itu menagih, pasti ada Lusi yang bisa membayar semua hutang-hutangnya. Namun semua di luar dugaan. Sekarang Lusi terlepas dari tangan Raka. Dia juga tidak mungkin meminta uang dari Lusi lagi. Jadi, bagaimana dia menghadapi semua rentenir-rentenir itu dan juga mencukupi kebutuhan sehari-harinya? Begitu pikir Bu Sinta. "Kenapa Ibu diam saja? Katakan! Jangan bilang Ibu memang punya hutang banyak! Katakan, Bu!" seru Raka mulai kesal.Kalau ibunya benda seperti itu, maka Raka juga tidak bisa melakukan apa pun. Karena saat ini dia sedang ada di penjara. Jika dia keluar dari
"Bagaimana kalau misalkan Ibu jual saja tas-tas branded dan perhiasan?""Ibu menjual tas-tas branded ibu, kok." "Semuanya?""Ya, belum, sih. Sebagian. Itu kan buat sewa pengacara agar kamu nggak bercerai." "Sudah terlambat, Bu. Sebaiknya Ibu pakai saja uang itu untuk kehidupan sehari-hari." "Lalu kamu bagaimana?" "Ya aku harus jalani hukuman di sini. Mau tidak mau.""Memangnya kamu mau terus dikurung di sini? Di penjara, sementara mantan istri kamu itu sudah bebas. Bagaimana kalau misalkan ternyata Lusi sudah mendapatkan calon suami lagi dalam waktu dekat?" ucap Bu Sinta membuat tubuh Raka terkesiap. Padahal sebelumnya dia sama sekali tidak memikirkan tentang Lusi terlebih dahulu. Dia ingin fokus kepada ibunya dan mencari bukti perihal kehamilan Mila. Tetapi mendengar Bu Sinta mengatakan itu, api cemburu pun langsung berkobar di dada. "Benar juga kata Ibu."Bagaimana kalau misalkan Lusi didekati oleh pria lain, bahkan sebelumnya Raka bebas? Dia masih ingat, ada cinta pertama Lus
"Heh, wanita tua bangka! Cepat keluar! Aku tahu kau ada di dalam!" seru seorang pria tambun yang tidak lain adalah rentenir yang sering datang ke rumah Bu Sinta.Bu Sinta yang merasa tersinggung karena dikatai wanita tua itu langsung marah. Bukannya membukakan pintu, wanita paruh baya itu malah pergi ke kamar dan bercermin. Dia melihat wajahnya, memang ada beberapa kerutan di pinggir mata dan juga dahi. Belum lagi di pinggir bibirnya. "Duh, iya juga. Aku banyak kerutannya. Ini pasti gara-gara memikirkan tentang Raka dan Lusi. Lagian ngapain juga sih anak itu pakai selingkuh segala? Ini kan berefek pada kecantikanku. Ini tidak bisa dibiarkan. Pokoknya aku harus perawatan lagi," papar wanita paruh baya itu, masih menelisik wajahnya sendiri. Gedoran di pintu membuat Bu Sinta terkesiap. Dia kesal, tapi juga ketakutan jika berhadapan sendiri dengan pria tambun itu. Karena biasanya membawa anak buah yang wajahnya begitu menyeramkan. "Tua bangka, cepat keluar! Bagaimana dengan hutang-huta
"Duh, ini tidak bisa dibiarkan. Bagaimana kalau misalkan rumah ini benar-benar disita oleh si rentenir gendut itu? Bisa-bisa aku tinggal di jalanan. Terus aku kalau ngontrak juga pasti pakai uang. Aku tidak mau mengontrak di tempat yang kumuh," ujar bu Sinta tampak kebingungan. Dia malah mondar-mandir di depan kasurnya sendiri. Wanita paruh baya itu berpikir keras. Bagaimana caranya melunasi utang-utang yang sudah begitu numpuk, 100 juta itu baru pokoknya. Belum lagi bunganya yang entah berapa. Lagi-lagi wanita paruh baya itu merutuki Raka. Harusnya anaknya tidak berbuat masalah. Jadi dia tidak akan pusing sendiri seperti ini. Sekarang mendatangi Lusi pun rasanya tidak mungkin, pasti wanita itu akan mengusirnya dan memberikan makian kepada Bu Sinta. Wanita itu lalu menoleh ke lemari panjang yang ada di pinggirnya, isinya itu tas-tas branded dan juga sepatu yang harganya mahal. Ada setengahnya yang sudah dia jual, itu untuk membiayai kehidupannya sehari-hari sebelum Raka benar-benar
"Memang apa perjanjiannya, Mbak?" tanya Maura akhirnya mengajukan pertanyaan. Dia tidak mungkin terus-terusan penasaran dengan semua yang akan dilakukan Lusi padanya. Gadis itu takut saja kalau misalkan Lusi memberikan perjanjian dan perintah yang membuat dirinya terkekang, mengingat kalau dia sudah berbuat kesalahan. Kemarin-kemarin wanita itu tidak mengatakan apa pun. Lusi menyodorkan sebuah map merah yang berisi selembar kertas. "Bacalah terlebih dahulu. Kalau kamu tidak mengerti, tanyakan," ucap Lusi. Maura pun langsung membaca poin-poin itu, yang ada 10. Awalnya Maura terdiam, karena isinya itu tentang aturan yang harus dilakukan di rumah ini, juga ada batasan serta kebebasan yang diberikan oleh Lusi. "Maksudnya ini aku dibebaskan untuk mengambil pilihan itu, apa ya, Mbak?" Maura membuat Lusi tersenyum, sepertinya adiknya ini memang begitu penasaran. Dia juga sengaja membuat poin itu, ingin tahu sejauh apa Maura punya rasa ingin tahu dan juga kritis terhadap suatu masalah.
"Kalau kamu sudah mengerti, cepat tanda tangan. Dengan begitu mulai besok kamu akan aku carikan SMA terbaik di sini," ucapnya karena sudah dari tadi Maura hanya diam saja. Tampaknya gadis itu sedang berpikir keras. Entah apalagi yang dipikirkan oleh Maura. Tetapi dia berharap sang gadis tidak berpikir macam-macam, apalagi sampai mengkhianati semua perjanjian ini. "Jika kamu mengingkari perjanjian ini, pilihannya ada dua. Kamu kembalikan uang yang aku berikan untuk menjamin hidupmu atau kamu akan mendekam di penjara seperti Mila." Maura kaget, karena sebelumnya tidak ada hal seperti ini. Namun tampaknya gadis itu tahu kenapa Lusi melakukan hal seperti itu, karena Mila pernah berbuat salah sehingga Lusi memberikan benteng pertahanan agar tidak dikhianati untuk kedua kalinya. "Baiklah, Mbak. Aku setuju, tapi sebelum mendatangani ini, bolehkah aku bertanya sesuatu lagi?" tanya Maura. Sebenarnya Lusi agak kesal karena gadis ini terus-terusan saja bertanya dan banyak sekali berpikir. P
Wanita hamil itu hanya bisa pergi dengan perasaan kesal. Mungkin Mila bisa saja menerobos masuk, tetapi dia khawatir kalau Raka akan benar-benar murka kepadanya dan semua perkataan pria itu menjadi kenyataan. Membayangkannya saja membuat Mila ketakutan, apalagi kalau benar Raka akan meninggalkannya dan anak yang ada di dalam kandungan. Akhirnya Mila tidak punya pilihan lain, kecuali mengalah terlebih dahulu. Dia akan mencoba kembali untuk membujuk Raka setelah 3 hari, berharap kalau pria itu benar-benar akan kembali kepadanya. Setelah kepergian Mila, Raka dan Bu Sinta pun sedang duduk berhadapan di meja makan, tepat di depannya tampak sekali makanan yang sudah terhidang dan aromanya begitu menggugah selera Raka. Kebetulan pria itu hanya makan ala kadarnya. Saat melihat semua ini, tentu rasa lapar pria itu menyeruak. Tetapi sebelumnya Raka harus memberitahukan kedatangan dirinya kepada Bu Sinta. "Ibu masak untukku?" "Tentu saja. Kamu pikir Ibu akan masak untuk siapa? Istrimu? Ibu
"Mas, aku mohon. Pulanglah bersamaku, jangan seperti ini." Mila sekarang menghiba sembari menangis. "Tolong, jangan buat aku merasa menderita dan tertekan seperti ini. Aku janji, aku tidak akan mengekangmu lagi. Kamu boleh keluar, asalkan kamu bicara dulu kepadaku." "Tidak, ini sudah ketiga kalinya kamu mengatakan hal yang sama, tetapi kenyataannya seperti apa? Kamu tetap saja mengganggu dan menuduhku macam-macam.""Lalu, aku dengan siapa, Mas? Aku tidak mungkin sendiri.""Ada Maura."Seketika Mila malah terdiam. Dia sedang berusaha untuk akting sebaik mungkin agar Raka mau pulang dengannya. Tetapi malah nama Maura yang disebutkan. Dia benar-benar kesal karena adiknya itu malah masuk dalam permasalahan rumah tangganya. "Dia kan bukan siapa-siapa kita. Lagi pula di sini yang harus tanggung jawab atas keselamatan aku dan anak ini kan kamu, Mas." Mila sama sekali tidak bisa diajak berbicara baik-baik. Sekeras apa pun Raka menjelaskan, Mila juga sama kerasnya. Tidak mau mengalah. Rak
"Tidak sekarang, Mila. Aku akan pulang setelah semua urusanku selesai." Mila menautkan kedua alis dengan perasaan bingung. "Apa maksud kamu, Mas? Urusan apa yang kamu lakukan di sini?" Raka menghela napas panjang sembari memijat pelipisnya yang berdenyut. Tidak mungkin dia mengatakan kalau besok dirinya akan menikah dengan Winda. Yang pasti pria itu harus mengelabui Mila. Jangan sampai wanita itu benar-benar menghancurkan semua rencananya. Karena kalau Mila tahu kalau dirinya ingin mencari Lusi dan juga Alia, maka saat itu juga dia mendapat tekanan lagi dari wanita ini. "Aku hanya ingin bertemu dengan ibuku, menghabiskan waktu dengan ibuku." "Lalu, kamu meninggalkan istrimu?" tanya Mila. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Raka akan melakukan hal seperti ini. Padahal yang harus ditemani adalah Mila. Dia sedang hamil. Kenapa Raka tidak mau melakukan itu? "Dia anakku. Hak dia dong untuk menemani ibunya!"Mila kesal karena Bu Sinta malah ikut campur. Harusnya wanita paruh bay
Bu Sinta maupun Mila kaget mendengar suara Raka yang menggelegar, tampak sekali wajahnya memerah seperti menahan emosi karena sudah dari tadi kedua wanita berbeda usia ini terus saja bertengkar. "Apa kalian tidak bisa diam?! Jangan terus-terusan mengoceh dengan berbagai macam alasan! Aku punya keputusan sendiri," ucap Raka, membuat Bu Sinta dan Mila kaget bersamaan. Mereka takut jika Raka mengambil keputusan yang salah dan merugikan kedua belah pihak. Mila berharap kalau Raka tidak meninggalkannya, berbeda dengan Bu Sinta yang ingin anaknya kembali kepada Bu Sinta dan menceraikan Mila. Pria itu menoleh kepada Mila dengan tatapan sinis. Dia sudah jengah dengan semua perlakuan istrinya ini. Mila berbeda jauh dengan wanita yang dulu pernah menjalin hubungan dengannya. Apa mungkin memang sifat asli Mila seperti ini? Begitu pikir Raka atau hanya karena perubahan hormon Ibu hamil akhirnya Mila lebih protektif dan temperamental? Semua itu masih bergerilya di pikiran Raka, belum bisa menga
"Jangan percaya sama Ibu, Mas! Kamu tahu sendiri, kan? Gara-gara Ibu, kamu hampir kehilangan anak ini. Dia yang memalsukan tes DNA anak ini!" seru Mila tiba-tiba saja mengalihkan pembicaraan, membuat Bu Sinta terdiam dan wanita paruh baya itu benar-benar kaget kala Mila membahas lagi masalah yang sudah berlalu. Padahal sekarang permasalahan utamanya adalah Mila yang tidak pernah bisa membebaskan Raka, selalu saja mengekang dan harus berada di samping wanita itu. "Kenapa kamu malah ngomongin itu sekarang? Bukan waktunya kamu berbicara hal yang sudah berlalu.""Oh, kenapa tidak, Bu? Tentu saja aku harus bicara dengan Mas Raka, kalau Ibu itu tidak mau melihat anak ini lahir, kan?" Keadaan semakin genting saat ini. Kalau Mila mengatakan hal seperti itu, tentu saja Bu Sinta tidak mau kalah. Baginya pertarungan ini harus dimenangkan olehnya, karena ini adalah satu-satunya cara dan kesempatan yang langka untuk mendapatkan anaknya kembali. "Jaga bicaramu! Itu sudah berlalu, aku melakukan
Bu Sinta dan Mila sama-sama terkejut melihat siapa yang tiba-tiba saja menyerukan nama Mila. Seketika wajah Bu Sinta berubah menjadi pura-pura sedih. Sementara Mika pucat sekali, seperti orang yang kehilangan banyak darah. "Raka, akhirnya kamu datang," ucap Bu Sinta dengan suara lemah sembari menghampiri anak yang saat ini berada di belakang Mila. Wanita hamil itu benar-benar kaget dengan kehadiran Raka. Dia tidak menyangka kalau Raka ada di belakangnya. Dia pikir Raka ada di dalam dan tidak mendengar pembicaraan mereka, tetapi siapa? Tahunya orang yang dicari itu tiba-tiba saja datang dan mendengarkan percakapan, lebih tepatnya kata-kata sang wanita yang keterlaluan jika didengar oleh orang lain. "Raka, lihat istrimu! Katanya akan membunuh Ibu jika berani macam-macam atau menghasutmu. Padahal kan Ibu tidak mengatakan apa-apa, Ibu juga tidak tahu kalau misalkan kamu pergi dari rumah. Apakah itu istri yang kamu pikir baik?" tanya Bu Sinta dengan pura-pura menangis. Mila hanya bisa
"Suami mana yang pergi dari rumah istrinya tanpa bilang apa-apa? Kecuali kalau dia kabur karena tidak kuat dengan sikap istrinya. Menurutmu perkataanku benar, kan?" ucap Bu Sinta, tiba-tiba saja membuat Mila terdiam.Wanita paruh baya itu sampai melipat tangan di depan dada. Mila terdiam saja. Dia merasa tersinggung dengan semua perkataan mertuanya. Entah kenapa setiap apa pun yang keluar dari mulut Bu Sinta itu selalu pedas dan menyakitkan.Sang wanita paruh baya sama sekali tidak pernah memikirkan perasaan orang lain, tetapi herannya kenapa Lusi dulu kuat sekali berhadapan dengan Bu Sinta? Mila tidak mau nasibnya sama seperti Lusi, disetir begitu saja oleh mertua. Dia harus berdiri di kaki sendiri tanpa diperintah oleh siapa pun, termasuk mertua.Mila menghela napas panjang, berusaha untuk tenang menghadapi Bu Sinta tanpa dengan emosi. Dia harus membuat Bu Sinta paham, kalau semua yang dilakukan ini demi kebaikan dirinya dan juga Raka, termasuk anak yang ada di dalam kandungan."B
Dengan perasaan tak karuan akhirnya Mila pun pergi ke rumah Bu Sinta. Dia berharap bisa menemukan suaminya. Saat ini tidak ada pilihan lain, kecuali mengalah. Karena ada anak yang harus diperjuangkan di sini. Kalau saja tidak ada anak, mungkin Mila sudah melakukan hal yang macam-macam kepada Raka dan juga Bu Sinta, untuk memberikan ancaman yang lebih sakit lagi kepada pria itu, agar mau tetap ada di sisinya. Namun, sekeras apa pun Mila berusaha untuk menahan suaminya, Raka pasti akan berontak dan sekarang buktinya dia terlalu mengekang dan juga menggenggam Raka begitu erat, sampai lupa kalau pria itu juga butuh kebebasan dan sedikit udara untuk dirinya sendiri. Namun, karena pengalaman sebelumnya yang sudah pernah selingkuh, Mila berpikir ratusan kali untuk percaya kepada pria itu. Tetapi tampaknya Raka merasa kalau dirinya dikekang dan malah memilih untuk pergi dari rumah. Wanita itu memijat pelipisnya sembari menyetir, ini benar-benar membuatnya stres. Belum lagi Maura yang memi
"Halo, Ibu?" tanya Raka saat dia sudah menelepon ibunya dan untunglah Bu Sinta langsung menerima panggilan dari anaknya itu. Tentu saja sang wanita paruh baya benar-benar kaget dan melihat kembali ada nama Raka di layar ponsel. Karena sebelumnya anak itu sampai memblokir nomornya agar tidak bisa dihubungi.Tampaknya apa yang dikatakan oleh Maura itu benar. Dia harus pura-pura menderita dan membuat Raka merasa iba, agar anaknya kembali ke tangan sang wanita paruh baya. "Ada apa, Raka? Ibu kaget, kamu tiba-tiba saja menelepon." "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin bicara dengan Ibu. Ada hal penting, yang harus aku katakan kepada Ibu." "Benarkah? Kalau begitu datang saja ke sini. Sebaiknya kita berbicara baik-baik di rumah. Ibu akan masakan makanan kesukaan kamu. Bagaimana?" Tiba-tiba saja di seberang sana Raka tersenyum kecut. Entah kenapa dia merasa kenangan itu kembali ke masa-masa sebelum dia menikah. Sebelumnya Bu Sinta selalu perhatian, apalagi kalau sudah gajian. Tetapi tetap saja