Bu Sinta merutuk dalam hati. Ternyata menantunya sekarang ini terlalu pintar. Padahal dia pikir Lusi itu terlalu polos sampai bisa ditipu dengan banyak cara. Selama ini juga Bu Sinta selalu berpura-pura bersedih jika meminta sesuatu. Dia akan lakukan segala cara demi mendapatkan uang dari Lusi waktu itu. Sekarang juga sang wanita paruh baya mempunyai sebuah rencana gila. Dia berharap Lusi mau mengabulkan semua keinginannya, bukan harta saja tetapi kebebasan Raka dan juga tetap bersama dengan anaknya. Namun belum juga dimulai dramanya, Lusi sudah memberi skak kepada Bu Sinta, membuat wanita paruh baya itu jadi serba salah. Hanya saja dia juga tidak mungkin langsung menyerah, mengakui semua dugaan yang diberikan oleh Lusi. Apa pun yang terjadi dia harus tetap berusaha untuk meyakinkan Lusi kalau dia benar-benar bersungguh-sungguh meminta kebebasan Raka. "Kenapa kamu ngomong gitu sama ibu, sih? Ibu tuh serius datang bertemu kamu, tidak untuk bermusuhan atau mengambil Alia. Ibu kan sud
Tubuh Bu Sinta mulai berkeringat dingin, tangannya juga terasa dingin. Dia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Beberapa mata memandangnya. Mungkin menanti apa yang akan dilakukan oleh wanita paruh baya itu. Dia juga melirik Lusi yang telah menatapnya dengan tantangan. Penampilan Lusi itu benar-benar sudah berbeda. Dia tidak bisa main-main dengan Lusi lagi. Sang menantu benar-benar tegas. "Kenapa Ibu diam saja? Ayo! Katanya mau bunuh diri? Mumpung lagi banyak orang di sini. Jadi, mereka bisa menyaksikan kesungguhan Ibu," ucap Lusi menantang, karena dia tahu bagaimana tabiat Ibu mertuanya yang sebenarnya. Mertuanya itu tidak akan mau terluka sedikitpun, walaupun itu hanya untuk menyelamatkan Alia. Selama ini juga Lusi memaklumi semua perbuatan Ibu mertuanya, karena dia mengingat kalau itu adalah ibunya suaminya sendiri. Tetapi ternyata saat dikasih hati, Bu Sinta ini tidak tahu diri dan Lusi baru menyadarinya sekarang, kalau semua yang dia lakukan itu adalah kesia-siaan. Hart
"Jadi, kamu pikir kalau kamu tidak menghamili Mila, kamu bisa kembali kepadaku?" tanya Lusi yang membuat Raka terdiam. Pria itu bahkan kehilangan kata-kata mendengar apa yang dikatakan oleh istrinya barusan. Padahal sebelumnya dia yakin Lusi akan memaafkannya jika Mila tidak hamil. Karena keretakan rumah tangga ini disebabkan Mila hamil dan Lusi tidak mau sampai Raka meninggalkan Mila yang menyebabkan anak wanita itu tidak punya seorang ayah. "Kenapa kamu tidak bisa memaafkanku?" "Tidak, aku tidak akan pernah memaafkanmu. Walaupun Mila tidak hamil, perselingkuhan tetaplah perselingkuhan. Mau itu ada anak atau tidak, mau hamil atau tidak, aku tetap akan berpisah denganmu, Mas." "Kenapa kamu jadi seperti ini?" "Kenapa? Coba pakai otakmu, Mas! Aku seperti ini karena kamu sendiri, kan? Kamu yang memulainya. Kamu yang menyulut api kebencian di hatiku, lalu kamu bertanya kenapa aku seperti ini? Coba pikirlah pakai pikiran yang jernih, Mas! Aku tidak akan pernah mengulangi kesalahan ya
Setelah berhasil menjatuhkan talak, Lusi langsung pulang ke rumah, keluar dari kantor polisi dengan senyuman bahagia. Ini sangat melegakan untuknya. Bisa terbebas dari benalu dan hubungan toxic yang membuatnya menderita selama ini. Dia berusaha untuk berbakti dan menjadi istri yang baik bagi Raka, melakukan apa pun dan menurut serta patuh kepada pria itu. Namun yang dia dapat hanyalah kesakitan dan pengkhianatan. Ini adalah awal yang tepat. Jika orang lain mengatakan dan bertanya apakah tidak kasihan kepada anaknya karena harus jadi korban broken home? Hanya saja Lusi memilih untuk bercerai. Dia akan memulai semuanya dengan baru, berharap kalau kehidupannya kali ini akan berbahagia tanpa harus merasa terbebani atau menjalankan kewajiban yang membuatnya mau tidak mau tunduk. Sementara itu Raka hanya berdiam di pojokan sel. Dia terus melamun, sesekali air matanya jatuh mengingat kalau sekarang dia sudah kehilangan Lusi, berstatus janda. Tetapi dia tidak jadi duda, karena Raka masih pu
"Utang? Utang apa maksud Ibu? Memang Ibu punya utang?" tanya Raka sembari menautkan kedua alis. Dia kebingungan dengan pengakuan ibunya sendiri. Sementara itu Bu Sinta langsung menutup mulutnya. Dia malah keceplosan mengatakan itu semua. Padahal memang selama ini Bu Sinta tidak pernah memberitahukan kalau dia meminjam uang kepada rentenir dengan jumlah yang banyak, karena dia pikir jika suatu hari nanti kalau rentenir itu menagih, pasti ada Lusi yang bisa membayar semua hutang-hutangnya. Namun semua di luar dugaan. Sekarang Lusi terlepas dari tangan Raka. Dia juga tidak mungkin meminta uang dari Lusi lagi. Jadi, bagaimana dia menghadapi semua rentenir-rentenir itu dan juga mencukupi kebutuhan sehari-harinya? Begitu pikir Bu Sinta. "Kenapa Ibu diam saja? Katakan! Jangan bilang Ibu memang punya hutang banyak! Katakan, Bu!" seru Raka mulai kesal.Kalau ibunya benda seperti itu, maka Raka juga tidak bisa melakukan apa pun. Karena saat ini dia sedang ada di penjara. Jika dia keluar dari
"Bagaimana kalau misalkan Ibu jual saja tas-tas branded dan perhiasan?""Ibu menjual tas-tas branded ibu, kok." "Semuanya?""Ya, belum, sih. Sebagian. Itu kan buat sewa pengacara agar kamu nggak bercerai." "Sudah terlambat, Bu. Sebaiknya Ibu pakai saja uang itu untuk kehidupan sehari-hari." "Lalu kamu bagaimana?" "Ya aku harus jalani hukuman di sini. Mau tidak mau.""Memangnya kamu mau terus dikurung di sini? Di penjara, sementara mantan istri kamu itu sudah bebas. Bagaimana kalau misalkan ternyata Lusi sudah mendapatkan calon suami lagi dalam waktu dekat?" ucap Bu Sinta membuat tubuh Raka terkesiap. Padahal sebelumnya dia sama sekali tidak memikirkan tentang Lusi terlebih dahulu. Dia ingin fokus kepada ibunya dan mencari bukti perihal kehamilan Mila. Tetapi mendengar Bu Sinta mengatakan itu, api cemburu pun langsung berkobar di dada. "Benar juga kata Ibu."Bagaimana kalau misalkan Lusi didekati oleh pria lain, bahkan sebelumnya Raka bebas? Dia masih ingat, ada cinta pertama Lus
"Heh, wanita tua bangka! Cepat keluar! Aku tahu kau ada di dalam!" seru seorang pria tambun yang tidak lain adalah rentenir yang sering datang ke rumah Bu Sinta.Bu Sinta yang merasa tersinggung karena dikatai wanita tua itu langsung marah. Bukannya membukakan pintu, wanita paruh baya itu malah pergi ke kamar dan bercermin. Dia melihat wajahnya, memang ada beberapa kerutan di pinggir mata dan juga dahi. Belum lagi di pinggir bibirnya. "Duh, iya juga. Aku banyak kerutannya. Ini pasti gara-gara memikirkan tentang Raka dan Lusi. Lagian ngapain juga sih anak itu pakai selingkuh segala? Ini kan berefek pada kecantikanku. Ini tidak bisa dibiarkan. Pokoknya aku harus perawatan lagi," papar wanita paruh baya itu, masih menelisik wajahnya sendiri. Gedoran di pintu membuat Bu Sinta terkesiap. Dia kesal, tapi juga ketakutan jika berhadapan sendiri dengan pria tambun itu. Karena biasanya membawa anak buah yang wajahnya begitu menyeramkan. "Tua bangka, cepat keluar! Bagaimana dengan hutang-huta
"Duh, ini tidak bisa dibiarkan. Bagaimana kalau misalkan rumah ini benar-benar disita oleh si rentenir gendut itu? Bisa-bisa aku tinggal di jalanan. Terus aku kalau ngontrak juga pasti pakai uang. Aku tidak mau mengontrak di tempat yang kumuh," ujar bu Sinta tampak kebingungan. Dia malah mondar-mandir di depan kasurnya sendiri. Wanita paruh baya itu berpikir keras. Bagaimana caranya melunasi utang-utang yang sudah begitu numpuk, 100 juta itu baru pokoknya. Belum lagi bunganya yang entah berapa. Lagi-lagi wanita paruh baya itu merutuki Raka. Harusnya anaknya tidak berbuat masalah. Jadi dia tidak akan pusing sendiri seperti ini. Sekarang mendatangi Lusi pun rasanya tidak mungkin, pasti wanita itu akan mengusirnya dan memberikan makian kepada Bu Sinta. Wanita itu lalu menoleh ke lemari panjang yang ada di pinggirnya, isinya itu tas-tas branded dan juga sepatu yang harganya mahal. Ada setengahnya yang sudah dia jual, itu untuk membiayai kehidupannya sehari-hari sebelum Raka benar-benar
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan
Raka masih diam, tidak tahu harus mengatakan apa, karena semuanya serba mendadak. Padahal sebelumnya pria itu berpikir kalau Winda akan dengan senang hati memberinya bantuan tanpa harus meminta apa pun darinya. Tetapi, semua itu ternyata salah. Winda tetap saja meminta hal yang rasanya mustahil dilakukan oleh Raka. Masalahnya Raka memang tidak punya perasaan kepada wanita ini, ditambah lagi kalau misalkan Mila tahu apa yang sudah dilakukan Raka maka rencana semula akan benar-benar hancur. Hanya saja, pria itu juga ingin bertemu dengan Alia. Bagaimana kalau misalkan Alia ternyata dibawa ke luar negeri oleh Lusi? Entah berapa lama dia akan memendam rasa rindu kepada anaknya itu. Semua ini seperti sebuah simalakama untuknya. Melihat diamnya Raka, Winda tersenyum sinis. Dia menghela napas panjang, tahu kalau semua ini sulit untuk Raka dan mungkin pada akhirnya pria ini akan menolak tawaran itu. Jadi, tidak ada alasan Winda untuk menerima semua permintaan Raka. "Baiklah, Mas. Kalau mema
Maura menutup mulut, tak menyangka. Dia ingin menjerit dan memprotes apa yang dikatakan oleh Winda. Jika memang Winda tidak mengejar Raka, maka dia tidak akan mendapatkan rumah kecuali kalau misalkan dia memberikan ancaman. Tetapi tetap saja wanita itu tidak bisa memanfaatkan Winda kalau wanita itu tidak mengejar Raka lagi. Ini akan berat untuknya, tapi Maura juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai. Tidak lupa wanita itu menyetel rekaman keduanya. Dia melakukan ini demi sebuah keamanan dan juga materi. Karena bagaimanapun hidup di sini butuh uang, jadi Maura tidak mau menjual rasa kasihannya demi orang lain. "Kenapa, Mas? Kamu diam saja. Kamu tidak beranikan menentukan jaminan apa-apa?" Winda menghela napas panjang. "Mas, aku memang prihatin dengan apa yang terjadi kepadamu. Tapi seperti yang kamu bilang, semua ini berawal dari kamu sendiri, kan? Kalau memang kamu mau aku membantu bertemu dengan Alia, maka kamu harus menikah
Raka terperangah. Dia berusaha untuk meyakinkan diri kalau yang didengarnya itu hanyalah salah."Kamu bercanda, kan, Win?"Winda tampak serius. Kali ini bahkan tidak ada senyum sama sekali."Tidak, Mas. Aku serius." "Kenapa? Bukankah kamu selama ini mau mendekatiku. Kamu juga selalu membantu ibuku?" tanya Raka. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Padahal pria itu sudah sampai sembunyi-sembunyi untuk pergi dari Mila. Pagi-pagi sekali bertemu dengan Winda, berharap kalau wanita ini bisa membantunya.Sementara itu Maura hanya terdiam dan berusaha untuk mendengarkan apa yang terjadi, karena bagaimanapun ini informasi penting. Dia akan meminta harga yang mahal kepada kakaknya atas semua ini. "Iya, Mas. Aku memang selalu membantumu. Aku juga membantu Ibu jika itu adalah kebaikan, tetapi untuk masalah Lusi, tidak." "Kenapa? Apakah kamu takut aku kembali kepada Lusi atau memang kamu berharap aku memberikan hadiah?" Lagi, kalimat tadi itu langsung m
"Bantuan? Bantuan apa, Mas?" tanya Winda.Dia mengajukan pertanyaan itu karena Winda juga tidak tahu harus melakukan apa. Sebab dirinya merasa ragu, apakah bisa membantu pria ini atau tidak. Raka terlihat senyum merekah. Entah kenapa itu malah membuat Winda khawatir kalau Raka akan meminta hal yang aneh kepadanya. "Benar kamu bisa membantuku, kan?" tanya Raka memastikan dulu. Sekarang Winda tersenyum kaku. Dia juga bingung apakah harus mengiyakan atau menggelengkan kepala, karena wanita ragu apa yang diinginkan oleh pria ini."Tolong bantu aku mencari Lusi dan Alia." "Apa?!" Seketika wajah yang sebelumnya terlihat khawatir dan bingung berubah menjadi kaget ada rasa kecewa yang menusuk dalam dada. Maura yang mendengarnya pun menutup mulut, hampir saja bersuara. Ternyata Raka masih memikirkan perihal Lusi, sampai meminta semua ini kepada Winda yang bukan siapa-siapa. Winda hanya bisa terdiam saja. Dia tidak tahu harus memberikan reaksi apa, karena ini sudah memastikan kalau Raka
"Kamu serius, Mas? Kamu tidak salah lihat atau mungkin tetanggamu itu pura-pura tidak tahu?" tanya Winda tiba-tiba saja membuat Raka terdiam. Raka baru terpikir, bisa saja Bu Murni itu memang sebenarnya tahu ke mana Lusi berada, tetapi tampaknya disembunyikan. Namun demikian, Raka tidak mungkin memaksa wanita paruh baya itu untuk berbicara jujur. Yang ada dia bisa dipidanakan, karena sudah melakukan pemaksaan kepada orang tua. "Aku juga tidak tahu, mungkin sesuatu itu terjadi. Tapi yang pasti, saat ini aku tidak punya informasi apa pun. Nomorku diblokir orang, pasti aku tidak bisa melacak keberadaan anakku," ungkap Raka, semakin frustrasi. Membuat Maura akhirnya paham apa yang sebenarnya terjadi kepada Raka, sampai pria itu akhir-akhir ini memilih untuk diam saja."Ya, Mas. Aku paham posisi kamu. Kamu pasti merasa hampa dan takut kehilangan Alia, kan?" "Tentu saja, Winda. Aku benar-benar tidak bisa kehilangan anakku. Dari kecil aku mengasuhnya. Aku memberikan kasih sayang berlimpa
Raka dan Winda memesan tempat di pojokan. Dia tidak mau sampai ada orang yang melihat keberadaan mereka, terlebih mungkin mata-mata yang akan mengambil foto Raka dan juga Winda. Raka sudah memperkirakan ini, tapi dia tidak sadar kalau dirinya sudah dari tadi diikuti oleh Maura. Maura tidak mau kalah. Dia akhirnya membayar argo taksi dan memilih untuk mengikuti keduanya. Dia kembali memakai hoodie dan kacamata, lalu duduk tak jauh dari tempat itu. Tentu saja posisinya membelakangi keduanya, takut diketahui identitasnya oleh Raka ataupun Winda. Raka memesan makanan yang cukup mewah di sana, membuat Winda keheranan. Karena dia tahu kalau Raka itu pasti mendapatkan uang dari Mila. Tetapi wanita itu tidak mau melukai harga diri sang pria dan memilih untuk diam saja. Dia akan tunggu apa saja yang diinginkan oleh Raka. Bahkan di mobil saja pria itu sudah meminta sesuatu kepada Winda. Mungkin saja pembicaraan ini pun penting. Meskipun dia tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh sang pria,