"Mas!" Lusi menaikkan nada bicara karena kesal pada Raka.
Untuk apa Raka memohon pada Lusi jika tidak mau jujur? Tadi saja memaksanya untuk mendengarkan penjelasan Raka. Tetapi, sekarang? Kenapa dia bungkam? Apakah dia sudah berubah pikiran? Semua pertanyaan itu berputar di benak Lusi.
"Kalau kamu tidak jawab pertanyaanku, maka--"
"Tiga bulan, Lus." Jawaban Raka seperti petir yang menggelegar di atas kepala Lusi.
Menyentak jantung dan meluluh lantak1an persendiannya. Apa katanya? Tiga bulan? Itu artinya saat Lusi mencarikan kontrakan baru untuk Mila dan itu kontrakan milik Lusi.
Gila! Bagaimana bisa mereka melakukan pengkhianatan di belakang Lusi semulus ini? Lusi kecolongan sampai akhirnya Mila hamil duluan.
"Hahaha. Luar biasa, Mas."
Entah apa yang mendorongnya sampai tertawa seperti ini. Tidak ada yang lucu, justru hanya ada kepiluan dan miris akan nasib diri. Lusi menertawakan diri sendiri yang bodoh karena terpedaya oleh dua orang pengkhianat itu.
"Tiga bulan? Itu artinya setelah sebulan aku mengenalkanmu pada Mila, kalian bermain gila? Apakah kamu melakukannya di kontrakanku?" tanya Lusi menyelidik.
Raka hanya menunduk pasrah. Tidak ada satu kata yang terucap dari mulutnya, dan itu artinya dia tidak menyangkal tebakan Lusi.
Plak!
Tangan Lusi bergetar dengan rasa pedas yang menjalar di telapak tangan. Terlihat Raka tetap diam kala tamparan mendarat mulus di pipinya. Saking mulusnya, gambar tangan itu begitu jelas.
"Biadab! Berengsek! Bajingan! Kamu laki-laki jahat dan kotor, Mas! Apa yang membuatmu seperti ini? Kenapa kamu melakukannya padaku? Apa salahku, Mas? Apa!"
Lusi menarik kerah kemeja Raka lagi, hingga wajah Raka terangkat. Dia tidak berani menatap Lusi, tapi wajahnya terlihat pasrah saat diperlakukan kasar.
"Apa yang ada di pikiranmu, Mas? Kenapa kamu tega? Kenapa?!" Lusi menangis tersedu-sedu. Sesak, sangat sesak sampai yang keluar dari mulutnya adalah isakan tertahan.
Lusi mendorong tubuh Raka hingga terjerembab ke lantai. Dia tidak mengerti. Selama ini, rumah tangga mereka baik-baik saja. Tidak ada pertengkaran yang begitu berarti. Bahkan, dia tidak menemukan gelagat aneh dari suaminya. Tetapi, kenapa semua ini bisa terjadi? Apa yang salah? Di mana letak salahnya?
Semua pertanyaan itu berlomba-lomba memenuhi benak. Lusi sangat hancur.
"Kamu tidak salah, Lus. Aku sudah katakan itu. Kamu juga tidak ada kekurangan. Tapi, karena kamu yang terlalu sempurna membuatku seperti ini."
Lusi terdiam dan tangis itu langsung berhenti. Suami brengsek itu masih saja menunduk. Dia berbicara sembari bersimpuh di hadapannya.
"Aku merasa tidak ada gunanya di depanmu, Lus. Kamu sangat sempurna, sampai aku tak terlihat oleh orang lain. Kamu terlalu baik padaku hingga aku merasa hanya bisa menyusahkanmu. Semuanya salahku, Lus."
Lusi masih diam. Muak, memang. Tetapi, dia ingin mendengarkan semua penjelasan Raka.
"Aku berada di zona nyaman dan tidak pernah mengalami kesulitan yang berarti. Hingga, rasa jenuh itu muncul, Lus. Dari sanalah semua ini terjadi. Aku salah, dan menyesal." Sekarang pria itu mendongak dengan mata memerah. Ada sesal juga pengharapan yang nyata. Tetapi, apakah semua itu berguna sekarang? Tentu tidak.
"Aku mohon ampun padamu, Lus. Aku salah, aku berengsek, aku biadab, aku bajingan dan apa pun sebutan yang pantas untukku, lontarkan saja. Tapi, aku mohon. Jangan tinggalkan aku, Lus."
Lusi terdiam sesaat, lalu tak lama kemudian terkekeh sembari menatap wajah Raka. Melihatnya memohon seperti itu, Lusi jadi penasaran dengannya.
"Mas, apa alasanmu ingin bertahan denganku? Jangan katakan soal cinta, karena kamu saja berani berkhianat. Jawab, Mas. Apa alasanmu yang sebenarnya?"
"Kenapa kamu diam, Mas? Katakan sesuatu. Jangan membuatku muak dan memilih menceraikanmu!" seru Lusi, kesal.
Pria itu masih saja diam. Dia malah menunduk di pangkuan Lusi sembari mengeratkan genggaman di tangan itu.
Lusi mencoba menyingkirkannya, tapi Raka malah menangis tersedu-sedu. Air mata buaya yang membuatnya muak.
Ini memang kali pertama dia melihatnya menangis, tapi langsung muak karena air mata itu sebuah sesal dari pengkhianatannya.
"Aku mencintaimu, Lus. Sungguh. Aku khilaf, karena telah main gila di belakangmu. Kalau saja Mila tidak hamil, aku tidak akan mau menikahinya," ujar Raka, suaranya terdengar parau.
Lusi sontak tertawa. Tetapi sialnya, air mata itu malah ikut keluar. Drama sekali hidup Raka.
"Lalu, kamu pikir aku akan tetap bertahan denganmu meski Mila tidak hamil? Tentu saja tidak, Mas! Aku masih waras untuk tidak menderita di sampingmu."
Enteng sekali Raka bilang begitu. Dia bilang tidak mau menikahi Mila, padahal dia sendiri yang sudah merenggut kesucian Mila. pengecut, kan?
"Aku, kan sudah bilang, Mas. Jangan bawa-bawa nama cinta kalau kamu saja berani mendua. Kebohongan besar itu, Mas! Dan aku tidak percaya lagi dengan perkataanmu."
Raka masih setia menunduk. Genggaman di tangan Lusi pun semakin erat. Apakah dia mulai putus asa?
Lusi diam sejenak, menjeda emosi yang sebelumnya membuncah. Beberapa kali dia menarik napas dan membuangnya secara perlahan.
Lusi masih tidak percaya kalau semua ini terjadi. Sungguh seperti mimpi buruk yang tak berujung. Tak bisa lagi tergambarkan kesakitan dan hancurnya perasaan itu.
Sekarang, Lusi berpikir untuk mencari jalan keluar dari masalah ini. Jika Lusi bercerai, bagaimana dengan Alia? Dia tidak mau anaknya menjadi korban broken home. Tetapi, dia juga tidak sudi harus berbagi suami dengan wanita jalang itu. Tidak.
Lusi harus berpikir jernih. Tidak bisa diputuskan hari ini. Dia tidak akan rugi jika kehilangan Raka, tapi gantinya, Alia yang akan kehilangan kasih sayang ayahnya.
Apalagi Mila akan punya anak. Perhatian Raka pasti fokus pada anak Mila yang masih bayi.
'Tuhan, kenapa semua ini bisa terjadi? Apa yang harus aku lakukan?'
"Lusi ...."Pria itu akhirnya bersuara. Dia mendongak, menatap Lusi yang hanya diam dengan sorot mata datar."Lus, tolong ampuni aku. Aku hanya akan menikahi Mila sampai bayinya lahir, setelah itu aku akan menceraikannya. Tolong mengertilah posisiku, Lus."Bajingan itu lagi-lagi menggenggam tangan Lusi dengan sangat erat. Tetapi, sang wanita sudah tak memedulikannya."Aku sudah jujur padamu, Lus, dan aku akui semua kesalahanku. Aku khilaf, maaf."Lusi terkekeh hambar. Jujur setelah berselingkuh itu bukanlah kejujuran, tapi keterpaksaan."Mas, tadi kamu bilang aku terlalu sempurna? Lalu, kamu bilang jika kamu jenuh? Terus, kamu melampiaskannya dengan cara berselingkuh? Itu biadab namanya, Mas!"Raka diam. Kali ini dia tidak menunduk, tapi menatap istrinya dengan sesal. Sayangnya, Lusi memilih melempar pandangan ke depan."Kamu tahu, Mas? Aku manusia biasa, dan tidak ada yang sempurna di dunia ini. Itu penilaianmu saja yang tidak pernah merasakan bagaimana menjadi diriku. Lalu, jenuh? K
Lusi tersenyum miring, lalu Raka langsung menggenggam erat tangan wanita itu. Tetapi, Lusi mencoba melepaskan diri darinya."Lepas dulu, Mas. Aku mau mengambil Hp."Raka kontan melepaskan genggamannya. Lusi pun dengan cepat mengambil ponsel dari saku. Setelahnya, dia menyetel rekaman."Untuk apa kamu menyetel rekaman, Lus?" tanya Raka, terlihat bingung."Oh, ini? Aku sengaja merekamnya, biar aku dan kamu sama-sama ingat, apa saja yang sudah kita sepakati bersama." Raka masih terlihat bingung, tapi Lusi tetap melanjutkan untuk merekam pembicaraan mereka. Sekarang, situasinya membuat Lusi rugi dari segala arah. Jadi, akan dia pastikan semuanya adil.Lusi mengajak Raka untuk duduk di ruang tengah. Ini mengantisipasi kalau Alia pulang. Jika anak mereka datang, Lusi akan secepatnya menghentikan pembicaraan itu."Nah, Mas. Dengarkan semua yang aku katakan, karena aku malas jika harus menjelaskannya lagi."Raka diam saja dan Lusi pun langsung mengatakan apa saja yang menjadi syarat dari wan
Raka tidak melanjutkan ucapannya. Cukup lama dia terdiam, membuat Lusi mendesah kasar. Kalau Raka tidak mau, Lusi akan menawarkan perceraian hari ini juga. "Gimana, Mas? Itu syarat pertamaku. Kalau kamu tidak mau, gak masalah. Aku akan kirim gugatan--" "Oke, oke. Aku mau." Raka langsung memotong ucapan Lusi. Dia pasti takut mendengar kata cerai. Lusi tersenyum puas. Sekarang, dia akan melanjutkan syarat yang kedua. "Oke, yang kedua. Semua usaha yang kamu kelola, aku ambil alih. Aku yang akan mengelolanya." "Apa?!" Raka berdiri dengan wajah syok. Wajah yang membuat Lusi bersorak dalam hati. Inilah yang ditunggu-tunggu oleh wanita itu. Kejatuhan Raka dan keterpurukan suaminya, akan membuat Lusi bahagia. "Apa kamu bilang tadi? Kamu mau mengelola usaha kita?" "Sttt!" Lusi menempelkan jari telunjuk di bibirnya sendiri, menyuruh Raka untuk diam. "Kita? Maaf, ya, Mas. Itu usahaku, atas namaku. Kamu hanya mengelolanya saja, hak paten itu ada padaku. Apa kamu lupa?" Otot wajah Raka t
Raka terdiam saja. Dia mungkin bingung untuk memberikan keputusan. Karena, Mila pun harus tahu tentang persyaratan dari Lusi.Sebelum memutuskan untuk memilih yang mana, Lusi akan melanjutkan persyaratan yang sudah dibuat. Tentu saja dia akan memberikan banyak persyaratan, untuk membuat hidup suaminya menderita."Persyaratan yang ketiga.""Hah?!" Suaminya kontan terperanjat mendengar Lusi mengeluarkan kata-kata itu. Terlihat ekspresinya malah membuat wanita itu merasa puas."Kok, hah? Aku bilang persyaratan yang ketiga. Kenapa kamu kaget kaya gitu, sih?"Raka mulai kebingungan, tapi Lusi melanjutkan persyaratan ketiga yang diajukan pada pria itu."Yang ketiga, jangan sampai Alia tahu kalau kalian berselingkuh. Alia tahunya Mila itu teman baikku. Kalau sampai dia tahu kelakuanmu, aku tak bisa mencegah hal buruk yang mungkin saja terjadi di antara kamu dan Alia. Biarkan dia tahu kalau kamu sedang bekerja di tempat lain, sampai harus pergi dari rumah ini."Raka terperangah. Dia juga men
Jikalau Lusi kembali pada Raka dan bertahan dengan suaminya, itu tidak akan sama lagi. Tidak. Pria itu sudah melakukan kesalahan fatal dan sayangnya Lusi bukan wanita pengemis cinta.Alasan bertahan demi anak hanya akan memberikan luka pada anak dengan tekanan berbeda. Dia melihat orang tuanya bersatu, tapi seperti musuh yang dibatasi oleh jurang. Lusi tidak mau Alia mengalami semua itu.Lusi sadar, serapat apa pun menyembunyikan perselingkuhan Raka dan Mila, Alia akan tahu. Hanya saja, dia melakukan ini demi mencari cara yang lebih baik.Lusi akan menjelaskan pada Alia secara pelan-pelan dan semoga anak itu akan mengerti."Lus, jangan seperti ini. Banyak laki-laki di luar sana yang melakukan perselingkuhan, tapi dimaafkan oleh istrinya. Bahkan, mereka rela dimadu."Lusi terperangah mendengar perkataan suaminya. Dia pikir Raka sudah paham saat menyetujui syarat dari Lusi. Tetepi, Raka sudah melontarkan perkataan salah karena membandingkan Lusi dengan wanita lain."Sayangnya aku bukan
"Maaf," ucap Raka tiba-tiba, membuat Lusi tersadar dari lamunan.Lusi terkekeh tajam, manatapnya dengan datar. "Sekarang, maafmu tidak akan mengubah apa pun yang sudah terjadi. Kamu mau menyesal dan bersujud padaku pun, tak akan kembali seperti dulu. Dari pada seperti itu, ada baiknya kamu gunakan waktu bersama Alia sebaik mungkin."Lusi memilih meninggalkan Raka dan bergegas berganti baju. Walaupun enggan dan malas jika berpergian dengan Raka, tapi ini adalah momen terakhir sebelum semua berubah. Sebelum syaratnya berlaku untuk Raka.'Baiklah, Lus. Tenang, dan anggap ini sebagai kenangan manis yabg bisa dikenang untuk Alia.'Alia dan Raka sedang tertawa bersama saat Lusi selesai berganti pakaian. Mereka berdua langsung menoleh pada Lusi. Tetapi, terlihat Raka tak mengedipkan mata kala melihat penampilan dirinya."Wah, Ibu cantik sekali. Iya, kan, Yah?"Bocah itu kenapa juga harus bertanya pada ayahnya? Membuat Lusi serba salah saja.Raka masih tak berkedip, tapi dia mengangguk sebaga
Lusi tersenyum puas melihat raksi suaminya. 'Ayo, Mas. Jawablah pertanyaan anakmu. Itu kan sesuai dengan keadaan rumah tangga kita.' Lusi membatin, ingin tahu bagaimana Raka menjelaskannya pada anaknya sendiri."Yah!""La-lampu hijau, Ayah harus menyetir. Tanya saja pada Ibu, nanti Ibu yang jawab."'What?! Haha.' Lusi ingin menertawakan jawaban yang diberikan oleh bajingan itu. Lihatlah ekspresi wajahnya? Dia seperti maling yang mengelak dari segala tuduhan. Ketakutan dan malu sendiri.Lusi ingin mengolok-oloknya atau mungkin menghina laki-laki sialan itu. Tatapi, sayangnya tidak bisa. Dia harus menahan diri. Jangan sampai Alia lihat pertengkaran di antara mereka."Ish, Ayah kok gitu, sih? Jadi, gimana, Bu?"Lusi kaget saat Alia benar-benar meminta jawaban padanya. Sekarang, giliran Lusi yang bingung. Bagaimana caranya membuat Alia mengerti tentang masalah rumah tangga?Lusi menghela napas sejenak. Kalau tidak dijelaskan, dia akan meminta penjelasan pada orang lain atau mungkin pada
"Ah, sudahlah. Jangan bahas itu lagi. Jangan racuni Alia dengan pembicaraan tentang rumah tangga. Belum saatnya, Lus.""Kenapa belum saatnya, Mas? Aku rasa pantas saja dia tahu tentang kehidupan rumah tangga, apalagi temannya mengalami kehidupan sulit karena konflik rumah tangga orang tua. Sebelah mananya yang salah, Mas? Justru, kalau aku tidak menjelaskan dengan benar, Alia akan menelan bulat-bulat cerita dari temannya."Raka diam. Dia memejamkan mata, lalu menggenggam erat setir mobil. Lusi tahu, dia sedang menahan amarah. Sungguh mengasyikan membuat Raka tak berkutik seperti ini."Apa Ibu dan Ayah sedang bertengkar?"Lusi tersentak mendengar suara Alia. Ya Tuhan, dia lupa jika Alia ada di sini. Lusi menoleh padanya, dan mendapati wajah anak gadis itu tengah murung dengan mata memerah. 'Bagaimana ini?'"Ibu dan Ayah jangan bertengkar, Alia takut."Terdengar suara isakan dari gadis kecil itu. Lusi langsung membalikkan badan, menghadap anaknya dengan kekhawatiran yang penuh.Ah, ken
Setelah menunggu beberapa saat, keluarlah dokter dan suster yang sedang menangani Mila. Dengan cepat Maura menghampiri dan bertanya bagaimana keadaan kakaknya itu. "Kalau boleh tahu, Mbak ini siapanya pasien?" tanya dokter. Saat ini Maura tidak mau mengakui kalau Mila adalah kakaknya, lebih baik seperti ini dibandingkan nanti dirinya yang akan repot harus mengurus semuanya demi wanita hamil itu. "Kebetulan saya tetangganya, Dok. Tadi lihat dia kecelakaan di jalan. Jadi saya yang bawa ke sini," ujar Maura, memilih untuk menjawab secara demokratis. Kalau dia mengatakan hanya orang asing, pasti disuruh pergi dan menelepon keluarganya. Artinya dia harus menelepon kedua orang tua mereka, mengingat itu Maura langsung menggelengkan kepala. Mana sudi dia bertemu dengan kedua orang tuanya lagi, terutama ayah tiri yang membuatnya menderita sampai saat ini." Oh, kalau begitu bisakah Mbak menelepon keluarganya?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari dokter, tetapi setidaknya Maura sud
Maura saat ini sedang ada di rumah sakit. Dia tampak gelisah, sesekali duduk lalu berjalan mondar-mandir menunggu di depan ruang ICU. Saat melihat keadaan kakaknya, wanita itu benar-benar syok. Kepala Mila terbentur. Ada bagian depan mobil yang sudah rusak. Saat ini Maura dihantui ketakutan. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba saja bersarang di benak, salah satunya bagaimana kalau misalkan kakaknya meninggal? Apa yang akan dia jelaskan kepada kedua orang tuanya jika tahu Mila kecelakaan dan saat itu dialah yang ada di rumah sakit ini? Namun, kalau Maura diam saja akan terjadi sesuatu yang buruk kepada kakaknya. Setelah hampir 18 tahun hidup mengenal Mila, pertama kalinya wanita itu merasa khawatir yang teramat sangat dibandingkan dulu saat tahu Mila masuk penjara karena viral. Kali ini ada rasa takut yang benar-benar mengukung, sampai Maura bingung harus melakukan apa. Wanita itu berusaha untuk menelepon Raka, tapi lagi-lagi sang pria tidak bisa dihubungi. Dia jadi bingung
Mila sama sekali tidak menyadari kalau dirinya sedang diikuti. Mungkin pikirannya sudah lelah karena perutnya juga lapar dan tidak fokus, hingga dia pun berhenti di sebuah kedai bakso. Saat ini tampaknya sang anak yang ada dalam kandungan ingin mencicipi bakso yang agak jauh. Maura menghentikan taksi itu dan memantau kalau kakaknya masuk ke kedai bakso tersebut. "Lah, kok dia malah berhenti di situ? Atau jangan-jangan Kak Mila memang keluar untuk beli makanan?" gumam wanita itu. Dia keheranan. Kalau terus lama-lama di sini yang ada harga argonya akan terus berjalan dan mungkin dia harus mengeluarkan banyak uang, jadi wanita itu pun terpaksa turun dari taksi dan memantau dari kejauhan saja. "Duh, sial banget! Masa aku harus berdiri di sini memantau dari kejauhan? Mana panas pula," gerutu Maura.Dia mencoba melihat ke sekitar dan mencari tempat yang nyaman, kira-kira bisa duduk menunggu Mila. Inginnya wanita itu pun masuk ke sana dan ikut makan, tetapi pasti Mila akan mengetahui keb
Maura tampak muram dan ketakutan. Dia tidak tahu harus tenang apa, karena saat ini posisinya sedang sendirian. Tidak ada tempat bergantung. Bahkan kakaknya sendiri pun malah mengintimidasi. Tapi, kalau sampai Mila mengetahui masalah ini, yang ada dia akan semakin dipersulit atau mungkin bisa saja malah dilaporkan ke polisi dan berakhir di penjara. Membayangkannya saja membuat Maura merasa ketakutan, apalagi kalau jadi kenyataan. Dia tidak bisa berpikir jernih saat ini, berharap kalau ada solusi lain. Namun semakin diamkan, perasaannya semakin gundah. Maura tidak bisa diam saja. Dia harus meminta bantuan kepada seseorang dan satu orang yang terlintas di benak wanita itu adalah nama Raka.Dengan cepat dia menelepon Raka, tapi sayangnya tidak aktif. “Apa Mas Raka sengaja melakukan ini agar tidak ada yang mengganggu?” gumam sang wanita dan tebakan Maura memang benar.Raka sengaja mematikan ponselnya agar tidak diganggu oleh Mila atau siapapun yang akan memperkeruh suasana. Hari ini jug
Setelah keluar dari ruangan interview, ternyata ada David sudah ada di sana. Lusi sangat kaget dengan kehadiran pria itu, lalu tiba-tiba saja tersenyum merekah, membuat jantung David berdetak dengan sangat kencang. "Bagaimana?" tanya David dengan tenang, walaupun sebenarnya saat ini dia sedang merasa gugup tetapi usianya yang sudah matang tidak mentoleransi semua itu. Dia bukan ABG lagi yang harus terlihat malu-malu di depan wanita yang dicintainya. "Alhamdulillah, aku keterima. Terima kasih, ya."Lusi langsung menjulurkan tangan membuat David terperangah, tetapi tak urung pria itu pun menerima uluran tangan Lusi. Mereka bersalaman dan kali ini David merasa tuntas karena bisa menyentuh tangan Lusi yang sangat halus dan lembut. "Syukurlah kalau begitu. Benar kan, aku tidak menipumu?" "Ya, aku minta maaf. Bukan maksud apa-apa, aku hanya melindungi diri dari hal-hal yang buruk. Tidak ada yang tahu kan apa yang akan terjadi selanjutnya," ucap Lusi membuat David terdiam sembari mengan
Bagaimana? Kalau mau, aku antarkan kamu ke kantornya. Kebetulan aku juga kerja di sana," ucap David membuat Lusi mulai menurunkan rasa curiganya kepada pria itu. "Kamu benar-benar tidak akan membawaku ke tempat yang aneh-aneh, kan?" tanya Lusi lagi, karena dia merasa belum yakin sepenuhnya apalagi mereka baru kenal kemarin. Itu pun hanya sepintas. "Ya Tuhan, apakah kamu selalu melakukan ini kepada orang lain? Kecuali kalau aku itu tidak dekat tempat tinggalnya denganmu, baru kamu curiga. Tapi aku kan tinggalnya dekat. Harusnya kamu bisa mengantisipasi itu, kan?"David lama-lama gemas juga kepada Lusi yang malah terus-terusan bertanya seperti itu. Wanita itu diam sejenak, memandangi pria itu dengan tatapan datar. "Mungkin menurutmu itu hal wajar, tapi tidak bagiku. Apalagi kamu tidak tahu bagaimana masa laluku. Harusnya kamu tahu, orang-orang akan melindungi diri sendiri dari hal-hal yang membuatnya kecewa," ujar Lusi membuat David terdiam. Pria itu memandangi sang wanita yang seka
Lusi sampai tak bisa berkata-kata saking kagetnya kala dia duduk dan muncullah Damian dengan wajah tergesa-gesa. Wanita itu sampai mengerjapkan mata berkali-kali, apalagi saat sang pria duduk di sampingnya. Dia benar-benar tak bisa mengatakan apa pun karena menurutnya pria ini aneh. Lusi hanya mengenal namanya Damian dan tidak berniat untuk berkenalan lebih jauh, karena bagi Lusi hati kecilnya sudah tertutup untuk laki-laki manapun. Dulu sempat hampir saja mempunyai rasa kepada Devan, tapi ternyata pria itu malah membuatnya kecewa dan membuat Lusi tak mau lagi menjalin hubungan dengan pria manapun. Dua kali mengalami kekecewaan dari laki-laki, membuat Lusi merasa kalau dirinya memang harus fokus dulu kepada diri sendiri dan sang anak. Jadi, siapapun yang akan mendekat, Lusi akan berusaha untuk menghalangi dan menutup hati. "Hai, kita bertemu di sini." Tiba-tiba saja David mengatakan hal seperti itu, membuat Lusi menoleh dan hanya tersenyum kaku. Sungguh rasanya dia tidak mau basa-
"Apakah harus?" tanya Raka terlihat sekali kalau wajahnya menentang semua permintaan Winda. Melihat itu Winda lagi-lagi merasa kecewa. Tetapi dia tidak mau malah bertengkar, apalagi di hari pertamanya sebagai seorang istri. Mungkin memang Raka belum mau pergi keluar bulan madu sebab memikirkan Alia. Dia berusaha untuk mengerti semuanya, walaupun tampak sekali di wajahnya rasa kekecewaan itu. "Oh ya sudah, Mas. Kalau memang tidak mau tak masalah, aku juga tidak mau kalau Mas Raka tidak bisa. Sebaiknya kita istirahat saja."Winda memilih untuk berdiri dan pergi, tetapi Raka tiba-tiba saja menariknya dan kembali membuat Winda terduduk. Raka menghela napas kasar, tampaknya dia sudah berbuat salah kepada Winda. Masih untung ada yang mau membantunya. Apalagi kata Winda, mereka akan mencari Alia. "Baiklah kita akan berangkat. Tapi nanti besok pulang, ya? Aku tidak bisa lama. Kamu tahu kan? Lusa harus kembalikan kepada Mila," ucap Raka, tiba-tiba saja membuat Winda mengerjapkan mata semba
Menjelang siang ini, tinggal Winda dan Raka berdua saja di rumah Winda. Untuk kedua kalinya dia merasakan sebagai pengantin baru setelah bertahun-tahun ditinggal oleh almarhum suaminya terdahulu. Winda memang tidak menjalin hubungan dengan siapa pun, karena dia memang ingin mengajar Raka. Sekarang setelah menikah, rasanya seperti mimpi. Kekecewaan karena dia tidak dianggap sebagai istri di depan umum, membuat Winda tak memedulikan itu. Semua karena dirinya sekarang sedang benar-benar bahagia sebab sudah memiliki Raka. "Mas, rencana kita selanjutnya seperti apa?" tanya Winda dengan penuh semangat, berharap kalau pria ini akan mengajaknya untuk bulan madu. Kalau masalah perihal biaya, Winda bisa backup semuanya. Yang dibutuhkan adalah perhatian dari pria itu. "Aku ingin mencari Alia." Seketika senyuman di bibir Winda langsung luntur. Hatinya tersayat dan benar-benar tidak dipedulikan di sini. Hanya dijadikan sebagai alat untuk mencari anak dan mantan istri Raka. "Iya, Mas. Aku tahu