"Tentu saja Ayah mencintai ibumu, Alia. Ayah tidak akan pernah melepas ibumu." Raka mengatakan itu dengan tegas sembari menatap Alia, lalu beralih memandangi Lusi dengan wajah penuh harap.Lusi tertegun sesaat, hampir saja terbuai dalam tatapan Raka. Dengan segera dia menggelengkan kepala. Tidak, dia tidak akan terjebak. Hatinya sudah terlanjur sakit, dan Raka juga sudah menodai pernikahan mereka. Tidak ada alasan untuk bertahan.Mungkin, untuk sekarang Lusi hanya bisa menyembunyikan hubungan terlarang antara suaminya dan Mila. Dan dia tahu, lambat laun Alia akan tahu.Sebelum itu terjadi, Lusi harus membuat Alia mengerti kalau perpisahan adalah yang terbaik. Mau dia bertahan atau tidak, Alia pasti tetap akan terluka karena pengkhianatan Raka."Kalau Ibu, gimana? Ibu juga sayang dan cinta kan sama Ayah?"Jantung Lusi tersentak mendengar pertanyaan itu. Ya ampun, dia benar-benar tidak menyangka kalau Alia juga menanyakan itu padanya. Apa yang harus Lusi katakan pada Alia?Raka menatap
Makanan di meja sudah tandas, Alia terus meracau kalau dia senang karena bisa makan di luar bersama ayahnya. Lusi hanya tersenyum miris.Ya, tentu saja. Karena mungkin ini terakhir kalinya mereka bisa makan bersama di luar seperti ini. Raka pamit ke toilet, dan entah disengaja atau tidak HPnya tertinggal.Selama ini, Lusi tidak pernah menyentuh privasinya. Karena dia percaya pada Raka. Namun, setelah kejadian pengkhianatannya, rasa curiga yang dibalut penasaran pun mencuat dengan sendirinya.Lusi melirik ponsel itu dan tangannya refleks meraih benda pipih di meja. Setahunya, Raka tidak menggunakan kata sandi atau kunci khusus. Itu karena Alia sering memakai HP Raka untuk bermain game.Namun, sekarang. Laki-laki itu memasang kunci pola pada HPnya. Ini sudah menjadi cukup bukti kalau dia menyembunyikan sesuatu dari Lusi.Lusi hanya bisa mendesah kasar. Semua percuma kalau seperti ini. Rasa penasarannya tidak akan pernah tuntas kalau sumber satu-satunya tidak bisa ditelusuri.Akhirnya di
"Istriku meninggal saat melahirkan anak kami. Dan, seminggu setelahnya, anak kami meninggal karena penyakit bawaan."Lusi tercengang. Terlihat kesedihan amat kentara dari wajah itu. Pantas saja dia ada di sini. Mungkin ingin mengurangi kesedihan karena kehilangan 2 orang yang paling dicintai sekaligus."Aku turut berduka cita, Van. Sabar, mungkin ini ujian untukmu." Lusi mengatakan itu dengan tulus, sebagai seorang manusia yang punya rasa iba.Walaupun dulu mereka punya hubungan di masa lalu, sekarang sudah beda lagi ceritanya. Lusi dan Devan punya kehidupan masing-masing. Ya, walaupun kehidupan Lusi sekarang sedang diterjang badai, tetap saja dia masa lalunya.Devan adalah orang yang dekat dengan Lusi. Mereka tidak pacaran, tapi sama-sama mengakui punya perasaan lebih. Devan adalah anak dari bos rumah makan dan restoran ternama. Dia juga anak pintar.Walaupun demikian, Devan orang yang humbel dan sederhana. Sekaya apa pun orang tuanya, Devan tidak pernah memperlihatkan gaya hidup yan
Hening. Suasana di mobil terasa mencekam. Alia tertidur, sepertinya kelelahan. Tinggal Lusi dan Raka yang sama-sama terdiam.Lusi tak tahu apa yang sedang Raka pikirkan, ketakutannya adalah jika dia salah paham pada Devan. Bisa jadi dia mengada-ngada dan menuduh segala macam padanya."Siapa dia?" tanya Raka tiba-tiba. Lusi pikir dia akan diam saja sampai rumah, ternyata tidak.Lusi diam sejenak. Memikirkan bagaimana cara menjelaskannya pada Raka. Apakah Lusi harus jujur siapa Devan sebenarnya? Atau cukup memberitahukan sekedarnya saja?"Lus?""Dia temanku semasa kuliah," jawab Lusi akhirnya, tetapi tak berniat untuk memperpanjang masalah tadi.Lusi harap Raka pun tidak memperpanjangnya. Tetapi, sepertinya tidak begitu. Raka menoleh pada istrinya dengan mata menuntut dan wajah menegang."Teman? Teman biasa atau teman khusus?" tanyanya dengan nada menuntut.Lusi mendesah kasar sambil memalingkan wajah ke kaca jendela mobil. Pasti akan ada lagi kesedihan. Malas sekali, apalagi ada Alia.
Rasa penasaran itu begitu mengganggu Lusi. Tidak mungkin juga dia menanyakannya pada Raka, bisa-bisa suaminya berpikir macam-macam.Lusi menggelengkan kepala dan menunda sejenak rasa penasarannya pada Raka dan Mila. Sekarang, dia harus meyediakan makan malam mereka.Semua hidangan sudah tersusun rapi di meja makan. Lusi pun langsung memanggil Alia dan Raka. Mereka datang bersamaan dengan Alia yang memegangi tangan ayahnya.Alia duduk di kursinya, begitu pun dengan Raka. Lusi siapkan nasi dan lauk pauk untuk Alia, setelah itu hendak menyiapkan nasi untuknya sendiri. Tetapi, tiba-tiba Raka menyodorkan piringnya."Ayah belum, Bu," ucap Raka dengan wajah penuh harap.Lusi terdiam sesaat. Malas sekali melayani pengkhianat ini, tapi dia terpaksa harus menyediakan nasi dan lauk pauknya untuk Raka. Semua karena Alia, anak itu jangan sampai curiga.Dengan senyum kaku, Lusi pun menyediakan makanan untuk Raka. Setelah itu, mereka pun memulai makan malam dengan suasana hangat.Alia banyak berce
Raka masih menatap Lusi lekat. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat ini, tapi Lusi tak peduli lagi. 'Berpikirlah sesukamu, Mas. Entah itu baik atau buruk, terpenting aku harus melindungi hatiku sendiri.'"Apa kamu menyimpan dendam pada kami sampai kamu melakukan ini semua?" tanya Raka dengan mata yang memicing.Lusi terdiam dan membalas tatapannya dengan datar. Raka mulai bermain dengan kata-kata dan berusaha menyudutkannya. 'Hah, coba saja kalau bisa.'"Aku muak dengan pertanyaanmu itu. Terserah padamu, Mas. Kamu mau anggap aku apa, itu tak akan berpengaruh padaku. Intinya, cepat angkat kaki dari rumah ini atau aku berubah pikiran."Raka tidak bereaksi dan tetap memandang Lusi dengan tatapan tak percaya. Sebaik dan sesabar seseorang, dia akan meledak pada waktunya. Sama seperti Lusi. Dia diam dan mengalah apa pun yang terjadi selama ini. Bahkan, Lusi mengakui usaha miliknya menjadi milik Raka di depan orang lain. Itu pun Lusi ikhlas karena memang kehormatan suaminya adalah hal
Setelah mobil terparkir, terlihat Raka masuk ke restoran itu. Lusi sengaja membuat jeda waktu agar penyamarannya tidak ketahuan.Selang 5 menit, barulah Lusi turun dari mobil dan bergegas masuk ke restoran itu. Dia sengaja menggerai rambut dan memakaikan bandana. Ini bukan ciri khas Lusi, dan sengaja melakukan ini agar mereka tidak mencurigainya.Dada Lusi langsung tersentak saat tahu kalau perkiraannya benar. Raka menemui jalang itu. 'Ah, Lus. Apa yang kamu harapkan dari laki-laki sialan itu? Sudahlah.' Sebaiknya Lusi mencari tempat strategis untuk menguping pembicaraan mereka.Syukurlah meja di depan mereka kosong, jadi Lusi bisa duduk di sana sembari membelakangi dua orang itu. Lusi berusaha tenang. Mengingat tujuannya ke sana, untuk mencari tahu seberapa buruk mereka.Dia menghela napas pelan, lalu menyetel rekaman yang disengaja diputar di atas meja. Lusi melambaikan tangan pada waiter, memesan menu yang sekiranya bisa awet dimakan dalam waktu lama. Karena, dia butuh alasan unt
"Tidak sama, Mas. Alia itu anak Lusi, kalau yang di kandunganku anakku, Mas."Lusi membulatkan mata mendengar perkataan Mila. Wanita iblis! Hatinya benar-benar jahat. Dia membedakan anak Lusi dengan anaknya. Padahal sama-sama darah daging Raka, tapi sudah terlihat sekali kalau dia itu calon Ibu tiri yang kejam.Lusi tidak akan pernah membiarkan Alia dekat dengan Mila, karena ini sudah cukup menjadi bukti kalau Mila tidak menerima anaknya."Keterlaluan kamu, Mil. Kenapa kamu berkata seperti itu? Alia juga anakku, darah dagingku. Kalau kamu mau menikah denganku, maka terima Alia sebagai anak sambungmu juga."Suara Raka tertahan dan itu pasti karena dia marah pada Mila. Terang saja, tidak ada seorang Ayah yang menerima jika anaknya diperlakukan pilih kasih, bahkan oleh wanita yang dicintai oleh Ayah itu sendiri."Ah, sudahlah! Kenapa malah bahas Alia, sih? Aku kan nyuruh kamu ke sini buat ngomongin masalah pernikahan kita."Lusi tertegun mendengarnya. Tangannya tiba-tiba saja bergetar
Sementara itu di tempat lain, saat ini Raka dan Winda sedang menikmati bulan madu. Seharian mereka berkeliling puncak. Mereka berdua sudah cek in, tetapi Raka mengajak untuk keluar. Entah kenapa dia tidak mau sampai terjadi hubungan suami istri di antara keduanya. Pikiran pria itu benar-benar kacau. Dia hanya berharap bisa menemukan anaknya dan mantan istri, setidaknya jika tahu keberadaan Alia, hatinya bisa tenang. Mungkin sesekali akan mengunjungi Alia, tentu tanpa sepengetahuan Mila. Tetapi dia tidak tahu bagaimana mengatakan semua ini kepada Winda, agar wanita itu paham kalau dirinya saat ini benar-benar membutuhkan ruang untuk mencari anaknya. "Mas, kenapa sih kamu dari tadi diam aja? Apa kamu tidak suka dengan hotel yang akan kita tempati?" tanya Winda karena dari berangkat dia melihat kalau Raka tidak fokus. Dia terus saja seperti gelisah dan memikirkan sesuatu. "Maafkan aku, Winda. Kalau boleh jujur, aku itu sedang memikirkan Alia. Ke mana kira-kira dia pergi," ucap Raka, m
Sepeninggalnya Maura, Imel hanya mematung di tempat. Dia jadi berpikiran macam-macam. Mungkinkah bosnya ini memang pelakor di masa lalu dan sekarang sedang berusaha untuk memperbaiki diri atau memang wanita hamil itu masih tetap menjadi pelaku dan berusaha menyembunyikan identitasnya?Semua pertanyaan-pertanyaan itu tiba-tiba saja dan bermunculan di benak sang gadis. Mila yang melihatnya pun mulai khawatir kalau karyawan barunya ini akan berpikiran macam-macam atau lebih parahnya dia akan menyebarkan semua informasi ini. Tidak ada yang tahu hati seseorang. Meskipun Mila merasa kalau dia sudah bersikap baik kepada Imel, tetapi tidak tahu dengan tanggapan gadis itu sendiri. Mila berdehem beberapa kali, berusaha untuk menetralkan perasaan. Dia harus tenang menghadapi situasi seperti ini. Wanita hamil itu akan berbicara baik-baik kepada Imel dan memberikan pengertian kalau semua yang dikatakan Maura itu adalah kebohongan belaka. Berharap Imel tidak akan mencari tahu melewati internet,
"Tidak akan. Aku jamin dia tidak akan tahu masalah ini, kecuali kamu yang ngomong. Tapi sepertinya kalau kamu ngomong pun jika tidak ada bukti percuma," ucap Mila. Dia tidak sadar kalau dari tadi Maura sedang mengambil buktinya. Wanita itu juga tidak berniat untuk mengatakan kalau dirinya punya bukti. Dia akan menyimpan ini baik-baik dan menjadi kejutan untuk Mila, memberikan semua ini kepada Raka tanpa sepengetahuan wanita hamil itu. Ingin tahu, betapa terkejutnya Mila setelah Raka mengambil tindakan. Karena Maura yakin, Raka tidak akan diam saja jika diperlakukan tidak baik oleh istrinya. Apalagi martabatnya sebagai seorang suami diinjak-injak begitu saja."Dengar, ya. Sekali lagi aku tegaskan, kamu jangan macam-macam sama aku dan jangan terlalu senang seolah Mas Raka itu akan benar-benar mendukungmu, kecuali kalau kamu itu adalah pelakor," ujar Mila dengan santai.Maura hanya diam saja. Dia memilih untuk mematikan rekaman dan hendak pergi dari sana, tetapi baru juga beberapa lang
"Apa tadi Mbak bilang? Mas Raka itu hidup dari uang Kakak, begitu?" tanya Maura memperjelas.Dia ingin merekam semua perkataan Mila. Dengan begitu secara kontan Raka pasti akan sakit hati dan meninggalkan Mila. Menurutnya tak masalah kalau Raka tiba-tiba saja meninggalkan Mila dengan alasan yang jelas. Lagi pula masalah perceraian bisa diurus setelah anak yang ada dalam kandungan Mila lahir. "Iya, kamu nggak sadar juga? Suamiku itu bisa hidup karena aku. Dia juga bisa mendapatkan apa-apa juga sebab uangku. Jadi, kamu jangan merasa senang karena dibela oleh Mas Raka. Karena dia juga akan tergantung padaku. Lalu, apa kamu pikir Mas Raka akan memberikan uang kepadamu? Tidak, kecuali dariku. Uang Mas Raka juga itu uangku. Apa kamu tidak menyadarinya?" ucap Mila. Dia sama sekali tidak curiga kepada Maura, apalagi wanita itu mengatakan hal tersebut sembari makan bubur. Perutnya sangat lapar. Anak yang ada dalam kandungan juga sudah menendang-nendang. Dia benar-benar merasa kalau hari ini
Awalnya Maura takut saat kakaknya tiba-tiba bertanya seperti itu, tetapi karena kelicikan yang sudah terlatih membuat dia berpikir lebih baik mempermainkan perasaan kakaknya itu, akan sangat menghancurkan Siapa tahu dengan tidak sengaja bisa berakibat fatal kepada anak yang ada dalam kandungan. Jadi, dia tidak perlu susah-susah menggugurkan kandungan Mila. Tinggal buat saja mental ibunya down, pasti anaknya ada dalam kandungan pun ikut terkena dampaknya. "Oh, Kakak mau tahu kenapa aku sampai yakin sekali kalau Mas Raka itu pasti membelaku? Sebab Mas Raka lebih percaya sama aku ketimbang sama istrinya. Kakak nggak sadar, ya? Kalau selama ini Mas Raka itu sudah lelah sekali berhubungan dengan Kak Mila, tetapi karena anak yang ada dalam kandungan itulah Mas Raka akhirnya bertahan. Dia sebenarnya berharap Kak Mila bisa berubah lebih baik, tidak terus mengekang dan cemburu buta. Tapi, sayangnya itu tidak terjadi juga. Aku yakin, memang itu ada sifat asli Kak Mila, kan? Pencemburu dan mend
Maura istirahat sejenak di sebuah masjid, tapi dia sama sekali tidak salat. Hanya berteduh. Sebelumnya wanita itu pergi ke kantin rumah sakit untuk makan. Sebab dia tidak mungkin menunggu terus Mila, sementara kakaknya itu menyebalkan. Ada saja kata-kata yang membuat dirinya semakin kesal.Wanita itu makan sambil melamun, banyak pikiran yang terus bergerilya di benak. Apa yang harus dia lakukan saat ini? Sementara Raka sama sekali tidak bisa dihubungi. Kalau misalkan dirinya pulang dengan Mila, apakah semua akan baik-baik saja dan rencananya untuk mengerjai kakaknya itu akan berhasil? Pertanyaan itu juga semakin menjadi-jadi di benaknya. Dia tak tahu harus melakukan apa. "Ah, capeknya! Aku harus benar-benar menerima semua ini. Lagi pula nggak ada salahnya, kan? Aku sudah menolongnya juga. Aku akan memulai aksiku nanti kalau sudah sampai rumah," gumam wanita itu langsung menghabiskan makanan.Dia memilih untuk kembali ke kamar kakaknya dan melihat kalau Mila sedang terduduk sembari he
"Sekarang masih diam lagi, kan? Berarti itu Kakak mengaku kalau selama ini aku belajar cara kejam dari Kakak. Aku tidak mungkin belajar dari orang lain. Pasti dari orang terdekat dulu. Coba saja dari awal saat aku datang ke sini untuk menjenguk Kakak di penjara, mungkin kejadiannya akan beda kalau Kakak bersikap baik saat itu. Ini pun aku pasti akan melupakan semua dendam dan kesakitan yang sudah Kakak beri. Sayangnya sampai detik terakhir, Kakak bersikap seperti ini. Jadi, untuk apa aku lembut dan tetap diam saja? Tidak, aku tidak mau bodoh dan menderita kedua kalinya. Sekarang terserah. Kalau misalkan aku harus keluar rumah, tanggung akibatnya. Kalau tidak mau, lakukan sesuai dengan keinginanku," ujar Maura. Setelah itu dia pergi dari hadapannya, membuat wanita hamil itu mengerang dengan hati yang dipenuhi amarah. "Maura, kurang ajar kamu! Awas! Aku akan buat perhitungan padamu!" seru Mila dengan suara parau. Maura memilih untuk keluar dan menenangkan diri terlebih dahulu. Tidak
Mila sampai tidak bisa berkata-kata mendengar semua perkataan adiknya. Jadi, selama ini Maura itu menyimpan dendam begitu banyak. Dia kira wanita itu tidak akan melakukan hal seperti ini, sebab tahu kalau dirinya adalah keluarga satu-satunya di sini. Melihat diamnya Mila, Maura tersenyum sinis sembari melipat tangan di depan dada."Kakak tahu? Ini adalah curahan hatiku selama ini. Inginnya aku memakai-maki Kakak sebisaku, tetapi sayang ini rumah sakit. Aku tidak bisa begitu saja mengeluarkan unek-unek. Tetapi satu hal yang pasti, Kakak jangan mengharapkan apa-apa dariku. Kecuali kalau bisa membayarku dengan uang yang mahal," ucap Maura menantang. Mila hanya diam saja memandangi adiknya yang dulu polos dan penurut, setelah masuk ke dunia luar dan tinggal di kota sifatnya berubah drastis seperti ini. Entah siapa yang sudah meracuni Maura, tetapi Mila yakin wanita ini tidak tiba-tiba seperti ini. Padahal belum lama di Jakarta, tapi sudah berubah drastis. Diyakini ada yang meracuni piki
"Dari dulu aku ingin tahu, bagaimana rasanya menyiksa Kakak seperti ini? Memang Tuhan itu Maha Adil. DIA akan memberikan balasan yang setimpal untuk orang-orang yang jahat seperti Kakak. sSekarang Kakak sendiri yang merasakan bagaimana sendiri tanpa bantuan siapapun. Harusnya dari dulu Kakak itu tahu kalau Kakak tidak bisa apa-apa sendiri tanpa bantuan orang lain, tapi sayangnya Kakak meremehkanku. Coba Kakak akan dibantu siapa kalau keadaan seperti ini?" papar Maura sepertinya masih belum puas mengeluarkan unek-uneknya kepada wanita hamil itu. Di saat seperti ini Mila bisa saja mengamuk. Tetapi dia tidak berdaya dengan keadaannya. Jadi, wanita itu pun memilih untuk tenang. Menghela nafas berkali-kali dan berusaha untuk menetralkan emosi yang tiba-tiba saja naik karena perkataan adiknya.Mila tahu, Maura pasti akan memancing emosi dan berusaha untuk membuatnya menderita. Tetapi Mila tidak mau disetel oleh anak ini. Dia harus memenangkan semua peperangan antara dirinya dan Maura. Ter