Setelah mobil terparkir, terlihat Raka masuk ke restoran itu. Lusi sengaja membuat jeda waktu agar penyamarannya tidak ketahuan.Selang 5 menit, barulah Lusi turun dari mobil dan bergegas masuk ke restoran itu. Dia sengaja menggerai rambut dan memakaikan bandana. Ini bukan ciri khas Lusi, dan sengaja melakukan ini agar mereka tidak mencurigainya.Dada Lusi langsung tersentak saat tahu kalau perkiraannya benar. Raka menemui jalang itu. 'Ah, Lus. Apa yang kamu harapkan dari laki-laki sialan itu? Sudahlah.' Sebaiknya Lusi mencari tempat strategis untuk menguping pembicaraan mereka.Syukurlah meja di depan mereka kosong, jadi Lusi bisa duduk di sana sembari membelakangi dua orang itu. Lusi berusaha tenang. Mengingat tujuannya ke sana, untuk mencari tahu seberapa buruk mereka.Dia menghela napas pelan, lalu menyetel rekaman yang disengaja diputar di atas meja. Lusi melambaikan tangan pada waiter, memesan menu yang sekiranya bisa awet dimakan dalam waktu lama. Karena, dia butuh alasan unt
"Tidak sama, Mas. Alia itu anak Lusi, kalau yang di kandunganku anakku, Mas."Lusi membulatkan mata mendengar perkataan Mila. Wanita iblis! Hatinya benar-benar jahat. Dia membedakan anak Lusi dengan anaknya. Padahal sama-sama darah daging Raka, tapi sudah terlihat sekali kalau dia itu calon Ibu tiri yang kejam.Lusi tidak akan pernah membiarkan Alia dekat dengan Mila, karena ini sudah cukup menjadi bukti kalau Mila tidak menerima anaknya."Keterlaluan kamu, Mil. Kenapa kamu berkata seperti itu? Alia juga anakku, darah dagingku. Kalau kamu mau menikah denganku, maka terima Alia sebagai anak sambungmu juga."Suara Raka tertahan dan itu pasti karena dia marah pada Mila. Terang saja, tidak ada seorang Ayah yang menerima jika anaknya diperlakukan pilih kasih, bahkan oleh wanita yang dicintai oleh Ayah itu sendiri."Ah, sudahlah! Kenapa malah bahas Alia, sih? Aku kan nyuruh kamu ke sini buat ngomongin masalah pernikahan kita."Lusi tertegun mendengarnya. Tangannya tiba-tiba saja bergetar
"Baiklah, ini demi anak yang ada di dalam kandunganmu."Mila bersorak senang sementara Lusi merasakan sesak di dada. Raka benar-benar sudah terpedaya oleh Mila. Dia sudah tidak bisa membedakan mana perkataan sungguhan dan rayuan belaka."Kapan kamu mau melangsungkan pernikahan kita?" tanya Raka.Lusi diam. Tubuh itu terasa dingin dan menegang. Otaknya berusaha keras menolak apa pun yang berkaitan dengan Raka, termasuk perasaan itu. Tetapi, sepertinya tidak semudah yang dikira.Lusi masih merasakan sakit yang amat saat mereka membicarakan tentang kehidupan mereka. Bahkan saat ini, dia ingin menangis. Hanya saja dengan sekuat hati menahannya."Kalau bisa minggu depan, Mas. Aku tidak sabar untuk menjadi istrimu," ucap Mila dengan nada yang dilembut-lembutkan.Lusi jadi ingin muntah mendengarnya. Dia tidak tahu kalau Raka itu punya selera rendahan seperti Mila. Benar-benar seorang penggoda sejati.Raka menghela napas panjang. "Sudah, kan? Sekarang ayo aku antar kamu pulang. Aku juga haru
Mata Lusi memang memandang ke depan, tapi pikirannya bergerilya ke mana-mana. Setengah pikiran Lusi fokus, dan sisanya masih saja tertaut pada obrolan Raka dan Mila.Sungguh, dia tidak menyangka kalau Mila sejahat itu. Padahal, dulu Lusi sangat percaya dan menganggapnya sebagai saudara.Saking percayanya, Lusi selalu memberikan apa saja yang dia butuhkan. Bahkan, saat kuliah pun, Lusi tidak segan memberikan uang jika Mila kekurangan.Lusi tidak pernah mempermasalahkan besarnya uang itu. Bahkan, dia bebaskan Mila dari utang piutang.Tidak pernah ditagih apa pun yang pernah diberikan padanya. Karena setiap Mila membutuhkan uang, di akhir kalimat Mila akan mengatakan kalau dirinya pasti mengganti semua yang diberikan Lusi jika sudah punya uang.Lusi hanya mengiyakan saja untuk menghargai niatnya. Walaupun pada nyatanya Mila tidak pernah mengganti sedikit pun semua yang diberikan. Itu juga tidak dipermasalahkan, karena Lusi memang berniat untuk membantunya tanpa meminta imbalan atau balas
Lusi sampai rumah tepat pukul setengah 10 malam. Mungkin karena selama di jalan, dia sengaja memperlambat laju mobil ini.Bukan tanpa alasan, itu semua demi keselamatannya sendiri. Hati Lusi sedang kacau, belum lagi otaknya yang tidak berhenti memikirkan pembicaraan Raka dan Mila tadi.Kesadarannya masih waras. Masih ada Alia yang membutuhkan Lusi. Dia tidak boleh gegabah dalam mengambil tindakan, apalagi kalau sampai mencelakai diri untuk laki-laki bejad seperti Raka. Tidak.Sesampainya di rumah, Lusi mengucapkan terima kasih kepada tetangga sebelah yang bernama Ibu Murni. Kalau ibunya masih hidup, mungkin beliau seusia Bu Murni.Lusi mengganti bensin yang ada di mobilnya, tapi tidak diberitahukan. Sebelum dia pulang, Lusi juga memberinya kue yang masih dibungkus utuh.Tadinya kue ini untuk Mila saat dia menyuruhnya untuk datang ke tempatnya bekerja. Tetapi diurungkan karena pengakuan mengerikan dari dua pengkhianat itu.Dari pada mubazir, sebaiknya Lusi berikan saja pada Bu Murni. D
"Kok gak bisa? Kan biasanya juga Ibu minta sama kamu. Kenapa sekarang harus sama Raka?" tanya Ibu dengan nada yang sedikit dinaikkan.Dia sepertinya kesal karena penolakan Lusi. Tetapi, maaf saja. Karena perbuatan Raka, Ibu harus terkena imbasnya."Sekarang lain lagi, Bu. Atau begini saja. Lusa Ibu ikut saja denganku menemui Mas Raka, nanti kita minta sama-sama, ya, Bu?""Em, I-iya, deh."Terdengar Ibu meragu. Tetapi, dia juga tidak punya pilihan lain. Lusi juga melakukan ini bukan tanpa alasan.Besok, Lusi akan bertemu dengan dua pengkhianat itu. Dia ingin mempercepat pernikahan Mila dan Raka. Setelah itu, barulah akan diberitahu Mila siapa Raka sebenarnya.Kalau benar Mila mencintai suaminya, Lusi yakin dia akan menerima Raka bagaimanapun keadaannya. Lalu, kalau Mila protes dan tak terima keadaan Raka, maka cintanya itu hanyalah omong kosong belaka.Lusi mengakhiri panggilan dengan Ibu dan bergegas untuk istirahat. Badan, pikiran dan hatinya amat lelah. Semoga saja besok hati Lusi l
"Ya Tuhan!"Lusi berseru sembari refleks melempar isi amplop itu ke meja. Syok, jantungnya sampai berdetak tak menentu. Keringat dingin bercucuran begitu saja.Apa penglihatannya tak salah? Dengan gemetar, tangan Lusi kembali meraih isi amplop itu. Foto-foto Mila tengah beradegan syur dan bahkan ada yang tanpa busana."Tuhan, apa ini? Kenapa foto-foto ini ada di meja kerja suamiku? Akh, apa yang aku lewatkan?!"Lusi meremas rambut dengan kencang, berusaha mengingat-ingat tentang kejadian yang mungkin saja ada kaitannya dengan foto-foto itu. Tetapi, hasilnya nihil.Lusi tidak merasa ada kejadian janggal sampai foto-foto itu ada di meja ini. Sesuatu tiba-tiba saja terlintas di benaknya.Tentu saja. Raka bisa dengan bebas menyimpan barang tak bermutu ini di ruang kerjanya. Karena selama ini, Lusi jarang bahkan hampir tidak pernah mengecek secara detail di ruangan ini.Lusi terlalu percaya kepada Raka, sampai tidak melihat celah yang bisa saja menjadi sebab suaminya berbuat jahat seperti
"Kamu harus hadir, Lus. Menyaksikan betapa bahagianya kami melangsungkan pernikahan yang mewah dan membahagiakan. Dan kupastikan itu lebih dari semua yang pernah kamu alami dengan Mas Raka," tuturnya tiba-tiba membuat Lusi terdiam sembari menatapnya dengan datar.Dilirik sekilas Raka yang hanya diam dan menatap Lusi sendu. Dia sama sekali tidak menghentikan mulut jahat pacarnya itu. Raka pengecut sekali."Ah, iya. Setelah aku sudah menikah dengan Mas Raka, maka aku yang akan menjadi Nyonya besar dan Nyonya utama. Dia akan membelikan rumah yang mewah, lebih mewah dari rumah yang kamu tinggali," lanjut Mila, kali ini membuat Raka langsung menoleh."Apa maksudmu? Aku tidak pernah menjanjikan itu, Mila," elak Raka dengan wajah tegang."Loh, memang tidak. Tapi, aku mau rumah besar yang lebih besar dari punya Lusi."Raka menatapnya tajam sembari menggeleng-gelengkan kepala. Dia pasti kewalahan karena permintaan Mila. Apalagi Raka belum jujur juga siapa dirinya sebenarnya?Harga diri suaminy
Raka kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Winda. Bahkan pria itu sampai tidak berkedip, seolah apa yang dikatakan oleh Winda barusan itu sebuah bom yang hampir meledak. "Maksudnya hamil?""Ya, Mas. Aku mau tanya, kalau misalkan aku hamil kamu akan gimana?""Gimana apanya, Winda? Aku tidak paham dengan maksudmu." "Aku tahu kamu menikahi Mila karena dia sedang mengandung anakmu, kan? Tetapi kalau misalkan aku juga mengandung anakmu, bagaimana, Mas? Atau Seandainya Mila tidak mengandung anakmu, apakah kamu juga akan tetap bersamanya?" tanya Winda. Sebenarnya dia butuh validasi dari Raka. Apakah benar yang dikatakan Bu Sinta dan Maura tentang hubungan Mila dan Raka yang diikat hanya karena ada anak di antara mereka. Raka menatap Winda dalam, tapi wanita itu tidak bisa mengartikan semuanya. Lalu sang pria menoleh lurus ke depan. Ada sesuatu yang mengganjal di hati dan pikiran. Apakah dia harus mengatakan yang sebenarnya kepada Winda atau memilih untuk diam? Rasanya sudah se
Tempat pukul 12.00 siang akhirnya Maura istirahat. Ternyata di sana tidak disediakan makan siang dan membeli sendiri. Kalau tahu begini, harusnya wanita itu membawa saja makanan di rumah Mila. Tetapi sayangnya semua sudah terlambat. Dia pun akhirnya memilih untuk makan apa saja yang tersedia di sekitar supermarket, yang penting bisa mengenyangkan.Namun, lagi-lagi ada suasana yang tidak mengenakan sang wanita. Di mana para pegawai yang begitu antipati dan menjauh kepada Maura. Awalnya dia merasa kesal, tetapi lama-lama tidak mempermasalahkan. Lagipula dia sudah kenal dengan Winda. Kalau memang ada yang macam-macam, tinggal lapor saja kepada wanita itu.Maura memilih untuk membeli siomay saja, lebih murah tapi mengenyangkan. Dia pun duduk agak jauh dari teman-temannya, karena memang di sini yang baru hanya Maura saja, jadi dia tidak punya teman yang satu angkatan dan memilih untuk diam. Tidak ada inisiatif sama sekali untuk berbaur atau memperkenalkan diri.Lagi pula di sini niatnya u
Mila menyantap makanan yang dibeli lewat online. Imel pun sama, tetapi gadis itu tampak sekali berbeda dari biasanya. Seperti ada yang dipikirkan dan semua gerak-gerik dari Imel membuat Mila merasa tidak nyaman. Wanita hamil itu pun menghentikan makannya dan berusaha berbicara baik-baik kepada Imel. "Kamu kenapa sih, Mel? Kok diam saja?" tanya Mila tiba-tiba, membuat Imel terkesiap. Dia sedikit bingung, tapi ada juga rasa takut. Namun demikian sang gadis tetap menjawab pertanyaan dari majikannya, takut malah salah paham. "Enggak kok, Bu. Saya cuma berpikir aja, bisa nggak ya melaksanakan tugas dari Ibu? Mengatur semuanya," ungkap gadis itu sebab sebelumnya setelah Imel selesai membereskan isi kamar dia dan Mila sama-sama menyusun jobdesk apa saja yang akan Imel laksanakan di rumah ini, termasuk menyiapkan makanan untuk Mila. Itulah yang paling berat dilakukan oleh sang gadis. Bagaimana kalau Ibu hamil ini rewel dan dia harus mencari makanan susah? Bukankah itu adalah tugasnya seo
Di tempat lain, saat ini Raka dan Winda sedang bersiap-siap untuk pulang. Tetapi hanya packing saja, karena kepulangannya nanti malam Raka akan langsung pulang ke rumah Mila. Sementara Winda ke rumahnya sendiri. "Mas, hari ini kita mau ke mana dulu?" tanya Winda, memastikan karena dia ingin menghabiskan waktu yang sebentar ini. Sebab setelah 7 hari baru dia bisa bertemu dengan Raka lagi."Apa kamu sudah menemukan jejak Alia?" tanya Raka tiba-tiba saja membuat harapan Winda langsung putus. Dia lagi-lagi harus bisa sadar kalau dirinya hanya dimanfaatkan untuk mencari Alia. Tetapi wanita itu akan tetap bersabar dan menjalani semua ini dengan ikhlas. Sesuatu yang dijalani dengan tulus pasti akan berbuah manis. "Belum, Mas. Aku sudah coba tanya sama temen-temen di berbagai kota yang memang ada penyetok barang-barang di supermarket aku, katanya sih belum pernah lihat. Tapi kita coba aja lihat ya, Mas. Moga-moga saja minggu depan atau mungkin besok lusa ada kabar baik," ungkap Winda. Dia
Sesudah zuhur berkumandang, Lusi pun segera bersiap. David memang dari tadi sedang menunggu wanita itu, mencoba untuk mengikutinya. Dia akan mengajak Lusi untuk sama-sama berangkat kerja. Sementara itu Adiba saat ini bekerja di rumah. Dia bisa mengerjakan projectnya dan tidak perlu ke kantor. Jadi, gadis itu bisa menjaga Alia. Lusi sudah semangat untuk pergi bekerja. Ini hari pertama dan harus menjadi momen yang paling berharga. David yang melihat wanita itu keluar pun berusaha untuk mengejarnya. "Hai, mau berangkat kerja, ya?" tanya David, tiba-tiba saja membuat Lusi terkesiap. Dia langsung menoleh kepada pria itu."Oh, hai. Kamu juga mau berangkat kerja?""Iya." "Shif siang?" tanya Lusi, memastikan."Iya," jawab David sembari tersenyum. Lusi hanya tersenyum kikuk, merasa perkataan Adiba tempo hari ada benarnya. Mungkin saja pria ini punya maksud buruk, karena semuanya itu serba mendadak. Tetapi melihat bagaimana pria ini tidak melakukan hal yang di luar batas membuat Lusi mas
Di kamar yang sudah disediakan oleh Mila, Imel hanya termenung menatap lurus. Dia sama sekali tidak merasa antusias untuk melihat kamar yang akan ditempatinya. Meskipun ukurannya sama seperti kontrakan yang sebelumnya dia tinggali, tetapi kali ini pikirannya benar-benar kacau. Apa yang harus dia lakukan mendengar berita-berita itu? Apakah Imel harus menelepon orang yang memasang iklan memberitahukan alamat Mila yang sebenarnya? Gadis itu akan mendapatkan uang yang banyak, bisa membuka usaha atau membeli kios untuknya. Terlepas dari status sebagai buruh. Tetapi, bagaimana kalau Mila tahu dan malah balas dendam kepadanya? Gadis itu tidak tahu bagaimana sifat Mila yang sebenarnya, jadi harus hati-hati dengan segala perlakuan Mila. Ini benar-benar membingungkan juga syok. Dia tidak tahu harus melakukan apa sekarang.Tiba-tiba saja suara Mila terdengar menyerukan nama Imel. Gadis itu langsung terkesiap dan memilih untuk menghampiri bosnya."Iya, Bu. Bagaimana?""Kamu sudah beres-beresnya
Setelah membereskan barang-barang di kontrakan yang dahulu, Imel berpamitan dan langsung pergi menggunakan angkot. Sebelumnya dia memang ingin menggunakan taksi, tetapi tarifnya pasti mahal. Tidak masalah kalau menggunakan angkot. Lagi pula barang bawaannya hanya sedikit.Saat di dalam angkutan umum, dia mendengar pembicaraan kalau ada iklan yang memberikan hadiah besar bagi yang bisa menemukan dan memberi informasi tentang Mila. "Oh, aku tahu! Ini yang dulu sempat viral kan gara-gara dia selingkuh dan digrebek sama istrinya? Benar-benar enggak tahu diri, ya!" "Kayaknya ini orang juga membuat masalah sampai dicari sama yang pasang iklan," timpal seseorang membuat Imel langsung menoleh. Dia kaget sebab yang disebutkan oleh penumpang angkot lainnya itu Mila. Imel terperanjat sebab dikatakan kalau Mila ini adalah orang yang dulu sempat digerebek karena perselingkuhan, ini sama persis yang seperti yang dikatakan oleh Maura tempo hari, saat mereka masih ada di rumah sakit.Kalau benar b
Entah sudah berapa lama Mila berada di kamar. Dia sampai ketiduran, mungkin karena kelelahan dan juga efek obat yang sebelumnya sempat diminum sebelum pulang dari rumah sakit.Wanita itu terbangun dan melihat sudah pukul 10.00, tapi tidak ada tanda-tanda Imel dan Maura pun sepertinya tidak ada. Karena rumah ini begitu hening. Sang wanita merasa tak enak hati. Dia memilih untuk keluar dari kamar dan mencari siapa yang sudah datang terlebih dahulu, antara Maura dan Imel. Entah kenapa dia merasa tidak mau sendirian mungkin karena dia sedang mengandung dan banyak kekhawatiran yang mungkin saja tiba-tiba muncul di pikiran itu, akan membuatnya semakin stres jika terus sendirian. Mila butuh seseorang untuk menemani. Wanita itu sampai memanggil-manggil nama Maura dan Imel, tetapi tidak ada sahutan. Rasa cemas tiba-tiba saja datang. Dia memilih untuk menelepon Imel, karena rasa gengsi kalau harus menghubungi Maura. Yang ada adiknya malah besar kepala dan mungkin akan meminta hal yang lebih b
Sementara itu, saat ini Lusi sedang mengantar Alia. Dia benar-benar bisa meluangkan waktu untuk anaknya. Sebenarnya Alia sudah menolak dan mengatakan kalau dia bisa berangkat sendiri, lagi pula sudah hafal jalan sekolah, tapi Lusi beralasan kalau dia ingin menghabiskan waktu bersama Alia sebelum berangkat kerja.Setelah Alia masuk, barulah Lusi kembali pulang. David yang sedari tadi uring-uringan karena tidak menemukan keberadaan Lusi di sekitar rumah Adiba pun mulai bingung. Harusnya dia meminta nomor ponsel wanita itu, tetapi karena kemarin terlalu senang dan waktunya buru-buru membuat mereka sampai tidak saling bertukar nomor ponsel. Saat melihat Lusi yang berjalan melewati rumahnya, senyuman di bibir David pun merekah. Dia akhirnya bisa melihat wanitanya itu. David akan pergi ke kantor bertepatan dengan Lusi pergi, sementara berkas-berkas penting yang harus dia tanda tangani dikirimkan secara online. Sekarang zaman sudah serba mudah, jadi tidak perlu direpotkan dengan semua itu.