Setelah Lusi membuat laporan ke kantor polisi, dia pun memilih pulang. Sebelumnya, Lusi meminta polisi menggerebek mereka besok pagi.Kalau sekarang, Lusi yakin mereka sedang tidak ada di kontrakan. Sekarang, dia memilih di rumah untuk membereskan semua barang-barang Raka. Jadi, kalau penggerebekan itu berhasil, Lusi tinggal lempar koper berisi baju dan barang-barangnya.Selain itu juga, Lusi mencari semua berkas-berkas penting yang berisi tentang kepemilikan usahanya. Termasuk kepemilikan kos-kosan dan kontrakan yang dihuni si jalang itu.Kalau Mila tidak percaya jika kekayaan yang Raka kelola itu miliknya, Lusi akan memperlihatkan bukti-bukti valid yang berkekuatan hukum. Pasti Mila syok dan malu berat.Namun, itulah tujuan Lusi. Membuat jalang itu merasa malu, saking malunya tak ada tempat untuknya bersembunyi. Lihat saja nanti.Cukup lama Lusi membereskan semuanya, sampai tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang. Dia beristirahat sejenak, sembari mempersiapkan makan siang
"Loh, Lus. Ngapain ada polisi? Lagian, kenapa kita ke sini? Ini, kan, kontrakan kamu," ucap Ibu mengajukan banyak pertanyaan pada Lusi.Lusi hanya tersenyum tanpa memberikan jawaban sepatah kata pun. Dia memilih berbicara dengan polisi untuk menyusun strategi penangkapan pasangan kumpul kebo itu."Lus, ini ada apa, sih? Jangan buat Ibu takut, dong. Siapa yang mau digerebek?" Ibu terus-terusan bertanya dan lagi-lagi Lusi hanya tersenyum padanya. "Nanti juga Ibu tahu. Ibu ikut saja, ya.""Loh, gak bisa gitu dong, Lus. Kan Ibu ikut kamu mau ketemu Raka, bukan mau ikut-ikutan grebek orang. Gimana, sih kamu!" Kali ini, Lusi tak menimpali ucapan Ibu dan memilih fokus mengikuti langkah polisi. Beberapa penghuni kontrakan sudah keluar, entah untuk bekerja atau menyaksikan mereka yang sedang berjalan menuju kontrakan paling ujung.Ibu masih saja meracau dan Lusi membiarkannya saja. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang. Bahkan Lusi merasakan telapak tangan yang mulai dingin.Ini memang r
"Apa? Jangan asal bicara kamu, Lus! Mana mungkin anak saya seperti itu!" sergah Ibu dengan nada tinggi.Lusi tak menyahutnya dan memilih untuk mempersilakan Pak polisi untuk masuk, tapi tiba-tiba saja Raka menghalangi."Tu-tunggu, Pak. Kalian tidak bisa masuk tanpa surat penangkapan," ujar Raka membuat Lusi curiga.Kenapa dia menahan polisi untuk masuk? Padahal, biasanya laki-laki itu hanya akan diam jika posisinya sudah terpojok. Pasti ada sesuatu yang membuatnya seperti ini.Salah satu dari polisi itu menyerahkan surat penangkapan. Terlihat Raka terburu membuka isinya, lalu wajah itu pun langsung pasi dan tegang."Lus, kamu melaporkan aku dan Mila?" tanya Raka dengan nada bergetar, tangannya pun ikut bergetar.Terlihat Ibu kembali kaget. Dia menatap Lusi dengan melotot. "A-apa? Kamu melaporkan suamimu sendiri? Istri macam apa kamu?!" Ibu langsung menunjuk wajah Lusi yang secara langsung menunjuk kamera yang sedang aktif.Terlihat banyak komentar bermunculan. Mereka memaki Ibu dan
Penghungi kontrakan ini berkumpul di luar rumah, sementara 2 polisi, 2 pengkhianat, Lusi berserta Ibu memilih untuk di dalam. Lusi membiarkan pintu terbuka, karena mereka menunggu RT setempat.Ini juga Lusi lakukan agar semua orang tahu kalau Raka dan Mila itu sepasang jalang yang wajib dihukum sosial maupun pidana.Lusi masih mengaktifkan siarang langsung. Akun tadi yang menawar harga Mila kembali berkomentar dan mungkin ini kesempatan Lusi lagi untuk mempermalukan wanita ular itu."Oh, Mila. Ada satu akun yang mau menawarmu. Katanya, dia berani bayar mahal agar bisa tidur denganmu," ucap Lusi menggundang riuh omongan orang-orang yang berkerumun di luar.Beberapa di antara mereka bahkan mengeluarkan ponselnya dan ikut melakukan siaran langsung. Hebat sekali. Ini adalah hari yang tak akan pernah Lusi lupakan.Mila mendelik kepada Lusi dengan wajah yang kembali memerah. Dia tak memberikan kata-kata timpalan, melainkan menunduk dan menyembunyikan wajahnya dengan rambutnya yang tergerai
Lusi kembali berdiri dan membiarkan siaran langsung terus menyala. Biarkan saja kamera tidak fokus, terpenting pembicaraan dan kejadian ini bisa terekspos ke media.Lusi menghadap Ibu yang tengah marah dengan napas memburu. Wanita tua ini sepertinya lupa diri."Hei, Bu. Apa kata Ibu tadi? Membuat malu? Anak Ibu yang buat malu! Udah selingkuh sama teman sendiri, mengemis mau tetap denganku pula. Harusnya kata-kata itu buat laki-laki brengsek seperti anak Ibu!" seru Lusi sembari membentak Ibu.Ibu melotot saat Lusi menaikkan nada bicara padanya. Hah, biarkan saja. Toh, sebentar lagi dia akan jadi mantan mertuanya. Wanita tua yang gila harta dan parasit."Lus, jaga ucapanmu! Dia itu ibuku!" Raka tiba-tiba saja berseru sembari berdiri.Lusi langsung menaikkan jari telunjuk di depan wajahnya untuk kembali duduk dan diam."Hei, diam kamu, Mas. Aku berhak mengatakan ini, karena ibumu memang patut ditegur. Harusnya, kamu bilang pada ibumu, jangan terus mengemis uang padaku. Itu menjijikkan."
"Bapak, ibu-ibu. Dua orang ini mau dibawa ke mana?" tanya Pak RT saat Mila dan Raka sudah di luar untuk diarak keliling kompleks."Kami mau mengaraknya, Pak RT. Orang seperti mereka memberikan contoh yang buruk untuk warga sini. Kalau kami hanya diam dan membiarkan ini terjadi, maka akan dicontoh oleh anak-anak muda lainnya," cetua bapak-bapak yang usianya cukup matang.Pak RT langsung menggelengkan kepala. "Tapi, tidak dengan cara diarak, Pak. Kalian bisa dipenjara. Betul, kan, Pak Polisi?" tanya Pak RT pada polisi yang ada di sana.Lusi hanya terdiam dan masih merekam kejadian ini. Sungguh, saat ini dadanya sedang bergemuruh hebat. Ingin sekali Lusi menjambak Mila dan menamparnya berkali-kali, setelah itu barulah kutelanjangi wanita jalang itu sebari diikat oleh tandu dan diarak kelilig kompleks ini.Kejam? Ya, tapi lebih kejam perlakuan Mila padanya. Sayangnya, semua itu pun hanya angan Lusi yang tak bisa terlaksana."Benar, Pak RT. Bapak-bapak, ibu-ibu, kita ini negara hukum. Sem
"Heh, apa kamu bilang? Jangan sembarangan kalau bicara! Kamu yang harusnya enyah dari rumah itu, Lus. Sekarang, aku yang akan menggantikanmu manjadi Nyonya!" seru Mila tiba-tiba saja bersuara.Tak Lusi sangka, Mila yang awalnya hanya menahan diri, langsung meledak saat dia bicara tentang materi. Benar-benar matrealistis.Terdengar cemoohan kembali dari warga. Beberapa di antara mereka bahkan memberikan sumpah serapan untuk Mila."Memang wanita sundal! Sudah merusak rumah tangga, sekarang bermimpi jadi Nyonya. Memang pantasnya dia dibakar hidup-hidup!" seru salah satu ibu-ibu yang disoraki dukungan dari warga lainnya.Lusi hanya tersenyum dengan menatap Mila. Wanita itu terlihat sangat sinis dan membenci Lusi. Lusi baru tahu kalau temannya ini benar-benar jahat. Dia tak akan mendapat ampunan walau bersujud pada Lusi."Maaf, Mbak Lusi. Apakah kontrakan ini akan dikosongkan?" tanya Pak RT pada Lusi.Mila yang awalnya sinis pun langsung mengernyitkan dahi. "Tunggu, Pak RT! Kenapa Pak RT b
Selama di perjalanan ke kantor polisi, jantung Lusi berdetak dengan sangat kencang. Siaran langsung di aplikasi biru pun diakhiri.Dadanya terasa sesak, melihat iring-iringan mobil polisi yang membawa dua pengkhianat itu. Hingga tanpa terasa air mata itu luruh juga.Tak ada isakan, tapi air mata Lusi berderai tanpa henti. Pandangannya sedikit buram, tapi masih bisa melihat dan mengikuti mobil polisi itu.Raka dan Mila. Kalau saja mereka tidak berkhianat, mungkin posisi mereka akan tetap aman. Tetapi, mereka sudah menyulut api permusuhan. Jadi, jangan salahkan kalau Lusi akan menbakarnya hingga habis tak tersisa.Selang beberapa menit, mereka pun sampai di kantor polisi. Dari dalam mobil, terlihat Raka dan Mila digiring ke luar dari mobil. Sementara itu, Ibu pun keluar dari dalam taksi.Lusi sengaja tidak memberi Ibu tumpangan dan membiarkannya mencari kendaraan sendiri. Mulai sekarang, dia tidak akan peduli lagi padanya.Cukup kebodohannya selama ini yang telah menuruti segala keingin
"Sah!"Suara menggema itu dikeluarkan oleh beberapa orang di sana. Dua saksi, satu penghulu, satu wali hakim dan juga ada ART Winda beserta Bu Sinta. Benar-benar sedikit dan tak ada orang lain lagi selain mereka semua. Sebenarnya Winda merasa sedih sebab pernikahan ini hanya diketahui oleh beberapa orang saja, seolah kalau dirinya memang tidak diakui oleh Raka. Tetapi ini lebih baik dibandingkan dirinya terus mengejar-ngejar pria itu. Katakanlah Winda itu adalah wanita bodoh. Dia bisa saja mendapatkan pria kaya, melebihi siapa pun termasuk Raka. Tetapi entah kenapa dia merasa kalau kebahagiaannya pasti ada bersama pria itu. Walaupun harus menjadi yang kedua, Winda rela. Lagi pula yang dicari bukanlah harta, tetapi kasih sayang dari laki-laki yang dicintai. Raka menyematkan cincin di jari manis Winda, lalu mencium keningnya. Ada haru biru yang menyelimuti acara ini. Bu Sinta sampai menantikan air mata, akhirnya sang anak mendapatkan istri yang baik menurut pandangan Bu Sinta. Winda
Sesuai dengan perkiraan, Mila memang datang ke butik yang itu adalah tempat kerja sang wanita hamil. Maura hanya melihat dari kejauhan. Untunglah ada minimarket di depan tempat Mila, jadi dia bisa terus meneliti wanita itu seharian di sana. Meskipun mungkin membosankan, tetapi setidaknya dia sudah menyelesaikan tugas dengan baik. Sementara itu Mila saat sampai kantor pun dia hanya termenung menatap tumpukan laporan penjualan dan juga invoice lainnya. Ingin sekali dia menyelesaikan semua ini, karena bagaimanapun dia harus tetap bekerja. Ada pelanggan yang menunggu dan pesanan yang akan dikirim. Ini membuat Mila merasa stres.Saat seperti ini, yang ada dalam perutnya itu menendang-nendang, seolah mengerti kalau sang Ibu sedang banyak pikiran. Wanita itu pun mengelus bayi yang ada di dalam kandungan dengan memberikan kata-kata yang sekiranya bisa menenangkan anak itu. "Tenang ya, Nak. Kamu jangan ikutan pusing, biar Ibu saja yang pusing. Ibu akan cari cara untuk bertemu dengan ayahmu.
"Kamu pikir aku percaya begitu saja dengan sikap baikmu yang tiba-tiba? Tentu tidak! Kamu salah jika berurusan denganku atau mau menipuku. Aku tidak akan semudah itu dipermainkan," timpal Mila, setelah itu dia pun kembali menutup pintu membuat Maura terdiam. Tampaknya dia benar-benar salah sedang pura-pura baik kepada wanita ini. Maura hanya bisa berdiri di depan pintu dan memilih untuk pergi saja. Dia tidak akan berkata apa-apa lagi dan hanya akan memantau ke mana wanita itu pergi. Lagi pula dia sudah berusaha untuk berpura-pura baik agar rencananya mudah, tetapi sayangnya memang Mila tidak semudah itu dibohongi. Mila hanya terdiam diri di depan pintu sembari menatap lurus ke depan. Dia seperti orang stress yang kehilangan sesuatu, tetapi memang kenyataannya wanita itu merasa kalau saat ini dirinya lemah tanpa adanya Raka. Anaknya juga sering menendang di perut kalau sang suami tidak ada di sampingnya. Mila kembali meneteskan air mata, merasa hidupnya benar-benar tak berguna karen
Pagi-pagi sekali Maura sudah membereskan semua pekerjaan di rumah Mila. Hatinya merutuk, tetap saja kalau begini wanita itu seperti pembantu. Tetapi mengingat uang yang akan diberikan Raka, Maura merasa senang. Dia yakin pasti tidak sedikit, sebab ini akan sulit karena harus mengikuti Mila ke manapun dan mencegah wanita itu untuk pergi ke tempat Raka. Mila bangun dengan perasaan malas dan juga tak karuan. Ruang hatinya merasa aneh karena tidak ada Raka di sini. Kerinduan begitu menyeruak dalam dada, hingga wanita itu pun menangis. Dia mengelus perutnya yang sudah mulai membuncit, berbicara kepada anak yang ada di dalam kandungan kalau mereka berdua harus kuat menjalani semua ini. "Nggak apa-apa, ya, Nak. Kita pasti kuat menjalaninya. Kamu harus tenang, Ibu akan melakukan apa pun agar Ayah tetap di samping kita. Tenang saja. Ibu sudah terbiasa merasakan sakit hati dan kebal dengan semua keadaan. Ibu berjanji akan menyingkirkan semua orang yang berusaha untuk memisahkan kita bertiga.
"Iya, Mas. Katakan saja. Aku akan melakukan apa pun, sekiranya bisa membantumu," ucap Maura dengan semangat, membuat Raka merasa heran. Tetapi tak urung pria itu tetap memilih untuk mengatakan sesuatu secara rahasia. Pernikahan dia dan Winda tidak boleh diketahui oleh siapa pun, termasuk Maura. Tidak ada yang tahu kalau wanita itu bisa saja mengkhianatinya demi uang. Sekarang saja Maura pasti mau melakukan segalanya demi uang. Sebab dia juga ingin keluar dari rumah Mila dan mendapatkan tempat tinggal. Apalagi kalau bukan uang yang akan membeli rumah itu? "Maura, besok ada acara penting. Aku akan pergi dengan Ibu. Aku takut kalau Mila tiba-tiba saja mencariku ke rumah Ibu dan malah ngamuk-ngamuk tidak jelas. Jadi, bisakah kamu pastikan kalau Mila tidak pergi ke rumah ibuku?" pinta Raka, tiba-tiba saja membuat semangat Maura yang sebelumnya tinggi langsung meredup. Dia sangat kecewa sebab yang diberitakan oleh Raka itu berbeda jauh dengan harapannya, berarti pernikahan mereka bukan
Raka menatap ibunya sejenak. Setelah dipikir-pikir mungkin sebaiknya dia tidak menceritakan apa pun kepada Bu Sinta. Ini demi kebaikan bersama, karena selama beberapa kali mendapat masalah karena ibunya. Raka harus berpikir ulang, takut kalau Bu Sinta melakukan hal yang di luar batas dan akan mengacaukan segalanya. "Tidak, Bu. Aku hanya mengatakan itu saja, Ibu yang bilang sendiri kalau aku mau lepas dari Mila harus mengambil anak itu. Jadi, aku hanya akan berencana mengambil anaknya setelah Mila melahirkan," ungkap pria itu akhirnya memilih untuk berbohong. Memang sebaiknya diam saja dan tidak perlu mengatakan apa pun kepada Bu Sinta. Lebih sedikit yang diketahui wanita paruh baya itu lebih baik dibandingkan terjadi sesuatu nanti yang akan menghancurkan segalanya. Bu Sinta hanya menganggukkan kepala dan mereka berdua pun kembali melanjutkan makan. Tak ada yang bersuara sampai semuanya selesai. Raka istirahat di kamarnya yang dulu. Dia tiduran sembari menatap langit-langit kamar.
Amanda menatap amplop itu dengan diam. Sebenarnya dia ingin sekali mengambil gaji yang diberikan oleh Devan, tetapi ada hal yang membuatnya tertahan. "Aku tidak akan mengambil gajinya. Mas, simpan saja. Lagi pula kamu tidak percaya padaku, kan? Anggap saja itu kompensasi yang aku berikan kepadamu, karena kamu merasa tidak aman sebab kehadiranku," ujar wanita itu dan akhirnya pergi dari hadapan Devan. Pria itu diam saja. Dia menetap kepergian Amanda dengan perasaan gelisah. Sebenarnya sang pria ingin mempertahankan Amanda, setidaknya ada bantuan karena pegawai yang ada di sini hanya 2 koki dan dirinya saja. Beberapa mantan karyawan, enggan bergabung dengan restoran Devan lagi. Sebab yakin kalau restorannya tidak akan seramai dulu, tapi melihat Amanda yang sudah mendatangi seorang dukun membuat Devan juga ketakutan bila dirinya dicelakai oleh wanita itu. Tidak ada yang menjamin. Dia juga belum mengenal Amanda sepenuhnya, yang bisa dilakukan hanyalah membuat dirinya aman sampai benar-
"Tidak, aku tidak mau mengambil risiko apa pun. Amanda, sebenarnya sudah sejak tahu kamu pergi ke dukun, ingin sekali memecatmu. Tapi aku sudah menunggu waktu yang tepat, di saat kamu jujur barulah aku akan memecatmu," papar Devan membuat Amanda menghela napas pelan.Matanya berkaca-kaca. Padahal dia berniat untuk menyembuhkan Devan, tetapi pria itu malah mengira kalau dirinya yang sudah mengguna-guna."Mas, sampai segitunya ya kamu nggak percaya sama aku? Aku jujur, Mas. Aku bilang, ayo kita pergi ke orang pintar itu dan bertanya langsung! Aku janji tidak akan menelpon atau bekerja sama lagi dengannya. Apalagi sampai membohongi kamu, itu tidak akan pernah terjadi," ungkap Amanda berusaha untuk meyakinkan pria itu, tetapi sayangnya Devan tidak mau lagi mendengarkan. Dia sudah sakit hati, ditambah lagi pengkhianatan dari Arya, pria itu tidak mau lagi mendapatkan hal yang serupa, sebab dulu Amanda juga datang bersama Arya. Meskipun tidak terbukti, tapi pria itu merasa kalau Amanda puny
"Benarkah seperti itu? Tapi, kenapa aku meragukannya, ya? Ingat, kalau kamu itu yang mati-matian untuk mendekatiku. Bahkan menghalalkan segala cara atau jangan-jangan kamu juga punya sangkut pautnya dengan Arya? Iya, kan?!" Seketika tubuh Amanda menegang di tempat. Kalau sampai pria itu tahu apa yang sebenarnya terjadi, maka semua kesempatan untuk mendapatkan Devan akan sirna tanpa sisa. "Kenapa Mas berpikiran seperti itu?" tanya Amanda berusaha untuk tenang. Dia tidak boleh memperlihatkan ketakutannya atau Devan akan mencurigai dan malah semakin menjauhinya. "Ya, karena kamu yang dipekerjakan oleh Arya. Kamu yang dikenalkan oleh Arya dan aku berpikir, semua kebangkrutanku ini juga atas campur tangan kamu, kan?!" Amanda langsung menggelengkan kepala, berusaha untuk menepis semua tuduhan itu meskipun benar. "Tidak, Mas. Kamu jangan nuduh sembarangan, dong. Aku tidak tahu menahu perihal perilaku Mas Arya sama kamu. Lagi pula aku memang murni mendapatkan pekerjaan dari dia setelah