"Istriku meninggal saat melahirkan anak kami. Dan, seminggu setelahnya, anak kami meninggal karena penyakit bawaan."Lusi tercengang. Terlihat kesedihan amat kentara dari wajah itu. Pantas saja dia ada di sini. Mungkin ingin mengurangi kesedihan karena kehilangan 2 orang yang paling dicintai sekaligus."Aku turut berduka cita, Van. Sabar, mungkin ini ujian untukmu." Lusi mengatakan itu dengan tulus, sebagai seorang manusia yang punya rasa iba.Walaupun dulu mereka punya hubungan di masa lalu, sekarang sudah beda lagi ceritanya. Lusi dan Devan punya kehidupan masing-masing. Ya, walaupun kehidupan Lusi sekarang sedang diterjang badai, tetap saja dia masa lalunya.Devan adalah orang yang dekat dengan Lusi. Mereka tidak pacaran, tapi sama-sama mengakui punya perasaan lebih. Devan adalah anak dari bos rumah makan dan restoran ternama. Dia juga anak pintar.Walaupun demikian, Devan orang yang humbel dan sederhana. Sekaya apa pun orang tuanya, Devan tidak pernah memperlihatkan gaya hidup yan
Hening. Suasana di mobil terasa mencekam. Alia tertidur, sepertinya kelelahan. Tinggal Lusi dan Raka yang sama-sama terdiam.Lusi tak tahu apa yang sedang Raka pikirkan, ketakutannya adalah jika dia salah paham pada Devan. Bisa jadi dia mengada-ngada dan menuduh segala macam padanya."Siapa dia?" tanya Raka tiba-tiba. Lusi pikir dia akan diam saja sampai rumah, ternyata tidak.Lusi diam sejenak. Memikirkan bagaimana cara menjelaskannya pada Raka. Apakah Lusi harus jujur siapa Devan sebenarnya? Atau cukup memberitahukan sekedarnya saja?"Lus?""Dia temanku semasa kuliah," jawab Lusi akhirnya, tetapi tak berniat untuk memperpanjang masalah tadi.Lusi harap Raka pun tidak memperpanjangnya. Tetapi, sepertinya tidak begitu. Raka menoleh pada istrinya dengan mata menuntut dan wajah menegang."Teman? Teman biasa atau teman khusus?" tanyanya dengan nada menuntut.Lusi mendesah kasar sambil memalingkan wajah ke kaca jendela mobil. Pasti akan ada lagi kesedihan. Malas sekali, apalagi ada Alia.
Rasa penasaran itu begitu mengganggu Lusi. Tidak mungkin juga dia menanyakannya pada Raka, bisa-bisa suaminya berpikir macam-macam.Lusi menggelengkan kepala dan menunda sejenak rasa penasarannya pada Raka dan Mila. Sekarang, dia harus meyediakan makan malam mereka.Semua hidangan sudah tersusun rapi di meja makan. Lusi pun langsung memanggil Alia dan Raka. Mereka datang bersamaan dengan Alia yang memegangi tangan ayahnya.Alia duduk di kursinya, begitu pun dengan Raka. Lusi siapkan nasi dan lauk pauk untuk Alia, setelah itu hendak menyiapkan nasi untuknya sendiri. Tetapi, tiba-tiba Raka menyodorkan piringnya."Ayah belum, Bu," ucap Raka dengan wajah penuh harap.Lusi terdiam sesaat. Malas sekali melayani pengkhianat ini, tapi dia terpaksa harus menyediakan nasi dan lauk pauknya untuk Raka. Semua karena Alia, anak itu jangan sampai curiga.Dengan senyum kaku, Lusi pun menyediakan makanan untuk Raka. Setelah itu, mereka pun memulai makan malam dengan suasana hangat.Alia banyak berce
Raka masih menatap Lusi lekat. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat ini, tapi Lusi tak peduli lagi. 'Berpikirlah sesukamu, Mas. Entah itu baik atau buruk, terpenting aku harus melindungi hatiku sendiri.'"Apa kamu menyimpan dendam pada kami sampai kamu melakukan ini semua?" tanya Raka dengan mata yang memicing.Lusi terdiam dan membalas tatapannya dengan datar. Raka mulai bermain dengan kata-kata dan berusaha menyudutkannya. 'Hah, coba saja kalau bisa.'"Aku muak dengan pertanyaanmu itu. Terserah padamu, Mas. Kamu mau anggap aku apa, itu tak akan berpengaruh padaku. Intinya, cepat angkat kaki dari rumah ini atau aku berubah pikiran."Raka tidak bereaksi dan tetap memandang Lusi dengan tatapan tak percaya. Sebaik dan sesabar seseorang, dia akan meledak pada waktunya. Sama seperti Lusi. Dia diam dan mengalah apa pun yang terjadi selama ini. Bahkan, Lusi mengakui usaha miliknya menjadi milik Raka di depan orang lain. Itu pun Lusi ikhlas karena memang kehormatan suaminya adalah hal
Setelah mobil terparkir, terlihat Raka masuk ke restoran itu. Lusi sengaja membuat jeda waktu agar penyamarannya tidak ketahuan.Selang 5 menit, barulah Lusi turun dari mobil dan bergegas masuk ke restoran itu. Dia sengaja menggerai rambut dan memakaikan bandana. Ini bukan ciri khas Lusi, dan sengaja melakukan ini agar mereka tidak mencurigainya.Dada Lusi langsung tersentak saat tahu kalau perkiraannya benar. Raka menemui jalang itu. 'Ah, Lus. Apa yang kamu harapkan dari laki-laki sialan itu? Sudahlah.' Sebaiknya Lusi mencari tempat strategis untuk menguping pembicaraan mereka.Syukurlah meja di depan mereka kosong, jadi Lusi bisa duduk di sana sembari membelakangi dua orang itu. Lusi berusaha tenang. Mengingat tujuannya ke sana, untuk mencari tahu seberapa buruk mereka.Dia menghela napas pelan, lalu menyetel rekaman yang disengaja diputar di atas meja. Lusi melambaikan tangan pada waiter, memesan menu yang sekiranya bisa awet dimakan dalam waktu lama. Karena, dia butuh alasan unt
"Tidak sama, Mas. Alia itu anak Lusi, kalau yang di kandunganku anakku, Mas."Lusi membulatkan mata mendengar perkataan Mila. Wanita iblis! Hatinya benar-benar jahat. Dia membedakan anak Lusi dengan anaknya. Padahal sama-sama darah daging Raka, tapi sudah terlihat sekali kalau dia itu calon Ibu tiri yang kejam.Lusi tidak akan pernah membiarkan Alia dekat dengan Mila, karena ini sudah cukup menjadi bukti kalau Mila tidak menerima anaknya."Keterlaluan kamu, Mil. Kenapa kamu berkata seperti itu? Alia juga anakku, darah dagingku. Kalau kamu mau menikah denganku, maka terima Alia sebagai anak sambungmu juga."Suara Raka tertahan dan itu pasti karena dia marah pada Mila. Terang saja, tidak ada seorang Ayah yang menerima jika anaknya diperlakukan pilih kasih, bahkan oleh wanita yang dicintai oleh Ayah itu sendiri."Ah, sudahlah! Kenapa malah bahas Alia, sih? Aku kan nyuruh kamu ke sini buat ngomongin masalah pernikahan kita."Lusi tertegun mendengarnya. Tangannya tiba-tiba saja bergetar
"Baiklah, ini demi anak yang ada di dalam kandunganmu."Mila bersorak senang sementara Lusi merasakan sesak di dada. Raka benar-benar sudah terpedaya oleh Mila. Dia sudah tidak bisa membedakan mana perkataan sungguhan dan rayuan belaka."Kapan kamu mau melangsungkan pernikahan kita?" tanya Raka.Lusi diam. Tubuh itu terasa dingin dan menegang. Otaknya berusaha keras menolak apa pun yang berkaitan dengan Raka, termasuk perasaan itu. Tetapi, sepertinya tidak semudah yang dikira.Lusi masih merasakan sakit yang amat saat mereka membicarakan tentang kehidupan mereka. Bahkan saat ini, dia ingin menangis. Hanya saja dengan sekuat hati menahannya."Kalau bisa minggu depan, Mas. Aku tidak sabar untuk menjadi istrimu," ucap Mila dengan nada yang dilembut-lembutkan.Lusi jadi ingin muntah mendengarnya. Dia tidak tahu kalau Raka itu punya selera rendahan seperti Mila. Benar-benar seorang penggoda sejati.Raka menghela napas panjang. "Sudah, kan? Sekarang ayo aku antar kamu pulang. Aku juga haru
Mata Lusi memang memandang ke depan, tapi pikirannya bergerilya ke mana-mana. Setengah pikiran Lusi fokus, dan sisanya masih saja tertaut pada obrolan Raka dan Mila.Sungguh, dia tidak menyangka kalau Mila sejahat itu. Padahal, dulu Lusi sangat percaya dan menganggapnya sebagai saudara.Saking percayanya, Lusi selalu memberikan apa saja yang dia butuhkan. Bahkan, saat kuliah pun, Lusi tidak segan memberikan uang jika Mila kekurangan.Lusi tidak pernah mempermasalahkan besarnya uang itu. Bahkan, dia bebaskan Mila dari utang piutang.Tidak pernah ditagih apa pun yang pernah diberikan padanya. Karena setiap Mila membutuhkan uang, di akhir kalimat Mila akan mengatakan kalau dirinya pasti mengganti semua yang diberikan Lusi jika sudah punya uang.Lusi hanya mengiyakan saja untuk menghargai niatnya. Walaupun pada nyatanya Mila tidak pernah mengganti sedikit pun semua yang diberikan. Itu juga tidak dipermasalahkan, karena Lusi memang berniat untuk membantunya tanpa meminta imbalan atau balas