Makanan di meja sudah tandas, Alia terus meracau kalau dia senang karena bisa makan di luar bersama ayahnya. Lusi hanya tersenyum miris.Ya, tentu saja. Karena mungkin ini terakhir kalinya mereka bisa makan bersama di luar seperti ini. Raka pamit ke toilet, dan entah disengaja atau tidak HPnya tertinggal.Selama ini, Lusi tidak pernah menyentuh privasinya. Karena dia percaya pada Raka. Namun, setelah kejadian pengkhianatannya, rasa curiga yang dibalut penasaran pun mencuat dengan sendirinya.Lusi melirik ponsel itu dan tangannya refleks meraih benda pipih di meja. Setahunya, Raka tidak menggunakan kata sandi atau kunci khusus. Itu karena Alia sering memakai HP Raka untuk bermain game.Namun, sekarang. Laki-laki itu memasang kunci pola pada HPnya. Ini sudah menjadi cukup bukti kalau dia menyembunyikan sesuatu dari Lusi.Lusi hanya bisa mendesah kasar. Semua percuma kalau seperti ini. Rasa penasarannya tidak akan pernah tuntas kalau sumber satu-satunya tidak bisa ditelusuri.Akhirnya di
"Istriku meninggal saat melahirkan anak kami. Dan, seminggu setelahnya, anak kami meninggal karena penyakit bawaan."Lusi tercengang. Terlihat kesedihan amat kentara dari wajah itu. Pantas saja dia ada di sini. Mungkin ingin mengurangi kesedihan karena kehilangan 2 orang yang paling dicintai sekaligus."Aku turut berduka cita, Van. Sabar, mungkin ini ujian untukmu." Lusi mengatakan itu dengan tulus, sebagai seorang manusia yang punya rasa iba.Walaupun dulu mereka punya hubungan di masa lalu, sekarang sudah beda lagi ceritanya. Lusi dan Devan punya kehidupan masing-masing. Ya, walaupun kehidupan Lusi sekarang sedang diterjang badai, tetap saja dia masa lalunya.Devan adalah orang yang dekat dengan Lusi. Mereka tidak pacaran, tapi sama-sama mengakui punya perasaan lebih. Devan adalah anak dari bos rumah makan dan restoran ternama. Dia juga anak pintar.Walaupun demikian, Devan orang yang humbel dan sederhana. Sekaya apa pun orang tuanya, Devan tidak pernah memperlihatkan gaya hidup yan
Hening. Suasana di mobil terasa mencekam. Alia tertidur, sepertinya kelelahan. Tinggal Lusi dan Raka yang sama-sama terdiam.Lusi tak tahu apa yang sedang Raka pikirkan, ketakutannya adalah jika dia salah paham pada Devan. Bisa jadi dia mengada-ngada dan menuduh segala macam padanya."Siapa dia?" tanya Raka tiba-tiba. Lusi pikir dia akan diam saja sampai rumah, ternyata tidak.Lusi diam sejenak. Memikirkan bagaimana cara menjelaskannya pada Raka. Apakah Lusi harus jujur siapa Devan sebenarnya? Atau cukup memberitahukan sekedarnya saja?"Lus?""Dia temanku semasa kuliah," jawab Lusi akhirnya, tetapi tak berniat untuk memperpanjang masalah tadi.Lusi harap Raka pun tidak memperpanjangnya. Tetapi, sepertinya tidak begitu. Raka menoleh pada istrinya dengan mata menuntut dan wajah menegang."Teman? Teman biasa atau teman khusus?" tanyanya dengan nada menuntut.Lusi mendesah kasar sambil memalingkan wajah ke kaca jendela mobil. Pasti akan ada lagi kesedihan. Malas sekali, apalagi ada Alia.
Rasa penasaran itu begitu mengganggu Lusi. Tidak mungkin juga dia menanyakannya pada Raka, bisa-bisa suaminya berpikir macam-macam.Lusi menggelengkan kepala dan menunda sejenak rasa penasarannya pada Raka dan Mila. Sekarang, dia harus meyediakan makan malam mereka.Semua hidangan sudah tersusun rapi di meja makan. Lusi pun langsung memanggil Alia dan Raka. Mereka datang bersamaan dengan Alia yang memegangi tangan ayahnya.Alia duduk di kursinya, begitu pun dengan Raka. Lusi siapkan nasi dan lauk pauk untuk Alia, setelah itu hendak menyiapkan nasi untuknya sendiri. Tetapi, tiba-tiba Raka menyodorkan piringnya."Ayah belum, Bu," ucap Raka dengan wajah penuh harap.Lusi terdiam sesaat. Malas sekali melayani pengkhianat ini, tapi dia terpaksa harus menyediakan nasi dan lauk pauknya untuk Raka. Semua karena Alia, anak itu jangan sampai curiga.Dengan senyum kaku, Lusi pun menyediakan makanan untuk Raka. Setelah itu, mereka pun memulai makan malam dengan suasana hangat.Alia banyak berce
Raka masih menatap Lusi lekat. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat ini, tapi Lusi tak peduli lagi. 'Berpikirlah sesukamu, Mas. Entah itu baik atau buruk, terpenting aku harus melindungi hatiku sendiri.'"Apa kamu menyimpan dendam pada kami sampai kamu melakukan ini semua?" tanya Raka dengan mata yang memicing.Lusi terdiam dan membalas tatapannya dengan datar. Raka mulai bermain dengan kata-kata dan berusaha menyudutkannya. 'Hah, coba saja kalau bisa.'"Aku muak dengan pertanyaanmu itu. Terserah padamu, Mas. Kamu mau anggap aku apa, itu tak akan berpengaruh padaku. Intinya, cepat angkat kaki dari rumah ini atau aku berubah pikiran."Raka tidak bereaksi dan tetap memandang Lusi dengan tatapan tak percaya. Sebaik dan sesabar seseorang, dia akan meledak pada waktunya. Sama seperti Lusi. Dia diam dan mengalah apa pun yang terjadi selama ini. Bahkan, Lusi mengakui usaha miliknya menjadi milik Raka di depan orang lain. Itu pun Lusi ikhlas karena memang kehormatan suaminya adalah hal
Setelah mobil terparkir, terlihat Raka masuk ke restoran itu. Lusi sengaja membuat jeda waktu agar penyamarannya tidak ketahuan.Selang 5 menit, barulah Lusi turun dari mobil dan bergegas masuk ke restoran itu. Dia sengaja menggerai rambut dan memakaikan bandana. Ini bukan ciri khas Lusi, dan sengaja melakukan ini agar mereka tidak mencurigainya.Dada Lusi langsung tersentak saat tahu kalau perkiraannya benar. Raka menemui jalang itu. 'Ah, Lus. Apa yang kamu harapkan dari laki-laki sialan itu? Sudahlah.' Sebaiknya Lusi mencari tempat strategis untuk menguping pembicaraan mereka.Syukurlah meja di depan mereka kosong, jadi Lusi bisa duduk di sana sembari membelakangi dua orang itu. Lusi berusaha tenang. Mengingat tujuannya ke sana, untuk mencari tahu seberapa buruk mereka.Dia menghela napas pelan, lalu menyetel rekaman yang disengaja diputar di atas meja. Lusi melambaikan tangan pada waiter, memesan menu yang sekiranya bisa awet dimakan dalam waktu lama. Karena, dia butuh alasan unt
"Tidak sama, Mas. Alia itu anak Lusi, kalau yang di kandunganku anakku, Mas."Lusi membulatkan mata mendengar perkataan Mila. Wanita iblis! Hatinya benar-benar jahat. Dia membedakan anak Lusi dengan anaknya. Padahal sama-sama darah daging Raka, tapi sudah terlihat sekali kalau dia itu calon Ibu tiri yang kejam.Lusi tidak akan pernah membiarkan Alia dekat dengan Mila, karena ini sudah cukup menjadi bukti kalau Mila tidak menerima anaknya."Keterlaluan kamu, Mil. Kenapa kamu berkata seperti itu? Alia juga anakku, darah dagingku. Kalau kamu mau menikah denganku, maka terima Alia sebagai anak sambungmu juga."Suara Raka tertahan dan itu pasti karena dia marah pada Mila. Terang saja, tidak ada seorang Ayah yang menerima jika anaknya diperlakukan pilih kasih, bahkan oleh wanita yang dicintai oleh Ayah itu sendiri."Ah, sudahlah! Kenapa malah bahas Alia, sih? Aku kan nyuruh kamu ke sini buat ngomongin masalah pernikahan kita."Lusi tertegun mendengarnya. Tangannya tiba-tiba saja bergetar
"Baiklah, ini demi anak yang ada di dalam kandunganmu."Mila bersorak senang sementara Lusi merasakan sesak di dada. Raka benar-benar sudah terpedaya oleh Mila. Dia sudah tidak bisa membedakan mana perkataan sungguhan dan rayuan belaka."Kapan kamu mau melangsungkan pernikahan kita?" tanya Raka.Lusi diam. Tubuh itu terasa dingin dan menegang. Otaknya berusaha keras menolak apa pun yang berkaitan dengan Raka, termasuk perasaan itu. Tetapi, sepertinya tidak semudah yang dikira.Lusi masih merasakan sakit yang amat saat mereka membicarakan tentang kehidupan mereka. Bahkan saat ini, dia ingin menangis. Hanya saja dengan sekuat hati menahannya."Kalau bisa minggu depan, Mas. Aku tidak sabar untuk menjadi istrimu," ucap Mila dengan nada yang dilembut-lembutkan.Lusi jadi ingin muntah mendengarnya. Dia tidak tahu kalau Raka itu punya selera rendahan seperti Mila. Benar-benar seorang penggoda sejati.Raka menghela napas panjang. "Sudah, kan? Sekarang ayo aku antar kamu pulang. Aku juga haru
Suara ketukan pintu di kamar Alia membuat gadis itu menoleh, ternyata Lusi sudah berdiri di ambang pintu dengan senyuman merekah. "Ibu boleh masuk?" tanya Lusi yang langsung diangguki oleh gadis kecil itu. Sang wanita ingin bercerita, meminta izin kepada anaknya untuk bekerja. Bagaimanapun saat ini yang tersisa hanyalah Alia. Satu-satunya keluarga yang bisa diandalkan dan alasan Lusi bisa bersemangat sampai hari ini."Apakah Ibu mengganggu kamu?" Alias tersenyum sembari menggelengkan kepala. "Enggak kok, Bu. Aku baru selesai mengerjakan PR." Lusi tersenyum sembari mengurus kepala anak itu. "Bagaimana sekolahnya? Apa sudah punya teman?""Iya, aku udah punya teman. Mereka pada baik kok, Bu." "Syukurlah kalau begitu. Tidak ada yang bertanya tentang Ibu atau Ayah?" Seketika Alia terdiam. Dia tidak memperlihatkan kesedihan atau kesenangan. "Enggak ada teman-teman Alia juga nggak pernah nanyain Ayah kerja di mana, Ibu kerja. Mereka semua baik," ungkap Alia, membuat Lusi menghela na
"Bukan masalah itunya, Adiba. Mau perusahaan hebat atau tidak, bukan. Bukan itu yang lebih utamanya. Aku sudah punya usaha sendiri, hanya ingin mengisi waktu luang bukan menyibukkan diri dan tidak ada waktu untuk anakku," ujar Lusi menjelaskan. Dia tidak mau terlalu larut dalam dunia sendiri. Sementara ada anak yang harus diurus olehnya. "Ya, kalau gitu di rumah saja," ucap Adiba, akhirnya memberikan solusi. "Tetapi akan bosan kalau aku di sini terus. Kamu tahu kan, setiap hari aku biasanya itu punya kegiatan. Kalau misalkan hanya berdiam diri juga waktuku terbuang percuma.""Ya sudah, kalau begitu terima saja tawarannya," ujar Adiba lagi, lama-lama kesel sendiri dengan kelakuan sahabatnya ini. "Tapi, bagaimana dengan Alia?" Adiba berdecak sembari duduk di samping temannya itu. "Percaya deh sama aku, Alia juga pasti senang kalau kamu punya kegiatan. Yang penting kan kamu pasti punya waktu sama Alia, ditambah lagi sekarang ada ibuku. Bisa saja Alia main sama Ibu. Anggap dia main
Suara dering ponsel membuat Mila terkesiap dan kontan menghentikan tangisannya. Ternyata dari karyawannya. Tampaknya wanita itu harus segera kembali ke butik, sebab pasti kerjaannya semakin banyak.Dia tidak mungkin terus-terusan larut dalam kesedihan karena menangisi Raka, sementara ada usaha yang harus terus dijalankan. Kalau tidak, dirinya akan jatuh miskin dan benar-benar kehilangan Raka. Pria itu tidak mungkin mau hidup susah dengannya, jadi cara satu-satunya mempertahankan Raka yaitu dengan banyak uang. Miris, bukan? Harusnya di sini seorang pria yang melakukan ini semua, tetapi Mila mau tidak mau harus menghasilkan banyak uang demi mempertahankan Raka.Ya, demi agar anaknya bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah. Demi dirinya yang tidak lagi dijandakan oleh pria itu. Mila hanya bisa tersenyum miris, tetapi tak urung tetap kembali menjalankan mobilnya. Berusaha untuk tegar. Wanita hamil itu mengelus-elus perutnya yang mulai membesar. "Sabar ya, Nak. Ibu akan berusaha sebaik
"Kamu sudah gila, ya? Apa yang baru saja kamu katakan?!" tanya Bu Sinta, kali ini wanita paruh baya itu marah karena anaknya malah merahasiakan pernikahan dengan Winda. Harusnya biarkan saja diberi tahu semua orang, termasuk Mila. Agar ketahuan bagaimana reaksi wanita hamil itu, berharap kalau Mila mau tahu diri dan memilih untuk pergi dari kehidupan Raka. Tetapi tampaknya Raka sama sekali enggan untuk mempublikasikan hubungannya dengan Winda. "Aku tidak gila, Bu. Karena aku waras, makanya merahasiakan semua ini.""Lalu, bagaimana dengan perasaan Winda?" "Aku yakin, Winda juga pasti akan mengerti dengan situasi ini. Kami sudah saling sepakat. Jadi, aku harap Ibu tidak merecoki rencana kami.""Apa yang sedang kamu rencanakan sebenarnya, Raka? Ibu kasihan kalau Winda statusnya disembunyikan dari siapa pun." "Bu, aku melakukan ini demi kebaikan bersama. Bahkan Winda juga berkata, dia tidak akan ikut campur urusan aku dan juga Mila. Sebaliknya, Mila juga tidak boleh ikut campur urusan
"Itulah masalahnya, Bu. Mila tidak sebodoh yang kita kira. Dia bisa saja mengantisipasi untuk mendapatkan hak asuh anak dengan cara menahanku. Dia pasti sudah melakukan berbagai cara agar aku bisa berada di sisinya, termasuk anak itu." "Lalu, bagaimana? Kalau memang kamu tidak mau terikat dengan Mila, lepaskan anak itu. Kalau misalkan kamu ingin anak itu, cari cara menyingkirkan Mila. Mudah, kan?" "Tidak semudah itu, Bu. Aku tahu Ibu benci Mila, tapi tolong jangan benci anakku. Dia tidak tahu apa-apa. Bukankah bayi yang ada di dalam kandungan setiap Ibu hamil itu tidak berdosa? Kalau pun memang harus disalahkan, Mila sendiri dan aku. Jadi, kumohon kali ini saja Ibu mau menuruti permintaanku." Bu Sinta menghela napas kasar. Dalam hatinya tidak mau mengurusi cucunya itu. Lagi pula menurutnya cucu yang baik itu hanya Alia. Walaupun dia tidak tahu bagaimana nanti anak Mila, tapi wanita paruh baya sudah menafsirkan kalau sifat Mila pasti akan turun kepada anaknya sendiri. "Ya, terserah
"Bagus, bagus! Ibu setuju dengan keputusanmu. Kan sudah Ibu bilang, Winda itu adalah istri yang baik untuk kamu. Dibandingkan dengan Mila, Ibu lebih setuju dengan Winda. Dia itu baik hati, tidak perhitungan dan juga mengerti keadaan kamu dan Ibu. Jadi, menurut Ibu kamu itu memang harus memilih Winda. Bagus-bagus," papar Bu Sinta dengan semangat. Dia bahkan terus-terusan tersenyum sembari membereskan piring bekas makan Raka. Pria itu belum berani untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, kalau diam saja pun tidak akan mengubah situasi yang ada. Keadaan semakin kacau karena pasti Bu Sinta akan menyerang Mila atau malah melakukan sesuatu yang sangat membahayakan untuk rencana ke depannya."Iya, Bu. Tapi aku akan menjadikannya istri kedua."Bu Sinta hampir saja melepaskan piring yang ada di tangan saat Raka mengatakan hal tersebut. Wanita paruh baya itu langsung menyimpan piring kotor dan kembali ke hadapan anaknya dengan wajah kaget. "Apa kamu bilang tadi? Istri kedua? Maks
Wanita hamil itu hanya bisa pergi dengan perasaan kesal. Mungkin Mila bisa saja menerobos masuk, tetapi dia khawatir kalau Raka akan benar-benar murka kepadanya dan semua perkataan pria itu menjadi kenyataan. Membayangkannya saja membuat Mila ketakutan, apalagi kalau benar Raka akan meninggalkannya dan anak yang ada di dalam kandungan. Akhirnya Mila tidak punya pilihan lain, kecuali mengalah terlebih dahulu. Dia akan mencoba kembali untuk membujuk Raka setelah 3 hari, berharap kalau pria itu benar-benar akan kembali kepadanya. Setelah kepergian Mila, Raka dan Bu Sinta pun sedang duduk berhadapan di meja makan, tepat di depannya tampak sekali makanan yang sudah terhidang dan aromanya begitu menggugah selera Raka. Kebetulan pria itu hanya makan ala kadarnya. Saat melihat semua ini, tentu rasa lapar pria itu menyeruak. Tetapi sebelumnya Raka harus memberitahukan kedatangan dirinya kepada Bu Sinta. "Ibu masak untukku?" "Tentu saja. Kamu pikir Ibu akan masak untuk siapa? Istrimu? Ibu
"Mas, aku mohon. Pulanglah bersamaku, jangan seperti ini." Mila sekarang menghiba sembari menangis. "Tolong, jangan buat aku merasa menderita dan tertekan seperti ini. Aku janji, aku tidak akan mengekangmu lagi. Kamu boleh keluar, asalkan kamu bicara dulu kepadaku." "Tidak, ini sudah ketiga kalinya kamu mengatakan hal yang sama, tetapi kenyataannya seperti apa? Kamu tetap saja mengganggu dan menuduhku macam-macam.""Lalu, aku dengan siapa, Mas? Aku tidak mungkin sendiri.""Ada Maura."Seketika Mila malah terdiam. Dia sedang berusaha untuk akting sebaik mungkin agar Raka mau pulang dengannya. Tetapi malah nama Maura yang disebutkan. Dia benar-benar kesal karena adiknya itu malah masuk dalam permasalahan rumah tangganya. "Dia kan bukan siapa-siapa kita. Lagi pula di sini yang harus tanggung jawab atas keselamatan aku dan anak ini kan kamu, Mas." Mila sama sekali tidak bisa diajak berbicara baik-baik. Sekeras apa pun Raka menjelaskan, Mila juga sama kerasnya. Tidak mau mengalah. Rak
"Tidak sekarang, Mila. Aku akan pulang setelah semua urusanku selesai." Mila menautkan kedua alis dengan perasaan bingung. "Apa maksud kamu, Mas? Urusan apa yang kamu lakukan di sini?" Raka menghela napas panjang sembari memijat pelipisnya yang berdenyut. Tidak mungkin dia mengatakan kalau besok dirinya akan menikah dengan Winda. Yang pasti pria itu harus mengelabui Mila. Jangan sampai wanita itu benar-benar menghancurkan semua rencananya. Karena kalau Mila tahu kalau dirinya ingin mencari Lusi dan juga Alia, maka saat itu juga dia mendapat tekanan lagi dari wanita ini. "Aku hanya ingin bertemu dengan ibuku, menghabiskan waktu dengan ibuku." "Lalu, kamu meninggalkan istrimu?" tanya Mila. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Raka akan melakukan hal seperti ini. Padahal yang harus ditemani adalah Mila. Dia sedang hamil. Kenapa Raka tidak mau melakukan itu? "Dia anakku. Hak dia dong untuk menemani ibunya!"Mila kesal karena Bu Sinta malah ikut campur. Harusnya wanita paruh bay