Lusi tersenyum puas melihat raksi suaminya. 'Ayo, Mas. Jawablah pertanyaan anakmu. Itu kan sesuai dengan keadaan rumah tangga kita.' Lusi membatin, ingin tahu bagaimana Raka menjelaskannya pada anaknya sendiri."Yah!""La-lampu hijau, Ayah harus menyetir. Tanya saja pada Ibu, nanti Ibu yang jawab."'What?! Haha.' Lusi ingin menertawakan jawaban yang diberikan oleh bajingan itu. Lihatlah ekspresi wajahnya? Dia seperti maling yang mengelak dari segala tuduhan. Ketakutan dan malu sendiri.Lusi ingin mengolok-oloknya atau mungkin menghina laki-laki sialan itu. Tatapi, sayangnya tidak bisa. Dia harus menahan diri. Jangan sampai Alia lihat pertengkaran di antara mereka."Ish, Ayah kok gitu, sih? Jadi, gimana, Bu?"Lusi kaget saat Alia benar-benar meminta jawaban padanya. Sekarang, giliran Lusi yang bingung. Bagaimana caranya membuat Alia mengerti tentang masalah rumah tangga?Lusi menghela napas sejenak. Kalau tidak dijelaskan, dia akan meminta penjelasan pada orang lain atau mungkin pada
"Ah, sudahlah. Jangan bahas itu lagi. Jangan racuni Alia dengan pembicaraan tentang rumah tangga. Belum saatnya, Lus.""Kenapa belum saatnya, Mas? Aku rasa pantas saja dia tahu tentang kehidupan rumah tangga, apalagi temannya mengalami kehidupan sulit karena konflik rumah tangga orang tua. Sebelah mananya yang salah, Mas? Justru, kalau aku tidak menjelaskan dengan benar, Alia akan menelan bulat-bulat cerita dari temannya."Raka diam. Dia memejamkan mata, lalu menggenggam erat setir mobil. Lusi tahu, dia sedang menahan amarah. Sungguh mengasyikan membuat Raka tak berkutik seperti ini."Apa Ibu dan Ayah sedang bertengkar?"Lusi tersentak mendengar suara Alia. Ya Tuhan, dia lupa jika Alia ada di sini. Lusi menoleh padanya, dan mendapati wajah anak gadis itu tengah murung dengan mata memerah. 'Bagaimana ini?'"Ibu dan Ayah jangan bertengkar, Alia takut."Terdengar suara isakan dari gadis kecil itu. Lusi langsung membalikkan badan, menghadap anaknya dengan kekhawatiran yang penuh.Ah, ken
"Tentu saja Ayah mencintai ibumu, Alia. Ayah tidak akan pernah melepas ibumu." Raka mengatakan itu dengan tegas sembari menatap Alia, lalu beralih memandangi Lusi dengan wajah penuh harap.Lusi tertegun sesaat, hampir saja terbuai dalam tatapan Raka. Dengan segera dia menggelengkan kepala. Tidak, dia tidak akan terjebak. Hatinya sudah terlanjur sakit, dan Raka juga sudah menodai pernikahan mereka. Tidak ada alasan untuk bertahan.Mungkin, untuk sekarang Lusi hanya bisa menyembunyikan hubungan terlarang antara suaminya dan Mila. Dan dia tahu, lambat laun Alia akan tahu.Sebelum itu terjadi, Lusi harus membuat Alia mengerti kalau perpisahan adalah yang terbaik. Mau dia bertahan atau tidak, Alia pasti tetap akan terluka karena pengkhianatan Raka."Kalau Ibu, gimana? Ibu juga sayang dan cinta kan sama Ayah?"Jantung Lusi tersentak mendengar pertanyaan itu. Ya ampun, dia benar-benar tidak menyangka kalau Alia juga menanyakan itu padanya. Apa yang harus Lusi katakan pada Alia?Raka menatap
Makanan di meja sudah tandas, Alia terus meracau kalau dia senang karena bisa makan di luar bersama ayahnya. Lusi hanya tersenyum miris.Ya, tentu saja. Karena mungkin ini terakhir kalinya mereka bisa makan bersama di luar seperti ini. Raka pamit ke toilet, dan entah disengaja atau tidak HPnya tertinggal.Selama ini, Lusi tidak pernah menyentuh privasinya. Karena dia percaya pada Raka. Namun, setelah kejadian pengkhianatannya, rasa curiga yang dibalut penasaran pun mencuat dengan sendirinya.Lusi melirik ponsel itu dan tangannya refleks meraih benda pipih di meja. Setahunya, Raka tidak menggunakan kata sandi atau kunci khusus. Itu karena Alia sering memakai HP Raka untuk bermain game.Namun, sekarang. Laki-laki itu memasang kunci pola pada HPnya. Ini sudah menjadi cukup bukti kalau dia menyembunyikan sesuatu dari Lusi.Lusi hanya bisa mendesah kasar. Semua percuma kalau seperti ini. Rasa penasarannya tidak akan pernah tuntas kalau sumber satu-satunya tidak bisa ditelusuri.Akhirnya di
"Istriku meninggal saat melahirkan anak kami. Dan, seminggu setelahnya, anak kami meninggal karena penyakit bawaan."Lusi tercengang. Terlihat kesedihan amat kentara dari wajah itu. Pantas saja dia ada di sini. Mungkin ingin mengurangi kesedihan karena kehilangan 2 orang yang paling dicintai sekaligus."Aku turut berduka cita, Van. Sabar, mungkin ini ujian untukmu." Lusi mengatakan itu dengan tulus, sebagai seorang manusia yang punya rasa iba.Walaupun dulu mereka punya hubungan di masa lalu, sekarang sudah beda lagi ceritanya. Lusi dan Devan punya kehidupan masing-masing. Ya, walaupun kehidupan Lusi sekarang sedang diterjang badai, tetap saja dia masa lalunya.Devan adalah orang yang dekat dengan Lusi. Mereka tidak pacaran, tapi sama-sama mengakui punya perasaan lebih. Devan adalah anak dari bos rumah makan dan restoran ternama. Dia juga anak pintar.Walaupun demikian, Devan orang yang humbel dan sederhana. Sekaya apa pun orang tuanya, Devan tidak pernah memperlihatkan gaya hidup yan
Hening. Suasana di mobil terasa mencekam. Alia tertidur, sepertinya kelelahan. Tinggal Lusi dan Raka yang sama-sama terdiam.Lusi tak tahu apa yang sedang Raka pikirkan, ketakutannya adalah jika dia salah paham pada Devan. Bisa jadi dia mengada-ngada dan menuduh segala macam padanya."Siapa dia?" tanya Raka tiba-tiba. Lusi pikir dia akan diam saja sampai rumah, ternyata tidak.Lusi diam sejenak. Memikirkan bagaimana cara menjelaskannya pada Raka. Apakah Lusi harus jujur siapa Devan sebenarnya? Atau cukup memberitahukan sekedarnya saja?"Lus?""Dia temanku semasa kuliah," jawab Lusi akhirnya, tetapi tak berniat untuk memperpanjang masalah tadi.Lusi harap Raka pun tidak memperpanjangnya. Tetapi, sepertinya tidak begitu. Raka menoleh pada istrinya dengan mata menuntut dan wajah menegang."Teman? Teman biasa atau teman khusus?" tanyanya dengan nada menuntut.Lusi mendesah kasar sambil memalingkan wajah ke kaca jendela mobil. Pasti akan ada lagi kesedihan. Malas sekali, apalagi ada Alia.
Rasa penasaran itu begitu mengganggu Lusi. Tidak mungkin juga dia menanyakannya pada Raka, bisa-bisa suaminya berpikir macam-macam.Lusi menggelengkan kepala dan menunda sejenak rasa penasarannya pada Raka dan Mila. Sekarang, dia harus meyediakan makan malam mereka.Semua hidangan sudah tersusun rapi di meja makan. Lusi pun langsung memanggil Alia dan Raka. Mereka datang bersamaan dengan Alia yang memegangi tangan ayahnya.Alia duduk di kursinya, begitu pun dengan Raka. Lusi siapkan nasi dan lauk pauk untuk Alia, setelah itu hendak menyiapkan nasi untuknya sendiri. Tetapi, tiba-tiba Raka menyodorkan piringnya."Ayah belum, Bu," ucap Raka dengan wajah penuh harap.Lusi terdiam sesaat. Malas sekali melayani pengkhianat ini, tapi dia terpaksa harus menyediakan nasi dan lauk pauknya untuk Raka. Semua karena Alia, anak itu jangan sampai curiga.Dengan senyum kaku, Lusi pun menyediakan makanan untuk Raka. Setelah itu, mereka pun memulai makan malam dengan suasana hangat.Alia banyak berce
Raka masih menatap Lusi lekat. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat ini, tapi Lusi tak peduli lagi. 'Berpikirlah sesukamu, Mas. Entah itu baik atau buruk, terpenting aku harus melindungi hatiku sendiri.'"Apa kamu menyimpan dendam pada kami sampai kamu melakukan ini semua?" tanya Raka dengan mata yang memicing.Lusi terdiam dan membalas tatapannya dengan datar. Raka mulai bermain dengan kata-kata dan berusaha menyudutkannya. 'Hah, coba saja kalau bisa.'"Aku muak dengan pertanyaanmu itu. Terserah padamu, Mas. Kamu mau anggap aku apa, itu tak akan berpengaruh padaku. Intinya, cepat angkat kaki dari rumah ini atau aku berubah pikiran."Raka tidak bereaksi dan tetap memandang Lusi dengan tatapan tak percaya. Sebaik dan sesabar seseorang, dia akan meledak pada waktunya. Sama seperti Lusi. Dia diam dan mengalah apa pun yang terjadi selama ini. Bahkan, Lusi mengakui usaha miliknya menjadi milik Raka di depan orang lain. Itu pun Lusi ikhlas karena memang kehormatan suaminya adalah hal
Setelah menunggu beberapa saat, keluarlah dokter dan suster yang sedang menangani Mila. Dengan cepat Maura menghampiri dan bertanya bagaimana keadaan kakaknya itu. "Kalau boleh tahu, Mbak ini siapanya pasien?" tanya dokter. Saat ini Maura tidak mau mengakui kalau Mila adalah kakaknya, lebih baik seperti ini dibandingkan nanti dirinya yang akan repot harus mengurus semuanya demi wanita hamil itu. "Kebetulan saya tetangganya, Dok. Tadi lihat dia kecelakaan di jalan. Jadi saya yang bawa ke sini," ujar Maura, memilih untuk menjawab secara demokratis. Kalau dia mengatakan hanya orang asing, pasti disuruh pergi dan menelepon keluarganya. Artinya dia harus menelepon kedua orang tua mereka, mengingat itu Maura langsung menggelengkan kepala. Mana sudi dia bertemu dengan kedua orang tuanya lagi, terutama ayah tiri yang membuatnya menderita sampai saat ini." Oh, kalau begitu bisakah Mbak menelepon keluarganya?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga dari dokter, tetapi setidaknya Maura sud
Maura saat ini sedang ada di rumah sakit. Dia tampak gelisah, sesekali duduk lalu berjalan mondar-mandir menunggu di depan ruang ICU. Saat melihat keadaan kakaknya, wanita itu benar-benar syok. Kepala Mila terbentur. Ada bagian depan mobil yang sudah rusak. Saat ini Maura dihantui ketakutan. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba saja bersarang di benak, salah satunya bagaimana kalau misalkan kakaknya meninggal? Apa yang akan dia jelaskan kepada kedua orang tuanya jika tahu Mila kecelakaan dan saat itu dialah yang ada di rumah sakit ini? Namun, kalau Maura diam saja akan terjadi sesuatu yang buruk kepada kakaknya. Setelah hampir 18 tahun hidup mengenal Mila, pertama kalinya wanita itu merasa khawatir yang teramat sangat dibandingkan dulu saat tahu Mila masuk penjara karena viral. Kali ini ada rasa takut yang benar-benar mengukung, sampai Maura bingung harus melakukan apa. Wanita itu berusaha untuk menelepon Raka, tapi lagi-lagi sang pria tidak bisa dihubungi. Dia jadi bingung
Mila sama sekali tidak menyadari kalau dirinya sedang diikuti. Mungkin pikirannya sudah lelah karena perutnya juga lapar dan tidak fokus, hingga dia pun berhenti di sebuah kedai bakso. Saat ini tampaknya sang anak yang ada dalam kandungan ingin mencicipi bakso yang agak jauh. Maura menghentikan taksi itu dan memantau kalau kakaknya masuk ke kedai bakso tersebut. "Lah, kok dia malah berhenti di situ? Atau jangan-jangan Kak Mila memang keluar untuk beli makanan?" gumam wanita itu. Dia keheranan. Kalau terus lama-lama di sini yang ada harga argonya akan terus berjalan dan mungkin dia harus mengeluarkan banyak uang, jadi wanita itu pun terpaksa turun dari taksi dan memantau dari kejauhan saja. "Duh, sial banget! Masa aku harus berdiri di sini memantau dari kejauhan? Mana panas pula," gerutu Maura.Dia mencoba melihat ke sekitar dan mencari tempat yang nyaman, kira-kira bisa duduk menunggu Mila. Inginnya wanita itu pun masuk ke sana dan ikut makan, tetapi pasti Mila akan mengetahui keb
Maura tampak muram dan ketakutan. Dia tidak tahu harus tenang apa, karena saat ini posisinya sedang sendirian. Tidak ada tempat bergantung. Bahkan kakaknya sendiri pun malah mengintimidasi. Tapi, kalau sampai Mila mengetahui masalah ini, yang ada dia akan semakin dipersulit atau mungkin bisa saja malah dilaporkan ke polisi dan berakhir di penjara. Membayangkannya saja membuat Maura merasa ketakutan, apalagi kalau jadi kenyataan. Dia tidak bisa berpikir jernih saat ini, berharap kalau ada solusi lain. Namun semakin diamkan, perasaannya semakin gundah. Maura tidak bisa diam saja. Dia harus meminta bantuan kepada seseorang dan satu orang yang terlintas di benak wanita itu adalah nama Raka.Dengan cepat dia menelepon Raka, tapi sayangnya tidak aktif. “Apa Mas Raka sengaja melakukan ini agar tidak ada yang mengganggu?” gumam sang wanita dan tebakan Maura memang benar.Raka sengaja mematikan ponselnya agar tidak diganggu oleh Mila atau siapapun yang akan memperkeruh suasana. Hari ini jug
Setelah keluar dari ruangan interview, ternyata ada David sudah ada di sana. Lusi sangat kaget dengan kehadiran pria itu, lalu tiba-tiba saja tersenyum merekah, membuat jantung David berdetak dengan sangat kencang. "Bagaimana?" tanya David dengan tenang, walaupun sebenarnya saat ini dia sedang merasa gugup tetapi usianya yang sudah matang tidak mentoleransi semua itu. Dia bukan ABG lagi yang harus terlihat malu-malu di depan wanita yang dicintainya. "Alhamdulillah, aku keterima. Terima kasih, ya."Lusi langsung menjulurkan tangan membuat David terperangah, tetapi tak urung pria itu pun menerima uluran tangan Lusi. Mereka bersalaman dan kali ini David merasa tuntas karena bisa menyentuh tangan Lusi yang sangat halus dan lembut. "Syukurlah kalau begitu. Benar kan, aku tidak menipumu?" "Ya, aku minta maaf. Bukan maksud apa-apa, aku hanya melindungi diri dari hal-hal yang buruk. Tidak ada yang tahu kan apa yang akan terjadi selanjutnya," ucap Lusi membuat David terdiam sembari mengan
Bagaimana? Kalau mau, aku antarkan kamu ke kantornya. Kebetulan aku juga kerja di sana," ucap David membuat Lusi mulai menurunkan rasa curiganya kepada pria itu. "Kamu benar-benar tidak akan membawaku ke tempat yang aneh-aneh, kan?" tanya Lusi lagi, karena dia merasa belum yakin sepenuhnya apalagi mereka baru kenal kemarin. Itu pun hanya sepintas. "Ya Tuhan, apakah kamu selalu melakukan ini kepada orang lain? Kecuali kalau aku itu tidak dekat tempat tinggalnya denganmu, baru kamu curiga. Tapi aku kan tinggalnya dekat. Harusnya kamu bisa mengantisipasi itu, kan?"David lama-lama gemas juga kepada Lusi yang malah terus-terusan bertanya seperti itu. Wanita itu diam sejenak, memandangi pria itu dengan tatapan datar. "Mungkin menurutmu itu hal wajar, tapi tidak bagiku. Apalagi kamu tidak tahu bagaimana masa laluku. Harusnya kamu tahu, orang-orang akan melindungi diri sendiri dari hal-hal yang membuatnya kecewa," ujar Lusi membuat David terdiam. Pria itu memandangi sang wanita yang seka
Lusi sampai tak bisa berkata-kata saking kagetnya kala dia duduk dan muncullah Damian dengan wajah tergesa-gesa. Wanita itu sampai mengerjapkan mata berkali-kali, apalagi saat sang pria duduk di sampingnya. Dia benar-benar tak bisa mengatakan apa pun karena menurutnya pria ini aneh. Lusi hanya mengenal namanya Damian dan tidak berniat untuk berkenalan lebih jauh, karena bagi Lusi hati kecilnya sudah tertutup untuk laki-laki manapun. Dulu sempat hampir saja mempunyai rasa kepada Devan, tapi ternyata pria itu malah membuatnya kecewa dan membuat Lusi tak mau lagi menjalin hubungan dengan pria manapun. Dua kali mengalami kekecewaan dari laki-laki, membuat Lusi merasa kalau dirinya memang harus fokus dulu kepada diri sendiri dan sang anak. Jadi, siapapun yang akan mendekat, Lusi akan berusaha untuk menghalangi dan menutup hati. "Hai, kita bertemu di sini." Tiba-tiba saja David mengatakan hal seperti itu, membuat Lusi menoleh dan hanya tersenyum kaku. Sungguh rasanya dia tidak mau basa-
"Apakah harus?" tanya Raka terlihat sekali kalau wajahnya menentang semua permintaan Winda. Melihat itu Winda lagi-lagi merasa kecewa. Tetapi dia tidak mau malah bertengkar, apalagi di hari pertamanya sebagai seorang istri. Mungkin memang Raka belum mau pergi keluar bulan madu sebab memikirkan Alia. Dia berusaha untuk mengerti semuanya, walaupun tampak sekali di wajahnya rasa kekecewaan itu. "Oh ya sudah, Mas. Kalau memang tidak mau tak masalah, aku juga tidak mau kalau Mas Raka tidak bisa. Sebaiknya kita istirahat saja."Winda memilih untuk berdiri dan pergi, tetapi Raka tiba-tiba saja menariknya dan kembali membuat Winda terduduk. Raka menghela napas kasar, tampaknya dia sudah berbuat salah kepada Winda. Masih untung ada yang mau membantunya. Apalagi kata Winda, mereka akan mencari Alia. "Baiklah kita akan berangkat. Tapi nanti besok pulang, ya? Aku tidak bisa lama. Kamu tahu kan? Lusa harus kembalikan kepada Mila," ucap Raka, tiba-tiba saja membuat Winda mengerjapkan mata semba
Menjelang siang ini, tinggal Winda dan Raka berdua saja di rumah Winda. Untuk kedua kalinya dia merasakan sebagai pengantin baru setelah bertahun-tahun ditinggal oleh almarhum suaminya terdahulu. Winda memang tidak menjalin hubungan dengan siapa pun, karena dia memang ingin mengajar Raka. Sekarang setelah menikah, rasanya seperti mimpi. Kekecewaan karena dia tidak dianggap sebagai istri di depan umum, membuat Winda tak memedulikan itu. Semua karena dirinya sekarang sedang benar-benar bahagia sebab sudah memiliki Raka. "Mas, rencana kita selanjutnya seperti apa?" tanya Winda dengan penuh semangat, berharap kalau pria ini akan mengajaknya untuk bulan madu. Kalau masalah perihal biaya, Winda bisa backup semuanya. Yang dibutuhkan adalah perhatian dari pria itu. "Aku ingin mencari Alia." Seketika senyuman di bibir Winda langsung luntur. Hatinya tersayat dan benar-benar tidak dipedulikan di sini. Hanya dijadikan sebagai alat untuk mencari anak dan mantan istri Raka. "Iya, Mas. Aku tahu