"Aku brengsek, katakanlah begitu. Tapi, aku terpaksa melakukan ini semua."
Lusi tersenyum miring mendengar perkataan pria itu. 'Terpaksa katanya? Mana ada hubungan terpaksa yang menyebabkan wanita sundal itu hamil?' rutuk Lusi dalam hati.
"Terpaksa yang nikmat, ya, Mas. Kamu sampai menghamili Mila karena keterpaksaanmu."
Raka mengerang keras. Dia mengguyar rambutnya dengan kasar, lalu kembali menatap Lusi dengan sendu. Wah, hebat sekali suaminya itu. Dia bisa melakukan akting dengan baik.
"Makanya, dengarkan aku dulu, Lus. Aku akan jelaskan kenapa sampai Mila hamil. Aku hanya ingin kamu mendengarkan penjelasanku." Suara Raka sangat lirih, sesaat Lusi tersentuh. Tetapi, bayangan Mila yang memeluk mesra lengan Raka membuat iba itu hilang begitu saja.
"Tidak perlu kamu jelaskan apa pun, Mas. Karena semua sudah terlambat. Tidak ada yang berubah, karena nyatanya kamu harus menikahi Mila."
Raka terdiam. Dia masih menatap Lusi sendu. Kali ini sesal menyelinap antara kesedihan di mata Raka. Lebih baik tidak tahu, karena itu akan memperteguh keputusan Lusi.
"Mas, kamu masih ingat dengan janji kita sebelum menikah?"
Raka diam lagi. Genangan air sudah terlihat di pelupuk mata. Lusi berusaha membuat benteng setinggi mungkin, tidak mau mengalah terhadap permohonannya yang menyakitkan.
"Jika kamu bermain tangan dan selingkuh, saat itu juga kamu harus rela jatuhkan talak tiga aku."
Terlihat Raka memejamkan mata bersamaan dengan jatuhnya air mata. Lusi yakin, Raka masih ingat dengan janjinya sebelum mereka melakukan ijab kabul.
Selama menikah, Raka memang tidak pernah bermain tangan. Saat menahan pun suaminya lebih diam. Lusi kira semua itu sudah cukup membuktikan kalau Raka adalah pria baik.
Namun, dia bajingan nyata yang telah menjilat ludahnya sendiri. Pengkhianat sejati. Lusi muak dan marah.
"Apa sakahku, Mas? Katakan kekuranganku, sampai kamu tega mendua. Ini lebih menyakitkan karena kamu main api dengan Mila, temanku sendiri!" Kobaran amarah yang sebelumnya mereda tersulut jua.
Semua tanya yang membebani pikiran, membuat Lusi tak bisa membendungnya lagi dan akhirnya dikeluarkan juga. Sungguh, dia tidak mengerti. Kalau memang Raka tidak puas dengannya, Raka harus bicara jujur. Dia tidak akan keberatan.
Raka menggeleng-gelengkan kepala. Kedua tangannya masih menggenggam tangan Lusi dengan erat. Ingin melepaskan diri pun tak bisa, Raka terlalu kuat.
"Tidak, Sayang. Tidak ada kekurangannya. Aku yang salah, aku yang khilaf. Maka dari itu, tolong maafkan aku. Jangan tinggalkan aku, Lus. Demi anak kita."
Tangis seketika Lusi berhenti mendengar Raka mengucapkan kata anak. Dia tertawa sumbang sambil menatap kesal.
"Demi anak kita kamu bilang? Harusnya kamu mikir itu sebelum berselingkuh, Mas. Di mana otakmu, heh?!"
Raka menunduk lagi. Terlihat bahunya bergetar. Dia menangis. Selama mengenalnya, baru kali ini Lusi melihat Raka menangis. Benarkah dia menyesal? Lantas, apa penyebab Raka selingkuh darinya?
"Marahlah, Lus. Pukul dan caci aku semaumu. Tapi, jangan paksa aku untuk menjatuhkan talak kamu. Itu sulit dan sangat menyiksaku," katanya sambil menunduk.
Bahunya masih bergetar dan pelan terdengar jelas di telinga Lusi. Sungguh, dia merasakan sesak dan sakit mendengar tangisan pria itu.
Untuk pertama kalinya selama mereka bersama, pria gagah ini terlihat lemah dan terpuruk. Padahal, sewaktu bertemu dengan Lusi, Raka begitu cuek dan dingin.
Lusi tidak mengerti kenapa Raka seperti itu, seolah mempermainkan rasa sakit yang dirasakan wanita itu. Ini adalah kejadian yang membuatnya terhempas ke dalam jurang kesakitan yang tak bersadar, gelap, pengap dan menyesakkan.
“Lalu, menurutmu perbuatanmu aku tidak menyiksa, Mas? Kenapa denganmu, Mas? Setan apa yang telah merasukimu sampai tega melakukan biadab seperti ini? Kenapa?” Lusi mencengkeram pundak Raka dengan kuat.
Ditekan kukunya itu agar membuat Raka sakit. Tapi, Raka hanya bergeming dan menunduk.
'Kamu menahan sakitmu, Mas? Tapi, sayangnya aku tidak mau seperti itu.'
"Katakan, Mas. Kamu bilang mau menjelaskan kenapa sampai Mila hamil. Beri aku alasan agar bisa bertahan."
Lusi melepaskan cengkeraman itu dan terduduk tegak di depan Raka. Mencoba memberikan ekspresi tegar walaupun hati wanita itu sudah hancur tak tertata. Tidak, dia tidak berniat untuk bertahan. Lusi hanya memancing kejujuran Raka saja.
Seperti gelas yang pecah, walaupun bisa disusun kembali dan utuh. Tetapi, bekasanya tidak akan pernah hilang, sampai kapan pun.
Raka masih diam. Dia sama sekali tak menatap Lusi dan masih betah menunduk. Apakah dia malu dengan perbuatannya sendiri?
Lusi pun membiarkannya diam. Dia ingin tahu, sampai mana keberaniannya. Karena saat ini, Lusi sedang tak karuan rasa. Mendebatnya pun hanya akan membuat emosi wanita itu bergejolak hebat.
'Tenang, Lus. Kamu harus tenang. Sesakit apa pun luka yang sekarang ada, amarah tidak akan menyelesaikan masalah. Aku adalah wanita berpendidikan, tak pantas jika hanya mengandalkan emosi saja.' Lusi terus memberikan sugesti baik dalam batin.
Dia harus bisa mengendalikan hati juga berpikir jernih. Dengan begitu, jalan keluar dari masalah ini akan datang dengan sendirinya.
"Mas, katakanlah. Kalau kamu tidak mengatakannya, besok aku akan mengajukan gugatan cerai padamu," ucap Lusi dengan nada yang tenang.
Raka langsung mendongak, mata itu memerah, tapi Lusi sama sekali tak merasa iba. Raka menatapnya sedih, wajah pria itu sudah mendung, hendak menumpahkan hujan. Sayangnya, Lusi lagi-lagi tak peduli. Sesal Raka sudah terlambat.
"Tidak, Lus. Jangan, jangan ceraikan aku. Baiklah, aku akan jujur padamu. Tapi, tolong jangan tinggalkan aku," ujarnya dengan suara parau dan nada yang sangat memohon.
Lusi tak menjawab permintaannya dan memilih untuk diam, menatap mata itu datar. Sesaat, diamati wajahnya yang terlihat tirus. Ini berbeda sekali dengan Raka yang dulu.
Lusi jadi berpikir, apakah ini karena Raka berhubungan dengan Mila, sampai mengubah bobot tubuhnya? Dia ingin menanyakan apakah kesehatan pria baik-baik saja.
Namun, semua itu Lusi tahan di kerongkongan. Tidak, dia harus menahan rasa peduli pada Raka. Pria itu bahkan tak peduli pada perasaan Lusi saat ini.
"Katakan, Mas. Sejak kapan kalian berselingkuh?" tanya Lusi sebelum Raka memulai cerita.
Mungkin, Raka akan memberikan cerita yang berbelit-belit jika Lusi memintanya untuk menjelaskan. Tapi, kalau dia yang bertanya, Raka tidak bisa berkutik. Pilihannya hanya ada dua, bohong atau jujur.
Sekarang, Lusi tengah menguji kesabaran Raka. Bagaimana jawaban Raka?
"Mas!" Lusi menaikkan nada bicara karena kesal pada Raka. Untuk apa Raka memohon pada Lusi jika tidak mau jujur? Tadi saja memaksanya untuk mendengarkan penjelasan Raka. Tetapi, sekarang? Kenapa dia bungkam? Apakah dia sudah berubah pikiran? Semua pertanyaan itu berputar di benak Lusi. "Kalau kamu tidak jawab pertanyaanku, maka--" "Tiga bulan, Lus." Jawaban Raka seperti petir yang menggelegar di atas kepala Lusi. Menyentak jantung dan meluluh lantak1an persendiannya. Apa katanya? Tiga bulan? Itu artinya saat Lusi mencarikan kontrakan baru untuk Mila dan itu kontrakan milik Lusi. Gila! Bagaimana bisa mereka melakukan pengkhianatan di belakang Lusi semulus ini? Lusi kecolongan sampai akhirnya Mila hamil duluan. "Hahaha. Luar biasa, Mas." Entah apa yang mendorongnya sampai tertawa seperti ini. Tidak ada yang lucu, justru hanya ada kepiluan dan miris akan nasib diri. Lusi menertawakan diri sendiri yang bodoh karena terpedaya oleh dua orang pengkhianat itu. "Tiga bulan? Itu artinya
"Lusi ...."Pria itu akhirnya bersuara. Dia mendongak, menatap Lusi yang hanya diam dengan sorot mata datar."Lus, tolong ampuni aku. Aku hanya akan menikahi Mila sampai bayinya lahir, setelah itu aku akan menceraikannya. Tolong mengertilah posisiku, Lus."Bajingan itu lagi-lagi menggenggam tangan Lusi dengan sangat erat. Tetapi, sang wanita sudah tak memedulikannya."Aku sudah jujur padamu, Lus, dan aku akui semua kesalahanku. Aku khilaf, maaf."Lusi terkekeh hambar. Jujur setelah berselingkuh itu bukanlah kejujuran, tapi keterpaksaan."Mas, tadi kamu bilang aku terlalu sempurna? Lalu, kamu bilang jika kamu jenuh? Terus, kamu melampiaskannya dengan cara berselingkuh? Itu biadab namanya, Mas!"Raka diam. Kali ini dia tidak menunduk, tapi menatap istrinya dengan sesal. Sayangnya, Lusi memilih melempar pandangan ke depan."Kamu tahu, Mas? Aku manusia biasa, dan tidak ada yang sempurna di dunia ini. Itu penilaianmu saja yang tidak pernah merasakan bagaimana menjadi diriku. Lalu, jenuh? K
Lusi tersenyum miring, lalu Raka langsung menggenggam erat tangan wanita itu. Tetapi, Lusi mencoba melepaskan diri darinya."Lepas dulu, Mas. Aku mau mengambil Hp."Raka kontan melepaskan genggamannya. Lusi pun dengan cepat mengambil ponsel dari saku. Setelahnya, dia menyetel rekaman."Untuk apa kamu menyetel rekaman, Lus?" tanya Raka, terlihat bingung."Oh, ini? Aku sengaja merekamnya, biar aku dan kamu sama-sama ingat, apa saja yang sudah kita sepakati bersama." Raka masih terlihat bingung, tapi Lusi tetap melanjutkan untuk merekam pembicaraan mereka. Sekarang, situasinya membuat Lusi rugi dari segala arah. Jadi, akan dia pastikan semuanya adil.Lusi mengajak Raka untuk duduk di ruang tengah. Ini mengantisipasi kalau Alia pulang. Jika anak mereka datang, Lusi akan secepatnya menghentikan pembicaraan itu."Nah, Mas. Dengarkan semua yang aku katakan, karena aku malas jika harus menjelaskannya lagi."Raka diam saja dan Lusi pun langsung mengatakan apa saja yang menjadi syarat dari wan
Raka tidak melanjutkan ucapannya. Cukup lama dia terdiam, membuat Lusi mendesah kasar. Kalau Raka tidak mau, Lusi akan menawarkan perceraian hari ini juga. "Gimana, Mas? Itu syarat pertamaku. Kalau kamu tidak mau, gak masalah. Aku akan kirim gugatan--" "Oke, oke. Aku mau." Raka langsung memotong ucapan Lusi. Dia pasti takut mendengar kata cerai. Lusi tersenyum puas. Sekarang, dia akan melanjutkan syarat yang kedua. "Oke, yang kedua. Semua usaha yang kamu kelola, aku ambil alih. Aku yang akan mengelolanya." "Apa?!" Raka berdiri dengan wajah syok. Wajah yang membuat Lusi bersorak dalam hati. Inilah yang ditunggu-tunggu oleh wanita itu. Kejatuhan Raka dan keterpurukan suaminya, akan membuat Lusi bahagia. "Apa kamu bilang tadi? Kamu mau mengelola usaha kita?" "Sttt!" Lusi menempelkan jari telunjuk di bibirnya sendiri, menyuruh Raka untuk diam. "Kita? Maaf, ya, Mas. Itu usahaku, atas namaku. Kamu hanya mengelolanya saja, hak paten itu ada padaku. Apa kamu lupa?" Otot wajah Raka t
Raka terdiam saja. Dia mungkin bingung untuk memberikan keputusan. Karena, Mila pun harus tahu tentang persyaratan dari Lusi.Sebelum memutuskan untuk memilih yang mana, Lusi akan melanjutkan persyaratan yang sudah dibuat. Tentu saja dia akan memberikan banyak persyaratan, untuk membuat hidup suaminya menderita."Persyaratan yang ketiga.""Hah?!" Suaminya kontan terperanjat mendengar Lusi mengeluarkan kata-kata itu. Terlihat ekspresinya malah membuat wanita itu merasa puas."Kok, hah? Aku bilang persyaratan yang ketiga. Kenapa kamu kaget kaya gitu, sih?"Raka mulai kebingungan, tapi Lusi melanjutkan persyaratan ketiga yang diajukan pada pria itu."Yang ketiga, jangan sampai Alia tahu kalau kalian berselingkuh. Alia tahunya Mila itu teman baikku. Kalau sampai dia tahu kelakuanmu, aku tak bisa mencegah hal buruk yang mungkin saja terjadi di antara kamu dan Alia. Biarkan dia tahu kalau kamu sedang bekerja di tempat lain, sampai harus pergi dari rumah ini."Raka terperangah. Dia juga men
Jikalau Lusi kembali pada Raka dan bertahan dengan suaminya, itu tidak akan sama lagi. Tidak. Pria itu sudah melakukan kesalahan fatal dan sayangnya Lusi bukan wanita pengemis cinta.Alasan bertahan demi anak hanya akan memberikan luka pada anak dengan tekanan berbeda. Dia melihat orang tuanya bersatu, tapi seperti musuh yang dibatasi oleh jurang. Lusi tidak mau Alia mengalami semua itu.Lusi sadar, serapat apa pun menyembunyikan perselingkuhan Raka dan Mila, Alia akan tahu. Hanya saja, dia melakukan ini demi mencari cara yang lebih baik.Lusi akan menjelaskan pada Alia secara pelan-pelan dan semoga anak itu akan mengerti."Lus, jangan seperti ini. Banyak laki-laki di luar sana yang melakukan perselingkuhan, tapi dimaafkan oleh istrinya. Bahkan, mereka rela dimadu."Lusi terperangah mendengar perkataan suaminya. Dia pikir Raka sudah paham saat menyetujui syarat dari Lusi. Tetepi, Raka sudah melontarkan perkataan salah karena membandingkan Lusi dengan wanita lain."Sayangnya aku bukan
"Maaf," ucap Raka tiba-tiba, membuat Lusi tersadar dari lamunan.Lusi terkekeh tajam, manatapnya dengan datar. "Sekarang, maafmu tidak akan mengubah apa pun yang sudah terjadi. Kamu mau menyesal dan bersujud padaku pun, tak akan kembali seperti dulu. Dari pada seperti itu, ada baiknya kamu gunakan waktu bersama Alia sebaik mungkin."Lusi memilih meninggalkan Raka dan bergegas berganti baju. Walaupun enggan dan malas jika berpergian dengan Raka, tapi ini adalah momen terakhir sebelum semua berubah. Sebelum syaratnya berlaku untuk Raka.'Baiklah, Lus. Tenang, dan anggap ini sebagai kenangan manis yabg bisa dikenang untuk Alia.'Alia dan Raka sedang tertawa bersama saat Lusi selesai berganti pakaian. Mereka berdua langsung menoleh pada Lusi. Tetapi, terlihat Raka tak mengedipkan mata kala melihat penampilan dirinya."Wah, Ibu cantik sekali. Iya, kan, Yah?"Bocah itu kenapa juga harus bertanya pada ayahnya? Membuat Lusi serba salah saja.Raka masih tak berkedip, tapi dia mengangguk sebaga
Lusi tersenyum puas melihat raksi suaminya. 'Ayo, Mas. Jawablah pertanyaan anakmu. Itu kan sesuai dengan keadaan rumah tangga kita.' Lusi membatin, ingin tahu bagaimana Raka menjelaskannya pada anaknya sendiri."Yah!""La-lampu hijau, Ayah harus menyetir. Tanya saja pada Ibu, nanti Ibu yang jawab."'What?! Haha.' Lusi ingin menertawakan jawaban yang diberikan oleh bajingan itu. Lihatlah ekspresi wajahnya? Dia seperti maling yang mengelak dari segala tuduhan. Ketakutan dan malu sendiri.Lusi ingin mengolok-oloknya atau mungkin menghina laki-laki sialan itu. Tatapi, sayangnya tidak bisa. Dia harus menahan diri. Jangan sampai Alia lihat pertengkaran di antara mereka."Ish, Ayah kok gitu, sih? Jadi, gimana, Bu?"Lusi kaget saat Alia benar-benar meminta jawaban padanya. Sekarang, giliran Lusi yang bingung. Bagaimana caranya membuat Alia mengerti tentang masalah rumah tangga?Lusi menghela napas sejenak. Kalau tidak dijelaskan, dia akan meminta penjelasan pada orang lain atau mungkin pada