"Kamu jangan menangis seperti ini! Orang-orang bisa mengira kalau aku menyakitimu. Coba katakan dengan tenang, apa yang sudah terjadi?" tanya Raka. Dia jadi bingung sebab Maura malah menangis dengan sesenggukan, terlihat sekali kalau dia menahan kesakitan. Karena Maura yang tidak kunjung berhenti menangis, akhirnya pria itu mengajak Maura untuk pergi menjauh dari pelataran masjid.Dia takut malah menjadi viral lagi karena hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Sang pria baru saja pulang dari kantor. Sebenarnya dia sudah pulang dari jam 5 sore, tapi ada beberapa berkas yang harus dipelajari oleh Raka. Jadi, dia kembali ke kantor Mila dan mengambilnya, tetapi di jalan pria itu ingin ke toilet. Tetapi, tidak menemukan pom bensin dan akhirnya harus ke masjid ini. Saat keluar mendapati ada Maura yang terduduk sendiri sembari kebingungan. Tentu saja Raka yang mengenal wanita itu tidak tega kalau misalkan melewatinya saja tanpa bertanya, tapi siapa sangka? Malah seperti ini. Wanita i
"Apakah aku tidak akan merepotkan, Mas?" "Ya, nggaklah. Asalkan kamu nggak macem-macem, pasti semuanya akan aman. Nanti aku akan jelaskan semuanya," ucap Raka. Dia tidak mengatakan kalau yang dimaksud adalah Mila. Sementara Maura berpikir kalau Raka sedang membicarakan ibunya.Wanita itu tersenyum penuh arti. Dia benar-benar bersyukur. Akhirnya bisa mendapatkan tempat tinggal meskipun mungkin dia harus lebih sabar menghadapi orang seperti Bu Sinta. "Ya sudah, ayo kita berangkat! Nanti keburu malam, aku takut diomeli," ajak Raka yang langsung diangguki oleh Maura. Wanita itu pun akhirnya pergi bersama Raka menggunakan mobil. Maura tampak kebingungan, karena setahunya Raka itu tidak punya apa-apa setelah bercerai dengan Lusi. "Mas, ini mobil kamu?" tanya Maura membuat Raka diam. Kalau dia mengatakan jika itu adalah mobil istrinya, tentu saja ini sangat melukai harga diri sebagai laki-laki. Tetapi dia juga tidak mungkin mengatakan kalau ini miliknya. "Bukan, aku hanya memakainya s
Sama halnya dengan Maura, Mila pun terkejut mendapati Adik yang tidak diinginkan itu sudah berada di depan. Mila menoleh kepada Raka dengan tatapan menyelidik dan juga marah. "Kenapa kamu datang bawa dia?" tanya Mila membuat Raka menaikkan kedua alisnya. "Dia? Kamu kenal wanita ini?" tanya Raka, kebingungan.Mila terkesiap. Dia lupa kalau Raka tidak tahu jika Mila punya Adik bernama Maura. Wanita itu juga tidak tahu kalau ternyata Maura menyembunyikan identitas Mila dari siapa pun. Dengan cepat Mila berusaha mengubah ekspresinya. "Iya, siapa juga yang kenal dia?" Kata-kata itu langsung menusuk hati Maura. Sang wanita yang sebelumnya kaget itu langsung terlihat sedih. Dia sampai menurunkan pandangan, berusaha untuk menahan air mata yang hendak keluar. Sungguh sebuah kejutan yang membuat hatinya remuk redam. Dia kira Raka akan membawa ke rumahnya, tetapi ternyata pria itu membawa Maura ketemu dengan wanita yang begitu dihindari selama ini. Lalu, apakah dia sekarang harus pergi dari
"Lalu, kamu pikir memasukkan wanita lain ke rumahku itu juga atis? Itu juga tidak etis. Aku tidak mau dia ada di tempatku. Bawa dia pergi dari sini," ungkap Mila dengan ketegasannya. Dia tidak mau sampai hidupnya direcoki lagi oleh Maura. Kehadiran adiknya di dunia ini saja sudah salah menurut Mila, apalagi kalau misalnya dia benar-benar satu atap dengan Maura. Bisa-bisa hidupnya tidak akan tenang. Raka terperangah. Dia tidak tahu kalau Mila sampai protes sebab kehadiran Maura. Begitu cemburuan Mila pada seorang wanita sampai seperti ini. Begitu pikir Raka. Jadi tidak ada kesempatan untuk Maura. Wanita itu juga hanya diam menunjuk. Tampaknya Raka harus benar-benar membujuk Mila agar mau membiarkan Maura tinggal di sana beberapa hari.Mungkin pria itu akan mencari tempat tinggal yang baru untuk Maura. Dia tidak boleh kehilangan Maura. Ini kesempatan untuk menghancurkan Devan, yaitu melalui Maura. Dengan menikahkan anak di bawah umur ini bersama pria yang menjadi saingannya. "Maura,
"Ya, karena aku kasihan kepadanya, Mil. Aku kenal dia." "Jadi, maksudmu kalau kamu kenal seorang wanita jika dia kesusahan, kamu akan membawa ke sini dan menampungnya? Memberikan perhatian lebih selayaknya seorang selingkuhan?" "Mila!" "Kenapa, Mas? Aku mengatakan yang sebenarnya, kan?! Kalau bukan karena hubungan terlarang, untuk apa lagi kamu menyimpan wanita itu di sini?" Raka greget sendiri menghadapi wanita ini, tetapi pria itu berusaha untuk sabar. Bagaimanapun ini adalah rumah Mila dan tidak mungkin dia memaksakan kehendak. Sementara pemilik rumahnya saja begitu menolak seperti ini. "Tidak seperti itu, Mil. Baiklah, aku akan menceritakan yang sebenarnya. Maura ini adalah anak yang tinggal dengan Lusi." "Lusi lagi! Jadi, kamu sengaja menampung wanita itu untuk mendapatkan Lusi?!" "Bukan seperti itu, Mila. Makanya dengarkan dulu kalau aku bicara," ujar Raka, masih berusaha untuk tenang dan menjelaskan semuanya dengan terperinci. "Luai mengambil hak asuh untuk menyekolahka
"Berapa hari dia tinggal di sini?" tanya Mila, tiba-tiba saja membuat Raka terkesiap. Pria itu benar-benar kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh istrinya. "Ya, aku tidak bisa pastikan, Mil. Tapi aku akan berusaha sebisa mungkin untuk mencari kontrakan untuknya atau kalau perlu, biarkan saja dia jadi pelayan di toko. Dengan begitu dia kan tidak perlu lagi menumpang di sini dan bisa hidup layak sebagaimana mestinya," papar Raka memberikan alasan dan dia juga memang ingin melakukan semua itu untuk Maura. Setidaknya Maura tidak pergi ke mana-mana sampai wanita itu bisa mendapatkan Devan. Mila diam sejenak, ini benar-benar memuakkan untuknya. Sungguh, dari hati kecilnya wanita itu tidak mau menampung Adik yang tidak pernah dianggap. Tetapi kalau misalkan dia menolak, takut malah akan menjadi karma untuk anak yang ada dalam kandungan. Akhirnya setelah dipertimbangkan Mila pun mengizinkan Maura tinggal di sini."Baiklah, Mas. Aku izinkan dia tinggal di sini." Raka tersenyum pen
"Mila, kamu jangan keterlaluan, ya. Masa anak orang di suruh tidur di sini? Bisakah kamu cari tempat lain yang lebih layak?" ucap Raka, merasa heran. Mila berdecak sembari melipat tangan di depan dada. "Mas, aku mengizinkan dia tinggal di sini, bukan berarti dia bisa seenaknya tinggal di sini. Tinggal pilih saja, mau di sini atau sebaiknya keluar dari rumah ini," ungkap Mila memberikan pilihan, membuat Raka mengusap kepalanya dengan kasar.Wanita ini lama-lama membuatnya jadi pusing dan merasa malu, sebab membiarkan Maura tinggal dalam keadaan seperti ini.Maura sepertinya tahu kalau sebentar lagi pasti akan ada perdebatan di antara kakaknya dan Raka, akhirnya wanita itu pun mengambil keputusan sendiri. "Sudah biarkan saja, tidak apa-apa. Lagian memang aku di sini numpang, kan? Jadi, tidak masalah aku tidur di sini," ujar wanita itu akhirnya mengalah. Mila tersenyum miring sembari menganggukkan kepala. Dalam hati merasa puas, ini akan lebih seru karena Maura menerima begitu saja ap
Sementara itu, di tempat lain saat ini Devan sedang bersiap-siap untuk kebebasannya besok. Dia akhirnya menggunakan pengacara Pak Haris dan memberikan uang jaminan. Meskipun itu sangat besar, tapi meyakinkan pihak polisi bahwa mereka akan menginvestigasi ulang apa yang sebenarnya terjadi. Karena saat itu dia dalam keadaan tidak sadar. Amanda yang sebelumnya menjanjikan untuk membebaskannya pun tak muncul. Entah kenapa, yang pasti saat ini kebebasan Devan itu utamanya untuk membalaskan semua perbuatan Arya kepadanya.Sementara seharian ini Devan terus memikirkan tentang Maura. Entah kenapa pria itu tiba-tiba saja sangat rindu kepada wanita itu. Sebelumnya sang pria bertanya kepada pengacaranya, apakah bertemu dengan Maura. Tetapi tentu saja sang pengacara tidak tahu. Sebab dia hanya singgah di kediaman Arya, hingga pria itu menyuruh pengacaranya untuk mencari Maura. Setelah dipikir-pikir, pria itu mungkin sudah keterlaluan kepada sang wanita. Untuk mendapatkan Lusi rasanya mustahil ,
Suara dering ponsel membuat Mila terkesiap dan kontan menghentikan tangisannya. Ternyata dari karyawannya. Tampaknya wanita itu harus segera kembali ke butik, sebab pasti kerjaannya semakin banyak.Dia tidak mungkin terus-terusan larut dalam kesedihan karena menangisi Raka, sementara ada usaha yang harus terus dijalankan. Kalau tidak, dirinya akan jatuh miskin dan benar-benar kehilangan Raka. Pria itu tidak mungkin mau hidup susah dengannya, jadi cara satu-satunya mempertahankan Raka yaitu dengan banyak uang. Miris, bukan? Harusnya di sini seorang pria yang melakukan ini semua, tetapi Mila mau tidak mau harus menghasilkan banyak uang demi mempertahankan Raka.Ya, demi agar anaknya bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah. Demi dirinya yang tidak lagi dijandakan oleh pria itu. Mila hanya bisa tersenyum miris, tetapi tak urung tetap kembali menjalankan mobilnya. Berusaha untuk tegar. Wanita hamil itu mengelus-elus perutnya yang mulai membesar. "Sabar ya, Nak. Ibu akan berusaha sebaik
"Kamu sudah gila, ya? Apa yang baru saja kamu katakan?!" tanya Bu Sinta, kali ini wanita paruh baya itu marah karena anaknya malah merahasiakan pernikahan dengan Winda. Harusnya biarkan saja diberi tahu semua orang, termasuk Mila. Agar ketahuan bagaimana reaksi wanita hamil itu, berharap kalau Mila mau tahu diri dan memilih untuk pergi dari kehidupan Raka. Tetapi tampaknya Raka sama sekali enggan untuk mempublikasikan hubungannya dengan Winda. "Aku tidak gila, Bu. Karena aku waras, makanya merahasiakan semua ini.""Lalu, bagaimana dengan perasaan Winda?" "Aku yakin, Winda juga pasti akan mengerti dengan situasi ini. Kami sudah saling sepakat. Jadi, aku harap Ibu tidak merecoki rencana kami.""Apa yang sedang kamu rencanakan sebenarnya, Raka? Ibu kasihan kalau Winda statusnya disembunyikan dari siapa pun." "Bu, aku melakukan ini demi kebaikan bersama. Bahkan Winda juga berkata, dia tidak akan ikut campur urusan aku dan juga Mila. Sebaliknya, Mila juga tidak boleh ikut campur urusan
"Itulah masalahnya, Bu. Mila tidak sebodoh yang kita kira. Dia bisa saja mengantisipasi untuk mendapatkan hak asuh anak dengan cara menahanku. Dia pasti sudah melakukan berbagai cara agar aku bisa berada di sisinya, termasuk anak itu." "Lalu, bagaimana? Kalau memang kamu tidak mau terikat dengan Mila, lepaskan anak itu. Kalau misalkan kamu ingin anak itu, cari cara menyingkirkan Mila. Mudah, kan?" "Tidak semudah itu, Bu. Aku tahu Ibu benci Mila, tapi tolong jangan benci anakku. Dia tidak tahu apa-apa. Bukankah bayi yang ada di dalam kandungan setiap Ibu hamil itu tidak berdosa? Kalau pun memang harus disalahkan, Mila sendiri dan aku. Jadi, kumohon kali ini saja Ibu mau menuruti permintaanku." Bu Sinta menghela napas kasar. Dalam hatinya tidak mau mengurusi cucunya itu. Lagi pula menurutnya cucu yang baik itu hanya Alia. Walaupun dia tidak tahu bagaimana nanti anak Mila, tapi wanita paruh baya sudah menafsirkan kalau sifat Mila pasti akan turun kepada anaknya sendiri. "Ya, terserah
"Bagus, bagus! Ibu setuju dengan keputusanmu. Kan sudah Ibu bilang, Winda itu adalah istri yang baik untuk kamu. Dibandingkan dengan Mila, Ibu lebih setuju dengan Winda. Dia itu baik hati, tidak perhitungan dan juga mengerti keadaan kamu dan Ibu. Jadi, menurut Ibu kamu itu memang harus memilih Winda. Bagus-bagus," papar Bu Sinta dengan semangat. Dia bahkan terus-terusan tersenyum sembari membereskan piring bekas makan Raka. Pria itu belum berani untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, kalau diam saja pun tidak akan mengubah situasi yang ada. Keadaan semakin kacau karena pasti Bu Sinta akan menyerang Mila atau malah melakukan sesuatu yang sangat membahayakan untuk rencana ke depannya."Iya, Bu. Tapi aku akan menjadikannya istri kedua."Bu Sinta hampir saja melepaskan piring yang ada di tangan saat Raka mengatakan hal tersebut. Wanita paruh baya itu langsung menyimpan piring kotor dan kembali ke hadapan anaknya dengan wajah kaget. "Apa kamu bilang tadi? Istri kedua? Maks
Wanita hamil itu hanya bisa pergi dengan perasaan kesal. Mungkin Mila bisa saja menerobos masuk, tetapi dia khawatir kalau Raka akan benar-benar murka kepadanya dan semua perkataan pria itu menjadi kenyataan. Membayangkannya saja membuat Mila ketakutan, apalagi kalau benar Raka akan meninggalkannya dan anak yang ada di dalam kandungan. Akhirnya Mila tidak punya pilihan lain, kecuali mengalah terlebih dahulu. Dia akan mencoba kembali untuk membujuk Raka setelah 3 hari, berharap kalau pria itu benar-benar akan kembali kepadanya. Setelah kepergian Mila, Raka dan Bu Sinta pun sedang duduk berhadapan di meja makan, tepat di depannya tampak sekali makanan yang sudah terhidang dan aromanya begitu menggugah selera Raka. Kebetulan pria itu hanya makan ala kadarnya. Saat melihat semua ini, tentu rasa lapar pria itu menyeruak. Tetapi sebelumnya Raka harus memberitahukan kedatangan dirinya kepada Bu Sinta. "Ibu masak untukku?" "Tentu saja. Kamu pikir Ibu akan masak untuk siapa? Istrimu? Ibu
"Mas, aku mohon. Pulanglah bersamaku, jangan seperti ini." Mila sekarang menghiba sembari menangis. "Tolong, jangan buat aku merasa menderita dan tertekan seperti ini. Aku janji, aku tidak akan mengekangmu lagi. Kamu boleh keluar, asalkan kamu bicara dulu kepadaku." "Tidak, ini sudah ketiga kalinya kamu mengatakan hal yang sama, tetapi kenyataannya seperti apa? Kamu tetap saja mengganggu dan menuduhku macam-macam.""Lalu, aku dengan siapa, Mas? Aku tidak mungkin sendiri.""Ada Maura."Seketika Mila malah terdiam. Dia sedang berusaha untuk akting sebaik mungkin agar Raka mau pulang dengannya. Tetapi malah nama Maura yang disebutkan. Dia benar-benar kesal karena adiknya itu malah masuk dalam permasalahan rumah tangganya. "Dia kan bukan siapa-siapa kita. Lagi pula di sini yang harus tanggung jawab atas keselamatan aku dan anak ini kan kamu, Mas." Mila sama sekali tidak bisa diajak berbicara baik-baik. Sekeras apa pun Raka menjelaskan, Mila juga sama kerasnya. Tidak mau mengalah. Rak
"Tidak sekarang, Mila. Aku akan pulang setelah semua urusanku selesai." Mila menautkan kedua alis dengan perasaan bingung. "Apa maksud kamu, Mas? Urusan apa yang kamu lakukan di sini?" Raka menghela napas panjang sembari memijat pelipisnya yang berdenyut. Tidak mungkin dia mengatakan kalau besok dirinya akan menikah dengan Winda. Yang pasti pria itu harus mengelabui Mila. Jangan sampai wanita itu benar-benar menghancurkan semua rencananya. Karena kalau Mila tahu kalau dirinya ingin mencari Lusi dan juga Alia, maka saat itu juga dia mendapat tekanan lagi dari wanita ini. "Aku hanya ingin bertemu dengan ibuku, menghabiskan waktu dengan ibuku." "Lalu, kamu meninggalkan istrimu?" tanya Mila. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Raka akan melakukan hal seperti ini. Padahal yang harus ditemani adalah Mila. Dia sedang hamil. Kenapa Raka tidak mau melakukan itu? "Dia anakku. Hak dia dong untuk menemani ibunya!"Mila kesal karena Bu Sinta malah ikut campur. Harusnya wanita paruh bay
Bu Sinta maupun Mila kaget mendengar suara Raka yang menggelegar, tampak sekali wajahnya memerah seperti menahan emosi karena sudah dari tadi kedua wanita berbeda usia ini terus saja bertengkar. "Apa kalian tidak bisa diam?! Jangan terus-terusan mengoceh dengan berbagai macam alasan! Aku punya keputusan sendiri," ucap Raka, membuat Bu Sinta dan Mila kaget bersamaan. Mereka takut jika Raka mengambil keputusan yang salah dan merugikan kedua belah pihak. Mila berharap kalau Raka tidak meninggalkannya, berbeda dengan Bu Sinta yang ingin anaknya kembali kepada Bu Sinta dan menceraikan Mila. Pria itu menoleh kepada Mila dengan tatapan sinis. Dia sudah jengah dengan semua perlakuan istrinya ini. Mila berbeda jauh dengan wanita yang dulu pernah menjalin hubungan dengannya. Apa mungkin memang sifat asli Mila seperti ini? Begitu pikir Raka atau hanya karena perubahan hormon Ibu hamil akhirnya Mila lebih protektif dan temperamental? Semua itu masih bergerilya di pikiran Raka, belum bisa menga
"Jangan percaya sama Ibu, Mas! Kamu tahu sendiri, kan? Gara-gara Ibu, kamu hampir kehilangan anak ini. Dia yang memalsukan tes DNA anak ini!" seru Mila tiba-tiba saja mengalihkan pembicaraan, membuat Bu Sinta terdiam dan wanita paruh baya itu benar-benar kaget kala Mila membahas lagi masalah yang sudah berlalu. Padahal sekarang permasalahan utamanya adalah Mila yang tidak pernah bisa membebaskan Raka, selalu saja mengekang dan harus berada di samping wanita itu. "Kenapa kamu malah ngomongin itu sekarang? Bukan waktunya kamu berbicara hal yang sudah berlalu.""Oh, kenapa tidak, Bu? Tentu saja aku harus bicara dengan Mas Raka, kalau Ibu itu tidak mau melihat anak ini lahir, kan?" Keadaan semakin genting saat ini. Kalau Mila mengatakan hal seperti itu, tentu saja Bu Sinta tidak mau kalah. Baginya pertarungan ini harus dimenangkan olehnya, karena ini adalah satu-satunya cara dan kesempatan yang langka untuk mendapatkan anaknya kembali. "Jaga bicaramu! Itu sudah berlalu, aku melakukan