"Apa? Jangan asal bicara kamu, Lus! Mana mungkin anak saya seperti itu!" sergah Ibu dengan nada tinggi.Lusi tak menyahutnya dan memilih untuk mempersilakan Pak polisi untuk masuk, tapi tiba-tiba saja Raka menghalangi."Tu-tunggu, Pak. Kalian tidak bisa masuk tanpa surat penangkapan," ujar Raka membuat Lusi curiga.Kenapa dia menahan polisi untuk masuk? Padahal, biasanya laki-laki itu hanya akan diam jika posisinya sudah terpojok. Pasti ada sesuatu yang membuatnya seperti ini.Salah satu dari polisi itu menyerahkan surat penangkapan. Terlihat Raka terburu membuka isinya, lalu wajah itu pun langsung pasi dan tegang."Lus, kamu melaporkan aku dan Mila?" tanya Raka dengan nada bergetar, tangannya pun ikut bergetar.Terlihat Ibu kembali kaget. Dia menatap Lusi dengan melotot. "A-apa? Kamu melaporkan suamimu sendiri? Istri macam apa kamu?!" Ibu langsung menunjuk wajah Lusi yang secara langsung menunjuk kamera yang sedang aktif.Terlihat banyak komentar bermunculan. Mereka memaki Ibu dan
Penghungi kontrakan ini berkumpul di luar rumah, sementara 2 polisi, 2 pengkhianat, Lusi berserta Ibu memilih untuk di dalam. Lusi membiarkan pintu terbuka, karena mereka menunggu RT setempat.Ini juga Lusi lakukan agar semua orang tahu kalau Raka dan Mila itu sepasang jalang yang wajib dihukum sosial maupun pidana.Lusi masih mengaktifkan siarang langsung. Akun tadi yang menawar harga Mila kembali berkomentar dan mungkin ini kesempatan Lusi lagi untuk mempermalukan wanita ular itu."Oh, Mila. Ada satu akun yang mau menawarmu. Katanya, dia berani bayar mahal agar bisa tidur denganmu," ucap Lusi menggundang riuh omongan orang-orang yang berkerumun di luar.Beberapa di antara mereka bahkan mengeluarkan ponselnya dan ikut melakukan siaran langsung. Hebat sekali. Ini adalah hari yang tak akan pernah Lusi lupakan.Mila mendelik kepada Lusi dengan wajah yang kembali memerah. Dia tak memberikan kata-kata timpalan, melainkan menunduk dan menyembunyikan wajahnya dengan rambutnya yang tergerai
Lusi kembali berdiri dan membiarkan siaran langsung terus menyala. Biarkan saja kamera tidak fokus, terpenting pembicaraan dan kejadian ini bisa terekspos ke media.Lusi menghadap Ibu yang tengah marah dengan napas memburu. Wanita tua ini sepertinya lupa diri."Hei, Bu. Apa kata Ibu tadi? Membuat malu? Anak Ibu yang buat malu! Udah selingkuh sama teman sendiri, mengemis mau tetap denganku pula. Harusnya kata-kata itu buat laki-laki brengsek seperti anak Ibu!" seru Lusi sembari membentak Ibu.Ibu melotot saat Lusi menaikkan nada bicara padanya. Hah, biarkan saja. Toh, sebentar lagi dia akan jadi mantan mertuanya. Wanita tua yang gila harta dan parasit."Lus, jaga ucapanmu! Dia itu ibuku!" Raka tiba-tiba saja berseru sembari berdiri.Lusi langsung menaikkan jari telunjuk di depan wajahnya untuk kembali duduk dan diam."Hei, diam kamu, Mas. Aku berhak mengatakan ini, karena ibumu memang patut ditegur. Harusnya, kamu bilang pada ibumu, jangan terus mengemis uang padaku. Itu menjijikkan."
"Bapak, ibu-ibu. Dua orang ini mau dibawa ke mana?" tanya Pak RT saat Mila dan Raka sudah di luar untuk diarak keliling kompleks."Kami mau mengaraknya, Pak RT. Orang seperti mereka memberikan contoh yang buruk untuk warga sini. Kalau kami hanya diam dan membiarkan ini terjadi, maka akan dicontoh oleh anak-anak muda lainnya," cetua bapak-bapak yang usianya cukup matang.Pak RT langsung menggelengkan kepala. "Tapi, tidak dengan cara diarak, Pak. Kalian bisa dipenjara. Betul, kan, Pak Polisi?" tanya Pak RT pada polisi yang ada di sana.Lusi hanya terdiam dan masih merekam kejadian ini. Sungguh, saat ini dadanya sedang bergemuruh hebat. Ingin sekali Lusi menjambak Mila dan menamparnya berkali-kali, setelah itu barulah kutelanjangi wanita jalang itu sebari diikat oleh tandu dan diarak kelilig kompleks ini.Kejam? Ya, tapi lebih kejam perlakuan Mila padanya. Sayangnya, semua itu pun hanya angan Lusi yang tak bisa terlaksana."Benar, Pak RT. Bapak-bapak, ibu-ibu, kita ini negara hukum. Sem
"Heh, apa kamu bilang? Jangan sembarangan kalau bicara! Kamu yang harusnya enyah dari rumah itu, Lus. Sekarang, aku yang akan menggantikanmu manjadi Nyonya!" seru Mila tiba-tiba saja bersuara.Tak Lusi sangka, Mila yang awalnya hanya menahan diri, langsung meledak saat dia bicara tentang materi. Benar-benar matrealistis.Terdengar cemoohan kembali dari warga. Beberapa di antara mereka bahkan memberikan sumpah serapan untuk Mila."Memang wanita sundal! Sudah merusak rumah tangga, sekarang bermimpi jadi Nyonya. Memang pantasnya dia dibakar hidup-hidup!" seru salah satu ibu-ibu yang disoraki dukungan dari warga lainnya.Lusi hanya tersenyum dengan menatap Mila. Wanita itu terlihat sangat sinis dan membenci Lusi. Lusi baru tahu kalau temannya ini benar-benar jahat. Dia tak akan mendapat ampunan walau bersujud pada Lusi."Maaf, Mbak Lusi. Apakah kontrakan ini akan dikosongkan?" tanya Pak RT pada Lusi.Mila yang awalnya sinis pun langsung mengernyitkan dahi. "Tunggu, Pak RT! Kenapa Pak RT b
Selama di perjalanan ke kantor polisi, jantung Lusi berdetak dengan sangat kencang. Siaran langsung di aplikasi biru pun diakhiri.Dadanya terasa sesak, melihat iring-iringan mobil polisi yang membawa dua pengkhianat itu. Hingga tanpa terasa air mata itu luruh juga.Tak ada isakan, tapi air mata Lusi berderai tanpa henti. Pandangannya sedikit buram, tapi masih bisa melihat dan mengikuti mobil polisi itu.Raka dan Mila. Kalau saja mereka tidak berkhianat, mungkin posisi mereka akan tetap aman. Tetapi, mereka sudah menyulut api permusuhan. Jadi, jangan salahkan kalau Lusi akan menbakarnya hingga habis tak tersisa.Selang beberapa menit, mereka pun sampai di kantor polisi. Dari dalam mobil, terlihat Raka dan Mila digiring ke luar dari mobil. Sementara itu, Ibu pun keluar dari dalam taksi.Lusi sengaja tidak memberi Ibu tumpangan dan membiarkannya mencari kendaraan sendiri. Mulai sekarang, dia tidak akan peduli lagi padanya.Cukup kebodohannya selama ini yang telah menuruti segala keingin
"Apa kamu bilang? Balas dendam?" Lusi tertawa sumbang dan menatap Mila dengan sorot meremehkan.Mila terdiam, masih tetap memandangi Lusi dengan tatapan tajam. Rahang wanita sialan itu mengeras, sudah dipastikan kalau Mila terpancing amarahnya."Kamu masih belum sadar diri juga, heh? Masih bisa mengancamku, padahal posisimu sudah mau dipenjara seperti ini. Ngaca dong, Non! Gimana caramu bisa balas dendam, sedangkan kamu saja tidak bisa ke mana-mana. Pakai otakmu!" seru Lusi sembari menunjuk pelipisnya sendiri.Wanita itu tampak geram, sementara Raka memilih diam mengamati Lusi dan Mila. Di sisi lain, Ibu hanya diam dengan wajah yang sudah tak karuan.Lusi menghela napas sedalam-dalamnya dan mengembuskan secara perlahan. Ditegakkan posisi duduk itu, lalu memindai tiga orang yang ada di depannya."Dengarkan baik-baik perkataanku. Aku hanya mengatakannya sekali dan ini peringatan untuk kalian," ujar Lusi dengan nada serius.Terlihat wajah Ibu dan Raka menegang, sementara mimik muka Mila
Lusi menjerit kesakitan dan itu sukses mengundang seorang polisi datang menghampiri kami. Dia berpura-pura menangis dan membiarkan Mila menjambaknya.Raka dan Ibu tampak kaget. Mereka hanya menyaksikan dan tak melakukan apa pun, hingga Lusi hanya mengaduh kesakitan, pasti akan membuat polisi langsung menghampiri mereka."Tolong, Pak. Dia menjambakku dengan keras dan mengancam akan membunuhku," rengek Lusi pura-pura sedih dan kesakitan.Mila terlihat kaget. Bola matanya bahkan membulat sempurna. Bodohnya, Mila masih dengan posisi menjambak Lusi."Kalau begini, dia akan saya tuntut dengan tuduhan penganiayaan dan pembunuhan berencana," lanjut Lusi membuat Mila langsung melepaskan tangannya dari rambut Lusi.'Ah, sial. Ternyata sakit juga. Dasar wanita jalang!' Mila akan membayar mahal atas semua ini."Sebaiknya, terdakwa segera dimasukkan ke sel, Bu. Agar tidak terjadi hal serupa. Dan untuk kejadian tadi, silakan Ibu masukkan dalam daftar tuntutan untuk Ibu Mila."Wajah Mila langsung p
Suara ketukan pintu di kamar Alia membuat gadis itu menoleh, ternyata Lusi sudah berdiri di ambang pintu dengan senyuman merekah. "Ibu boleh masuk?" tanya Lusi yang langsung diangguki oleh gadis kecil itu. Sang wanita ingin bercerita, meminta izin kepada anaknya untuk bekerja. Bagaimanapun saat ini yang tersisa hanyalah Alia. Satu-satunya keluarga yang bisa diandalkan dan alasan Lusi bisa bersemangat sampai hari ini."Apakah Ibu mengganggu kamu?" Alias tersenyum sembari menggelengkan kepala. "Enggak kok, Bu. Aku baru selesai mengerjakan PR." Lusi tersenyum sembari mengurus kepala anak itu. "Bagaimana sekolahnya? Apa sudah punya teman?""Iya, aku udah punya teman. Mereka pada baik kok, Bu." "Syukurlah kalau begitu. Tidak ada yang bertanya tentang Ibu atau Ayah?" Seketika Alia terdiam. Dia tidak memperlihatkan kesedihan atau kesenangan. "Enggak ada teman-teman Alia juga nggak pernah nanyain Ayah kerja di mana, Ibu kerja. Mereka semua baik," ungkap Alia, membuat Lusi menghela na
"Bukan masalah itunya, Adiba. Mau perusahaan hebat atau tidak, bukan. Bukan itu yang lebih utamanya. Aku sudah punya usaha sendiri, hanya ingin mengisi waktu luang bukan menyibukkan diri dan tidak ada waktu untuk anakku," ujar Lusi menjelaskan. Dia tidak mau terlalu larut dalam dunia sendiri. Sementara ada anak yang harus diurus olehnya. "Ya, kalau gitu di rumah saja," ucap Adiba, akhirnya memberikan solusi. "Tetapi akan bosan kalau aku di sini terus. Kamu tahu kan, setiap hari aku biasanya itu punya kegiatan. Kalau misalkan hanya berdiam diri juga waktuku terbuang percuma.""Ya sudah, kalau begitu terima saja tawarannya," ujar Adiba lagi, lama-lama kesel sendiri dengan kelakuan sahabatnya ini. "Tapi, bagaimana dengan Alia?" Adiba berdecak sembari duduk di samping temannya itu. "Percaya deh sama aku, Alia juga pasti senang kalau kamu punya kegiatan. Yang penting kan kamu pasti punya waktu sama Alia, ditambah lagi sekarang ada ibuku. Bisa saja Alia main sama Ibu. Anggap dia main
Suara dering ponsel membuat Mila terkesiap dan kontan menghentikan tangisannya. Ternyata dari karyawannya. Tampaknya wanita itu harus segera kembali ke butik, sebab pasti kerjaannya semakin banyak.Dia tidak mungkin terus-terusan larut dalam kesedihan karena menangisi Raka, sementara ada usaha yang harus terus dijalankan. Kalau tidak, dirinya akan jatuh miskin dan benar-benar kehilangan Raka. Pria itu tidak mungkin mau hidup susah dengannya, jadi cara satu-satunya mempertahankan Raka yaitu dengan banyak uang. Miris, bukan? Harusnya di sini seorang pria yang melakukan ini semua, tetapi Mila mau tidak mau harus menghasilkan banyak uang demi mempertahankan Raka.Ya, demi agar anaknya bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah. Demi dirinya yang tidak lagi dijandakan oleh pria itu. Mila hanya bisa tersenyum miris, tetapi tak urung tetap kembali menjalankan mobilnya. Berusaha untuk tegar. Wanita hamil itu mengelus-elus perutnya yang mulai membesar. "Sabar ya, Nak. Ibu akan berusaha sebaik
"Kamu sudah gila, ya? Apa yang baru saja kamu katakan?!" tanya Bu Sinta, kali ini wanita paruh baya itu marah karena anaknya malah merahasiakan pernikahan dengan Winda. Harusnya biarkan saja diberi tahu semua orang, termasuk Mila. Agar ketahuan bagaimana reaksi wanita hamil itu, berharap kalau Mila mau tahu diri dan memilih untuk pergi dari kehidupan Raka. Tetapi tampaknya Raka sama sekali enggan untuk mempublikasikan hubungannya dengan Winda. "Aku tidak gila, Bu. Karena aku waras, makanya merahasiakan semua ini.""Lalu, bagaimana dengan perasaan Winda?" "Aku yakin, Winda juga pasti akan mengerti dengan situasi ini. Kami sudah saling sepakat. Jadi, aku harap Ibu tidak merecoki rencana kami.""Apa yang sedang kamu rencanakan sebenarnya, Raka? Ibu kasihan kalau Winda statusnya disembunyikan dari siapa pun." "Bu, aku melakukan ini demi kebaikan bersama. Bahkan Winda juga berkata, dia tidak akan ikut campur urusan aku dan juga Mila. Sebaliknya, Mila juga tidak boleh ikut campur urusan
"Itulah masalahnya, Bu. Mila tidak sebodoh yang kita kira. Dia bisa saja mengantisipasi untuk mendapatkan hak asuh anak dengan cara menahanku. Dia pasti sudah melakukan berbagai cara agar aku bisa berada di sisinya, termasuk anak itu." "Lalu, bagaimana? Kalau memang kamu tidak mau terikat dengan Mila, lepaskan anak itu. Kalau misalkan kamu ingin anak itu, cari cara menyingkirkan Mila. Mudah, kan?" "Tidak semudah itu, Bu. Aku tahu Ibu benci Mila, tapi tolong jangan benci anakku. Dia tidak tahu apa-apa. Bukankah bayi yang ada di dalam kandungan setiap Ibu hamil itu tidak berdosa? Kalau pun memang harus disalahkan, Mila sendiri dan aku. Jadi, kumohon kali ini saja Ibu mau menuruti permintaanku." Bu Sinta menghela napas kasar. Dalam hatinya tidak mau mengurusi cucunya itu. Lagi pula menurutnya cucu yang baik itu hanya Alia. Walaupun dia tidak tahu bagaimana nanti anak Mila, tapi wanita paruh baya sudah menafsirkan kalau sifat Mila pasti akan turun kepada anaknya sendiri. "Ya, terserah
"Bagus, bagus! Ibu setuju dengan keputusanmu. Kan sudah Ibu bilang, Winda itu adalah istri yang baik untuk kamu. Dibandingkan dengan Mila, Ibu lebih setuju dengan Winda. Dia itu baik hati, tidak perhitungan dan juga mengerti keadaan kamu dan Ibu. Jadi, menurut Ibu kamu itu memang harus memilih Winda. Bagus-bagus," papar Bu Sinta dengan semangat. Dia bahkan terus-terusan tersenyum sembari membereskan piring bekas makan Raka. Pria itu belum berani untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, kalau diam saja pun tidak akan mengubah situasi yang ada. Keadaan semakin kacau karena pasti Bu Sinta akan menyerang Mila atau malah melakukan sesuatu yang sangat membahayakan untuk rencana ke depannya."Iya, Bu. Tapi aku akan menjadikannya istri kedua."Bu Sinta hampir saja melepaskan piring yang ada di tangan saat Raka mengatakan hal tersebut. Wanita paruh baya itu langsung menyimpan piring kotor dan kembali ke hadapan anaknya dengan wajah kaget. "Apa kamu bilang tadi? Istri kedua? Maks
Wanita hamil itu hanya bisa pergi dengan perasaan kesal. Mungkin Mila bisa saja menerobos masuk, tetapi dia khawatir kalau Raka akan benar-benar murka kepadanya dan semua perkataan pria itu menjadi kenyataan. Membayangkannya saja membuat Mila ketakutan, apalagi kalau benar Raka akan meninggalkannya dan anak yang ada di dalam kandungan. Akhirnya Mila tidak punya pilihan lain, kecuali mengalah terlebih dahulu. Dia akan mencoba kembali untuk membujuk Raka setelah 3 hari, berharap kalau pria itu benar-benar akan kembali kepadanya. Setelah kepergian Mila, Raka dan Bu Sinta pun sedang duduk berhadapan di meja makan, tepat di depannya tampak sekali makanan yang sudah terhidang dan aromanya begitu menggugah selera Raka. Kebetulan pria itu hanya makan ala kadarnya. Saat melihat semua ini, tentu rasa lapar pria itu menyeruak. Tetapi sebelumnya Raka harus memberitahukan kedatangan dirinya kepada Bu Sinta. "Ibu masak untukku?" "Tentu saja. Kamu pikir Ibu akan masak untuk siapa? Istrimu? Ibu
"Mas, aku mohon. Pulanglah bersamaku, jangan seperti ini." Mila sekarang menghiba sembari menangis. "Tolong, jangan buat aku merasa menderita dan tertekan seperti ini. Aku janji, aku tidak akan mengekangmu lagi. Kamu boleh keluar, asalkan kamu bicara dulu kepadaku." "Tidak, ini sudah ketiga kalinya kamu mengatakan hal yang sama, tetapi kenyataannya seperti apa? Kamu tetap saja mengganggu dan menuduhku macam-macam.""Lalu, aku dengan siapa, Mas? Aku tidak mungkin sendiri.""Ada Maura."Seketika Mila malah terdiam. Dia sedang berusaha untuk akting sebaik mungkin agar Raka mau pulang dengannya. Tetapi malah nama Maura yang disebutkan. Dia benar-benar kesal karena adiknya itu malah masuk dalam permasalahan rumah tangganya. "Dia kan bukan siapa-siapa kita. Lagi pula di sini yang harus tanggung jawab atas keselamatan aku dan anak ini kan kamu, Mas." Mila sama sekali tidak bisa diajak berbicara baik-baik. Sekeras apa pun Raka menjelaskan, Mila juga sama kerasnya. Tidak mau mengalah. Rak
"Tidak sekarang, Mila. Aku akan pulang setelah semua urusanku selesai." Mila menautkan kedua alis dengan perasaan bingung. "Apa maksud kamu, Mas? Urusan apa yang kamu lakukan di sini?" Raka menghela napas panjang sembari memijat pelipisnya yang berdenyut. Tidak mungkin dia mengatakan kalau besok dirinya akan menikah dengan Winda. Yang pasti pria itu harus mengelabui Mila. Jangan sampai wanita itu benar-benar menghancurkan semua rencananya. Karena kalau Mila tahu kalau dirinya ingin mencari Lusi dan juga Alia, maka saat itu juga dia mendapat tekanan lagi dari wanita ini. "Aku hanya ingin bertemu dengan ibuku, menghabiskan waktu dengan ibuku." "Lalu, kamu meninggalkan istrimu?" tanya Mila. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Raka akan melakukan hal seperti ini. Padahal yang harus ditemani adalah Mila. Dia sedang hamil. Kenapa Raka tidak mau melakukan itu? "Dia anakku. Hak dia dong untuk menemani ibunya!"Mila kesal karena Bu Sinta malah ikut campur. Harusnya wanita paruh bay