Selama di perjalanan ke kantor polisi, jantung Lusi berdetak dengan sangat kencang. Siaran langsung di aplikasi biru pun diakhiri.Dadanya terasa sesak, melihat iring-iringan mobil polisi yang membawa dua pengkhianat itu. Hingga tanpa terasa air mata itu luruh juga.Tak ada isakan, tapi air mata Lusi berderai tanpa henti. Pandangannya sedikit buram, tapi masih bisa melihat dan mengikuti mobil polisi itu.Raka dan Mila. Kalau saja mereka tidak berkhianat, mungkin posisi mereka akan tetap aman. Tetapi, mereka sudah menyulut api permusuhan. Jadi, jangan salahkan kalau Lusi akan menbakarnya hingga habis tak tersisa.Selang beberapa menit, mereka pun sampai di kantor polisi. Dari dalam mobil, terlihat Raka dan Mila digiring ke luar dari mobil. Sementara itu, Ibu pun keluar dari dalam taksi.Lusi sengaja tidak memberi Ibu tumpangan dan membiarkannya mencari kendaraan sendiri. Mulai sekarang, dia tidak akan peduli lagi padanya.Cukup kebodohannya selama ini yang telah menuruti segala keingin
"Apa kamu bilang? Balas dendam?" Lusi tertawa sumbang dan menatap Mila dengan sorot meremehkan.Mila terdiam, masih tetap memandangi Lusi dengan tatapan tajam. Rahang wanita sialan itu mengeras, sudah dipastikan kalau Mila terpancing amarahnya."Kamu masih belum sadar diri juga, heh? Masih bisa mengancamku, padahal posisimu sudah mau dipenjara seperti ini. Ngaca dong, Non! Gimana caramu bisa balas dendam, sedangkan kamu saja tidak bisa ke mana-mana. Pakai otakmu!" seru Lusi sembari menunjuk pelipisnya sendiri.Wanita itu tampak geram, sementara Raka memilih diam mengamati Lusi dan Mila. Di sisi lain, Ibu hanya diam dengan wajah yang sudah tak karuan.Lusi menghela napas sedalam-dalamnya dan mengembuskan secara perlahan. Ditegakkan posisi duduk itu, lalu memindai tiga orang yang ada di depannya."Dengarkan baik-baik perkataanku. Aku hanya mengatakannya sekali dan ini peringatan untuk kalian," ujar Lusi dengan nada serius.Terlihat wajah Ibu dan Raka menegang, sementara mimik muka Mila
Lusi menjerit kesakitan dan itu sukses mengundang seorang polisi datang menghampiri kami. Dia berpura-pura menangis dan membiarkan Mila menjambaknya.Raka dan Ibu tampak kaget. Mereka hanya menyaksikan dan tak melakukan apa pun, hingga Lusi hanya mengaduh kesakitan, pasti akan membuat polisi langsung menghampiri mereka."Tolong, Pak. Dia menjambakku dengan keras dan mengancam akan membunuhku," rengek Lusi pura-pura sedih dan kesakitan.Mila terlihat kaget. Bola matanya bahkan membulat sempurna. Bodohnya, Mila masih dengan posisi menjambak Lusi."Kalau begini, dia akan saya tuntut dengan tuduhan penganiayaan dan pembunuhan berencana," lanjut Lusi membuat Mila langsung melepaskan tangannya dari rambut Lusi.'Ah, sial. Ternyata sakit juga. Dasar wanita jalang!' Mila akan membayar mahal atas semua ini."Sebaiknya, terdakwa segera dimasukkan ke sel, Bu. Agar tidak terjadi hal serupa. Dan untuk kejadian tadi, silakan Ibu masukkan dalam daftar tuntutan untuk Ibu Mila."Wajah Mila langsung p
Lusi mengendarai mobil dengan kecepatan yang lumayan kencang. Ini karena, dia harus secepatnya sampai ke rumah. Lusi takut Alia sudah pulang dari sekolah.Kejadian dan drama penggerebekan hingga ke kantor polisi terlalu alot, sampai banyak membuang waktunya yang berharga. Dia tidak mau sampai Alia celingukan sendiri karena tak ada orang di rumah.Hingga beberapa menit kemudian, Lusi sampai di kompleks perumahan. Dipelankan laju mobil ini saat rumahnya dikerumuni banyak orang. Jantungnya pun langsung berdegup dengan kencang. Bahkan, keringat dingin kontan datang dengan sendirinya. Otak Lusi langsung terpikirkan tentang Alia. Jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi pada anaknya!Saat Lusi hendak melewati rumah Bu Murni, tiba-tiba wanita paruh baya itu menghadang mobilnya. Wajahnya terlihat kalut. Dari luar mobil Bu Murni memberikan isyarat agar Lusi keluar dari mobil.Lusi tidak mengerti maksud dari wanita paruh baya itu. Tetapi, sepertinya ada yang sangat penting sampai dia bersikukuh
"Prank? Maksud Ibu bohongan?" tanya Alia sembari mengusap air mata di pipinya.Mata polos itu terlihat menuntut jawaban Lusi, dan itu membuat hatinya disayat-sayat. Dia hanya anak kecil, dan tak tahu apa-apa. Kenapa harus mengalami ini semua?Apakah Lusi juga bersalah dalam kejadian ini? Ya, memang benar. Harusnya dia tidak memberikan ruang bagi dua pengkhianat itu untuk saling mengenal.Bukan hanya itu saja, harusnya Lusi juga jangan terlalu percaya pada mereka. Kemungkinan terburuk itu pasti asa, tapi Lusi mengabaikan itu semua. Hingga sekarang, yang menjadi korbannya adalah anaknya sendiri. 'Maaf, Alia. Ibu benar-benar minta maaf.'"Bu?" Lusi terperanjat mendengar Alia memanggil. Sepertinya, dia malah melamun. Lusi harus tetap waras dan sadar. Ini semua demi anaknya juga."Iya, Sayang?""Apa benar semua itu hanya akting Ayah?" tanya Alia, sepertinya ingin memastikan.Lusi mengangguk cepat, dan meyakinkan anak itu kalau semua perkataannya adalah kebenaran.Dilirik Bu Murni yang se
Lusi tidak tahu harus menjawab apa, karena ada dua kemungkinan yang terpikirkan olehnya. Pertama, dia harus menjawab pertanyaan mereka dengan dalih itu hanya prank, seperti yang dikatakan pada Alia. Tetapi, efeknya Mila maupun Raka tidak jadi dipermalukan.Lusi yakin mereka tidak akan merasakan jera. Lalu, pilihan kedua adalah dia katakan yang sejujurnya. Mungkin saja, di balik kesialan itu ada berkah yang datang. Lusi bisa dijadikan bahan simpati oleh orang lain dan mungkin saja usahanya juga semakin melesat karena keviralan itu.Namun, risikonya hanya satu, Alia akan tahu semua kebenarannya. Dia bingung harus memilih yang mana, karena keduanya sama-sama punya risiko."Nak Lusi?" Bu Murni menyentuh pundak Lusi, dan seketika kesadaran kembali datang."Iya, Bu?""Kamu harus bisa menghadapi situasi ini. Mereka pasti tidak akan menyerah dan kembali datang. Mungkin memang masalah ini akan hilang dengan sendirinya. Akan tetapi, jejak digital itu pasti dan tidak akan hilang. Lambat laun, Al
Lusi memeluk Alia dengan erat, hingga akhirnya tangis anak itu pecah di pelukannya. Tubuh Alia terguncang dengan isakan yang menyakitkan.Mulut Lusi masih bungkam dan hanya bisa ikut meratapi tangisan putrinya. Ya Tuhan, kasihan sekali anak ini. Diusianya yang masih belia, dia harus menanggung sakitnya perpisahan orang tua. Lusi dilema dan juga tak kuasa. Kalau memang Alia sudah tahu kebenarannya, maka dia pun pasti tahu siapa wanita yang sudah merebut Raka darinya."Bu, Alia tidak mau seperti Dinda. Alia mau sama Ibu saja, Alia tidak mau ikut Ayah, Bu." Gadis kecil itu terus mengulang-ulang kalimat yang sama, dan itu semakin menyakitkan hati Lusi.'Sesak sekali, Tuhan. Sangat menyedihkan. Dosa besar apa yang aku perbuat di masa lalu, sampai harus mengalami hal seperti ini?'"Alia tidak mau punya Ibu tiri, Bu," ucapnya di sela tangis.Lusi mengangguk-anggukan kepala beberapa kali sembari mengusap kepala Alia. 'Tidak, Lus. Kamu harus kuat dan jangan lemah di depan Alia.'Saat ini, Al
Pagi sekali Lusi sudah siap untuk berangkat ke tempat yang sudah dijanjikan oleh Pak Bara. Dia adalah pengacara keluarganya. Dia juga yang mengurus hak waris dari almarhum Ayah.Namun sebelumnya, Lusi sengaja menyuruh Alia untuk tidak sekolah. Saat dia tanya, Lusi katakan saja kalau ini dilakukan agar dia terhindar dari ejekan teman-temannya.Lusi sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Alia pasti akan dijadikan bahan cemoohan satu sekolah dan itu pasti akan membuat psikoligis anaknya drop.Karena alasan itu pula Lusi sudah berencana akan memindahkan Alia ke sekolah lain. Sekolah yang tidak mengenal siapa Alia sebelumnya dan tentu saja tidak mengenal kedua orang tua Alia."Ibu gak bakalan ketemu Ayah, kan?" tanya Alia saat Lusi akan berangkat.Saat itu Bu Murni juga ada. Lusi menitipkan Alia padanya. Dia sudah tidak punya orang tua dan juga tidak akan sudi menitipkan Alia pada mertua sialan itu.Bukannya dijaga, Ibu pasti akan memperalat cucunya untuk mendapatkan materi.