Lusi memeluk Alia dengan erat, hingga akhirnya tangis anak itu pecah di pelukannya. Tubuh Alia terguncang dengan isakan yang menyakitkan.Mulut Lusi masih bungkam dan hanya bisa ikut meratapi tangisan putrinya. Ya Tuhan, kasihan sekali anak ini. Diusianya yang masih belia, dia harus menanggung sakitnya perpisahan orang tua. Lusi dilema dan juga tak kuasa. Kalau memang Alia sudah tahu kebenarannya, maka dia pun pasti tahu siapa wanita yang sudah merebut Raka darinya."Bu, Alia tidak mau seperti Dinda. Alia mau sama Ibu saja, Alia tidak mau ikut Ayah, Bu." Gadis kecil itu terus mengulang-ulang kalimat yang sama, dan itu semakin menyakitkan hati Lusi.'Sesak sekali, Tuhan. Sangat menyedihkan. Dosa besar apa yang aku perbuat di masa lalu, sampai harus mengalami hal seperti ini?'"Alia tidak mau punya Ibu tiri, Bu," ucapnya di sela tangis.Lusi mengangguk-anggukan kepala beberapa kali sembari mengusap kepala Alia. 'Tidak, Lus. Kamu harus kuat dan jangan lemah di depan Alia.'Saat ini, Al
Pagi sekali Lusi sudah siap untuk berangkat ke tempat yang sudah dijanjikan oleh Pak Bara. Dia adalah pengacara keluarganya. Dia juga yang mengurus hak waris dari almarhum Ayah.Namun sebelumnya, Lusi sengaja menyuruh Alia untuk tidak sekolah. Saat dia tanya, Lusi katakan saja kalau ini dilakukan agar dia terhindar dari ejekan teman-temannya.Lusi sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Alia pasti akan dijadikan bahan cemoohan satu sekolah dan itu pasti akan membuat psikoligis anaknya drop.Karena alasan itu pula Lusi sudah berencana akan memindahkan Alia ke sekolah lain. Sekolah yang tidak mengenal siapa Alia sebelumnya dan tentu saja tidak mengenal kedua orang tua Alia."Ibu gak bakalan ketemu Ayah, kan?" tanya Alia saat Lusi akan berangkat.Saat itu Bu Murni juga ada. Lusi menitipkan Alia padanya. Dia sudah tidak punya orang tua dan juga tidak akan sudi menitipkan Alia pada mertua sialan itu.Bukannya dijaga, Ibu pasti akan memperalat cucunya untuk mendapatkan materi.
"Mungkin Mbak Mila punya dendam pribadi pada Mbak Lusi?" tanya seseorang saat Lusi menyelesaikan klarifikasi.Dendam? Dia rasa tidak. Karena selama bertahun-tahun menjalin pertemanan dengan Mila, mereka hampir tak pernah bertengkar. Lusi bahkan selalu mendukungnya.Dari dulu, Mila-lah yang lihai berpacaran. Sementara Lusi hanya dekat dengan Devan. Dia pun tak tahu alasan jelas kenapa Mila mengkhianatinya seperti ini.Namun, Lusi sedikit menaksirkan kalau Mila iri padanya karena sudah berkeluarga dan berbahagia dengan suami dan juga seorang anak. Sementara dia? Selalu pilih-pilih pasangan sampai akhirnya malah merebut milik teman sendiri."Saya tidak tahu lebih jelasnya. Tetapi, selama ini kita jarang berselisih paham. Mungkin, Mila iri karena saya sudah hidup bahagia dengan suami dan anak saya. Sementara dia belum juga menikah sampai saat ini."Penanya itu mengangguk-anggukan kepala mendengar jawaban Lusi. Selanjutnya, banyak lagi pertanyaan-pertanyaan terkait Raka dan Mila. Dia menja
"Saya tidak akan percaya kalau bukan Mila yang yang bilang sendiri. Tapi, tunggu! Kenapa kamu bisa tahu nama saya?" tanya Lusi pada gadis itu.Ditaksir dia baru berusia 17 atau 18 tahun. Masih terlalu kecil kalau untuk menipu. Bisa saja dia tahu nama Lusi karena melihat klarifikasi tadi. Namun, bagaiman bisa dia kenal Mila dan malah meminta membebaskan jalang itu? Mila tidak mungkin menyuruh orang lain melakukan hal seperti ini, sementara dia di penjara dan tak ada akses untuk berhubungan dengan orang luar.Gadis itu menunduk dan jari jemarinya saling bertautan. Dia sepertinya tengah gugup atas pertanyaan Lusi itu. Dia jadi curiga."Katakan, kamu tahu nama saya dari mana?" Lusi bertanya ulang padanya, jangan sampai ini penipuan yang mungkin saja bisa merugikan Lusi."S-Saya tahu karena kami memang mengenal Mbak Lusi sudah dari lama."Lusi terperangah dan ini kembali membuatnya kaget bukan main. Bagaimana bisa? Lusi bahkan tidak mengenal dia atau orang tua yang disebutkan oleh gadis i
"Kamu terlalu sempurna, punya segalanya dan sialnya kamu adalah orang baik. Semua orang memujimu. Aku juga tidak suka, Lus. Harusnya, kamu jahat saja padaku, membullyku. Dengan begitu, sebagian orang akan memberikan simpati padaku, bukan membandingkan atau memperolokku!"Mila masih mengeluarkan keluh kesahnya. Dia bahkan mengatakan itu semua dengan serius. Ada kilatan amarah yang menggebu di sorot mata Mila.Lusi benar-benar dibuat kaget dengan pernyataan ini. Jadi, semua ini hanya karena dia tidak suka jika dibandingkan dengan Lusi, dan kesal saat semua orang malah mengasihaninya dan mencap Mila sebagai benalu.Lusi kira Mila tidak menganggap serius perkataan mereka. Toh, orang-orang hanya bisa berkomentar tanpa tahu kehidupan yang dijalani Mila. Tetapi, sepertinya Mila tidak begitu.Dari dulu, Mila memang selalu mengedepankan gengsi. Jadi, dia akan lalukan apa pun demi terpenuhinya gengsi. Lusi selalu membantunya dalam memenuhi gengsi itu, karena dia pikir memang Mila ingin menyenan
"Sudah puas?" tanya Lusi pada Mila yang tengah menahan amarah dengan napas terengah-engah.Wanita sundal itu mendelik pada Lusi. Ya, dia memang benar-benar benci. Terlepas dari alasannya itu, Lusi tetap menganggap Mila adalah orang yang tidak tahu diri.Sudah cukup drama mengamuknya, sekarang giliran Lusi yang membuat wanita itu tak berdaya. Dia memanggil Pak Bara untuk masuk ke ruang besuk ini.Kekagetan terlihat di wajah Mila dan Lusi tersenyum untuk hal itu. Dia akan buat perhitungan yang sangat malah untuk Mila."Nah, Pak Bara. Tolong dengarkan baik-baik perkataan saya. Bila perlu, tulis saja."Laki-laki paruh baya itu mengangguk paham. Dia mengeluarkan secarik kertas beserta bolpoinnya. Kekagetan Mila berubah menjadi wajah penasaran.Lagi-lagi Lusi tersenyum melihat ekspresi wanita sialan itu. Wah, ternyata balas dendam itu memang memuaskan seperti ini. Sayangnya, semua ini akan kembali dibalas oleh Mila dengan dalih balas dendam pula.Namun, Lusi tidak peduli akan hal itu. Toh,
"Kak, ini aku," ucap gadis itu dengan wajah sendu. Terlihat ada genangan air mata yang siap jatuh.Mila masih memalingkan wajah, sementara Lusi dan Pak Bara sengaja diam menyaksikan mereka. Ah, sepertinya akan ada drama baru di sini."Kenapa Kakak seperti ini? Ibu dan Ayah merindukan Kakak. Ayo kita pulang, Kak!" seru gadis bernama Maura itu sembari menyentuh lengan Mila.Wanita jalang itu langsung menepisnya dan mengibas-ngibas bekas sentuhan Maura. Dia menoleh dengan tatapan nyalang. Lusi melihat, banyak kebencian yang tergambar di sorot mata Mila.Wah, sepertinya seru juga. Apakah Mila akan mengakui adiknya? Atau malah mengusir adiknya dengan segudang caci-maki? Duh, Lusi seperti tengah menonton drama sinetron."Jangan sentuh aku! Lagian, siapa kamu?! Aku tidak punya adik. Aku anak tunggal dan seorang yatim piatu!" serunya dengan suara yang sangat lantang.Saking lantangnya, petugas di sana memberikan peringatan agar Mila mengecilkan suara. Memang wanita yang memalukan.Sekarang, d
Suara tamparan menggema di ruangan itu. Lusi mendorong Mila hingga terjerembab. Tak dihiraukan jeritan wanita jalang itu, atau seruan dari polisi untuk berhenti.Terdengar Pak Bara juga berusaha memisahkan Lusi dan Mila. Dia menarik tangan Lusi untuk melepaskan jambakan di kepala Mila. Bahkan, masih terdengar isakan Maura yang meminta kakaknya untuk berhenti.Itu semua tidak dihiraukan. Sejauh ini, Lusi sudah menahan diri untuk tidak bermain fisik. Tetapi, wanita sundal itu malah memulainya dan itu tidak bisa dibiarkan.Dia sudah berani berbuat kasar padanya dan Lusi tidak bisa menerimanya. Mila sudah cukup menghempaskan kehidupan Lusi ke kubangan penderitaan, tapi sekarang tidak lagi.Lusi menarik rambutnya sekuat tenaga sampai Mila meringis kesakitan. Lalu, sebelah tangannya terus menampar pipinya berulang-ulang. Wanita jalang itu terdengar menangis dan mengucapkak kata sakit. Tetapi, tidak ada permohonan ampun atau maaf untuk Lusi.Jadi, Lusi teruskan saja menamparnya sampai dia te
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan
Raka masih diam, tidak tahu harus mengatakan apa, karena semuanya serba mendadak. Padahal sebelumnya pria itu berpikir kalau Winda akan dengan senang hati memberinya bantuan tanpa harus meminta apa pun darinya. Tetapi, semua itu ternyata salah. Winda tetap saja meminta hal yang rasanya mustahil dilakukan oleh Raka. Masalahnya Raka memang tidak punya perasaan kepada wanita ini, ditambah lagi kalau misalkan Mila tahu apa yang sudah dilakukan Raka maka rencana semula akan benar-benar hancur. Hanya saja, pria itu juga ingin bertemu dengan Alia. Bagaimana kalau misalkan Alia ternyata dibawa ke luar negeri oleh Lusi? Entah berapa lama dia akan memendam rasa rindu kepada anaknya itu. Semua ini seperti sebuah simalakama untuknya. Melihat diamnya Raka, Winda tersenyum sinis. Dia menghela napas panjang, tahu kalau semua ini sulit untuk Raka dan mungkin pada akhirnya pria ini akan menolak tawaran itu. Jadi, tidak ada alasan Winda untuk menerima semua permintaan Raka. "Baiklah, Mas. Kalau mema
Maura menutup mulut, tak menyangka. Dia ingin menjerit dan memprotes apa yang dikatakan oleh Winda. Jika memang Winda tidak mengejar Raka, maka dia tidak akan mendapatkan rumah kecuali kalau misalkan dia memberikan ancaman. Tetapi tetap saja wanita itu tidak bisa memanfaatkan Winda kalau wanita itu tidak mengejar Raka lagi. Ini akan berat untuknya, tapi Maura juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai. Tidak lupa wanita itu menyetel rekaman keduanya. Dia melakukan ini demi sebuah keamanan dan juga materi. Karena bagaimanapun hidup di sini butuh uang, jadi Maura tidak mau menjual rasa kasihannya demi orang lain. "Kenapa, Mas? Kamu diam saja. Kamu tidak beranikan menentukan jaminan apa-apa?" Winda menghela napas panjang. "Mas, aku memang prihatin dengan apa yang terjadi kepadamu. Tapi seperti yang kamu bilang, semua ini berawal dari kamu sendiri, kan? Kalau memang kamu mau aku membantu bertemu dengan Alia, maka kamu harus menikah
Raka terperangah. Dia berusaha untuk meyakinkan diri kalau yang didengarnya itu hanyalah salah."Kamu bercanda, kan, Win?"Winda tampak serius. Kali ini bahkan tidak ada senyum sama sekali."Tidak, Mas. Aku serius." "Kenapa? Bukankah kamu selama ini mau mendekatiku. Kamu juga selalu membantu ibuku?" tanya Raka. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Padahal pria itu sudah sampai sembunyi-sembunyi untuk pergi dari Mila. Pagi-pagi sekali bertemu dengan Winda, berharap kalau wanita ini bisa membantunya.Sementara itu Maura hanya terdiam dan berusaha untuk mendengarkan apa yang terjadi, karena bagaimanapun ini informasi penting. Dia akan meminta harga yang mahal kepada kakaknya atas semua ini. "Iya, Mas. Aku memang selalu membantumu. Aku juga membantu Ibu jika itu adalah kebaikan, tetapi untuk masalah Lusi, tidak." "Kenapa? Apakah kamu takut aku kembali kepada Lusi atau memang kamu berharap aku memberikan hadiah?" Lagi, kalimat tadi itu langsung m
"Bantuan? Bantuan apa, Mas?" tanya Winda.Dia mengajukan pertanyaan itu karena Winda juga tidak tahu harus melakukan apa. Sebab dirinya merasa ragu, apakah bisa membantu pria ini atau tidak. Raka terlihat senyum merekah. Entah kenapa itu malah membuat Winda khawatir kalau Raka akan meminta hal yang aneh kepadanya. "Benar kamu bisa membantuku, kan?" tanya Raka memastikan dulu. Sekarang Winda tersenyum kaku. Dia juga bingung apakah harus mengiyakan atau menggelengkan kepala, karena wanita ragu apa yang diinginkan oleh pria ini."Tolong bantu aku mencari Lusi dan Alia." "Apa?!" Seketika wajah yang sebelumnya terlihat khawatir dan bingung berubah menjadi kaget ada rasa kecewa yang menusuk dalam dada. Maura yang mendengarnya pun menutup mulut, hampir saja bersuara. Ternyata Raka masih memikirkan perihal Lusi, sampai meminta semua ini kepada Winda yang bukan siapa-siapa. Winda hanya bisa terdiam saja. Dia tidak tahu harus memberikan reaksi apa, karena ini sudah memastikan kalau Raka
"Kamu serius, Mas? Kamu tidak salah lihat atau mungkin tetanggamu itu pura-pura tidak tahu?" tanya Winda tiba-tiba saja membuat Raka terdiam. Raka baru terpikir, bisa saja Bu Murni itu memang sebenarnya tahu ke mana Lusi berada, tetapi tampaknya disembunyikan. Namun demikian, Raka tidak mungkin memaksa wanita paruh baya itu untuk berbicara jujur. Yang ada dia bisa dipidanakan, karena sudah melakukan pemaksaan kepada orang tua. "Aku juga tidak tahu, mungkin sesuatu itu terjadi. Tapi yang pasti, saat ini aku tidak punya informasi apa pun. Nomorku diblokir orang, pasti aku tidak bisa melacak keberadaan anakku," ungkap Raka, semakin frustrasi. Membuat Maura akhirnya paham apa yang sebenarnya terjadi kepada Raka, sampai pria itu akhir-akhir ini memilih untuk diam saja."Ya, Mas. Aku paham posisi kamu. Kamu pasti merasa hampa dan takut kehilangan Alia, kan?" "Tentu saja, Winda. Aku benar-benar tidak bisa kehilangan anakku. Dari kecil aku mengasuhnya. Aku memberikan kasih sayang berlimpa
Raka dan Winda memesan tempat di pojokan. Dia tidak mau sampai ada orang yang melihat keberadaan mereka, terlebih mungkin mata-mata yang akan mengambil foto Raka dan juga Winda. Raka sudah memperkirakan ini, tapi dia tidak sadar kalau dirinya sudah dari tadi diikuti oleh Maura. Maura tidak mau kalah. Dia akhirnya membayar argo taksi dan memilih untuk mengikuti keduanya. Dia kembali memakai hoodie dan kacamata, lalu duduk tak jauh dari tempat itu. Tentu saja posisinya membelakangi keduanya, takut diketahui identitasnya oleh Raka ataupun Winda. Raka memesan makanan yang cukup mewah di sana, membuat Winda keheranan. Karena dia tahu kalau Raka itu pasti mendapatkan uang dari Mila. Tetapi wanita itu tidak mau melukai harga diri sang pria dan memilih untuk diam saja. Dia akan tunggu apa saja yang diinginkan oleh Raka. Bahkan di mobil saja pria itu sudah meminta sesuatu kepada Winda. Mungkin saja pembicaraan ini pun penting. Meskipun dia tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh sang pria,
"Ya, Mas. Kamu jangan menghiraukan perasaanku. Aku paham posisimu sekarang dan untuk masalah Ibu, aku juga sudah berusaha untuk memaafkannya. Walaupun memang ada beberapa perkataan Ibu yang menyakiti hatiku. Tapi, aku berusaha untuk menerima itu semua."Sepertinya Winda sudah mulai punya keberanian untuk mengungkapkan apa keluh kesahnya selama ini terhadap perilaku Bu Sinta. Raka paham dan menganggukkan kepala. "Ya, ini juga salah satu alasanku ingin menemuimu. Apa pun yang Ibu inginkan jika dia meminta untuk melakukan hal jahat, sebaiknya tolak saja."Winda membulatkan mata, tak percaya jika Raka berkata seperti itu. Dia pikir Raka akan menitipkan Bu Sinta dan meminta untuk menjaga wanita itu, tetapi ternyata sang pria malah memintanya untuk menjaga jarak walaupun itu secara tidak langsung. "Memang kamu pikir ibumu akan melakukan apalagi, Mas?" Raka menghela napas panjang. "Aku tidak tahu, Win. Yang pasti aku berpikir kalau ibuku akan merencanakan sesuatu lagi untukku. Aku benar-b
Tiba-tiba saja Raka menghentikan mobil, membuat Winda bingung. Termasuk Maura yang sudah sedari tadi mengikuti. "Kenapa Mas Raka berhenti, ya, Pak?" tanya Maura kepada sopir itu, yang langsung digelengi sopir taksi.Orang itu juga bingung dan dia tidak tahu harus menjawab apa. Yang dilakukan hanya mengikuti perintah penumpang saja. Winda menoleh kepada Raka yang tiba-tiba saja menghela napas berkali-kali, lalu sekarang sang pria menatapnya dengan wajah memelas. Ada sorot mata bersalah di sana, tetapi Winda tidak tahu apa yang akan dikatakan Raka nantinya. Yang pasti Winda harus menyiapkan hati dengan apa pun yang akan terjadi nanti. "Win, begini. Aku akan berbicara dari hati ke hati dan dengan sangat memohon agar kamu tidak sakit hati dengan apa pun yang kukatakan nanti," ungkap Raka tiba-tiba saja membuat wanita itu terdiam. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang, takut jika Raka benar mengatakan sesuatu yang membuatnya terpuruk. Bagaimanapun sampai saat ini Winda memang masih