"Heh, apa kamu bilang? Jangan sembarangan kalau bicara! Kamu yang harusnya enyah dari rumah itu, Lus. Sekarang, aku yang akan menggantikanmu manjadi Nyonya!" seru Mila tiba-tiba saja bersuara.Tak Lusi sangka, Mila yang awalnya hanya menahan diri, langsung meledak saat dia bicara tentang materi. Benar-benar matrealistis.Terdengar cemoohan kembali dari warga. Beberapa di antara mereka bahkan memberikan sumpah serapan untuk Mila."Memang wanita sundal! Sudah merusak rumah tangga, sekarang bermimpi jadi Nyonya. Memang pantasnya dia dibakar hidup-hidup!" seru salah satu ibu-ibu yang disoraki dukungan dari warga lainnya.Lusi hanya tersenyum dengan menatap Mila. Wanita itu terlihat sangat sinis dan membenci Lusi. Lusi baru tahu kalau temannya ini benar-benar jahat. Dia tak akan mendapat ampunan walau bersujud pada Lusi."Maaf, Mbak Lusi. Apakah kontrakan ini akan dikosongkan?" tanya Pak RT pada Lusi.Mila yang awalnya sinis pun langsung mengernyitkan dahi. "Tunggu, Pak RT! Kenapa Pak RT b
Selama di perjalanan ke kantor polisi, jantung Lusi berdetak dengan sangat kencang. Siaran langsung di aplikasi biru pun diakhiri.Dadanya terasa sesak, melihat iring-iringan mobil polisi yang membawa dua pengkhianat itu. Hingga tanpa terasa air mata itu luruh juga.Tak ada isakan, tapi air mata Lusi berderai tanpa henti. Pandangannya sedikit buram, tapi masih bisa melihat dan mengikuti mobil polisi itu.Raka dan Mila. Kalau saja mereka tidak berkhianat, mungkin posisi mereka akan tetap aman. Tetapi, mereka sudah menyulut api permusuhan. Jadi, jangan salahkan kalau Lusi akan menbakarnya hingga habis tak tersisa.Selang beberapa menit, mereka pun sampai di kantor polisi. Dari dalam mobil, terlihat Raka dan Mila digiring ke luar dari mobil. Sementara itu, Ibu pun keluar dari dalam taksi.Lusi sengaja tidak memberi Ibu tumpangan dan membiarkannya mencari kendaraan sendiri. Mulai sekarang, dia tidak akan peduli lagi padanya.Cukup kebodohannya selama ini yang telah menuruti segala keingin
"Apa kamu bilang? Balas dendam?" Lusi tertawa sumbang dan menatap Mila dengan sorot meremehkan.Mila terdiam, masih tetap memandangi Lusi dengan tatapan tajam. Rahang wanita sialan itu mengeras, sudah dipastikan kalau Mila terpancing amarahnya."Kamu masih belum sadar diri juga, heh? Masih bisa mengancamku, padahal posisimu sudah mau dipenjara seperti ini. Ngaca dong, Non! Gimana caramu bisa balas dendam, sedangkan kamu saja tidak bisa ke mana-mana. Pakai otakmu!" seru Lusi sembari menunjuk pelipisnya sendiri.Wanita itu tampak geram, sementara Raka memilih diam mengamati Lusi dan Mila. Di sisi lain, Ibu hanya diam dengan wajah yang sudah tak karuan.Lusi menghela napas sedalam-dalamnya dan mengembuskan secara perlahan. Ditegakkan posisi duduk itu, lalu memindai tiga orang yang ada di depannya."Dengarkan baik-baik perkataanku. Aku hanya mengatakannya sekali dan ini peringatan untuk kalian," ujar Lusi dengan nada serius.Terlihat wajah Ibu dan Raka menegang, sementara mimik muka Mila
Lusi menjerit kesakitan dan itu sukses mengundang seorang polisi datang menghampiri kami. Dia berpura-pura menangis dan membiarkan Mila menjambaknya.Raka dan Ibu tampak kaget. Mereka hanya menyaksikan dan tak melakukan apa pun, hingga Lusi hanya mengaduh kesakitan, pasti akan membuat polisi langsung menghampiri mereka."Tolong, Pak. Dia menjambakku dengan keras dan mengancam akan membunuhku," rengek Lusi pura-pura sedih dan kesakitan.Mila terlihat kaget. Bola matanya bahkan membulat sempurna. Bodohnya, Mila masih dengan posisi menjambak Lusi."Kalau begini, dia akan saya tuntut dengan tuduhan penganiayaan dan pembunuhan berencana," lanjut Lusi membuat Mila langsung melepaskan tangannya dari rambut Lusi.'Ah, sial. Ternyata sakit juga. Dasar wanita jalang!' Mila akan membayar mahal atas semua ini."Sebaiknya, terdakwa segera dimasukkan ke sel, Bu. Agar tidak terjadi hal serupa. Dan untuk kejadian tadi, silakan Ibu masukkan dalam daftar tuntutan untuk Ibu Mila."Wajah Mila langsung p
Lusi mengendarai mobil dengan kecepatan yang lumayan kencang. Ini karena, dia harus secepatnya sampai ke rumah. Lusi takut Alia sudah pulang dari sekolah.Kejadian dan drama penggerebekan hingga ke kantor polisi terlalu alot, sampai banyak membuang waktunya yang berharga. Dia tidak mau sampai Alia celingukan sendiri karena tak ada orang di rumah.Hingga beberapa menit kemudian, Lusi sampai di kompleks perumahan. Dipelankan laju mobil ini saat rumahnya dikerumuni banyak orang. Jantungnya pun langsung berdegup dengan kencang. Bahkan, keringat dingin kontan datang dengan sendirinya. Otak Lusi langsung terpikirkan tentang Alia. Jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi pada anaknya!Saat Lusi hendak melewati rumah Bu Murni, tiba-tiba wanita paruh baya itu menghadang mobilnya. Wajahnya terlihat kalut. Dari luar mobil Bu Murni memberikan isyarat agar Lusi keluar dari mobil.Lusi tidak mengerti maksud dari wanita paruh baya itu. Tetapi, sepertinya ada yang sangat penting sampai dia bersikukuh
"Prank? Maksud Ibu bohongan?" tanya Alia sembari mengusap air mata di pipinya.Mata polos itu terlihat menuntut jawaban Lusi, dan itu membuat hatinya disayat-sayat. Dia hanya anak kecil, dan tak tahu apa-apa. Kenapa harus mengalami ini semua?Apakah Lusi juga bersalah dalam kejadian ini? Ya, memang benar. Harusnya dia tidak memberikan ruang bagi dua pengkhianat itu untuk saling mengenal.Bukan hanya itu saja, harusnya Lusi juga jangan terlalu percaya pada mereka. Kemungkinan terburuk itu pasti asa, tapi Lusi mengabaikan itu semua. Hingga sekarang, yang menjadi korbannya adalah anaknya sendiri. 'Maaf, Alia. Ibu benar-benar minta maaf.'"Bu?" Lusi terperanjat mendengar Alia memanggil. Sepertinya, dia malah melamun. Lusi harus tetap waras dan sadar. Ini semua demi anaknya juga."Iya, Sayang?""Apa benar semua itu hanya akting Ayah?" tanya Alia, sepertinya ingin memastikan.Lusi mengangguk cepat, dan meyakinkan anak itu kalau semua perkataannya adalah kebenaran.Dilirik Bu Murni yang se
Lusi tidak tahu harus menjawab apa, karena ada dua kemungkinan yang terpikirkan olehnya. Pertama, dia harus menjawab pertanyaan mereka dengan dalih itu hanya prank, seperti yang dikatakan pada Alia. Tetapi, efeknya Mila maupun Raka tidak jadi dipermalukan.Lusi yakin mereka tidak akan merasakan jera. Lalu, pilihan kedua adalah dia katakan yang sejujurnya. Mungkin saja, di balik kesialan itu ada berkah yang datang. Lusi bisa dijadikan bahan simpati oleh orang lain dan mungkin saja usahanya juga semakin melesat karena keviralan itu.Namun, risikonya hanya satu, Alia akan tahu semua kebenarannya. Dia bingung harus memilih yang mana, karena keduanya sama-sama punya risiko."Nak Lusi?" Bu Murni menyentuh pundak Lusi, dan seketika kesadaran kembali datang."Iya, Bu?""Kamu harus bisa menghadapi situasi ini. Mereka pasti tidak akan menyerah dan kembali datang. Mungkin memang masalah ini akan hilang dengan sendirinya. Akan tetapi, jejak digital itu pasti dan tidak akan hilang. Lambat laun, Al
Lusi memeluk Alia dengan erat, hingga akhirnya tangis anak itu pecah di pelukannya. Tubuh Alia terguncang dengan isakan yang menyakitkan.Mulut Lusi masih bungkam dan hanya bisa ikut meratapi tangisan putrinya. Ya Tuhan, kasihan sekali anak ini. Diusianya yang masih belia, dia harus menanggung sakitnya perpisahan orang tua. Lusi dilema dan juga tak kuasa. Kalau memang Alia sudah tahu kebenarannya, maka dia pun pasti tahu siapa wanita yang sudah merebut Raka darinya."Bu, Alia tidak mau seperti Dinda. Alia mau sama Ibu saja, Alia tidak mau ikut Ayah, Bu." Gadis kecil itu terus mengulang-ulang kalimat yang sama, dan itu semakin menyakitkan hati Lusi.'Sesak sekali, Tuhan. Sangat menyedihkan. Dosa besar apa yang aku perbuat di masa lalu, sampai harus mengalami hal seperti ini?'"Alia tidak mau punya Ibu tiri, Bu," ucapnya di sela tangis.Lusi mengangguk-anggukan kepala beberapa kali sembari mengusap kepala Alia. 'Tidak, Lus. Kamu harus kuat dan jangan lemah di depan Alia.'Saat ini, Al
"Mas, aku mohon. Pulanglah bersamaku, jangan seperti ini." Mila sekarang menghiba sembari menangis. "Tolong, jangan buat aku merasa menderita dan tertekan seperti ini. Aku janji, aku tidak akan mengekangmu lagi. Kamu boleh keluar, asalkan kamu bicara dulu kepadaku." "Tidak, ini sudah ketiga kalinya kamu mengatakan hal yang sama, tetapi kenyataannya seperti apa? Kamu tetap saja mengganggu dan menuduhku macam-macam.""Lalu, aku dengan siapa, Mas? Aku tidak mungkin sendiri.""Ada Maura."Seketika Mila malah terdiam. Dia sedang berusaha untuk akting sebaik mungkin agar Raka mau pulang dengannya. Tetapi malah nama Maura yang disebutkan. Dia benar-benar kesal karena adiknya itu malah masuk dalam permasalahan rumah tangganya. "Dia kan bukan siapa-siapa kita. Lagi pula di sini yang harus tanggung jawab atas keselamatan aku dan anak ini kan kamu, Mas." Mila sama sekali tidak bisa diajak berbicara baik-baik. Sekeras apa pun Raka menjelaskan, Mila juga sama kerasnya. Tidak mau mengalah. Rak
"Tidak sekarang, Mila. Aku akan pulang setelah semua urusanku selesai." Mila menautkan kedua alis dengan perasaan bingung. "Apa maksud kamu, Mas? Urusan apa yang kamu lakukan di sini?" Raka menghela napas panjang sembari memijat pelipisnya yang berdenyut. Tidak mungkin dia mengatakan kalau besok dirinya akan menikah dengan Winda. Yang pasti pria itu harus mengelabui Mila. Jangan sampai wanita itu benar-benar menghancurkan semua rencananya. Karena kalau Mila tahu kalau dirinya ingin mencari Lusi dan juga Alia, maka saat itu juga dia mendapat tekanan lagi dari wanita ini. "Aku hanya ingin bertemu dengan ibuku, menghabiskan waktu dengan ibuku." "Lalu, kamu meninggalkan istrimu?" tanya Mila. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Raka akan melakukan hal seperti ini. Padahal yang harus ditemani adalah Mila. Dia sedang hamil. Kenapa Raka tidak mau melakukan itu? "Dia anakku. Hak dia dong untuk menemani ibunya!"Mila kesal karena Bu Sinta malah ikut campur. Harusnya wanita paruh bay
Bu Sinta maupun Mila kaget mendengar suara Raka yang menggelegar, tampak sekali wajahnya memerah seperti menahan emosi karena sudah dari tadi kedua wanita berbeda usia ini terus saja bertengkar. "Apa kalian tidak bisa diam?! Jangan terus-terusan mengoceh dengan berbagai macam alasan! Aku punya keputusan sendiri," ucap Raka, membuat Bu Sinta dan Mila kaget bersamaan. Mereka takut jika Raka mengambil keputusan yang salah dan merugikan kedua belah pihak. Mila berharap kalau Raka tidak meninggalkannya, berbeda dengan Bu Sinta yang ingin anaknya kembali kepada Bu Sinta dan menceraikan Mila. Pria itu menoleh kepada Mila dengan tatapan sinis. Dia sudah jengah dengan semua perlakuan istrinya ini. Mila berbeda jauh dengan wanita yang dulu pernah menjalin hubungan dengannya. Apa mungkin memang sifat asli Mila seperti ini? Begitu pikir Raka atau hanya karena perubahan hormon Ibu hamil akhirnya Mila lebih protektif dan temperamental? Semua itu masih bergerilya di pikiran Raka, belum bisa menga
"Jangan percaya sama Ibu, Mas! Kamu tahu sendiri, kan? Gara-gara Ibu, kamu hampir kehilangan anak ini. Dia yang memalsukan tes DNA anak ini!" seru Mila tiba-tiba saja mengalihkan pembicaraan, membuat Bu Sinta terdiam dan wanita paruh baya itu benar-benar kaget kala Mila membahas lagi masalah yang sudah berlalu. Padahal sekarang permasalahan utamanya adalah Mila yang tidak pernah bisa membebaskan Raka, selalu saja mengekang dan harus berada di samping wanita itu. "Kenapa kamu malah ngomongin itu sekarang? Bukan waktunya kamu berbicara hal yang sudah berlalu.""Oh, kenapa tidak, Bu? Tentu saja aku harus bicara dengan Mas Raka, kalau Ibu itu tidak mau melihat anak ini lahir, kan?" Keadaan semakin genting saat ini. Kalau Mila mengatakan hal seperti itu, tentu saja Bu Sinta tidak mau kalah. Baginya pertarungan ini harus dimenangkan olehnya, karena ini adalah satu-satunya cara dan kesempatan yang langka untuk mendapatkan anaknya kembali. "Jaga bicaramu! Itu sudah berlalu, aku melakukan
Bu Sinta dan Mila sama-sama terkejut melihat siapa yang tiba-tiba saja menyerukan nama Mila. Seketika wajah Bu Sinta berubah menjadi pura-pura sedih. Sementara Mika pucat sekali, seperti orang yang kehilangan banyak darah. "Raka, akhirnya kamu datang," ucap Bu Sinta dengan suara lemah sembari menghampiri anak yang saat ini berada di belakang Mila. Wanita hamil itu benar-benar kaget dengan kehadiran Raka. Dia tidak menyangka kalau Raka ada di belakangnya. Dia pikir Raka ada di dalam dan tidak mendengar pembicaraan mereka, tetapi siapa? Tahunya orang yang dicari itu tiba-tiba saja datang dan mendengarkan percakapan, lebih tepatnya kata-kata sang wanita yang keterlaluan jika didengar oleh orang lain. "Raka, lihat istrimu! Katanya akan membunuh Ibu jika berani macam-macam atau menghasutmu. Padahal kan Ibu tidak mengatakan apa-apa, Ibu juga tidak tahu kalau misalkan kamu pergi dari rumah. Apakah itu istri yang kamu pikir baik?" tanya Bu Sinta dengan pura-pura menangis. Mila hanya bisa
"Suami mana yang pergi dari rumah istrinya tanpa bilang apa-apa? Kecuali kalau dia kabur karena tidak kuat dengan sikap istrinya. Menurutmu perkataanku benar, kan?" ucap Bu Sinta, tiba-tiba saja membuat Mila terdiam.Wanita paruh baya itu sampai melipat tangan di depan dada. Mila terdiam saja. Dia merasa tersinggung dengan semua perkataan mertuanya. Entah kenapa setiap apa pun yang keluar dari mulut Bu Sinta itu selalu pedas dan menyakitkan.Sang wanita paruh baya sama sekali tidak pernah memikirkan perasaan orang lain, tetapi herannya kenapa Lusi dulu kuat sekali berhadapan dengan Bu Sinta? Mila tidak mau nasibnya sama seperti Lusi, disetir begitu saja oleh mertua. Dia harus berdiri di kaki sendiri tanpa diperintah oleh siapa pun, termasuk mertua.Mila menghela napas panjang, berusaha untuk tenang menghadapi Bu Sinta tanpa dengan emosi. Dia harus membuat Bu Sinta paham, kalau semua yang dilakukan ini demi kebaikan dirinya dan juga Raka, termasuk anak yang ada di dalam kandungan."B
Dengan perasaan tak karuan akhirnya Mila pun pergi ke rumah Bu Sinta. Dia berharap bisa menemukan suaminya. Saat ini tidak ada pilihan lain, kecuali mengalah. Karena ada anak yang harus diperjuangkan di sini. Kalau saja tidak ada anak, mungkin Mila sudah melakukan hal yang macam-macam kepada Raka dan juga Bu Sinta, untuk memberikan ancaman yang lebih sakit lagi kepada pria itu, agar mau tetap ada di sisinya. Namun, sekeras apa pun Mila berusaha untuk menahan suaminya, Raka pasti akan berontak dan sekarang buktinya dia terlalu mengekang dan juga menggenggam Raka begitu erat, sampai lupa kalau pria itu juga butuh kebebasan dan sedikit udara untuk dirinya sendiri. Namun, karena pengalaman sebelumnya yang sudah pernah selingkuh, Mila berpikir ratusan kali untuk percaya kepada pria itu. Tetapi tampaknya Raka merasa kalau dirinya dikekang dan malah memilih untuk pergi dari rumah. Wanita itu memijat pelipisnya sembari menyetir, ini benar-benar membuatnya stres. Belum lagi Maura yang memi
"Halo, Ibu?" tanya Raka saat dia sudah menelepon ibunya dan untunglah Bu Sinta langsung menerima panggilan dari anaknya itu. Tentu saja sang wanita paruh baya benar-benar kaget dan melihat kembali ada nama Raka di layar ponsel. Karena sebelumnya anak itu sampai memblokir nomornya agar tidak bisa dihubungi.Tampaknya apa yang dikatakan oleh Maura itu benar. Dia harus pura-pura menderita dan membuat Raka merasa iba, agar anaknya kembali ke tangan sang wanita paruh baya. "Ada apa, Raka? Ibu kaget, kamu tiba-tiba saja menelepon." "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin bicara dengan Ibu. Ada hal penting, yang harus aku katakan kepada Ibu." "Benarkah? Kalau begitu datang saja ke sini. Sebaiknya kita berbicara baik-baik di rumah. Ibu akan masakan makanan kesukaan kamu. Bagaimana?" Tiba-tiba saja di seberang sana Raka tersenyum kecut. Entah kenapa dia merasa kenangan itu kembali ke masa-masa sebelum dia menikah. Sebelumnya Bu Sinta selalu perhatian, apalagi kalau sudah gajian. Tetapi tetap saja
Mendengar semua perkataan Winda, hati Raka sedikit lega. Dia tersenyum senang, akhirnya ada orang yang mau membantunya meskipun dengan imbalan dia harus menikahi Winda. Sungguh di luar dugaan, ada wanita yang mau dimadu seperti Winda hanya demi mendapatkan seorang pria yang notabene tidak memiliki apa-apa. Raka itu bukan pria kaya. Memang hanya tampan dan juga baik hati di mata orang-orang, tentu sebelum perselingkuhannya dengan Mila terbongkar luas.Raka itu terkenal humble, ramah. Tetapi sayangnya semua image itu hancur seketika setelah perselingkuhannya dengan Mila mencuat di media sosial. Tetapi bagi Winda, semua itu tak masalah. Lagi pula dia akan menyalahkan Mila karena sudah menggoda Raka. Tidak ada pria yang akan selingkuh jika tidak dimulai oleh wanita penggoda, begitu pikir Winda. Dia mendekati Raka bukan saat masih berstatus suami Lusi, jadi dia sama sekali bukan seorang pelakor dulu. Tetapi, sekarang mau tidak mau Winda harus mengakui kalau dirinya itu pelakor, karena su