Lusi kembali berdiri dan membiarkan siaran langsung terus menyala. Biarkan saja kamera tidak fokus, terpenting pembicaraan dan kejadian ini bisa terekspos ke media.Lusi menghadap Ibu yang tengah marah dengan napas memburu. Wanita tua ini sepertinya lupa diri."Hei, Bu. Apa kata Ibu tadi? Membuat malu? Anak Ibu yang buat malu! Udah selingkuh sama teman sendiri, mengemis mau tetap denganku pula. Harusnya kata-kata itu buat laki-laki brengsek seperti anak Ibu!" seru Lusi sembari membentak Ibu.Ibu melotot saat Lusi menaikkan nada bicara padanya. Hah, biarkan saja. Toh, sebentar lagi dia akan jadi mantan mertuanya. Wanita tua yang gila harta dan parasit."Lus, jaga ucapanmu! Dia itu ibuku!" Raka tiba-tiba saja berseru sembari berdiri.Lusi langsung menaikkan jari telunjuk di depan wajahnya untuk kembali duduk dan diam."Hei, diam kamu, Mas. Aku berhak mengatakan ini, karena ibumu memang patut ditegur. Harusnya, kamu bilang pada ibumu, jangan terus mengemis uang padaku. Itu menjijikkan."
"Bapak, ibu-ibu. Dua orang ini mau dibawa ke mana?" tanya Pak RT saat Mila dan Raka sudah di luar untuk diarak keliling kompleks."Kami mau mengaraknya, Pak RT. Orang seperti mereka memberikan contoh yang buruk untuk warga sini. Kalau kami hanya diam dan membiarkan ini terjadi, maka akan dicontoh oleh anak-anak muda lainnya," cetua bapak-bapak yang usianya cukup matang.Pak RT langsung menggelengkan kepala. "Tapi, tidak dengan cara diarak, Pak. Kalian bisa dipenjara. Betul, kan, Pak Polisi?" tanya Pak RT pada polisi yang ada di sana.Lusi hanya terdiam dan masih merekam kejadian ini. Sungguh, saat ini dadanya sedang bergemuruh hebat. Ingin sekali Lusi menjambak Mila dan menamparnya berkali-kali, setelah itu barulah kutelanjangi wanita jalang itu sebari diikat oleh tandu dan diarak kelilig kompleks ini.Kejam? Ya, tapi lebih kejam perlakuan Mila padanya. Sayangnya, semua itu pun hanya angan Lusi yang tak bisa terlaksana."Benar, Pak RT. Bapak-bapak, ibu-ibu, kita ini negara hukum. Sem
"Heh, apa kamu bilang? Jangan sembarangan kalau bicara! Kamu yang harusnya enyah dari rumah itu, Lus. Sekarang, aku yang akan menggantikanmu manjadi Nyonya!" seru Mila tiba-tiba saja bersuara.Tak Lusi sangka, Mila yang awalnya hanya menahan diri, langsung meledak saat dia bicara tentang materi. Benar-benar matrealistis.Terdengar cemoohan kembali dari warga. Beberapa di antara mereka bahkan memberikan sumpah serapan untuk Mila."Memang wanita sundal! Sudah merusak rumah tangga, sekarang bermimpi jadi Nyonya. Memang pantasnya dia dibakar hidup-hidup!" seru salah satu ibu-ibu yang disoraki dukungan dari warga lainnya.Lusi hanya tersenyum dengan menatap Mila. Wanita itu terlihat sangat sinis dan membenci Lusi. Lusi baru tahu kalau temannya ini benar-benar jahat. Dia tak akan mendapat ampunan walau bersujud pada Lusi."Maaf, Mbak Lusi. Apakah kontrakan ini akan dikosongkan?" tanya Pak RT pada Lusi.Mila yang awalnya sinis pun langsung mengernyitkan dahi. "Tunggu, Pak RT! Kenapa Pak RT b
Selama di perjalanan ke kantor polisi, jantung Lusi berdetak dengan sangat kencang. Siaran langsung di aplikasi biru pun diakhiri.Dadanya terasa sesak, melihat iring-iringan mobil polisi yang membawa dua pengkhianat itu. Hingga tanpa terasa air mata itu luruh juga.Tak ada isakan, tapi air mata Lusi berderai tanpa henti. Pandangannya sedikit buram, tapi masih bisa melihat dan mengikuti mobil polisi itu.Raka dan Mila. Kalau saja mereka tidak berkhianat, mungkin posisi mereka akan tetap aman. Tetapi, mereka sudah menyulut api permusuhan. Jadi, jangan salahkan kalau Lusi akan menbakarnya hingga habis tak tersisa.Selang beberapa menit, mereka pun sampai di kantor polisi. Dari dalam mobil, terlihat Raka dan Mila digiring ke luar dari mobil. Sementara itu, Ibu pun keluar dari dalam taksi.Lusi sengaja tidak memberi Ibu tumpangan dan membiarkannya mencari kendaraan sendiri. Mulai sekarang, dia tidak akan peduli lagi padanya.Cukup kebodohannya selama ini yang telah menuruti segala keingin
"Apa kamu bilang? Balas dendam?" Lusi tertawa sumbang dan menatap Mila dengan sorot meremehkan.Mila terdiam, masih tetap memandangi Lusi dengan tatapan tajam. Rahang wanita sialan itu mengeras, sudah dipastikan kalau Mila terpancing amarahnya."Kamu masih belum sadar diri juga, heh? Masih bisa mengancamku, padahal posisimu sudah mau dipenjara seperti ini. Ngaca dong, Non! Gimana caramu bisa balas dendam, sedangkan kamu saja tidak bisa ke mana-mana. Pakai otakmu!" seru Lusi sembari menunjuk pelipisnya sendiri.Wanita itu tampak geram, sementara Raka memilih diam mengamati Lusi dan Mila. Di sisi lain, Ibu hanya diam dengan wajah yang sudah tak karuan.Lusi menghela napas sedalam-dalamnya dan mengembuskan secara perlahan. Ditegakkan posisi duduk itu, lalu memindai tiga orang yang ada di depannya."Dengarkan baik-baik perkataanku. Aku hanya mengatakannya sekali dan ini peringatan untuk kalian," ujar Lusi dengan nada serius.Terlihat wajah Ibu dan Raka menegang, sementara mimik muka Mila
Lusi menjerit kesakitan dan itu sukses mengundang seorang polisi datang menghampiri kami. Dia berpura-pura menangis dan membiarkan Mila menjambaknya.Raka dan Ibu tampak kaget. Mereka hanya menyaksikan dan tak melakukan apa pun, hingga Lusi hanya mengaduh kesakitan, pasti akan membuat polisi langsung menghampiri mereka."Tolong, Pak. Dia menjambakku dengan keras dan mengancam akan membunuhku," rengek Lusi pura-pura sedih dan kesakitan.Mila terlihat kaget. Bola matanya bahkan membulat sempurna. Bodohnya, Mila masih dengan posisi menjambak Lusi."Kalau begini, dia akan saya tuntut dengan tuduhan penganiayaan dan pembunuhan berencana," lanjut Lusi membuat Mila langsung melepaskan tangannya dari rambut Lusi.'Ah, sial. Ternyata sakit juga. Dasar wanita jalang!' Mila akan membayar mahal atas semua ini."Sebaiknya, terdakwa segera dimasukkan ke sel, Bu. Agar tidak terjadi hal serupa. Dan untuk kejadian tadi, silakan Ibu masukkan dalam daftar tuntutan untuk Ibu Mila."Wajah Mila langsung p
Lusi mengendarai mobil dengan kecepatan yang lumayan kencang. Ini karena, dia harus secepatnya sampai ke rumah. Lusi takut Alia sudah pulang dari sekolah.Kejadian dan drama penggerebekan hingga ke kantor polisi terlalu alot, sampai banyak membuang waktunya yang berharga. Dia tidak mau sampai Alia celingukan sendiri karena tak ada orang di rumah.Hingga beberapa menit kemudian, Lusi sampai di kompleks perumahan. Dipelankan laju mobil ini saat rumahnya dikerumuni banyak orang. Jantungnya pun langsung berdegup dengan kencang. Bahkan, keringat dingin kontan datang dengan sendirinya. Otak Lusi langsung terpikirkan tentang Alia. Jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi pada anaknya!Saat Lusi hendak melewati rumah Bu Murni, tiba-tiba wanita paruh baya itu menghadang mobilnya. Wajahnya terlihat kalut. Dari luar mobil Bu Murni memberikan isyarat agar Lusi keluar dari mobil.Lusi tidak mengerti maksud dari wanita paruh baya itu. Tetapi, sepertinya ada yang sangat penting sampai dia bersikukuh
"Prank? Maksud Ibu bohongan?" tanya Alia sembari mengusap air mata di pipinya.Mata polos itu terlihat menuntut jawaban Lusi, dan itu membuat hatinya disayat-sayat. Dia hanya anak kecil, dan tak tahu apa-apa. Kenapa harus mengalami ini semua?Apakah Lusi juga bersalah dalam kejadian ini? Ya, memang benar. Harusnya dia tidak memberikan ruang bagi dua pengkhianat itu untuk saling mengenal.Bukan hanya itu saja, harusnya Lusi juga jangan terlalu percaya pada mereka. Kemungkinan terburuk itu pasti asa, tapi Lusi mengabaikan itu semua. Hingga sekarang, yang menjadi korbannya adalah anaknya sendiri. 'Maaf, Alia. Ibu benar-benar minta maaf.'"Bu?" Lusi terperanjat mendengar Alia memanggil. Sepertinya, dia malah melamun. Lusi harus tetap waras dan sadar. Ini semua demi anaknya juga."Iya, Sayang?""Apa benar semua itu hanya akting Ayah?" tanya Alia, sepertinya ingin memastikan.Lusi mengangguk cepat, dan meyakinkan anak itu kalau semua perkataannya adalah kebenaran.Dilirik Bu Murni yang se
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku
Di mobil, Maura langsung menelepon Bu Sinta. Untunglah wanita paruh baya itu memang sudah dari tadi menunggu. "Halo, Bu," ucap Maura saat menelepon. "Gimana? Kenapa kamu dari tadi susah banget dihubungi atau kamu nggak hubungi Ibu?" tanya Bu Sinta kesal sendiri."Sabar dulu, Bu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Ibu sebaiknya ikutin perkataanku. Ibu ke depan gerbang dan terlihat pura-pura menangis." "Apa maksudnya?" "Pokoknya, Ibu buat hal yang sedih aja. Soalnya Mas Raka menuju ke sana.""Terus, apa yang terjadi barusan?" "Nanti aku akan ceritakan, tapi sekarang Ibu jangan banyak tanya. Pokoknya Ibu pura-pura makan sama nasi aja atau digaramin atau apa kek, yang penting Ibu itu terlihat sedih dan menderita. Tapi Ibu harus ada di depan. Dengan begitu Mas Raka pasti tidak akan tega dan langsung menghampiri Ibu." "Begitu, ya?" "Iya, pokoknya Ibu ikuti semua perkataanku," ucap wanita itu yang langsung disetujui oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu sebenarnya tidak mengerti dengan
Raka masih diam, tidak tahu harus mengatakan apa, karena semuanya serba mendadak. Padahal sebelumnya pria itu berpikir kalau Winda akan dengan senang hati memberinya bantuan tanpa harus meminta apa pun darinya. Tetapi, semua itu ternyata salah. Winda tetap saja meminta hal yang rasanya mustahil dilakukan oleh Raka. Masalahnya Raka memang tidak punya perasaan kepada wanita ini, ditambah lagi kalau misalkan Mila tahu apa yang sudah dilakukan Raka maka rencana semula akan benar-benar hancur. Hanya saja, pria itu juga ingin bertemu dengan Alia. Bagaimana kalau misalkan Alia ternyata dibawa ke luar negeri oleh Lusi? Entah berapa lama dia akan memendam rasa rindu kepada anaknya itu. Semua ini seperti sebuah simalakama untuknya. Melihat diamnya Raka, Winda tersenyum sinis. Dia menghela napas panjang, tahu kalau semua ini sulit untuk Raka dan mungkin pada akhirnya pria ini akan menolak tawaran itu. Jadi, tidak ada alasan Winda untuk menerima semua permintaan Raka. "Baiklah, Mas. Kalau mema
Maura menutup mulut, tak menyangka. Dia ingin menjerit dan memprotes apa yang dikatakan oleh Winda. Jika memang Winda tidak mengejar Raka, maka dia tidak akan mendapatkan rumah kecuali kalau misalkan dia memberikan ancaman. Tetapi tetap saja wanita itu tidak bisa memanfaatkan Winda kalau wanita itu tidak mengejar Raka lagi. Ini akan berat untuknya, tapi Maura juga tidak bisa melakukan apa-apa selain diam dan mendengarkan pembicaraan mereka sampai selesai. Tidak lupa wanita itu menyetel rekaman keduanya. Dia melakukan ini demi sebuah keamanan dan juga materi. Karena bagaimanapun hidup di sini butuh uang, jadi Maura tidak mau menjual rasa kasihannya demi orang lain. "Kenapa, Mas? Kamu diam saja. Kamu tidak beranikan menentukan jaminan apa-apa?" Winda menghela napas panjang. "Mas, aku memang prihatin dengan apa yang terjadi kepadamu. Tapi seperti yang kamu bilang, semua ini berawal dari kamu sendiri, kan? Kalau memang kamu mau aku membantu bertemu dengan Alia, maka kamu harus menikah
Raka terperangah. Dia berusaha untuk meyakinkan diri kalau yang didengarnya itu hanyalah salah."Kamu bercanda, kan, Win?"Winda tampak serius. Kali ini bahkan tidak ada senyum sama sekali."Tidak, Mas. Aku serius." "Kenapa? Bukankah kamu selama ini mau mendekatiku. Kamu juga selalu membantu ibuku?" tanya Raka. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Padahal pria itu sudah sampai sembunyi-sembunyi untuk pergi dari Mila. Pagi-pagi sekali bertemu dengan Winda, berharap kalau wanita ini bisa membantunya.Sementara itu Maura hanya terdiam dan berusaha untuk mendengarkan apa yang terjadi, karena bagaimanapun ini informasi penting. Dia akan meminta harga yang mahal kepada kakaknya atas semua ini. "Iya, Mas. Aku memang selalu membantumu. Aku juga membantu Ibu jika itu adalah kebaikan, tetapi untuk masalah Lusi, tidak." "Kenapa? Apakah kamu takut aku kembali kepada Lusi atau memang kamu berharap aku memberikan hadiah?" Lagi, kalimat tadi itu langsung m
"Bantuan? Bantuan apa, Mas?" tanya Winda.Dia mengajukan pertanyaan itu karena Winda juga tidak tahu harus melakukan apa. Sebab dirinya merasa ragu, apakah bisa membantu pria ini atau tidak. Raka terlihat senyum merekah. Entah kenapa itu malah membuat Winda khawatir kalau Raka akan meminta hal yang aneh kepadanya. "Benar kamu bisa membantuku, kan?" tanya Raka memastikan dulu. Sekarang Winda tersenyum kaku. Dia juga bingung apakah harus mengiyakan atau menggelengkan kepala, karena wanita ragu apa yang diinginkan oleh pria ini."Tolong bantu aku mencari Lusi dan Alia." "Apa?!" Seketika wajah yang sebelumnya terlihat khawatir dan bingung berubah menjadi kaget ada rasa kecewa yang menusuk dalam dada. Maura yang mendengarnya pun menutup mulut, hampir saja bersuara. Ternyata Raka masih memikirkan perihal Lusi, sampai meminta semua ini kepada Winda yang bukan siapa-siapa. Winda hanya bisa terdiam saja. Dia tidak tahu harus memberikan reaksi apa, karena ini sudah memastikan kalau Raka
"Kamu serius, Mas? Kamu tidak salah lihat atau mungkin tetanggamu itu pura-pura tidak tahu?" tanya Winda tiba-tiba saja membuat Raka terdiam. Raka baru terpikir, bisa saja Bu Murni itu memang sebenarnya tahu ke mana Lusi berada, tetapi tampaknya disembunyikan. Namun demikian, Raka tidak mungkin memaksa wanita paruh baya itu untuk berbicara jujur. Yang ada dia bisa dipidanakan, karena sudah melakukan pemaksaan kepada orang tua. "Aku juga tidak tahu, mungkin sesuatu itu terjadi. Tapi yang pasti, saat ini aku tidak punya informasi apa pun. Nomorku diblokir orang, pasti aku tidak bisa melacak keberadaan anakku," ungkap Raka, semakin frustrasi. Membuat Maura akhirnya paham apa yang sebenarnya terjadi kepada Raka, sampai pria itu akhir-akhir ini memilih untuk diam saja."Ya, Mas. Aku paham posisi kamu. Kamu pasti merasa hampa dan takut kehilangan Alia, kan?" "Tentu saja, Winda. Aku benar-benar tidak bisa kehilangan anakku. Dari kecil aku mengasuhnya. Aku memberikan kasih sayang berlimpa
Raka dan Winda memesan tempat di pojokan. Dia tidak mau sampai ada orang yang melihat keberadaan mereka, terlebih mungkin mata-mata yang akan mengambil foto Raka dan juga Winda. Raka sudah memperkirakan ini, tapi dia tidak sadar kalau dirinya sudah dari tadi diikuti oleh Maura. Maura tidak mau kalah. Dia akhirnya membayar argo taksi dan memilih untuk mengikuti keduanya. Dia kembali memakai hoodie dan kacamata, lalu duduk tak jauh dari tempat itu. Tentu saja posisinya membelakangi keduanya, takut diketahui identitasnya oleh Raka ataupun Winda. Raka memesan makanan yang cukup mewah di sana, membuat Winda keheranan. Karena dia tahu kalau Raka itu pasti mendapatkan uang dari Mila. Tetapi wanita itu tidak mau melukai harga diri sang pria dan memilih untuk diam saja. Dia akan tunggu apa saja yang diinginkan oleh Raka. Bahkan di mobil saja pria itu sudah meminta sesuatu kepada Winda. Mungkin saja pembicaraan ini pun penting. Meskipun dia tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh sang pria,