“Kenapa kamu tidak bilang kepadaku?!” tanya Devan, malah ikutan kesal pada Maura.Gadis itu mendelik, greget juga. Harusnya sang pria tahu kalau dirinya masih kesal perihal pemecatannya di restoran milik sang pria.“Buat apa? Mas Devan saja sudah memecatku, jadi untuk apa aku memberi informasi itu.”Devan menoleh dengan wajah tak percaya. Sang pria sampai tak bisa berkata-kata. Di saat seperti ini Maura malah membicarakan perihal pekerjaan.Padalah bagi sang gadis itu bukan hanya sekedar pekerjaan belaka, tapi sebuah usaha untuk mendekati pria yang disukainya.“Kalau masalah itu, kita bahas nanti. Sekarang, fokus ngurusi mereka dulu. Oke?”Maura hanya diam saja dan melihat ke depan. Sesekali melirik ke samping. Walaupun dalam keadaan seperti ini, tapi Maura sudah sangat senang.Kapan lagi bisa semobil dengan Devan? Berdua pula. Hatinya benar-benar merasa bahagia, berharap momen seperti ini terus terulang.Sementara itu selama dalam perjalanan, Raka terus mengobrol dengan Lusi. Bahkan
Mila membulatkan mata saat membaca isi surat tes DNA tersebut. Tangannya bergetar dengan mata berkaca-kaca. Melihat reaksi Mila, jantung Raka kembali berdetak dengan sangat kencang. Ada ketakutan yang begitu kentara di wajah sang pria.Sementara Lusi yang melihat itu kebingungan. Di sisi lain, Devan dan Maura menunggu dengan gelisah. Keduanya punya harapan berbeda. Sang pria mau Mila itu mengandung anak Raka. Dengan begitu Lusi tidak bisa kembali kepada Raka.Sementara, Maura berharap Mila tidak mengandung anak Raka. Agar Lusi dan Raka kembali bersama. Dengan begitu, Devan tidak akan bisa mendekati wanita itu lagi.“Apa hasilnya?” tanya Raka, karena sedari tadi Mila masih saja diam.Melihat wanita itu tidak juga bergerak, Raka dengan cepat merebut kertas itu. Mila sempat kaget dan tersadarkan. Sang wanita berusaha untuk meraih kertas itu lagi, tapi dihalangi oleh Raka.“Sinikan kertasnya, Mas!” seru Mila, berusaha menghalangi Raka agar tidak membaca isinya.Lusi hanya mundur beberapa
Devan melihat kepergian mobil Lusi dari kejauhan. Wajah pria itu sudah tak karuan. Berbagai rasa bercampur aduk jadi satu. Devan merasa sangat hancur, ini lebih menyakitkan dari kehilangan istrinya sendiri.Mungkin karena Devan menyimpan perasaan pada Lusi sudah sejak lama. Jadi, rasa kecewanya sangat terasa. Melihat itu Maura juga merasa kasihan, sekaligus senang. Di saat seseorang sedang terpuruk seperti ini, pasti mudah untuk dihasut.Sang gadis mengusap pundak sang pria dengan pelan. “Mas, kita harus pergi. Tidak mungkin kan kita di sini terus?”Devan menoleh pada gadis itu dengan wajah frustrasi. “Kita harus mengikuti mereka,” ujar Devan, dengan suara bergetar.Kalau saja tidak malu, mungkin pria itu akan menangis. Tetapi, Devan tidak mau kehilangan jejak sang wanita.“Tidak perlu, Mas. Mereka pasti pergi ke kantor.”“Bagaimana kamu tahu?”“Ya, kan Mbak Lusi banyak kerjaan sampai dibawa ke rumah. Pasti ke kantor. Sebaiknya Mas juga berangkat ke restoran.”Jangankan kerja, Devan
Selang beberapa menit kemudian mereka pun sudah sampai di rumah Devan. Maura membayar argo dari uang yang sebelumnya diberikan oleh Devan.“Pak, tolong bantu saya.”Devan yang masih saja meracau dipapah oleh sopir itu. Untunglah gerbang rumah Devan tidak dikunci, jadi bisa masuk dengan mudah. Sang gadis sempat tercengang melihat halaman rumah Devan yang luas dan indah.“Ini mau dibawa ke mana, Non?”Maura terkesiap. Hampir saja lupa sebab melihat keindahan rumah Devan.“Bawa masuk saja, Pak. Ayo!”Maura menemukan kunci rumah Devan dari saku jas dalam pria itu. Sang gadis tidak boleh terlihat mencurigakan di depan sopir, bisa-bisa dia dicurigai.Setelah berhasil masuk rumah, Maura meminta agar Devan dibiarkan di sofa.“Terima kasih, ya, Pak.”“Sama-sama, Non. Kasihan Mas nya, jaga baik-baik kakaknya, Non.”Maura hanya bisa menganggukkan kepala saja. Setelah kepergian sopir taksi, Maura malah melihat ke sekeliling rumah Devan yang mewah dan estetik.“Wah, ini sih lebih bagus dari rumah
“Maura?!” tanya Devan, sedikit menaikkan nada bicara.Sebab sedari tadi Maura hanya diam saja. Malah terlihat berpikir dan gelisah.“A-aku takut, Mas,” ucap Maura, tergagap dan gugup.Devan mengusap kasar wajahnya, entah untuk kesekian kalinya. Kalau Maura tidak menceritakan semuanya, bagaimana bisa dia tahu semua kejadian itu.Sang pria melihat jam di nakas dekat ranjang. Sudah jam 2 siang. Hari ini dia belum ke restoran. Sang pria melihat ponsel di dekat jas tergeletak di sofa, pinggir Maura berada.Ada banyak panggilan, salah satunya dari Arya dan Amanda. Pasti semua orang sedang mencarinya. Tetapi, dia tidak bisa keluar rumah tanpa mendengar keterangan dari Maura.Sang pria kembali menatap Maura dengan wajah tenang, meskipun hati dan pikirannya sedang benar-benar kacau.“Kamu jangan takut. Aku tidak akan melakukan apa-apa kepadamu. Aku hanya ingin tahu, bagaimana semua ini bisa terjadi, ya?”Maura tidak langsung menjawab, tetapi memberikan tatapan memelas dan sedih. Setelahnya, sa
“Lalu, aku bagaimana, Mas? Siapa yang akan menerimaku, jika keadaanku sudah tidak virgin lagi?”Wajah wanita itu tampak frustasi. Dia memikirkan nasib ke depannya.“Aku juga butuh status dan seorang pendamping hidup, Mas. Aku tidak mau sendiri. Percuma kalau kamu memberiku materi berlimpah, tapi tanpa status. Apa bedanya aku sama simpanan, Mas.”Devan sudah benar-benar bingung. Kalau Maura sudah bersikukuh seperti ini, sang pria harus mencari cara lain agar wanita itu mau mengerti kondisinya.“Ra, kalau kamu menikah denganku juga percuma. Kita tidak akan bahagia, tidak ada perasaan dalam hubungan itu.”Maura berdecak. Selalu saja ada alasan, intinya pria itu tidak mau menerimanya.“Kamu juga masih di bawah umur, aku tidak bisa menikahimu.”Maura sudah lelah berdebat dengan Devan. Sang wanita pun memilih untuk memungut pakaian yang berserakan dan membersihkan diri di kamar mandi.Melihat tingkah Maura yang diam saja, membuat Devan bingung. Dia belum mendapat jawaban dari sang wanita. B
“Ah, tidak apa-apa. Maksudnya, ide untuk membawa Lusi ke rumah sakit itu benar. Jadi, si Mila harus mau menerima kenyataan ini.”Raka hanya ber-oh ria saja. Yang terpenting baginya, sekarang Lusi sudah mau dengan sang pria.“Ya sudah, Bu. Aku harus kembali kerja.”Panggilan itu pun diakhiri. Bu Sinta tersenyum sinis, penuh arti. Dia merasa puas sekali.“Untunglah aku cepat-cepat ke rumah sakit pagi itu. Jadi, masih sempat untuk mengganti surat tes DNA.”Ternyata sebelumnya saat pagi hari Bu Sinta pergi, wanita paruh baya itu pergi ke rumah sakit untuk menyogok petugas yang berjaga agar mengganti hasil tes DNA. Kebetulan, pagi itu dokter yang bertugas di sana belum datang.Awalnya sulit, tapi setelah menaikkan harga menjadi 2x lipat, akhirnya berhasil juga. Sebagai timbal baliknya, Bu Sinta harus kehilangan uang simpanannya. Untuk mengganti itu semua, lagi-lagi sang wanita paruh baya harus melerakan barang branded-nya.“Gak apa-apa lah, yang penting anakku kembali sama Lusi. Nanti juga
Dengan keadaan yang kacau, Mila masih berusaha untuk tetang tenang dan mengendalikan diri sendiri. Wanita itu sadar, kalau dirinya sudah tidak punya siapa-siapa di sini. Tidak ada yang bisa diandalkan kecuali diri sendiri.“Aku sudah keluar banyak untuk tes ini. Tapi, kalau hasilnya janggal, tentu saja tak bisa aku terima begitu saja.”Mila memejamkan mata dan berusaha untuk kembali tenang, agar bisa berpikir jernih. Sang wanita yakin pasti ada yang salah di sini.Terlebih sebelumnya Bu Sinta yang awal mula meminta tes DNA dilakukan. Pasti, wanita tua itu yang sudah mengacaukan semuanya.Mila tidak tahu apa yang salah. Tetapi, dia akan memulai semuanya dari rumah sakit itu. Sang wanita akan menyelidikinya lagi.Mila tidak mau menunggu lama. Sampai sang wanita pun mengambil keputusan untuk kembali ke rumah sakit, untuk bertemu dengan dokter yang mengambil sampel DNA dari bayi yang ada dalam kandungannya waktu itu.Selama perjalanan ke rumah sakit, Mila sangat gusar. Ada ketakutan yang
"Iya, Mas. Aku sadar, aku sangat sadar apa yang aku katakan barusan. Memangnya kenapa? Jujur, aku tidak suka dengan ibumu. Ibumu itu mata duitan. Heran saja, kenapa Lusi dulu itu mau sekali mengikuti kemauannya. Mantan istrimu itu bodoh!" Plak!Tiba-tiba saja Raka langsung menampar Mila. Maura yang tadi hendak masuk pun langsung mundur lagi dan bersembunyi di balik tembok. Dia menutup mulutnya melihat kakaknya ditampar oleh Raka. Mila pun demikian. Wanita itu langsung memegangi pipinya dengan wajah kaget. Bahkan, mulutnya terperangah, tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh suaminya barusan. "Kamu menamparku, Mas?" Tangan Raka bergetar. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang. Untuk pertama kalinya dia menampar seorang wanita. Selama hidupnya dia tidak pernah main tangan dengan seorang wanita. Kepada Lusi tidak pernah atau kepada siapa pun yang membuat hatinya jengkel. Tetapi, entah kenapa kali ini rasanya hatinya sudah mendidih. Dia benar-benar emosi dengan semua apa pun y
"Apa di otakmu itu hanya terpikirkan kalau aku ini berkhianat dan kejelekanku saja, Mila?" tanya Raka.Akhirnya Raka bersuara, sudah tidak kuasa. Tetapi dia berusaha untuk tetap mendam emosinya dengan berkata tanpa menaikkan nada bicara. "Bagaimana aku tidak curiga, Mas? Dan bagaimana aku tidak berpikir tentang kejelekanmu? Kamu tidak pamit kepadaku dan aku juga tidak tahu kamu pergi ke mana, ditambah kamu tidak menerima teleponku. Bagaimana aku bisa berpikiran positif kepadamu? Coba saja! Semua wanita dan istri di seluruh dunia akan berpikiran macam-macam kalau kamu melakukan hal itu, Mas!"Mila berucap dengan bahu naik turun, menandakan kalau wanita ini sedang benar-benar emosi. Raka memejamkan mata, berusaha untuk tetap tenang dan menahan emosinya agar tidak meledak. Bagaimanapun wanita ini sedang mengandung anaknya. Dia tidak boleh membuat Mila stress dan akan berakibat fatal kepada anaknya itu. "Dengar, Mila. Aku sudah bilang kemarin, kan? Aku ke rumah Ibu." "Oh, ya? Mana buk
"Aaah, sial!"Mila berteriak sembari membanting semua barang-barang yang ada di kamarnya. Ini sudah jam 08.00 pagi, tapi dia belum mandi dan sarapan. Perutnya yang terasa lapar pun tak dipedulikan, dari tadi sudah termakan emosi. Padahal berkali-kali dia menghubungi Raka, tapi tak ada sahutan. Ditambah Maura juga tidak ada di sini.Kecurigaan menyeruak dalam dada, mungkin saja kedua orang itu kabur darinya dan meninggalkan Mila sendirian bersama anak yang ada dalam kandungan. Membayangkannya saja yang membuat dia merasa terbakar. Ingin sekali memaki atau menyakiti dua orang itu. "Kenapa tidak ada satu pun orang yang mengerti posisiku di sini?! Aku sedang hamil, tapi tak ada yang mau berusaha untuk mengikuti semua kemauanku!" seru Mila dengan berteriak.Dia mengacak rambutnya dan menangis. Ini benar-benar memuakkan untuknya. Harusnya Raka itu mengangkat telepon dan memberi kabar di mana sang pria berada. Tak masalah kalau misalkan pria itu pergi ke tempat lain, asalkan Raka memberi k
"Karena Mila itu beda dengan Lusi. Mau seperti apa pun aku berusaha menyamakan Mila dan Lusi atau mengubahnya, itu mustahil, Bu. Mila ya Mila. Lusi ya Lusi, tidak bisa disamakan," ungkap Raka. Dia tidak suka kalau misalkan ada yang membanding-bandingkan dan menyuruh Mila sesuai dengan Lusi, karena mantan istrinya itu tidak ada duanya. Tak bisa ada yang menyamai sifat Lusi yang begitu baik hati."Kalau begitu untuk apa kamu melanjutkan hubungan dengan Mila? Kalau kamu alasannya anak, percaya pada Ibu, hati kamu tidak akan pernah bisa tenang dan anakmu juga akan punya trauma karena kalian menikah dengan terpaksa.""Bu.""Raka, dengarkan Ibu. Ibu tahu kamu tidak percaya kepada Ibu karena kejadian-kejadian kemarin, tapi kali ini Ibu benar-benar melakukan semua ini karena kebaikanmu. Ibu yakin, Mila itu bukan wanita yang baik. Coba kamu pikirkan ulang perkataan Ibu, jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari." Raka tidak mau menanggapi perkataan Bu Sinta dan memilih untuk mengeluarkan
Seketika Raka terdiam. Dia melihat ibunya dengan tatapan bingung, tapi Bu Sinta saat ini begitu serius memandangi Raka dan berusaha untuk meyakinkan anaknya agar meninggalkan Mila."Apa maksudnya, Ibu? Aku meninggalkan Mila dan calon anakku?" tanya Raka, wajahnya berubah menjadi serius. "Iya, kamu benar.""Tidak bisa, Bu. Di dalam kandungan Mila itu ada anakku. Bukankah tes DNA sudah membuktikan kalau dia itu adalah anakku? Aku tidak bisa meninggalkan anakku, tidak bisa." Sesuai dengan perkiraan Bu Sinta, kalau pria ini tidak akan pernah tega meninggalkan anaknya. Sisi lain dari Raka itu sangat menyayangi darah dagingnya sendiri, meskipun Mila adalah wanita yang benar-benar memuakkan. "Ya, Ibu tahu kamu sangat menyayangi anakmu, tapi juga pikirkan ke depannya. Kamu akan terus-terusan dikekang oleh Mila. Kamu tidak akan betah kalau terus-terusan begini. Percaya pada Ibu. Mila itu bukan wanita yang baik untuk dijadikan seorang istri," ucap Bu Sinta mengatakan ini dengan sepenuh hati,
Raka menundukkan kepala dengan menutupi wajahnya. Terdengar suara sesenggukan begitu menyakitkan. Tiba-tiba saja Bu Sinta merasa kalau dirinya saat ini benar-benar melihat anaknya yang masih kecil. Raka yang begitu polos dan memohon agar apa yang diinginkannya dikabulkan.Sudah cukup lama dia tidak melihat sisi rapuh anaknya sendiri."Aku bingung, Bu. Aku harus bagaimana? Semua orang menghimpitku, menyalahkanku seolah-olah aku ini adalah orang yang paling berdosa di sini. Aku tidak ingin hal yang lebih, Bu. Aku ingin kembali kepada Lusi dan hidup seperti dulu bersama anakku. Tapi, itu juga tidak bisa. Sekarang yang aku inginkan adalah bertemu dengan Alia. Dia anakku, dia adalah hidupku. Jika aku sekarang hancur karena perbuatanku dulu, setidaknya ada anakku yang bisa menguatkanku untuk tetap bertahan dan melanjutkan hidup," ungkap Raka, kembali sesenggukan. "Kenapa, Bu? Kenapa Ibu tidak bisa mengerti dengan keadaanku saat ini? Aku menghukum Ibu karena memang Ibu sudah sangat keterlal
Bu Sinta kembali pura-pura menangis, karena dia akan benar-benar membuat anaknya merasa bersalah sebab sudah meninggalkannya. "Jadi, karena itu kamu berani mengusir Ibu? Kamu meninggalkan Ibu karena wanita itu?" tanya Bu Sinta dengan mata berkaca-kaca.Raka langsung menggelengkan kepala, menghela napas berkali-kali dan berusaha untuk tenang. Di hadapannya ini adalah ibunya sendiri. Dia harus membuat Bu Sinta mengerti, kalau dirinya punya tujuan tertentu dan tidak sembarangan melakukan hal-hal itu. "Bu, Kalau boleh jujur. Dari dulu saat aku bersama Lusi sudah berkali-kali aku ingatkan, Ibu tolong jaga sikap. Jangan terlalu banyak meminta uang kepada Lusi dan apa pun yang membuat Lusi mungkin merasa terbebani, tapi apa? Jawaban Ibu selalu saja memaksakan kehendak. Itu pun aku tetap diam, karena memang Lusi tidak mempermasalahkan itu. Tapi kemarin, aku hampir saja benar-benar kehilangan Lusi karena ide Ibu, kan? Apa Ibu tidak merasa bersalah kepadaku?" Sekarang giliran Raka mengungkap
Bu Sinta tetap diam di teras dan duduk dengan wajah sendu. Dia melihat ke sekeliling, mengecek mungkin ada Maura. Tetapi entah itu ada Maura atau tidak, yang penting saat ini rencananya sudah berhasil. Berharap kalau kali ini Raka mau mendengarkan ibunya. Saat ini pria itu sedang mengambil minum ke dalam. Setelah datang dia meminta ibunya untuk hati-hati meneguk air yang bersedia. Setelah itu Raka duduk di depan ibunya. Dia menatap Bu Sinta sedemikian rupa, takut jika ibunya itu terluka. "Ibu, nggak apa-apa, kan? Apa ada yang terluka?" tanya Raka, yang langsung digelengi kepala oleh Bu Sinta.Wanita paruh baya itu mengusap pipi anaknya dengan sangat pelan dan juga penuh perasaan. "Akhirnya kamu pulang juga, Nak. Entah sudah berapa lama. Ibu merasa kangen sama kamu, sulit sekali untuk bertemu dengan kamu. Tapi kamu datang ke sini untuk bertemu Ibu? Benar-benar ibu merasa senang," ungka Bu Sinta, kali ini ucapannya dicampur dengan kebohongan. Karena itu terlalu berlebihan jika diung
Raka tampaknya masih ragu untuk menghampiri Bu Sinta, karena dia tahu kalau ibunya itu sangat licik. Bisa saja Bu Sinta itu sedang pura-pura. Tetapi dia berpikir ulang, mana mungkin ibunya bisa berpura-pura sementara wanita paruh baya itu belum tahu kalau dirinya akan datang ke sini.Raka masih menganalisis Bu Sinta dari jauh. Wanita itu masih terus menangis dan berpura-pura sedih, mengatakan hal yang macam-macam. Membuat Raka semakin tak enak hati.Di sisi lain, Maura mulai merekam kejadian itu. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Raka. Kalau misalkan memang pria itu mudah sekali terhasut, maka dipastikan saat ini Raka akan menghampiri ibunya. Wanita itu kesal sekali karena dari tadi Raka hanya mematung dan meneliti apa yang dilakukan Bu Sinta di sana. Begitu juga dengan sang wanita paruh baya, dalam hati menggerutu. Kenapa Raka hanya diam di situ saja? Tidak menghampirinya. Tampaknya dia harus benar-benar membuat kejadian yang ekstrem, agar anaknya itu mau menghampirinya. "Aku