“Ah, tidak apa-apa. Maksudnya, ide untuk membawa Lusi ke rumah sakit itu benar. Jadi, si Mila harus mau menerima kenyataan ini.”Raka hanya ber-oh ria saja. Yang terpenting baginya, sekarang Lusi sudah mau dengan sang pria.“Ya sudah, Bu. Aku harus kembali kerja.”Panggilan itu pun diakhiri. Bu Sinta tersenyum sinis, penuh arti. Dia merasa puas sekali.“Untunglah aku cepat-cepat ke rumah sakit pagi itu. Jadi, masih sempat untuk mengganti surat tes DNA.”Ternyata sebelumnya saat pagi hari Bu Sinta pergi, wanita paruh baya itu pergi ke rumah sakit untuk menyogok petugas yang berjaga agar mengganti hasil tes DNA. Kebetulan, pagi itu dokter yang bertugas di sana belum datang.Awalnya sulit, tapi setelah menaikkan harga menjadi 2x lipat, akhirnya berhasil juga. Sebagai timbal baliknya, Bu Sinta harus kehilangan uang simpanannya. Untuk mengganti itu semua, lagi-lagi sang wanita paruh baya harus melerakan barang branded-nya.“Gak apa-apa lah, yang penting anakku kembali sama Lusi. Nanti juga
Dengan keadaan yang kacau, Mila masih berusaha untuk tetang tenang dan mengendalikan diri sendiri. Wanita itu sadar, kalau dirinya sudah tidak punya siapa-siapa di sini. Tidak ada yang bisa diandalkan kecuali diri sendiri.“Aku sudah keluar banyak untuk tes ini. Tapi, kalau hasilnya janggal, tentu saja tak bisa aku terima begitu saja.”Mila memejamkan mata dan berusaha untuk kembali tenang, agar bisa berpikir jernih. Sang wanita yakin pasti ada yang salah di sini.Terlebih sebelumnya Bu Sinta yang awal mula meminta tes DNA dilakukan. Pasti, wanita tua itu yang sudah mengacaukan semuanya.Mila tidak tahu apa yang salah. Tetapi, dia akan memulai semuanya dari rumah sakit itu. Sang wanita akan menyelidikinya lagi.Mila tidak mau menunggu lama. Sampai sang wanita pun mengambil keputusan untuk kembali ke rumah sakit, untuk bertemu dengan dokter yang mengambil sampel DNA dari bayi yang ada dalam kandungannya waktu itu.Selama perjalanan ke rumah sakit, Mila sangat gusar. Ada ketakutan yang
“Apa maksud dari perkataanmu tadi, hah?!” tanya Bu Sinta to the point.Mila tidak langsung menjawab pertanyaan Bu Sinta, melainkan melihat ke sekitar. Mencari tempat yang sekiranya cocok untuk menempatkan penyadap itu.“Heh! Jawab! Kenapa kamu diam saja? Ayo, katakan apa maksud ucapanmu barusan?!”Bu Sinta benar-benar takut kalau Mila tahu yang sesungguhnya. Bisa-bisa wanita hamil itu melakukan sesuatu yang merugikan dirinya dan Raka.‘Kayanya kalau di ruang tamu enggak cocok. Harus cari tempat yang sekiranya bisa kusimpan dengan aman dan memungkinkan wanita tua ini berbicara,’ gumam Mila dalam hati.Wanita hamil itu lalu berjalan ke ruang tengah, membuat Bu Sinta keheranan sendiri bercampur kaget. Sebab wanita paruh baya itu tak menjawab pertanyaannya.“Heh, ngapain kamu ke situ?!” seru Bu Sinta mengikuti langkah Mila.Sang wanita masih enggan menjawab pertanyaan Bu Sinta, masih fokus melihat ke sekitar. Sampai Mila melihat vas bunga yang ada di sebelah TV. Posisinya trategis dan mas
“Jadi, apa tujuan kedatanganmu ke sini?” tanya seorang pria yang memakai ikat kepala dari batik dan pakaian serba hitam.Mila meneguk saliva dengan susah payah. Untuk pertama kalinya dia mendatangi ‘orang pintar.’ Kalau bukan karena rasa penasaran sebab perubahan Lusi yang mendadak, wanita hamil itu tidak mau melakukan ini semua.“Saya mau cari tahu, apakah teman saya kena ilmu hitam. Soalnya, tiba-tiba saja sikapnya berubah dan aneh.”“Boleh saya lihat foto, nama dan tanggal lahirnya?”Mila langsung menganggukkan kepala. Dia membuka ponselnya. Untunglah masih punya foto Lusi saat mereka masih berteman.Setelah Mila memberitahukan apa yang ditanyakan oleh pria itu, sang dukun pun langsung membacakan mantra sembari memejamkan mata. Hingga tak lama kemudian, hasil yang diharapkan Mila keluar juga.“Benar, temanmu ini kena pelet asihan. Tapi, pelet ini lemah dan bisa dihilangkan.”Mendengar itu, Mila kaget dan senang secara beramaan. Bagaimana tidak? Kecurigaannya ternyata benar, ada yan
Entah sudah berapa lama Adiba mondar-mandir di kamarnya. Sesekali berdecak dengan wajah frustrasi. Dia yakin, Lusi itu sedang dalam masalah. Tetapi, dia tidak tahu harus melakukan apa.Hingga Adiba menyerah dan memilih untuk tidur. Besok harus pergi bekerja dan dia tidak bisa hanya memikirkan Lusi saja.Keesokan harinya, Lusi sudah berangkat duluan dengan Alia, menyisakan Maura dan Adiba. Bahkan hari ini Lusi yang membuatkan sarapan untuk mereka, ada catatan atas meja. Lusi mengatakan akan pulang telat dan makanan itu untuk mereka berdua.Adiba hanya bisa menghela napas berat, lalu melihat pada Maura yang sudah makan duluan dengan wajah murung. Wanita itu bahkan belum mandi dan masih memakai piyama.“Kamu gak sekolah?” tanya Adiba, membuat Maura mendongak.“Lagi gak enak badan,” jawab Maura sekenanya.Adiba menautkan kedua alisnya, menelisik penampilan wanita itu yang memang agak lain. Tetapi, Adiba tidak mau memikirkan itu dulu dan memilih untuk mengurusi Lusi.Sebenarnya, Maura buka
“Sial! Padahal tinggal sedikit lagi, aku pasti bisa membuat Lusi sadar. Tapi, malah seperti ini. Enggak! Aku tidak bisa seperti ini. Apa pun yang terjadi, Lusi harus tetap pisah dengan Mas Raka.”Wanita hamil itu duduk di kursi kebesarannya. Dia memikirkan apa yang harus dilakukan. Ternyata, hanya bisa langsung mendatangi rumah Lusi di saat tidak ada orang.Dia tidak tahu tentang keberadaan Adiba dan Maura di rumah itu. Jadi, tanpa berpikir panjang langsung pergi ke tempat tujuan.Sesampainya di sana, betapa terkejutnya saat melihat seorang perempuan keluar dari rumah Lusi. Orang itu adalah Adiba. Kebetulan saat itu, sang gadis pulang sebenatar untuk mengambil file penting.Gara-gara memikirkan Maura dan Lusi, dia sampai lupa dengan pekerjaannya sendiri. Setelah Adiba masuk mobil, Mila menunduk di balik kemudi, jangan sampai gadis itu melihatnya.“Tunggu, itu siapa? Aku yakin, teman Lusi itu hanya aku. Jangan-jangan rumah ini dijual?”Mila merasa telah melewatkan sesuatu. Selama ini t
“Jangan diam saja. Kalau kamu mau jujur, sebaiknya katakan. Aku akan membantumu.”Arya tentu saja tidak sungguh-sungguh mengatakan itu semua. Dia punya niat terselubung. Melihat Devan yang tampak kacau dengan tingkahnya pada Maura, itu bisa dijadikan senjata tambahann agar Devan semakin hancur.Ini pasti akan menyiksa pria itu, karena harus menikahi seorang wanita yang tidak dicintai. Bukankah itu sangat menyiksa dibandingkan tidak menikah atau mencintai wanita lain dengan diam-diam?“Maksudnya?”Maura yang awalnya memilih untuk bungkam pun terpancing dengan tawaran yang diberikan oleh sang pria. Seperti mendapat secercah cahaya untuk mendapatkan hak atas tanggung jawab dari Devan.“Ya, aku akan membantumu mendapatkan Devan. Kamu tidak mau rugi sendiri, kan?”Maura menggulum bibir, seperti sedang berpikir keras. Satu hal terlintas di benak, apakah Arya melakukan ini dengan niat baik atau ada niat terselubung lainnya?“Kalau kamu masih diam, aku anggap kamu menolak tawaranku, ya.”Arya
Adiba masih diam, tampak syok. Gadis itu menatap mata Mila yang terlihat datar. Masih berusaha untuk mencerna kalimat yang baru saja dikatakan oleh Mila.“Haha, jangan bercanda kamu! Aku yakin, ini hanya akal-akalanmu saja, kan?”Mila memejamkan mata sembari menghela napas kasar. Sulit sekali meyakinkan orang ini. Kalau saja tidak ingat kalau dirinya harus mempertahankan Raka, tidak mungkin Mila melakukan semua ini. Seperti merendahkan diri sendiri.‘Tahan ... tahan! Demi Mas Raka dan bayi ini,’ gumam Mila dalam hati.“Jadi, menurutmu aku sedang bercanda? Ya, itu terserah padamu, sih. Aku juga malas bahas ini, tapi aku mengatakan ini semua demi bayi yang ada dalam kandunganku.”Adiba kembali terdiam. Dia juga berpikir demikian, untuk apa Mila datang padanya yang memang tidak saling kenal kalau bukan karena kepentingan mendesak.“Kalau benar begitu, kenapa kamu datang ke sini? Tidak langsung saja temui Lusi.”Mereka berdua malah mengobrol dan terkesan sedang berdabat, padahal ini masih