Devan melihat kepergian mobil Lusi dari kejauhan. Wajah pria itu sudah tak karuan. Berbagai rasa bercampur aduk jadi satu. Devan merasa sangat hancur, ini lebih menyakitkan dari kehilangan istrinya sendiri.Mungkin karena Devan menyimpan perasaan pada Lusi sudah sejak lama. Jadi, rasa kecewanya sangat terasa. Melihat itu Maura juga merasa kasihan, sekaligus senang. Di saat seseorang sedang terpuruk seperti ini, pasti mudah untuk dihasut.Sang gadis mengusap pundak sang pria dengan pelan. “Mas, kita harus pergi. Tidak mungkin kan kita di sini terus?”Devan menoleh pada gadis itu dengan wajah frustrasi. “Kita harus mengikuti mereka,” ujar Devan, dengan suara bergetar.Kalau saja tidak malu, mungkin pria itu akan menangis. Tetapi, Devan tidak mau kehilangan jejak sang wanita.“Tidak perlu, Mas. Mereka pasti pergi ke kantor.”“Bagaimana kamu tahu?”“Ya, kan Mbak Lusi banyak kerjaan sampai dibawa ke rumah. Pasti ke kantor. Sebaiknya Mas juga berangkat ke restoran.”Jangankan kerja, Devan
Selang beberapa menit kemudian mereka pun sudah sampai di rumah Devan. Maura membayar argo dari uang yang sebelumnya diberikan oleh Devan.“Pak, tolong bantu saya.”Devan yang masih saja meracau dipapah oleh sopir itu. Untunglah gerbang rumah Devan tidak dikunci, jadi bisa masuk dengan mudah. Sang gadis sempat tercengang melihat halaman rumah Devan yang luas dan indah.“Ini mau dibawa ke mana, Non?”Maura terkesiap. Hampir saja lupa sebab melihat keindahan rumah Devan.“Bawa masuk saja, Pak. Ayo!”Maura menemukan kunci rumah Devan dari saku jas dalam pria itu. Sang gadis tidak boleh terlihat mencurigakan di depan sopir, bisa-bisa dia dicurigai.Setelah berhasil masuk rumah, Maura meminta agar Devan dibiarkan di sofa.“Terima kasih, ya, Pak.”“Sama-sama, Non. Kasihan Mas nya, jaga baik-baik kakaknya, Non.”Maura hanya bisa menganggukkan kepala saja. Setelah kepergian sopir taksi, Maura malah melihat ke sekeliling rumah Devan yang mewah dan estetik.“Wah, ini sih lebih bagus dari rumah
“Maura?!” tanya Devan, sedikit menaikkan nada bicara.Sebab sedari tadi Maura hanya diam saja. Malah terlihat berpikir dan gelisah.“A-aku takut, Mas,” ucap Maura, tergagap dan gugup.Devan mengusap kasar wajahnya, entah untuk kesekian kalinya. Kalau Maura tidak menceritakan semuanya, bagaimana bisa dia tahu semua kejadian itu.Sang pria melihat jam di nakas dekat ranjang. Sudah jam 2 siang. Hari ini dia belum ke restoran. Sang pria melihat ponsel di dekat jas tergeletak di sofa, pinggir Maura berada.Ada banyak panggilan, salah satunya dari Arya dan Amanda. Pasti semua orang sedang mencarinya. Tetapi, dia tidak bisa keluar rumah tanpa mendengar keterangan dari Maura.Sang pria kembali menatap Maura dengan wajah tenang, meskipun hati dan pikirannya sedang benar-benar kacau.“Kamu jangan takut. Aku tidak akan melakukan apa-apa kepadamu. Aku hanya ingin tahu, bagaimana semua ini bisa terjadi, ya?”Maura tidak langsung menjawab, tetapi memberikan tatapan memelas dan sedih. Setelahnya, sa
“Lalu, aku bagaimana, Mas? Siapa yang akan menerimaku, jika keadaanku sudah tidak virgin lagi?”Wajah wanita itu tampak frustasi. Dia memikirkan nasib ke depannya.“Aku juga butuh status dan seorang pendamping hidup, Mas. Aku tidak mau sendiri. Percuma kalau kamu memberiku materi berlimpah, tapi tanpa status. Apa bedanya aku sama simpanan, Mas.”Devan sudah benar-benar bingung. Kalau Maura sudah bersikukuh seperti ini, sang pria harus mencari cara lain agar wanita itu mau mengerti kondisinya.“Ra, kalau kamu menikah denganku juga percuma. Kita tidak akan bahagia, tidak ada perasaan dalam hubungan itu.”Maura berdecak. Selalu saja ada alasan, intinya pria itu tidak mau menerimanya.“Kamu juga masih di bawah umur, aku tidak bisa menikahimu.”Maura sudah lelah berdebat dengan Devan. Sang wanita pun memilih untuk memungut pakaian yang berserakan dan membersihkan diri di kamar mandi.Melihat tingkah Maura yang diam saja, membuat Devan bingung. Dia belum mendapat jawaban dari sang wanita. B
“Ah, tidak apa-apa. Maksudnya, ide untuk membawa Lusi ke rumah sakit itu benar. Jadi, si Mila harus mau menerima kenyataan ini.”Raka hanya ber-oh ria saja. Yang terpenting baginya, sekarang Lusi sudah mau dengan sang pria.“Ya sudah, Bu. Aku harus kembali kerja.”Panggilan itu pun diakhiri. Bu Sinta tersenyum sinis, penuh arti. Dia merasa puas sekali.“Untunglah aku cepat-cepat ke rumah sakit pagi itu. Jadi, masih sempat untuk mengganti surat tes DNA.”Ternyata sebelumnya saat pagi hari Bu Sinta pergi, wanita paruh baya itu pergi ke rumah sakit untuk menyogok petugas yang berjaga agar mengganti hasil tes DNA. Kebetulan, pagi itu dokter yang bertugas di sana belum datang.Awalnya sulit, tapi setelah menaikkan harga menjadi 2x lipat, akhirnya berhasil juga. Sebagai timbal baliknya, Bu Sinta harus kehilangan uang simpanannya. Untuk mengganti itu semua, lagi-lagi sang wanita paruh baya harus melerakan barang branded-nya.“Gak apa-apa lah, yang penting anakku kembali sama Lusi. Nanti juga
Dengan keadaan yang kacau, Mila masih berusaha untuk tetang tenang dan mengendalikan diri sendiri. Wanita itu sadar, kalau dirinya sudah tidak punya siapa-siapa di sini. Tidak ada yang bisa diandalkan kecuali diri sendiri.“Aku sudah keluar banyak untuk tes ini. Tapi, kalau hasilnya janggal, tentu saja tak bisa aku terima begitu saja.”Mila memejamkan mata dan berusaha untuk kembali tenang, agar bisa berpikir jernih. Sang wanita yakin pasti ada yang salah di sini.Terlebih sebelumnya Bu Sinta yang awal mula meminta tes DNA dilakukan. Pasti, wanita tua itu yang sudah mengacaukan semuanya.Mila tidak tahu apa yang salah. Tetapi, dia akan memulai semuanya dari rumah sakit itu. Sang wanita akan menyelidikinya lagi.Mila tidak mau menunggu lama. Sampai sang wanita pun mengambil keputusan untuk kembali ke rumah sakit, untuk bertemu dengan dokter yang mengambil sampel DNA dari bayi yang ada dalam kandungannya waktu itu.Selama perjalanan ke rumah sakit, Mila sangat gusar. Ada ketakutan yang
“Apa maksud dari perkataanmu tadi, hah?!” tanya Bu Sinta to the point.Mila tidak langsung menjawab pertanyaan Bu Sinta, melainkan melihat ke sekitar. Mencari tempat yang sekiranya cocok untuk menempatkan penyadap itu.“Heh! Jawab! Kenapa kamu diam saja? Ayo, katakan apa maksud ucapanmu barusan?!”Bu Sinta benar-benar takut kalau Mila tahu yang sesungguhnya. Bisa-bisa wanita hamil itu melakukan sesuatu yang merugikan dirinya dan Raka.‘Kayanya kalau di ruang tamu enggak cocok. Harus cari tempat yang sekiranya bisa kusimpan dengan aman dan memungkinkan wanita tua ini berbicara,’ gumam Mila dalam hati.Wanita hamil itu lalu berjalan ke ruang tengah, membuat Bu Sinta keheranan sendiri bercampur kaget. Sebab wanita paruh baya itu tak menjawab pertanyaannya.“Heh, ngapain kamu ke situ?!” seru Bu Sinta mengikuti langkah Mila.Sang wanita masih enggan menjawab pertanyaan Bu Sinta, masih fokus melihat ke sekitar. Sampai Mila melihat vas bunga yang ada di sebelah TV. Posisinya trategis dan mas
“Jadi, apa tujuan kedatanganmu ke sini?” tanya seorang pria yang memakai ikat kepala dari batik dan pakaian serba hitam.Mila meneguk saliva dengan susah payah. Untuk pertama kalinya dia mendatangi ‘orang pintar.’ Kalau bukan karena rasa penasaran sebab perubahan Lusi yang mendadak, wanita hamil itu tidak mau melakukan ini semua.“Saya mau cari tahu, apakah teman saya kena ilmu hitam. Soalnya, tiba-tiba saja sikapnya berubah dan aneh.”“Boleh saya lihat foto, nama dan tanggal lahirnya?”Mila langsung menganggukkan kepala. Dia membuka ponselnya. Untunglah masih punya foto Lusi saat mereka masih berteman.Setelah Mila memberitahukan apa yang ditanyakan oleh pria itu, sang dukun pun langsung membacakan mantra sembari memejamkan mata. Hingga tak lama kemudian, hasil yang diharapkan Mila keluar juga.“Benar, temanmu ini kena pelet asihan. Tapi, pelet ini lemah dan bisa dihilangkan.”Mendengar itu, Mila kaget dan senang secara beramaan. Bagaimana tidak? Kecurigaannya ternyata benar, ada yan