"Memangnya apa yang akan Mbak lakukan kepadaku? Palingan Mbak terus menindasku di rumah Mbak Lusi, kan? Kalau itu, aku bisa mengelak dan mungkin bisa mencari alasannya kepada Mbak Lusi jika aku tidak bisa pulang dengan cepat." Mendengar keberanian Maura, Adiba mengacungkan dua jempol, tapi dia juga tidak lupa menggelengkan kepala sembari berdecak. Dia benar-benar seorang gadis yang luar biasa. Di hadapan Lusi tampak polos, tapi hatinya busuk sekali. "Hebat sekali perkataanmu. Mungkin itu juga termasuk, tapi apa kamu yakin tidak mau tahu apa yang akan aku lakukan sebenarnya?" Maura penasaran, tapi kalau dia mencari tahu akan menjadi ketakutan yang mungkin bisa membuat hatinya benar-benar gundah. "Aku tidak mau tahu, Mbak. Aku bisa menerima semua perintah Mbak yang berkaitan dengan Mbak sendiri, tapi kalau misalkan mengatur kehidupanku, tentu saja aku tidak mau Mbak ikut campur. Karena itu privasiku," ujar Maura dengan tegas. Dia bahkan memalingkan wajah dari gadis di sampingnya. A
"Sialan, tuh cewek! Baru juga masuk udah songong. Dia berani-beraninya melawan omongan kita. Siswa yang ada di sini juga belum ada yang berani melawan kita, apalagi sampai berdebat seperti itu. Kurang ajar!" seru Anaya dengan kesal. Saat ini dia sedang ada di toilet wanita. Gadis itu benar-benar kesal karena tingkah Maura yang berani-beraninya mendebat ucapan Anaya dan juga Rani."Iya kan gue udah bilang sebelumnya, ini cewek udah gak bener. Kalau sampai kita biarin, bisa-bisa dia itu bakalan monopoli sekolah, terutama kelas kita. Pokoknya, ini nggak boleh terjadi! Lo paham, kan, maksud gue, Nay?" tanya Rani.Anaya diam saja sembari memandangi diri di cermin. Selama ini dia sudah mendapatkan popularitas, hormat dari semua siswa dan siswi yang ada di sini. Bahkan Adik kelas pun segan kepadanya. Jadi, dia tidak boleh sampai kalah oleh anak baru yang songong seperti Maura."Ya, lo benar. Sebaiknya kita kasih pelajaran ini anak. Pokoknya, pulang sekolah kita hadang dia," ujar Anaya yang
Arya akhirnya menyetujui usulan yang diberikan oleh Raka. Memang tidak ada cara lain, lebih banyak orang yang gabung dalam misi mereka itu lebih baik. Ini demi kelancaran balas dendamnya atas sepupu yang sudah meninggal. Di sekolah, Maura pun berusaha belajar dengan baik. Dia tidak mau berurusan dengan dua orang itu, karena tahu pada akhirnya akan mencelakai dirinya. Sekarang Maura benar-benar belum mempunyai teman, tapi berharap besok atau lusa gadis itu mempunyai teman yang bisa paham akan situasinya.Di tempat lain, Adiba pun mulai bekerja. Bosnya mengirim desain grafis yang harus dikerjakan. Untunglah di rumah sepi, jadi dia bisa konsentrasi penuh. Gadis itu memang lebih baik bekerja di tempat sepi atau ditemani dengan musik kesukaannya. Bukan malah mendengar suara-suara berisik dari orang-orang yang entah sedang mengucapkan apa atau berbicara perihal lain. Lusi juga tampak sibuk menandatangani beberapa berkas yang sudah menumpuk. Setelah ini dia harus melihat percetakan dan jug
"Hei, siapa saja tolong panggil guru! Dua orang ini udah gila, mau nganiaya gue!" seru Maura, meminta tolong kepada semua siswa-siswa yang melewati. Namun sayangnya, mereka hanya melihat dengan rasa iba, lalu melewati begitu saja. Maura tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, kenapa tidak ada satu pun orang yang mau menolongnya. Di saat seperti ini, dia jadi teringat tentang perkataan gadis berkacamata yang memperingatkan dirinya untuk tidak berurusan dengan dua orang ini. Tampaknya mereka benar-benar berpengaruh, sampai tidak ada satu pun yang berani untuk menolongnya. Sementara itu, sang gadis berkacamata baru saja keluar dari kelas. Dia kaget melihat apa yang terpampang jelas di depan matanya. Maura juga memperlihatkan wajah memelas kepada gadis itu, berharap kalau dia mau menolongnya. Namanya Nina, siswi teladan yang tidak memiliki teman. Kebanyakan dari mereka mendekatinya hanya untuk memanfaatkan kecerdasan sang gadis.Dia pun sudah terbiasa dengan itu dan memilih untuk m
Maura langsung makan siang dan beberapa siswa yang melihat kejadian sebelumnya itu memandangi sang gadis dengan tatapan yang berbeda-beda. Ada yang sinis, iba dan juga tampak sekali meremehkan gadis itu. Namun kebanyakan dari mereka itu seperti mengejek sang gadis, karena anak baru berani-beraninya menantang yang kuat di sekolah itu. Tetapi Maura berusaha untuk diam. Semakin dia meladeni, maka semakin banyak orang yang akan meremehkannya. Maura akan mencari cara bagaimana terhindar dari masalah di sekolah, yang paling penting gadis itu tidak boleh memulai duluan. Maura pun berusaha untuk cuek dan menghabiskan makan siangnya, setelah itu memilih untuk kembali ke kelas. Menurutnya, hanya di kelas yang bisa membuatnya tenang. Kalau ada di luar kemungkinan orang-orang terus menjadikannya bahan tontonan. Tugas gadis itu juga harus mencari orang yang sudah menyelamatkannya. Selama perjalanan dari kantin ke kelas, banyak sekali mata dan siswa yang berbisik-bisik. Entah apa topik pembicara
"Gimana gue mau jawab? Kan gue emang bener-bener nggak tahu siapa yang sudah nolong gue. Bahkan gue nggak hafal teman-teman sekelas ini. Guru-guru juga gue nggak hafal. Iya, kan? Gue baru masuk hari ini," ujar Maura, barusan untuk menjelaskan yang sebenarnya. Karena memang dia tidak tahu apa yang terjadi. Bahkan tidak tahu siapa orang yang sudah menolongnya. Bisa saja dia menyebutkan nama Nina, sesuai yang disebutkan oleh guru BK. Tetapi rasanya itu akan menjadi bumerang untuk penolongnya, jadi satu-satunya cara agar bisa melindungi orang yang sudah menolongnya yaitu bungkam. Maura akan mencari tahu sendiri sampai dapat, setelah itu mengucapkan banyak terima kasih karena sudah menolongnya. Anaya menggeram kesal. Dia hampir menampar Maura, sampai tiba-tiba suara bel berbunyi.Siswa-siswi yang di luar pun berkerumunan datang. Rani yang melihat Anaya yang mulai memuncak emosinya berusaha untuk menghentikan temannya itu."Udah, Nay. Udah masuk, nanti kalau misalkan guru lihat, kita aka
Winda begitu kaget saat Mila memborong semua yang ditawarkan olehnya. Padahal semua bingkisan itu harganya mahal. Sang wanita sampai meneguk saliva dengan susah payah, mengira kalau Mila itu benar-benar wanita yang kaya raya karena berani mengeluarkan banyak uang untuk calon mertua. Sekali lagi dalam hati Winda mengira kalau calon mertua Mila itu benar-benar beruntung sebab mendapatkan menantu seperti wanita ini. Setelah semua selesai, Mila pun membayar totalnya dengan credit card. Bahkan Winda sendiri yang menyuruh kasirnya untuk mentotal semua yang dipesan oleh Mila. Sebab merasa senang mendapatkan pelanggan seperti Mila, akhirnya Winda memberikan bonus happers lain yang kecil. "Ini ya, Mbak. Ada sedikit hadiah dari saya. Itu tanda terima kasih karena sudah memborong dagangan yang ada di sini."Mila tersenyum sembari menganggukkan kepala, lalu dia pun memilih untuk pergi dari sana. Kebetulan Mila itu menyewa taksi dan membiarkan taksi itu untuk menunggunya agak lama. Biarlah harg
Mila mengepalkan kedua tangannya, berusaha menahan diri agar tidak terpancing emosi karena wanita paruh baya di depan ini benar-benar mengganggu. Harusnya Bu Sinta itu tidak perlu sampai ke titik seperti itu, seolah-olah dia tidak akan menerima Mila apa pun yang terjadi pada sang wanita. "Bu, aku tahu, aku ini salah karena sudah merebut Mas Raka dari Lusi. Tapi, aku memang benar-benar mencintai Mas Raka. Walaupun Mas Raka sekarang bukan sekaya dulu, aku akan tetap mencintainya setulus hati dan menerima Mas Raka," ujar Mila dengan suara lemah lembut. Dia masih berusaha bersabar menghadapi Bu Sinta. Bukannya luluh, Bu Sinta malah kesal mendengar perkataan dari Mila. "Jadi, maksudmu anakku itu miskin, hah?! Dengar, ya! Kalau bukan gara-gara kamu, anak aku itu masih kaya. Meski dia tidak punya harta, tapi Raka punya kemampuan untuk memimpin perusahaan. Sekali lagi, semua gara-gara kamu! Kalau kamu tidak datang dalam kehidupan Raka, anakku tidak akan sengsara seperti ini dan tentu saja